✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Drs. Jakob Tobing, MPA

Drs. Jakob Tobing, MPA

President, Institut Leimena

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Pengantar

Makalah ini dipersiapkan untuk mengisi acara ceramah kepada Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVIII Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) tahun 2018, tanggal 14 Mei 2018.

Sesuai dengan judul yang diminta, makalah akan menguraikan secara ringkas kebangkitan dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Selanjutnya diuraikan sejarah konstitusi di Indonesia, khususnya pembentukan UUD 1945 dan perubahannya serta bagaimana nasionalisme dan konstitusi saling menunjang.

Dalam berbagai kesempatan yang berbeda, penceramah juga pernah menyampaikan bagian-bagian bahan ceramah ini baik dalam bentuk tulisan maupun ceramah.

Nasionalisme Indonesia

Dalam jangka waktu lebih dari 3 abad, akhirnya Belanda menjajah bumi Nusantara. Dimulai dari menguasai beberapa titik perdagangan, kekuasaan kompeni Belanda (VOC) meluas dan berubah menjadi kekuasaan kerajaan Belanda yang meliputi seluruh kepulauan Nusantara. Satu-persatu kerajaan Nusantara ditaklukkan dan pemberontakan lokal dikalahkan. Kerajaan Belanda menguasai wilayah kepulauan yang amat luas dan berpenduduk majemuk ini utamanya dengan kekuatan militer, keunggulan ilmu-pengetahuan dan teknologi, kehandalan berorganisasi dan politik divide-et-impera. Kekuasaan kolonial telah membentuk suatu ruang besar dimana warga lokal hidup terjajah, terhina sebagai warga kelas dua, mengalami diskriminasi dan tekanan.

Sementara itu, pandangan hidup (Weltanschauung) toleran dan inklusif warga Nusantara, yang berakar dan berkembang selama ratusan bahkan ribuan tahun terus hidup dan bertumbuh. Pada awal abad ke-XX, pandangan hidup itu berinteraksi dalam satu ruang bersama Nusantara yang tercipta oleh penjajahan Belanda.

Namun perlu dicatat bahwa jarang bangsa-bangsa yang terbentuk dalam tekanan ruang penjajahan tumbuh menjadi satu bangsa yang inklusif.[3] Kesadaran dan perjuangan para Bapak dan Ibu bangsa Indonesia yang telah berjasa menanamkan kebangsaan Indonesia yang inklusif di tengah keragaman-ganda warga Nusantara.

Semenjak zaman dahulu kala, masyarakat Nusantara terpapar dan berinteraksi dengan dinamika global zamannya. Temuan arkeologi dan rekaman sejarah mencatat, membuktikan kehadiran budaya inklusif sedari dulu.[4] Mata dagangan hasil kepulauan Nusantara, emas, kemenyan, kapur Barus (kamper), cengkeh dan pala, untuk menyebut beberapa contoh, telah membawa Nusantara berinteraksi dengan dunia, dalam perhatian para pedagang dan penyebar agama serta belakangan perhatian negara super power dunia pada zamannya.[5]

Demikianlah Nusantara berinteraksi dengan budaya dunia. Agama-agama besar dunia seperti, Hindu, Budha, Kristen dan Islam meresap ke dalam masyarakat Nusantara dengan damai, telah turut mengembangkan sikap toleran dalam masyarakat.[6]

Sementara itu, menjelang akhir abad XIX, mengikuti era pencerahan di Eropa dan politik etika Belanda di Hindia Belanda serta untuk menghasilkan tenaga lokal yang diperlukan, pendidikan modern (Barat) diperkenalkan di Nusantara.

Sejalan dengan keberadaan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di pulau Jawa, pendidikan menengah atas dan tinggi juga terpusat di Jawa, seperti di Batavia, Surabaya dan Bandung. Maka, generasi muda dari berbagai latar belakang suku, daerah dan agama datang bersekolah dan berkumpul di Jakarta dan Surabaya.

Disamping itu, sejumlah generasi muda juga berkesempatan sekolah tinggi di Eropa, khususnya Belanda. Mereka, generasi muda majemuk ini, yang ada di Hindia Belanda dan di Eropa terpapar pada berbagai informasi global terbaru, mempelajari berbagai keunggulan Barat, beragam ide-ide politik, berbagai pengetahuan organisasi pergerakan, dan sebagainya.

Demikianlah terbentuk lapisan generasi muda Nusantara yang berpendidikan cukup tinggi dan berlatar belakang beragam suku dan agama Nusantara, terkumpul di pusat-pusat pendidikan dan pemerintahan zaman itu dan berinteraksi dengan dunia luar.

Seiring dengan munculnya gerakan global menuntut persamaan kulit berwarna dengan kulit putih, dan utamanya dipicu oleh kemenangan armada kekaisaran Jepang melawan armada kekaisaran Rusia (Barat) di Selat Tsushima tahun 1905, gelora kebangkitan harga diri kulit berwarna meningkat dan pelahan berubah menjadi rasa kebangsaan dan keinginan untuk bebas dari penjajahan.

Digerakkan oleh generasi muda terdidik, gerakan kesadaran diri muncul, bermula dari Sarikat Islam 16 Oktober 1905 dan Budi Utomo 20 Mei 1908, dan perlahan-lahan memperoleh karakteristik pergerakan yang melampaui kepentingan dan lingkungan kelompok, suku dan keyakinan agama.

Penutupan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 merekam puncak perubahan gerakan sadar diri itu menjadi gerakan kebangsaan yang mencintai satu tanah air bersama. Para utusan pemuda dari dan dengan latar belakang berbagai daerah Nusantara berkumpul di Jakarta. Mereka, elite generasi muda Hindia Belanda ini menemukan diri sebagai generasi muda daripada satu bangsa yang hidup bersama dalam satu ruang bersama, tanah air Indonesia. Demikianlah mereka, menyuarakan kesadaran penduduk Nusantara, mengikrarkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Persatuan, Indonesia. Inilah proklamasi kelahiran bangsa baru di dunia, bangsa Indonesia.

Dari perjalanan dan pertumbuhan karakteristiknya, jelas bahwa kebangsaan atau nasionalime Indonesia itu adalah buah perubahan maknawi dan substantif dari kesadaran diri kepentingan kelompok, suku dan atau agama, yang berciri kedaerahan, menjadi kesadaran kebersamaan yang beragam dan berciri kecintaan pada tanah air yang satu dan akhirnya ingin merdeka. Nasionalisme seperti ini, yang sering saya namakan kebangsaan demos, yaitu wawasan kebangsaan yang melihat diri sebagai satu entitas walau terdiri dari unsur yang berbeda-beda, bhinneka-tunggal ika, dimana terjadi persenyawaan dengan ikatan cita-cita bersama.

Kebangsaan demos ini berbeda dengan kebangsaan etnos yang melihat diri sebagai perjumlahan unsur-unsurnya, suku, agama, ras dan asal-usul (SARA).[7]

Sejarah merekam perjuangan para pejuang, Ibu dan Bapak bangsa, mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Pergerakan mereka terbagi dalam mereka yang berjuang melalui jalan koperatif, masuk ke dalam dewan rakyat, Volksraad, atau mereka yang melalui jalan non-koperatif, berjuang frontal menghadapi dan tidak sudi bekerjasama dengan penjajah. Namun selanjutnya, jalan non-koperatif yang dipimpin Soekarno dan kawan-kawan lebih memperoleh dukungan populer.

Perang Dunia II dan kemenangan Jepang atas Belanda membawa nuansa baru dalam perjuangan kebangsaan Indonesia. Menampilkan diri sebagai pemimpin pembebasan rakyat kulit berwarna yang terjajah melawan penjajahan Barat yang berkulit putih, Jepang datang dengan program-program membangkitkan semangat pertempuran dkalangan muda, melatih kemampuan militer, membentuk Seinendan, Keibodan, PETA dan Heiho. Berbeda dengan pelatihan militer era penjajahan Belanda (KNIL) yang mengutamakan ketrampilan teknik dan disiplin ketentaraan, latihan kemiliteran era Jepang mengutamakan membangun patriotisme, semangat juang membela tanah air dan melawan negara Barat. Berbagai lagu perjuangan mulai muncul selama era ini. Selanjutnya, lagu-lagu perjuangan terus bertambah, menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang memiliki jumlah lagu perjuangan yang terbanyak di dunia.

Sejarah mencatat pemberontakan PETA dibawah pimpinan Supriyadi yang ditumpas dengan kejam oleh militer Jepang. Ini adalah contoh semangat juang yang tertanam oleh latihan kemiliteran Jepang yang pada waktu itu meletus karena marah pada kekejaman militer Jepang. Sejarah juga mencatat, sejumlah terbesar tokoh dan pimpinan TNI generasi pertama adalah  lulusan PETA,  seperti antara lain  Ahmad Yani,  Jatikusumo, Sarwo Edhie Wibowo, Sudirman, Suharto, Sumitro dan Umar Wirahadikusumah.[8] Kelompok pemuda seperti itulah yang kemudian menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar Indonesia tidak mengikuti rencana Jepang untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada tanggal 7 September 1945 sebagai anggota kekeluargaan kekaisaran Jepang, atau Persemakmuran Asia Timur Raya, tetapi agar merebut kesempatan yang ada, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Semangat inilah yang memberi nilai juang yang tinggi pada UUD 1945 sebagai simbol kemenangan perjuangan kemerdekaan dan selanjutnya sebagai simbol harga diri dan kesediaan berkorban bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Latar belakang dan semangat itu pula yang merupakan salah satu faktor utama yang membentuk karakter tentara pembebas (liberation army) kepada TNI.

Dalam pidato 1 Juni 1945, dalam rangka membicarakan dasar negara dan penyusunan UUD negara Indonesia merdeka, Soekarno menegaskan bahwa kita mendirikan negara kebangsaan. Dalam hubungan itu, beliau menegaskan pandangan hidup bangsa dalam lima sila  Pancasila sebagai Weltanschauung yang telah hidup berabad-abad ditengah masyarakat Nusantara. Dengan rendah hati dan bijaksana beliau menegaskan bahwa beliau hanyalah penggali dari kearifan yang memang telah berabad-abad hidup dalam masyarakat Nusantara. Soekarno juga menegaskan karakteristik nasionalisme Indonesia tidak hanya merupakan persatuan perangai yang timbul dari persatuan nasib. Tetapi kebangsaan Indonesia yang hidup dalam satu bumi tanah air Indonesia dari Sabang sampai Merauke.[9]

Sebagaimana tergambar dari makam para pahlawan dan berbagai rekaman sejarah lainnya, para pejuang dari berbagai suku, agama, ras dan asal usul, telah berjuang dan berkorban, jiwa dan raga demi tetap tegak berdirinya bangsa dan Negara Indonesia.

Itulah nasionalisme Indonesia, yang memandang diri sebagai bangsa yang satu walau berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, yang mencintai tanah air Indonesia yang merdeka sebagai satu ruang hidup bersama, dan menghormati bahasa persatuan, bahasa Indonesia, bangsa yang mempunyai cita-cita bersama dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Demikianlah, dari awal kelahiran dan selama perkembangannya, nasionalisme Indonesia bertumbuh mencapai bentuknya yang final dalam diri bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 serta menjadi modal dasar dan semangat juang untuk terus membangun bangsa.

Namun sejarah juga mencatat bahwa kebangsaan Indonesia itu mengalami berbagai tantangan, bahkan sampai sekarang.

Pembentukan UUD 1945.

Undang Undang Dasar atau konstitusi sebuah negara, seharusnya, adalah seperangkat prinsip-prinsip pokok yang menjadi dasar bagaimana sebuah Negara dijalankan.

Pada kenyataannya, tidak setiap konstitusi sebuah negara mempunyai arti demikian. Ada yang dikenal sebagai konstitusi semu, yaitu konstitusi hanya pajangan dan sebenarnya penguasa yang sekehendak hatinya menentukan bagaimana negara dijalankan.

Sebuah konstitusi tidak dengan sendirinya menjamin bahwa negara dapat mengatur dirinya sendiri sesuai dengan kehendak rakyatnya. Ada konstitusi yang merupakan dasar keterikatan negara pada perjanjian tertentu atau kekuasaan lain. Karakter itu bisa terlihat pada konstitusi negara dalam kekeluargaan Pakta Warsawa. Pada masa lalu, karakter itu juga terdapat pada konstitusi Burma dan Filipina yang merdeka sebagai anggota keluarga Persemakmuran Asia Timur Raya dalam era Perang Dunia II tetapi terikat pada kepentingan Jepang.

Ada juga konstitusi yang normatif dan preskriptif, yang merupakan resep yang harus diterapkan untuk mengendalikan proses kehidupan bernegara.

Oleh karena itu penting untuk mengenal ciri-ciri suatu konstitusi yang seharusnya sesuai dengan aspirasi kebangsaannya dan menjadi acuan dan dasar bagaimana suatu negara merdeka dijalankan.

Untuk dapat memahami makna UUD 1945, disamping mempelajari risalah rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang berisikan wacana dan dinamika proses penyusunan UUD 1945, diperlukan juga kajian kontekstual atas informasi dan hal-hal lain yang terkait dengan proses itu.

Rancangan UUD yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945 pada awalnya disusun oleh BPUPK atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai yang dibentuk oleh pemerintahan militer Jepang pada era Perang Dunia ke-2 (PD II), semasa Indonesia dibawah penjajahan Jepang. Namun, rancangan UUD tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 menjadi UUD, satu hari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

PD II bukanlah sekedar peperangan rebutan sumber-sumber, tetapi adalah juga perang ideologi dalam skala global yang meliputi pertarungan antara ideologi kapitalis, komunis dan fasis dan sekaligus hasrat Jepang untuk menunjukkan superioritas bangsa dan keunggulan kultur Jepang.

Melalui PD II Jepang berencana membentuk The Greater East Asia Co-Prosperity Sphere atau Wilayah Persemakmuran Asia Timur Raya (Asia Timur Raya), sebuah gagasan blok regional yang berdasarkan ideologi fasis yang diunggulkan sebagai ideologi alternatif terhadap liberalisme-kapitalisme dan komunisme yang dianggap gagal. Gagasan geo-politik kaum fasis ini berencana untuk membagi dunia dalam 4 lingkup-pengaruh perekonomian dunia dengan masing-masing berpusat di Amerika Serikat, Jerman, Uni Soviet dan Jepang.[10] Pembentukan blok regional Asia Timur Raya itu diumumkan oleh Menlu Matsuoka Yosuke Agustus 1940, meliputi wilayah Jepang (termasuk Korea, Taiwan, dan Sakhalin), Cina, Manchukuo, French Indochina, dan Hindia Belanda.[11] Dalam pelaksanaannya, kebijakan Asia Timur Raya dikendalikan langsung dari Tokyo oleh kementerian Asia Timur Raya (Greater East Asia Ministry) yang dikuasai militer.[12]

Sebagaimana dimuat dalam surat rahasia Secretariat Paper dari Japanese Empire Ministry of Navy no. 3167, tanggal 14 Maret 1942, kebijakan dasar pemerintahan militer di wilayah Selatan adalah untuk membimbing penduduk setempat untuk memperoleh tempatnya yang tepat dan untuk bekerjasama dalam pembentukan Wilayah Persemakmuran Asia Timur Raya (the Greater East Asia Co-Prosperity Sphere) dibawah kepemimpinan Kekaisaran Jepang.[13]

Oleh karena itu, kebijakan memberikan kemerdekaan bagi tanah jajahan bukanlah kebijakan lokal, tetapi adalah bagian dan realisasi gagasan Asia Timur Raya.[14]

Wilayah Persemakmuran Asia Timur Raya.

Sebelumnya, pada awal 1943, untuk merealisasikan rencana itu, semacam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dibentuk di Burma dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Burma (Zyunbi Inkai) dibentuk pada 8 Mei 1943 dibawah pimpinan Ba Maw. Burma memperoleh “kemerdekaan” pada tanggal 1 Agustus 1943 dengan syarat menanda tangani Pakta Persekutuan (Treaty of Alliance) dengan Jepang dan harus menyatakan perang melawan Inggris dan Amerika Serikat.[15]

Hal serupa juga terjadi di Filipina yang sudah direbut Jepang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Filipina dibentuk tanggal 19 Juni 1943, dipimpin oleh Jose P. Laurel. Pada tanggal 14 Oktober 1943, Filipina “merdeka’, yang dikenal sebagai Republik ke-2, resmi berdiri dan Jose P. Laurel dilantik sebagai presiden. Pada hari yang sama, Pakta Persekutuan Filipina-Jepang ditanda tangani dan Filipina menyatakan perang melawan Sekutu.

Dokumen no. 73 tanggal 4 Januari 1945 tentang the Tentative Plan of the Southern Area Administration Office of Army Ministry of Japan’s Empire, menyatakan bahwa sebuah panitia untuk mempersiapkan kemerdekaan perlu dibentuk di Jawa.[16] Sejalan dengan itu, Jepang merencanakan mendirikan BPUPK di Jawa dan Sumatera dalam rangka mempersiapkan berdirinya negara-negara “merdeka” dalam lingkungan kekaisaran Jepang, yang dikenal sebagai Asia Timur Raya itu.[17]

Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa inisiatif mendirikan BPUPK dalam rangka membentuk Indonesia merdeka berasal dari pihak Jepang.

Seleksi anggota BPUPK dilakukan sesuai dengan kebijakan Jepang untuk merangkul dan memperoleh dukungan dari tokoh pergerakan kemerdekaan negara/daerah setempat,[18] dalam rangka mencapai tujuan Jepang membentuk Asia Timur Raya, dimana Indonesia akan dimerdekakan tetapi menjadi anggota sejati keluarga besar Asia Timur Raya yang dipimpin kekaisaran Jepang.[19] Anggota-anggotanya diseleksi dan diangkat oleh penguasa militer Jepang. Diantara mereka terdapat cukup banyak tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman, Soepomo, Mohammad Yamin, Ratulangi, Wahid Hasyim, untuk menyebut beberapa dari mereka. Mereka dirangkul oleh Jepang untuk kepentingannya sementara dilain pihak, para tokoh pejuang Indonesia itu bersedia karena melihat kesempatan untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi Indonesia. Dilain pihak, sejarah juga mencatat sejumlah pejuang tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dan Soekarni tidak bersedia bekerjasama dengan Jepang dan bergerak dibawah tanah, berjuang melawan penjajahan Jepang untuk mencapai kemerdekaan.

Selanjutnya, secara teknis-administratif, BPUPK diresmikan oleh pemerintahan militer Jepang di Jakarta. BPUPK diresmikan tanggal 28 Mei 1945 dengan pengibaran bendera kekaisaran Jepang Hinomaru dan Sang Saka Merah Putih.

Pada kesempatan itu, Kepala Pemerintahan Militer Jepang, MayJen Seisabaro Okasaki dan Jenderal Itagaki Seisoro, Komandan Tentara ke-7 yang berkedudukan di Singapura, menegaskan bahwa Indonesia merdeka adalah sebuah mata rantai dalam kekeluargaan Asia Timur Raya.[20] Hal yang sama juga ditegaskan oleh Kaityoo (Ketua) BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat.[21]

Dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, Radjiman mengatakan bahwa  dalam penyusunan rancangan UUD, BPUPK ada di bawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang.[22] Dengan gayanya yang khas, Soekarno menceritakan bahwa BPUPK bekerja dibawah todongan bayonet Jepang.[23] Aturan kerja BPUPK yang ditetapkan Jepang mengharuskan BPUPK melaporkan kegiatannya secara berkala kepada Gunseikan[24] untuk memperoleh persetujuan.[25]

Oleh karena itu penting untuk disadari bahwa BPUPK bukanlah badan/lembaga yang merdeka. Tetapi para pejuang kemerdekaan Indonesia, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu bangsa, dibawah pimpinan Soekarno dan Hatta, dengan semangat kebangsaan yang tinggi, berjuang memanfaatkan BPUPK sebagai ajang mempersiapkan kemerdekaan sejati Indonesia. Mereka adalah para pejuang yang telah lama berjuang melawan kekuasaan kolonial Belanda. Pada era penjajahan Jepang, mereka terus memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, berhadapan dengan kepentingan hegemoni Jepang.

Demikianlah BPUPK merupakan medan pertarungan aspirasi kemerdekaan sejati bangsa Indonesia yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan berhadapan dengan kepentingan geo-politik Jepang.

Dalam keadaan demikian, tentulah tidak mungkin BPUPK menghasilkan keputusan yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan kepentingan Jepang masa PD II itu.

Pada awal kerja, ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat meminta anggota BPUPK mengemukakan apa yang akan menjadi philosophische grondslag (dasar falsafah) negara Indonesia merdeka.[26] Menanggapi himbauan itu, Soekarno menyampaikan pidato 1 Juni 1945 yang monumental itu, yang berisikan norma-norma dasar negara Indonesia merdeka dan 5-sila dasar negara yang kemudian beliau namakan Pancasila.[27]

Selanjutnya, berdasarkan pidato Soekarno 1 Juni 1945 itu, BPUPK membentuk Panitia Kecil 8 orang, yang terdiri atas Soekarno sebagai Syuusa (ketua), Mohammad Hatta, Sutardjo, Wachid Hasjim, Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Muhammad Yamin dan Maramis untuk merumuskan rancangan mukadimah  sebagai pembukaan UUD yang akan dirancang. Panitia Kecil 8 orang ini kemudian disempurnakan menjadi Panitia-9 yang terdiri atas  Soekarno, sebagai Ketua, Mohammad Hatta, sebagai Wakil Ketua dan anggota-anggota Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoelkahar Moezakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim dan Mr. Muhammad Yamin. Tetapi Panitia-9 ini tidak pernah diresmikan oleh paripurna BPUPK sehingga Panitia-9 ini adalah sebuah panitia informal, tidak resmi. Mereka selanjutnya bekerja merancang naskah Mukadimah tanpa sepengetahuan dan diluar jangkauan pengawasan Jepang.

Dalam latar belakang demikian, hanya naskah Mukaddimah satu-satunya bagian UUD 1945 yang disusun bebas dari pengawasan dan pengaruh Jepang, sedangkan seluruh naskah pasal-pasal UUD diawasi dengan ketat oleh pemerintahan militer Jepang dan tidak akan lolos tanpa persetujuan Jepang.

Naskah Mukadimah, yang juga dikenal sebagai Piagam Jakarta, disimpulkan oleh Panitia-9 pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai berikut:[28]

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan per-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbetuk dalam suatu Susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22-6-1945.

Soekarno,

Mohammad Hatta,

Mr. A.A. Maramis,

Abikoesno Tjokrosoejoso,

Abdoelkahar Moezakir,

H.A. Salim,

Mr. Achmad Soebardjo,

Wachid Hasjim,

Mr. Muhammad Yamin.

Jelas terlihat bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Mukadimah ini, seperti kedaulatan rakyat dan nilai-nilai Pancasila: Ketuhanan, peri kemanusiaan, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan dan keadilan sosial, berbeda dan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dianut kaum fasis.

Latar belakang para perancang naskah Mukadimah diatas dapat memberikan kejelasan nilai-nilai yang dianut dalam naskah Mukadimah. Mereka itu adalah para intelektual lulusan pendidikan modern/Barat di Hindia Belanda, di Eropa, di Mesir dan di Mekkah yang merupakan tokoh-tokoh yang telah lama memimpin pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia sebelum menjadi anggota BPUPK dan PPKI. Mereka berkembang dalam kurun dimana terjadi pertarungan antara ide-ide liberalisme-kapitalisme dan komunisme yang sedang mengalami degradasi dan paham fasisme yang mengklaim diri lebih unggul.[29] Mereka juga berhadapan dengan kenyataan bahwa pada umumnya negara liberal-kapitalis Barat adalah negara-negara kolonial yang anti kemerdekaan. Hatta[30]  dan Soekarno[31] misalnya, mengecam praktek demokrasi pada waktu itu, yang tidak mendatangkan kesejahteraan sosial tetapi memihak pada kepentingan pemilik modal. Tetapi semua sepakat, bahwa syarat utama untuk memajukan bangsa adalah kemerdekaan, walaupun tetap ada perbedaan diantara mereka.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno mengatakan bahwa demokrasi Barat hanyalah politieke democratie saja, tidak ada sociale democratie, tidak ada  sociale rechtvaardigheid, tidak ada keadilan social. Jadi juga harus ada ekonomische democratie, harus ada demokrasi ekonomi.[32]

Hatta mengecam demokrasi Barat karena dinilai tidak berdaya sebab hanya menyangkut hak-hak dalam bidang politik. Hatta menegaskan bahwa akar dari ketidak-adilan adalah individualisme yang telah menjadi dasar dari liberalisme Barat yang pada gilirannya telah menciptakan kapitalisme modern serta imperialisme ekonomi dan politik. Dalam pandangannya, individualisme Barat telah menghancurkan hubungan sosial-kemasyarakatan, dan mengubah prinsip yang baik seperti “kedaulatan rakyat” menjadi alat ditangan pemangsa rakyat.[33] Namun, Hatta mendukung demokrasi dan dengan kuat menolak keberadaan negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas.[34]

Soekarno menegaskan bahwa fasisme bertentangan dengan semangat Indonesia dan mengecam keras kepemimpinan ala Fuhrer yang diterapkan Nazi karena hanya akan menciptakan kepatuhan ala mayat (cadaver obedience).[35]

Mereka, Soekarno dan Hatta, masing-masing mengecam demokrasi era itu hanya dalam bidang politik, yang kemudian dimanipulasi kaum kapitalis, tetapi tidak ada demokrasi ekonomi untuk menopang kesejahteraan dan keadilan sosial.

Sementara itu, Hatta menegaskan bahwa fasisme harus dihancurkan karena fasisme hanya akan memperbudak rakyat.[36] Hatta berpendirian bahwa perjuangan kemerdekaan sekaligus adalah perjuangan untuk demokrasi dan kemanusiaan.[37]

Namun, naskah Piagam Jakarta itu tidak diterima oleh BPUPK. Malah dalam rapat tanggal 11 Juli 1945, BPUPK menunjuk 4 orang anggota BPUPK, Soebardjo, Soepomo, Soekiman, dan Parada Harahap, yang saya sebut Panitia-4, untuk merombak dan menulis ulang naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu.[38]

Rancangan naskah tulis-ulang itu adalah sebagai berikut:[39]

PERNYATAAN KEMERDEKAAN

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Bangsa Indonesia di zaman dahulu telah mempunyai riwayat mulia dan bahagia, sebagai bangsa merdeka yang bertanah air merdeka dan bernegara merdeka, yang batas-batasnya meliputi seluruh kepulauan Indonesia sampai ke Papua, malah melampaui ke daratan Asia sampai ke batas-batas tanah Siam; negara merdeka, yang dalam perhubungan perdamaian dan persahabatan dengan negara-negara merdeka di daratan Asia, menyambut tiap-tiap bangsa dengan kemurahan hati.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, membawa bencana kepada bangsa Indonesia itu. Terlebih sekali setelah dalam berebut-rebut hak perniagaan, bangsa Belanda dengan kongsi perniagaan “Vereenigde Oost Indische Compagnie” beroleh kemenangan atas bangsa Indonesia, yang memperlakukan bangsa Barat itu dengan kemurahan hati dan sangka baik, seperti dalam perniagaan. Memang dari mulanya bangsa Barat mendasarkan kemenangan monopoli atas kekuasaan politik dan kekerasan senjata.

Maka jatuhlah lama-kelamaan kepulauan Indonesia itu kebawah pengaruh dan kongsi perniagaan Belanda itu; diputuskanlah olehnya perhubungan Indonesia ke luar dengan negara-negara merdeka yang lain-lain; direbut, dirampaslah dengan senyata-nyatanya segala hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka yang bernegara merdeka.

Kerajaan Belanda yang mewarisi hak-hak rampasan “Vereenigde Oost Indische Compagnie” itu, dalam satu setengah abad pemerintahan atas negeri dan bangsa Indonesia, pada hakekatnya melanjutkanlah semata-mata haluan politik yang lama itu, yaitu politik memecah-mecah persatuan kita, menghina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghisap, memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri.

Kejahatan niat dan tujuan itu tidak dapat disembunyikan seterusnya di dalam dunia, yang di dalamnya bertambah-tambah kehebatan perlombaan imperislisme Barat, berebut kekayaan segenap dunia. Dan lama-kelamaan bangkitlah kembali dengan sehebat-hebatnya semangat perlawanan bangsa Indonesia, yang memang tidak pernah padam dan tidak pernah dipadamkan, dalam lebih 3 abad perkosaan oleh imperialisme Belanda itu. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu. Bergeloralah lagi di dalam kalbu bangsa Indonesia tekad yang berkobar-kobar, berbangkit kembali sebagai satu bangsa yang merdeka dalam satu negara yang merdeka.

Kemenangan Dai Nippon Teikoku dalam perangnya dengan Rusia dalam tahun 1905 M, mencurahi kehendak itu dengan semangat kebangsaan Timur. Gugurlah anggapan tak terpatahkannya kekuatan Barat, gugurlah angka kelebihan Barat, yang telah membelenggu bangsa-bangsa Timur itu beratus tahun.

Contoh Dai Nippon Teikoku beroleh kejayaannya itu, melahirkanlah pergerakan teratur dalam bangsa Indonesia, yang didasarkan atas cita-cita keadilan dan kemanusiaan, menuntut pengakuan hak kemerdekaan tiap-tiap bangsa. Tidak tercegah, tidak tertahan tumbuhnya, meluas dan mendalamlah pergerakan ini dalam segenap lapisan dan segenap barisan bangsa Indonesia, betapapun kerasnya, betapapun buasnya, betapapun ganasnya kekuasaan pemerintahan Belanda berikhtiar mencegah dan menindasnya.

Disaat memuncaknya gelagat pergerakan itu yang seperti ibarat saat kelahiran anak dari kandungan ibunya, maka Tuhan Yang Maha Kuasa telah membelokkan perjalanan riwayat dunia, mengalih/memindahkan perimbangan kekuasaan di muka bumi, istimewa di daerah Lautan Teduh, seolah-olah untuk membantu pembinaan kelahiran itu.

Tuntutan Dai Nippon Teikoku,  bertentangan dengan tujuan-tujuan imperialisme Barat, yaitu tuntutan hak kemerdekaan Asia atas dasar persamaan hak bangsa-bangsa, serta politik yang dengan tegas dan tepat dijalankan olehnya, menuju pembangunan negara-negara merdeka dan lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, akhirnya telah menyebabkan Dai Nippon Teikoku menyatakan perang kepada Amerika dan Inggris. Perang Asia Timur Raya ini, yang berkebetulan dengan saat memuncaknya perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia yang lain, menjadilah sebagai puncak pertemuan perjuangan kemerdekaan segala bangsa Asia di daratan dan di kepulauan Asia.

Dengan mengakui dan menghargai tinggi keutamaan niat dan tujuan Dai Nippon Teikoku dengan Perang Asia Timur Raya itu, maka tiap-tiap bangsa dalam lingkungan Asia Timur Raya atas dasar pembelaan bersama, wajiblah menyumbangkan sepenuh tenaganya dengan tekad yang sebulat-bulatnya kepada perjuangan bersama itu, sebagai jaminan yang seteguh-teguhnya untuk keselamatan kemerdekaannya masing-masing.

Maka sekarang, telah sampailah perjuangan pergerakan Indonesia kepada saat yang berbahagia, dengan selamat-sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dan yang hidup sebagai anggota sejati dalam kekeluargaan Asia Timur Raya. Di depan pintu gerbang Negara Indonesia itulah rakyat Indonesia menyatakan hormat kepada semua pahlawan-pahlawan kemerdekaannya yang telah mangkat.

PEMBUKAAN (yang singkat):

Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang.

Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada KeTuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah rombakan dilaporkan kepada Panitia Perancang UUD yang diketuai Soekarno dan selanjutnya, naskah rombakan itu dilaporkan oleh Soekarno kepada rapat besar BPUPK tanggal 14 Juli 1945. Rapat besar menyetujui naskah tersebut.

Jelas terlihat perbedaan menyolok semangat dan gagasan yang terkandung dalam naskah rancangan Panitia-4 dengan naskah Mukaddimah rancangan Panitia-9. Sementara naskah Mukaddimah Panitia-9 mengandung semangat kemerdekaan sebagai hasil perjuangan bangsa dan menegaskan kemerdekaan murni bangsa Indonesia, naskah rancangan Panitia-4 menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas bantuan Jepang dan Indonesia merdeka adalah dalam rangka pembentukan dan untuk menjadi anggota keluarga Persemakmuran Asia Timur Raya yang dipimpin kekaisaran Jepang.

Semenjak itu, naskah Mukadimah UUD atau Piagam Jakarta 22 Juni 1945  yang dirancang oleh Panitia-9 yang diketuai Soekarno disingkirkan. Baru kemudian, pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta mengusulkan agar rancangan Mukadimah itu ”dihidupkan kembali” dan disetujui oleh rapat besar PPKI.

Setelah naskah Mukadimah yang dirancang Soekarno dkk disingkirkan, Tim Kecil Perancang UUD yang diketuai oleh Soepomo bekerja merancang UUD dengan merujuk kepada naskah Pernyataan Kemerdekaan dan naskah Pembukaan (yang singkat) itu, yang mempunyai isi dan semangat yang jauh berbeda dengan naskah Piagam Jakarta yang asli. Pada tanggal 13 Juli 1945 naskah UUD dilaporkan kepada Panitia Perancang UUD yang diketuai Soekarno dan selanjutnya Soekarno melaporkan rancangan itu pada rapat besar BPUPK. Naskah-naskah itu, Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan (singkat) serta Pasal-Pasal UUD disetujui BPUPK pada tanggal 15 Juli 1945. Selanjutnya, tanggal 18 Juli 1945 naskah tersebut dilaporkan pada Gunseikan (pemerintah milier Jepang). Tetapi sampai Jepang menyerah, tidak ada tanggapan apapun dari pihak Jepang mengenai rancangan-rancangan tersebut.

Namun, mengingat waktu kerjanya yang sangat pendek, dimulai tanggal 11 Juli 1945 dan selesai pada tanggal 13 Juli 1945, patut disangsikan apakah rancangan itu sebenarnya sudah disusun sebelumnya. Hal mana dihubungkan dengan catatan risalah BPUPK bahwa pada tanggal 31 Mei 1945, sebelum Soekarno menyampaikan pidato 1 Juni 1945, Soepomo telah menyampaikan gagasan-gagasannya yang berdasar paham kekeluargaan-integralistik,  “maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun.”[40]

Sistem pemerintahan dalam pasal-pasal UUD  dirancang oleh tim perancang UUD sesuai dengan alam pikiran dari konsepsi persatuan pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara (das Ganze der politischen Einheit des Volkes), sebuah aliran pikiran nasional-sosialis, yang menurut Soepomo sesuai dengan masyarakat Indonesia. Hal mana terlihat dalam penjelasan Soepomo tanggal 15 Juli 1945 yang menegaskan bahwa UUD disusun dengan “.. negara menyuburkan hidup kekeluargaan Asia Timur Raya. …kita insaf kepada kedudukan Indonesia sebagai negara dalam lingkungan Asia Timur Raya”.[41] Soepomo juga menegaskan bahwa UUD harus berdasar aliran yang sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia seperti yang telah diuraikannya dalam rapat BPUK tanggal 31 Mei 1945. Pada kesempatan itu, Soepomo mengatakan … negara Jerman nasional sosialis ….. berdasar atas aliran pikiran negara totaliter, ‘das Ganze der politischen Einhheit das Volkes’ (integrate theory). Prinsip ‘Pimpinan (Fuhrung) sebagai Kernbegriff (ein Totaler Fuhrerstaat)…. prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dab prinsip persatuan dalam negara seluruhnya cocok dengan aliran ketimuran.” Selanjutnya, Soepomo mengatakan “Tennoo adalah pusat rohani dari seluruh rakyat. Negara bersandar atas kekeluargaan. Keluarga Tennoo yang dinamakan ‘Koshitu’ ialah keluarga yang terutama. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia…… .. struktur kebatinan dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti…, antara rakyat dan  pemimpin-pemimpinnya……. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tatanegaranya yang asli….. Maka teranglah…..negara kita harus berdasar atas aliran (Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya…” [42]

Sistem pemerintahan dalam pasal-pasal UUD dirancang sesuai dengan alam pikiran dari konsepsi persatuan pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara (das Ganze der politischen Einheit des Volkes), sebuah aliran pikiran nasional-sosialis, yang menurut Soepomo sesuai dengan masyarakat Indonesia. Presiden adalah Bapak bangsa, pemimpin sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur (prinsip Fuhrung sebagai Kernbegriff-ein totaler Fuhrerstaat). Jelas bahwa nilai-nilai yang dianut dalam pasal-pasal batang tubuh UUD tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dianut Mukadimah yang dirancang Panitia-9.

Seperti diketahui, Soekarno menolak prinsip kepemimpinan Fuhrer (Fuhrer prinzip) seperti itu. Soekarno, menegaskan bahwa fasisme adalah faham yang bertentangan dengan jiwa Indonesia. Kepemimpinan Fuhrer mensyaratkan dan menciptakan Kadavergehorsam, yaitu kepatuhan buta seperti mayat.[43]

Demikian pula Mohammad Hatta, tegas menolak sistem yang menumbuhkan “cadaver discipline” seperti yang yang terjadi di Rusia dan Jerman.[44]

Pada tanggal 7 Agustus 1945, setelah secara faktual kalah, Jepang membubarkan BPUPK dan mendirikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).[45] Berbeda dengan BPUPK, PPKI tidak mempunyai anggota warga Jepang dan tidak mengharuskan PPKI melaporkan pekerjaan dan meminta persetujuan Jepang.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Melihat peluang dibalik kemerosotan kekuasaan militer Jepang, dengan didukung oleh semangat juang dan tekad bulat para pemuda, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia merebut kesempatan untuk merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pada waktu diproklamasikan, kecuali semangat para pejuang yang berkobar-kobar, Indonesia merdeka tidak mempunyai UUD, tidak memiliki pimpinan negara, tidak  memiliki lembaga-lembaga pemerintahan, tidak memiliki kekuatan militer terorganisir. Lembaga yang ada ialah PPKI yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945.

Pengesahan UUD 1945.

Demikianlah PPKI mengadakan rapat pleno pertama pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan acara antara lain untuk mengesahkan UUD dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pada awal rapat tersebut, Soekarno dan Mohammad Hatta  menjelaskan bahwa BPUPK tidak menyetujui naskah Mukadimah dan telah merombaknya menjadi 2 bagian, yang dikenal sebagai Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan (yang singkat).

Hatta menjelaskan: “dahulu ada sebuah Panitia Kecil yang telah merancang preambule untuk UUD kita. Tetapi kemudian sidang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai merubah preambule itu, dan memecahnya menjadi dua, ialah pernyataan Indonesia Merdeka dan pembukaan (yang singkat).”[46]

Pada rapat itu, Soekarno menegaskan bahwa “pernyataan kemerdekaan yang direncanakan oleh Panitia Penyelidik hendaknya dihapuskan sama sekali. Demikian pula kata pembukaan buatan Tyoosakai juga dihapuskan sama sekali, ..”.[47] Kemudian beliau menegaskan agar naskah Mukadimah 22 Juni 1945 kembali dihidupkan.

Demikian pula  Mohammad Hatta menjelaskan pula bahwa anggota-anggota PPKI mengusulkan untuk “menghilangkan pernyataan Indonesia Merdeka serta pembukaan dan menggantinya dengan pembukaan yang semula dirancang oleh Panitia Kecil,…. pendeknya, kita kembali kepada preambule yang lama.”[48]

Selanjutnya, dengan penyempurnaan yang dimungkinkan oleh kebesaran hati para Bapak-Ibu bangsa, rapat PPKI tanggal 18 Agustus menetapkan penyempurnaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan mengesahkannya menjadi Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan per-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rapat PPKI 18 Agustus 1945 berlangsung dalam suasana bebas dan merdeka, berbeda dengan rapat BPUPK yang diawasi dengan ketat oleh penjajah Jepang.[49]

Namun waktu rapat PPKI itu sangat terbatas, hanya tiga jam yang berlangsung dalam tiga tahap (10.00 – 11.04 WIB, 11.16 – 12.20 WIB dan 13.45 – 14.42 WIB), sementara pokok bahasan penting dan banyak. Rapat hanya sempat mengembalikan naskah Pembukaan yang asli, mengesahkan UUD, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden dan membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Khusus untuk penyempurnaan pasal dan ayat UUD disepakati untuk dilakukan  kemudian secepatnya.[50]

Kekuatan dan kelemahan UUD 1945 yang semula

  1. Kekuatan UUD 1945

Pembukaan adalah satu-satunya bagian dari UUD 1945 yang penyusunannya bebas dari tekanan dan pengaruh penguasa penjajah Jepang pada masa itu.

Pembukaan UUD 1945 mengandung kaidah fundamental negara (staats fundamental norm), prinsip kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila, nilai-nilai dasar, tujuan dan seperangkat perintah apa yang harus dilakukan dan dicapai oleh Indonesia merdeka. Pembukaan tidak hanya mengandung pernyataan-pernyataan ideal yang harus dipedomani, tetapi juga memuat perintah-perintah untuk dilaksanakan, sebagaimana tercantum khususnya dalam alinea ke-4.

Pembukaan UUD 1945 merupakan pernyataan kemerdekaan secara terperinci, sehingga merubah Pembukaan berarti membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia 17Agustus 1945. Ideologi bangsa, pandangan hidup dan dasar negara Indonesia Pancasila termaktub di dalam Pembukaan. Demikian pula prinsip kedaulatan rakyat sebagai dasar susunan negara.

UUD 1945 dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang banyak anggotanya  adalah tokoh-tokoh pejuang terkemuka yang dihormati dan yang telah berjuang semenjak zaman penjajahan Belanda untuk kemerdekaan Indonesia. UUD 1945 adalah simbol perjuangan dan harga diri bangsa Indonesia yang berhasil merebut dan menegakkan kemerdekaan. Nilai simbolik dan kejuangan UUD 1945 jauh melampaui nilai dan isi harafiahnya.

Walapun belum lengkap terperinci, UUD 1945 telah memuat beberapa fundamental hak-hak asasi manusia, seperti kesetaraan dan kebebasan beragama. UUD 1945 juga menganut ekonomi kesejahteraan untuk mewujudkan keadilan soial dan kesejahteraan bagi rakyat. UUD 1945 menganut sistim presidensil yang memberikan konsentrasi kekuasaan pada seorang presiden memimpin penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) yang seyogianya tidak mudah terombang-ambing seperti pada sistim parlementer. UUD 1945 menegaskan identitas bangsa Indonesia dengan bendera pusaka Sang Merah putih, dan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Bersama-sama dengan Sumpah Pemuda, identitas itu merupakan identitas konstitusional (constitutional identity), fundamen kebangsaan Indonesia yang bhinneka-tunggal-ika.

UUD 1945 yang semula (asli) tergolong sederhana dan tetapi mempunyai tata-cara untuk melakukan penyempurnaan atas dirinya (Pasal 3 dan Pasal 37), suatu tata-cara yang tidak biasa dalam sebuah konstitusi.

    2. Kelemahan UUD 1945.

UUD 1945 dirancang oleh sebuah BPUPK yang didirikan oleh kekuasaan militer penjajah Jepang untuk mewujudkan gagasan Wilayah Kesemakmuran Asia Timur Raya. Anggotanya dipilih dan diangkat oleh penguasa Jepang dan umumnya terdiri dari tokoh-tokoh pejuang yang telah semenjak zaman penjajahan Belanda berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, ini adalah langkah Jepang untuk mengkooptasi dan memanipulasi perjuangan nasional Indonesia untuk kepentingan geo-politik Jepang. Setiap hasil BPUPK harus dilaporkan kepada penguasa Jepang untuk memperoleh persetujuan.

Demikianlah aspirasi kemerdekaan Indonesia yang murni yang diperjuangkan oleh para tokoh pejuang kemerdekaan berhadapan dengan kepentingan geo-politik fasisme Jepang dan karena itu, hasilnya tidak luput dari berbagai kompromi. Hanya naskah Mukaddimah (Pembukaan) yang dirancang oleh sebuah tim informal yang terdiri dari 9 orang yang dipimpin oleh Soekarno yang luput dari pengawasan Jepang. Setelah Jepang kalah, naskah mukaddimah dipergunakan sebagai Pembukaan UUD dan dengan kesepakatan bersama, “7-kata” dihilangkan dari rancangan Pembukaan dan dari rancangan Pasal 29. Bagian lain naskah UUD tidak sempat ditinjau ulang dan disepakati untuk diperbaiki pada masa mendatang.

UUD 1945 semula (sebelum perubahan), mengandung nilai-nilai otoriter. Pernyataan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR telah menghilangkan intisari kedaulatan rakyat dan mengalihkannya menjadi kedaulatan lembaga negara, atau supremasi MPR.

Dari sisi lain, sistim supremasi MPR ditopang oleh sistim parlemen yang pada dasarnya labil. Presiden untergeordnert, tunduk dan bertanggung jawab pada MPR yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Demikianlah terjadi, Presiden Soekarno diturunkan oleh MPR(S) setelah susunan anggota MPR(S) di-redressed (1967). Presiden Habibie juga diberhentikan dengan mudah (1999). Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan dalam masa jabatannya setelah konstelasi politik di MPR tidak lagi mendukungnya (2001). Kecuali bila Presiden menguasai MPR, maka kedudukan Presiden selalu tidak stabil. Untuk dapat berkuasa Presiden harus menguasai MPR. Presiden Soekarno pernah mengusahakannya, antara lain melalui pembentukan Front Nasional, mencanangkan gagasan NASAKOM, pengangkatan Presiden seumur hidup, tetapi gagal.

Sementara itu, Presiden Suharto, melalui GOLKAR dan tiga jalurnya, berhasil menguasai MPR dan dapat terus-menerus berkuasa selama tigapuluhan tahun.

Pada awalnya, sistem MPR digagas dalam satu paket dengan sistim partai tunggal. Pembentukan partai tunggal, yang dinamakan Partai Nasional Indonesia, diputuskan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 22 Agustus 1945,[51] hanya saja dibatalkan tanggal 31 Agustus 1945 karena ditentang Sekutu/Belanda, pemenang PD II.  Sesuai dengan perjanjian Kairo 1 Desember 1943, semua wilayah eks-jajahan negara-negara Sekutu yang direbut Jepang harus dikembalikan kepada penguasa sebelumnya. Artinya Hindia Belanda harus dikembalikan pada  Belanda.

Tetapi sistim partai tunggal adalah sistim totaliter, sebagaimana biasa diterapkan di negara-sosialis kiri dan negara fasis. Sistim MPR hanya akan stabil bilamana dilakukan dalam sistim totaliter. Dalam sistem itu, semua lembaga (tinggi) negara, termasuk lembaga yudisial (kehakiman), bertanggung jawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang kekuasaannya yang tidak terbatas. Disain ini telah mengakibatkan UUD 1945 tidak memiliki mekanisme checks and balances yang amat diperlukan dalam sebuah sistim demokrasi.

Soepomo memang menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan berdasar prinsip trias politica. Kegiatan kenegaraan diharapkan berlangsung dengan baik dengan bertumpu pada semangat para penyelenggara negara yang diharapkan arif dan bijaksana,[52]  sesuatu yang tidak mungkin karena hakekat manusia yang tidak lepas dari egoisme dan ketamakan.[53]

UUD 1945 juga mempunyai pasal dan ayat yang ambigu, multi-tafsir. Satu masa jabatan presiden dinyatakan 5 tahun, tetapi tidak tegas dibatasi sampai berapa kali seorang Presiden dibolehkan menjabat (Pasal 7). Presiden Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Presiden Suharto menjabat sebagai presiden selama 7 kali masa jabatan berturut-turut. UUD tidak menegaskan kebebasan berserikat dan berpendapat itu sebagai hak yang eksis. Kebebasan itu hanya ada bila undang-undang menetapkannya ada (Pasal 28). Pasal 33 tentang kesejahteraan sosial membuka kemungkinan bagi negara melakukan ekonomi serba-negara (etatisme).

UUD 1945 yang asli juga tidak mengatur mengenai pemilihan umum, sebuah mekanisme guliran pemegang kekuasaan yang amat penting dalam membatasi kekuasaan pemerintah dan untuk kanalisasi keinginan rakyat. Tidak adanya aturan tentang pemilu didalam UUD 1945 bukanlah hal yang kebetulan. Dalam penjelasannya, Soepomo mengatakan bahwa pemilihan umum oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya tidak dapat dibenarkan karena cara itu berdasarkan konsep individualisme, cara parlementer, cara demokrasi Barat, yaitu sistem yang mempersamakan manusia satu dengan lainnya seperti  angka-angka yang sama harganya. Pemimpin harus dipilih oleh badan permusywaratan agar pemimpin bersatu dengan rakyatnya.[54] Pendapat Soepomo ini sejalan dengan pendapat Bodin yang mengatakan bahwa sistim kedaulatan rakyat adalah sistim yang terburuk, karena dalam sistim demokrasi kedaulatan rakyat, hak suara dihitung berdasarkan jumlah, bukan ditimbang, sementara jumlah rakyat yang bodoh, para penipu dan pendosa jumlahnya ribuan kali lebih banyak dari mereka yang jujur.[55]

Disamping itu, UUD 1945 yang asli memahami hak-hak asasi manusia identik dengan individualisme, sementara individualisme adalah induk dari maraknya sistem kapitalisme dan exploitation de l’homme par l’homme.[56] Padahal, hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak menyangkut kepentingan diri-pribadi saja, tetapi juga kepentingan manusia sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk yang hidup dalam alam sekitarnya (lingkungan). Dengan demikian hak-hak pribadi dibatasi juga oleh hak pribadi yang lain dan kepentingan lingkungan.

Kelemahan lain adalah Penjelasan UUD 1945, yang menjadi bagian UUD 1945 pada Oktober 1945, memuat alur pikir yang justru memperkuat paham kedaulatan negara dalam UUD 1945.

Proses perubahan UUD 1945.

Krisis politik akhir tahun 1990-an dan mundurnya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998 telah membuka kesempatan untuk melakukan reformasi atas UUD 1945.[57] Diawali dengan kesepakatan politik nasional untuk melakukan demokratisasi UUD 1945, proses reformasi dimulai dengan membentuk MPR yang demokratis melalui pemilu demokratis tahun 1999.

Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara konstitusional, dengan cara musyawarah mufakat, bertahap dan berkesinambungan. Tidak setiap perubahan dapat diselesaikan dalam satu tahap, sehingga banyak perubahan dibicarakan dalam beberapa tahapan dan baru dapat diselesaikan pada tahapan berikut. Kenyataan ini sering menimbulkan salah pengertian, seolah-olah UUD 1945 telah mengalami 4 kali perubahan. Seolah-olah UUD 1945 setelah diubah tahun 1999, diubah kembali pada tahun 2000 dan seterusnya. Sesungguhnya, perubahan yang telah dilakukan pada suatu tahap tidak lagi mengalami perubahan pada tahapan berikutnya, kecuali untuk penyesuaian teknis, seperti pemberian nomor ayat. Demikianlah UUD 1945 telah mengalami perubahan dalam proses amandemen yang berlangsung berkesinambungan dalam 4 tahapan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.

Amandemen dilakukan oleh sebuah lembaga yang menurut UUD 1945 berwenang untuk itu, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan menggunakan alat kelengkapannya. Perubahan telah dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945. Untuk diketahui, tidak banyak konstitusi yang dilengkapi dengan tata cara untuk melakukan perubahan terhadap dirinya sendiri. Umumnya, sebuah konstitusi berada diluar sistem politik sehingga perubahannya biasa dilakukan dengan cara tidak konstitusional atau bahkan dengan cara revolusi. Dari sisi itu, UUD 1945 tidak berada diluar sistim politik tetapi berada di “bagian atas” nya, sehingga perubahan dapat dilakukan menurut ketentuan konstitusi. Tetapi persyaratan untuk melakukan perubahan lebih tinggi dan lebih berat daripada melakukan perubahan atas peraturan perundang-undangan biasa.

Perubahan terhadap UUD 1945 dimulai dengan kesepakatan politik dari kekuatan utama reformasi, yaitu kekuatan oposisi yang diwakili Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais dengan Presiden B.J. Habibie dan pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kesepakatannya adalah untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 secara konstitusional, artinya berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan dengan tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, dasar negara Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[58]

Gagasan untuk mengganti UUD 1945 dengan sebuah UUD yang baru, tidak memperoleh dukungan masyarakat karena berbahaya bagi eksistensi negara Proklamasi. Kekuatan politik utama Indonesia, berpendapat bahwa UUD 1945, walapun mengandung kelemahan, mengandung pandangan hidup bangsa dan memiliki kekuatan yang amat diperlukan bagi bangsa Indonesia. Upaya untuk mempertahankan UUD 1945 tetap seperti semula, tidak memperoleh dukungan.

Karena muatan Pembukaannya dan peran sejarahnya, UUD 1945 terlepas dari kekurangannya, amat dihormati sebagai lambang kemenangan perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Menggantinya dengan UUD yang baru akan berisiko memecah belah bangsa dan sangat mungkin Indonesia akan hilang dari peta dunia.

Selanjutnya dilaksanakan pemilihan umum tahun 1999 yang demokratis untuk membentuk MPR baru yang kredibel guna melakukan amandemen terhadap UUD 1945.[59]

Sidang Umum MPR Oktober 1999 memulai amandemen UUD 1945 dan terus berlanjut pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan selesai pada Sidang Tahunan MPR 2002. MPR juga menyepakati bahwa yang menjadi obyek perubahan adalah UUD 1945 sebagaimana ditetapkan melalui dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, bukan UUD 1945 sebagaimana ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Berbeda dengan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 yang hanya terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh, UUD 1945 yang diberlakukan kembali pada tanggal 5 Juli 1959 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan.[60] Disamping itu, UUD 1945 yang ditetapkan dengan Dekrit 5 Juli 1959 menyatakan dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa Piagam Jakarta adalah dalam satu rangkaian dengan dan menjiwai UUD 1945.

Perubahan dilakukan dalam suatu proses yang berinteraksi langsung dengan permasalahan politik yang sedang melanda. Proses dilakukan oleh para pelaku politik yang sehari-hari berada dan aktif di tengah pusaran politik, yang terpilih melalui pemilu yang demokratis, bukan oleh mereka yang berada di dalam menara gading. Perubahan dilakukan dengan melakukan ratusan rangkaian dengar pendapat publik, rangkaian seminar, menerima masukan lisan dan tertulis dari masyarakat. Dengar pendapat publik, seminar, workshops, forum uji-shahih, dan lain-lain itu dilakukan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Keputusan diambil melalui permusyawaratan yang panjang dan sejauh mungkin menghindari pemungutan suara, menghindari proses “winner takes all”. Yang diutamakan bukan keindahan susunan kata-kata, tetapi memenangkan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum yang dapat diterima semua pihak. Dengan perkatan lain prosesnya adalah representatif, inklusif, terbuka dan mencari kesepakatan, bukan proses elitis dan eksklusif.

Pada akhirnya, semua keputusan mengenai perubahan UUD 1945 diambil dengan musyawarah mufakat, kecuali satu perubahan, yaitu mengenai penghapusan anggota MPR utusan golongan yang diangkat, keputusannya diambil dengan pemungutan suara.[61]

Fakta-fakta diatas, yaitu bahwa amandemen UUD 1945 dilakukan secara musyawarah dalam suatu proses yang terbuka dan kerkesinambungan,  tanpa naskah siap pakai, dan bahwa semua perubahan diputuskan secara musyawarah mufakat, kecuali satu yang diputuskan dengan cara pemungutan suara, menegaskan bahwa amandemen adalah hasil murni bangsa Indonesia melalui MPR. Tidak ada campur tangan apalagi kendali pihak luar dan atau pihak asing.

Amandemen UUD 1945

  1. Perubahan teknis

Setelah hal-hal normatif dalam Penjelasan yang sesuai dengan paham konstitusionalisme dipindahkan kedalam pasal-pasal UUD, Penjelasan dihapus. Selanjutnya UUD 1945 setelah amandemen hanya terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal.[62] UUD 1945 yang semula mempunyai Pembukaan, 16 Bab, 37 Pasal dan 65 ayat. Disamping itu terdapat 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 Pasal dan 1 Aturan Tambahan  yang terdiri atas 2 Ayat, dan Penjelasan.

UUD 1945 hasil amandemen terdiri atas Pembukaan, 20 Bab, 73 Pasal dan 194 Ayat. Disamping itu terdapat 1 Aturan Peralihan yang terdiri dari 3 Pasal dan 1 Aturan Tambahan yang terdiri dari 2 Pasal.[63]

    2. Perubahan substantif

Berbagai perubahan substantif dilakukan selama 4 tahapan amandemen. Diantaranya adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini.

  • Dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi

Semula, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Setelah melalui pembahasan selama 2 tahun, pada amandemen tahap ke-3, pasal itu diubah menjadi “kedaulatan rakyat adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan itu disimpulkan setelah terjadi penegasan, perkuatan fungsi-fungsi dan penyetaraan kedudukan lembaga negara eksekutif, legislatif dan judikatif dalam rangka membangun mekanisme checks and balances dalam UUD. Dapat dikatakan bahwa inilah salah satu perubahan fundamental atas UUD 1945 bersama dengan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum [Pasal 1 ayat (3)].

Dengan perubahan itu, landasan pengaturan dan pembatasan kekuasaan diatur oleh konstitusi, dan bukan oleh kehendak suatu lembaga negara. Selanjutnya, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan prosedur di dalam konstitusi yang mengarahkan dan menjadi rujukan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehendak politik MPR dan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi rujukan tertinggi negara. Dengan perkataan lain, kekuasaan negara ditundukkan kepada konstitusi, yang adalah hukum tertinggi.

Dengan penegasan itu Indonesia menganut demokrasi konstitusional, tidak menganut demokrasi majoritarian atau bentuk demokrasi lainnya.

Prinsip-prinsip negara Indonesia, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, bentuk negara kesatuan, kebangsaan bhinneka-tunggal-ika adalah final. Ketentuan final tersebut bersama ketentuan-ketentuan konsitusional UUD 1945 adalah bingkai yang membentuk ruang kehidupan bernegara, termasuk ruang ber-demokrasi.

Oleh karena Pancasila adalah ideologi terbuka yang memerlukan dialog yang berkesinambungan, maka pada dasarnya ruang yang dibentuk oleh ideologi Pancasila, bentuk negara NKRI, paham kebangsaan bhinneka tunggal ika dan UUD 1945 itu adalah ruang yang luas sekali.

Namun ruang luas itu tetap ada batasnya dan kehidupan demokrasi tidak boleh bekerja diluar bingkai UUD 1945 itu.

Tetapi sejarah mencatat bahwa pada dekade awal reformasi kita pernah abai, menganggap bahwa kebebasan tanpa batas, termasuk gerakan terbuka untuk mengganti Pancasila dan membubarkan NKRI adalah sekedar konsekuensi ber-demokrasi yang tidak diinginkan (unintended consequences of democracy). Sampai sekarangpun, dampak dari kebablasan itu masih terasa mengganggu.

  • Penegasan Indonesia negara hukum

UUD 1945 setelah amandemen juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum [Pasal 1 ayat (3)]. Penegasan itu dinyatakan setelah proses amandemen menyepakati prinsip-prinsip yang merupakan unsur negara hukum seperti penghormatan pada hak-hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), proses peradilan yang adil, mekanisme checks and balances dan sirkulasi kekuasaan pemerintahan melalui pemilihan umum yang demokratis dan berkala.

  • Hak-hak asasi manusia

Pasal 28A s/d 28J mengokohkan bahwa UUD 1945 mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai hak dasar yang melekat pada manusia, bukan pemberian negara. Disamping itu hak-hak asasi seseorang dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain dan lingkungan yang dijamin dan diatur dengan undang-undang.

Dengan dicantumkannya hak-hak itu, maka ketentuan Pasal 27 dan pasal 28 mengenai hak-hak dasar warganegara yang telah ada sebelumnya pada UUD 1945 memperoleh penguatan. UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

UUD 1945 menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable/non-alienable rights).

Selanjutnya UUD 1945 menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pembatasan atas hak asasi manusia hanya bisa dilakukan berdasarkan undang-undang dan demi untuk menegakkan hak asasi itu sendiri.

Pada sisi yang lain, UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

  • Kekuasaan kehakiman yang merdeka

Amandemen tahap ke-3 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Kekuasaan kehakiman tidak lagi berada dibawah dan tunduk pada kekuasaan politik seperti pada masa lalu, dimana kekuasaan kehakiman berada dibawah dan bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara MPR yang adalah lembaga politik. Dengan berdasarkan kepada prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ditengah-tengah kemajemukan norma masyarakat majemuk, UUD menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai mahkamah kasasi.

Menyadari bahwa pada akhirnya realisasi kekuasaan kehakiman sangat ditentukan oleh kualitas hakim, maka UUD 1945 juga memerintahkan pembentukan Komisi Yudisial yang berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan dan integritas hakim.

Dengan demikian, UUD 1945 menegaskan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus dibarengi oleh akuntabilitas kekuasaan kehakiman.

  • Pembentukan undang-undang

Amandemen memindahkan kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat. Namun demikian, UUD 1945 mensyaratkan bahwa sebuah Rancangan Undang-Undang sebelum dapat dilanjutkan menjadi Undang-Undang harus memperoleh persetujuan bersama dengan Presiden. Tata-cara ini untuk menjamin adanya kebersamaan dan musyawarah antara DPR dengan Presiden dalam membentuk UU sebagai pengejawantahan UUD 1945.

Dalam proses demikian, yang akan terjadi adalah musyawarah untuk mufakat karena tidak ada pihak yang dapat memaksakan kehendaknya dimana masing-masing pihak bertanggung jawab untuk menjaga kesesuaian UU terhadap UUD. Karena itu Presiden tidak memerlukan hak veto. Kalaupun ternyata DPR dan Presiden alpa sehingga UU tidak sesuai dengan UUD, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menjaga konsistensi UU terhadap UUD.

Dengan demikian, pada dasarnya, yang menjadi penentu substantif sebuah undang-undang adalah kesesuaian sebuah undang-undang terhadap UUD 1945, bukan ditentukan oleh jumlah suara pendukung sebuah rancangan undang-undang.

Sesungguhnya, DPD mempunyai peran penting dalam pembentukan undang-undang tertentu. DPD bertugas untuk menyuarakan kepentingan khas daerah dalam permusyawaratan nasional pembentukan undang-undang. Walaupun DPD tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan, tetapi UUD mengharuskan keterlibatan DPD dalam permusyawaratan pembuatan undang-undang. DPD tidak sekedar menyampaikan masukan awal.

  • Constitutional review dan judicial review

Kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar menempatkan UUD sebagai hukum tertinggi. Dalam kerangka itu, peraturan perundangan tersusun secara hierarkis dalam bentuk piramida dimana UUD berada dipuncak piramid.

Untuk menegakkan prinsip itu, amandemen UUD menyatakan ada kewenangan untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) undang-undang terhadap UUD dan membentuk Mahkamah Konstitusi untuk mengemban kewenangan tersebut.

Untuk menguji taat asas peraturan perundang-undangan terhadap UU, UUD memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian (judicial review).

Hak uji konstitusionalitas UU terhadap UUD oleh MK dan uji judisial oleh MA adalah juga bagian daripada mekanisme checks and balances.

Pada sisi lain, kewenangan uji judisial oleh MA atas peraturan daerah (perda) tidak menghilangkan kewenangan Presiden untuk menguji dan kalau perlu membatalkan peraturan daerah (executive review) yang dihasilkan perangkat pemerintahan daerah yang merupakan perangkat di dalam dan di bawah kewenangan Presiden didalam negara kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, pada pihak lain, daerah berhak mengajukan keberatan atas pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah pusat melalui pengadilan (judicial review).

  • Pemilihan umum

Jika sebelumnya pemilihan umum (pemilu) diatur oleh undang-undang biasa, UUD 1945 setelah amandemen menegaskan bahwa sirkulasi kepemimpinan nasional harus dilakukan berkala 5 tahunan melalui pemilu yang luber dan jurdil  (langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur, dan adil).

UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan pasangan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan langsung oleh rakyat. UUD juga mengatur bahwa pemilu anggota badan perwakilan dan pemilihan presiden dilakukan serentak dan calon presiden/wakil presiden sudah diajukan sebelum pemilu.

Syarat untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden juga diubah dan disesuaikan dengan hakekat kebangsaan Indonesia yang bhinneka-tunggal-ika. Pada UUD 1945 yang lama, Pasal 6 Ayat (1) mengatakan bahwa Presiden adalah orang Indonesia asli. Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen menghapus konotasi diskriminatif itu dan menegaskan bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam perubahan UUD 1945, PAH I tidak memasukkan pilkada dalam kelompok pemilu pada umumnya. Hal itu karena UUD 1945 pada dasarnya memberi ruang untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tidak seragam, tetapi disesuaikan dengan kekhasan daerah, seperti kekhasan tradisi dan sejarah pemilihan kepala daerah/gubernur DIY Yogyakarta atau kekhasan lain yang perlu dipertimbangkan seperti yang tertuang dalam Pasal 18B dan Pasal 28I (3).

Pada sisi lain perlu menjadi perhatian, bahwa apabila pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui  pemilu langsung, seyogianya sistim itu mengikuti prinsip pemilu yang diatur oleh UUD 1945 bahwa calon kepala daerah diajukan oleh partai politik peserta pemilu. Calon perorangan, walau sepertinya menjadi faktor koreksi terhadap kelemahan partai politik, berpotensi menaburkan perpecahan dikalangan masyarakat, karena akan mendorong politik primordial dan sektarian yang cenderung dilakukan calon perorangan. Disamping itu akan mengganggu pembangunan dan konsolidasi sistim kepartaian yang masih perlu dilanjutkan.

Disamping itu, pelaksanaan pilkada seperti itu, demikian juga pemilu dengan sistim daftar terbuka, amat mahal dan rentan terhadap penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi.

  • Partai politik

Salah satu kesepakatan awal dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah untuk mempertahankan sistim presidensil sedangkan jumlah partai politik (parpol) peserta pemilu 1999 cukup banyak, 48 parpol. Ada potensi ketidak serasian sistim parpol dengan sistim presidensil.

Berbeda dengan sebelumnya, UUD 1945 dengan jelas menempatkan parpol sebagai instrumen konstitusi. Pasal 6A (2) dan Pasal 22E (3) menegaskan peran parpol sebagai pengusul calon dalam pemilihan presiden (pilpres) dan peserta pemilu DPR/DPRD.

Diperlukan langkah-langkah agar parpol benar-benar menjadi alat konstitusi untuk melakukan fungsi-fungsi parpol yang sehat dan seharusnya. Pertama, fungsi pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedua, sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Ketiga, membangun partisipasi politik warga negara Indonesia dan penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Keempat, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kemampuan, kesetaraan dan keadilan gender.

Untuk itu diperlukan kebijakan negara untuk membiayai kegiatan parpol, termasuk kegiatan pendidikan politik dan kampanye pemilu.

Dalam pemilu, parpol benar-benar berfungsi melakukan rekrutmen calon secara terbuka, dengan menerapkan persyaratan pendidikan kader dan sistim calon nomor urut tertutup. Dalam keadan itu, parpol bertanggung jawab penuh sebagai penyelenggara kampanye.

Kita mencatat bahwa sistim nomor urut terbuka telah mendorong politik individualistis dan transaksional. Kekuatan uang dan jaringan primordial perorangan telah sangat berperan mengalahkan peran parpol sebagai instrument pendidikan politik dan rekrutmen pemimpin bangsa. Pada umumnya, peran parpol telah merosot sekedar menjadi perantara (broker) dengan segala akibatnya. Pada keseluruhannya, inilah salah satu penyebab utama merosotnya nilai demokrasi kita.

Dengan tetap menghormati hak dan kebebasan warganegara membentuk parpol, kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) progresif perlu diterapkan agar jumlah efektif parpol sesuai dengan sistim presidensil.

  • Wilayah Negara.

Sebuah bab baru tentang wilayah negara, Bab IXA dengan Pasal 25A ditambahkan. Pasal ini menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Bab dan Pasal ini adalah pengukuhan kesatuan wilayah NKRI juga meliputi lautan disekitar, diantara dan didalam kepulauan Indonesia, sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.[64]

Dengan ketentuan ini, maka lautan Nusantara tidak lagi merupakan pemisah tetapi adalah pemersatu Nusantara Indonesia.

  • Pendidikan dan kebudayaan

UUD menegaskan fungsi pendidikan dan kebudayaan sebagai sarana perubahan sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.[65] Untuk itu, Pasal 31 diamandemen dengan penegasan bahwa warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sejalan dengan itu, UUD 1945 memprioritaskan anggaran pendidikan dan menetapkan anggarannya minimum 20% dari APBN dan APBD. Juga ditegaskan bahwa pendidikan adalah sarana dan wahana untuk pembangunan sisi spiritual generasi muda.

Dalam bidang kebudayaan, UUD setelah amandemen memberi arahan agar budaya nasional berkembang terbuka dan berdasar pada nilai-nilai budaya masyarakat. Budaya yang dibangun adalah budaya yang menjadi pondasi untuk membangun budaya percaya diri, dapat dipercaya, bekerja keras, mampu bersaing dan mampu bekerjasama.

Secara khusus dinyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian, budaya dan bahasa Indonesia akan mempunyai dasar pertumbuhan yang kaya.

Oleh karena itu, memajukan budaya Indonesia adalah bagian dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk membangun insan Indonesia dengan berlandaskan nilai budaya yang amat beragam menjadi insan yang berbudaya tangguh sebagai penerus cita-cita dan pembela identitas serta nilai-nilai kebangsaan Indonesia, berkarakter moral etik dan spiritual yang kokoh dan mampu berfikir cerdas dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni.

Dalam kerangka itu, dengan mempertimbangkan isi dan makna penyempurnaan Pasal 31 tentang Pendidikan dan Pasal 32 tentang Kebudayaan MPR  juga berkesimpulan untuk mengubah judul bab yang bersangkutan dari Bab XIII tentang Pendidikan menjadi Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan.

  • Ekonomi nasional dan kesejahteraan sosial.

Pasal 33 dan Pasal 34 mengalami perubahan agar supaya semakin tegas bahwa perekonomian dikembangkan untuk mencapai keadilan sosial, dimana pemerintah diharuskan berada dalam posisi pro-aktif dalam perekonomian pasar sosial (social market economy). Sekaligus amandemen mencegah ekonomi pasar bebas di satu pihak dan ekonomi serba negara (etatisme) dilain pihak.

Selanjutnya amandemen UUD 1945 menegaskan tanggung jawab pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup mereka yang kurang beruntung sebagai bagian daripada upaya pemenuhan hak asasi manusia (social human rights).

Bersama-sama dengan Pasal 31 tentang Pendidikan dan Pasal 32 tentang Kebudayaan, sebenarnya Indonesia menganut pendekatan pembangunan substantif untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial adalah, bukan pendekatan egalitarian, pendekatan utilitarian ataupun pendekatan libertarian. Dalam pendekatan substantif, manusia Indonesia harus dibekali kemampuan, baik kesehatan maupun pengetahuan dan ketrampilan, demikian juga kekayaan spiritual dan sikap hidup, agar pembangunan infrastruktur dan sebagainya memberikan dampak kemajuan yang maksimal bagi setiap warga dan seluruh masyarakat.

  • Desentralisasi, otonomi dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah

Seperti telah dikemukan di depan, Indonesia adalah sebuah negara besar. Dengan jumlah penduduk 260 juta-an (BPS 2010: 237,1 juta jiwa), Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Indonesia memiliki 1.128 suku besar dan kecil dan mempunyai 737 bahasa dan dialek yang aktif, yang mendiami negara kepulauan dengan 13.466 pulau besar dan kecil. Semua agama besar dunia mempunyai pengikut di Indonesia, dengan mayoritas 86,1 % memeluk agama Islam.[66] Puluhan kerajaan besar dan kecil pernah eksis di bumi Nusantara. Budaya kita memperlihatkan lapisan-lapisan pengaruh kepercayaan asli, Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen yang terbentuk sepanjang sejarah. Selama tiga-ratusan tahun, wilayah kepulauan ini terikat dibawah satu kekuasaan penjajahan.

Dalam latar belakang demikian, melalui Sumpah Pemuda, kebangsaan Indonesia lahir pada awal abad ke-20, sebagai kebangsaan yang bersatu oleh cita-cita bersama, bhinneka-tunggal-ika, bukan oleh persamaan suku, agama, ras dan asal-usul. Kebangsaan seperti ini adalah kebangsaan tipe demos, untuk membedakannya dengan kebangsaan tipe etnos yang dibangun berdasarkan sentimen persamaan suku, agama atau ras.

Dengan karakteristik demikian, para pendiri negara berkesimpulan bahwa bentuk negara yang cocok adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang dapat memberi ruang bersama tanpa sekat bagi bangsa Indonesia yang amat majemuk itu.

Namun adalah suatu kenyataan bahwa penyebaran penduduk Indonesia tidak merata. Demikian pula tingkat kemajuan daerah tidak seimbang. Sedemikian sehingga dalam sejarah sering terjadi ketegangan antara pemerintah Pusat yang berada di Jakarta, pulau Jawa dengan daerah. Daerah sering merasa diperlakukan tidak adil oleh Pusat.

Masa amandemen juga diwarnai oleh pergolakan daerah.[67] Dalam proses amandemen disimpulkan bahwa yang penting adalah agar setiap wilayah dapat mengembangkan kemajuan sebesar-besarnya dan Pusat mendukung agar terjadi keseimbangan dan keadilan.

Bentuk negara federal bukan pilihan karena asal-usul wawasan kebangsaan Indonesia yang bhinneka-tunggal-ika dan sejarah perjuangan pembentukan negara Indonesia dan tidak sesuai dengan hakekat negara federasi. Juga akan sulit menetapkan batas negara-negara bagian yang memuaskan setiap kelompok suku, asal usul dan kelompok premordial lainnya yang amat banyak itu.

Seiring dengan itu amandemen menyimpulkan bahwa dalam konteks memperbaiki ketimpangan perkembangan daerah, kita tidak usah terperangkap pada istilah bentuk perwakilan bi-kameral atau mono-kameral. Yang penting adalah adanya mekanisme untuk mengelola aspirasi daerah untuk keadilan dan kemajuan bersama dalam suatu negara kesatuan.

Disamping itu, dalam negara kesatuan sumber kedaulatan adalah rakyat. Tidak seperti negara federal dimana sumber kedaulatan adalah rakyat dan negara bagian.

Oleh karena itu MPR memutuskan untuk melakukan desentralisasi dan otonomi di satu pihak dan dilain pihak untuk membentuk lembaga negara baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Dengan pendekatan otonomi, desentralisasi serta pembentukan DPD, pembangunan daerah dapat lebih berimbang. DPD adalah sui generis, unik dan khas Indonesia, bukan dibangun berdasar teori bi-kameral tetapi berdasar keperluan bangsa Indonesia yang majemuk dan mempunyai wilayah kepulauan yang luas untuk maju bersama-sama dengan berkeadilan dalam negara kesatuan.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD-RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950)

Setelah agresi Belanda tahun 1947 dan 1949, sesuai perjanjian Linggarjati (1947), Renville (1948) dan Roem-Royen (1949), dan dibawah tekanan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,[68] diadakan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.[69] KMB dihadiri perwakilan Republik IndonesiaBelanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Hasil KMB antara lain adalah pengakuan berdirinya Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada masa itu, NKRI adalah salah satu negara bagian yang berkedudukan dalam wilayah DI Yogyakarta.

Bersamaan dengan KMB juga berlangsung perundingan antara Belanda dengan Indonesia untuk menyusun UUD Negara Indonesia Serikat. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Soepomo.[70] Perundingan juga dihadiri wakil dari PBB. Perundingan menghasilkan UUD-RIS, yang menetapkan Indonesia sebagai Negara Serikat dan menggunakan sistim parlementer.

Tetapi, atas desakan rakyat dan tuntutan wakil-wakil dari Negara Bagian, pada tanggal 19 Mei 1950 wakil-wakil Negara Bagian dan pemerintah federal RIS sepakat untuk kembali menjadi NKRI. Kenyataan ini menunjukkan kuatnya nasionalisme rakyat Indonesia. Pada  tanggal 17 Agustus 1950, kurang dari 6 bulan setelah pembentukan RIS, Indonesia resmi kembali menjadi negara kesatuan.

Sejalan dengan itu, UUD-RIS diganti dengan UUDS 1950 yang antara lain menetapkan akan membentuk UUD baru dan untuk menyelenggarakan pemilu guna membentuk DPR dan Konstituante.[71]

Baik UUD-RIS maupun UUDS menganut sistim parlementer, menghormati HAM, dsb. Hanya saja, UUD-UUD tersebut tidak dirancang oleh wakil-wakil rakyat yang terpilih secara demokratis dan konstitusional tetapi oleh mereka yang ditunjuk dan mereka bekerja tertutup.

Pada masa UUDS 1950, keadaan politik goncang, pemerintahan silih berganti dan ekonomi merosot tajam. Dikalangan masyarakat tumbuh ketidak puasan yang semakin hari semakin meningkat. Konstituante yang bekerja  tahun 1956-1959 tidak berhasil membentuk UUD baru. Walau sebagian besar bagian-bagiannya telah rampung, namun tidak tercapai kesepakatan mengenai dasar negara.

Ditengah-tengah goncangan politik, pemberontakan di daerah dan kemerosotan ekonomi, dengan dukungan kuat TNI, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang menetapkan kembali menggunakan UUD 1945. Dalam dekrit ditegaskan bahwa UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Disamping itu, pertimbangan dekrit menyatakan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai dan dalam satu rangkaian dengan UUD.

Penutup

Dari uraian diatas tampak bahwa UUD 1945 mempunyai dua sisi, yaitu, sisi pertama, sebagai simbol kemenangan perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan UUD 1945, simbol persatuan dan rujukan identitas diri sebagai bangsa. Di sisi lainnya, sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi bangsa dan Negara Indonesia.

Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi aturan-aturan dan ketentuan tentang hal-hal yang mendasar dalam kehidupan negara Indonesia, seperti pembatasan kekuasaan pemerintah dan jaminan hak-dasar rakyat. Sebagai hukum tertinggi, UUD 1945 berada dipuncak piramida peraturan hukum (supreme law of the land) serta mempunyai keabsahan (validitas) yag lebih tinggi dibanding perundangan biasa. Sebagai hukum tertinggi, UUD 1945, termasuk Pembukaan yang mengandung Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara, harus dihormati dan ditaati oleh semua, oleh Pemerintah dan seluruh rakyat, termasuk organisasi kemasyarakatan. Setiap penyimpangan dan pelanggaran terhadap UUD 1945 wajib ditindak.

UUD 1945 juga dikategorikan sebagai sebuah konstitusi yang normatif dan merupakan resep yang harus diterapkan untuk mengendalikan proses kehidupan bernegara. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 yang adalah hukum tertinggi, memberi landasan dan arah bagi peran hukum dan kebijakan negara sebagai pranata (instrumen) perubahan sosial, sarana rekayasa dan pembaharuan masyarakat, untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh rakyat Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun, karena amandemen UUD 1945 dilakukan secara damai dan konstitusional, ada kemungkinan berbagai pemahaman lama, peraturan-peraturan lama dan prosedur-prosedur lama masih tetap berpengaruh. Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan telah terjadi bias dalam pembuatan undang-undang organik. Berbagai gagasan yang tidak dapat diterima pada masa perubahan UUD 1945 telah diusahakan masuk ke dalam undang-undang.

Pada akhirnya, perlu diingat bahwa semua peraturan perundang-undangan, lembaga-lembaga negara dan birokrasi pada dasarnya adalah alat pelaksana UUD 1945, bukan sebagai atasan UUD 1945.[72]

Penting diperhatikan agar lembaga-lembaga negara bekerja sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Jangan sampai lembaga negara menambah atau mengurangi tugasnya, atau juga  mengubah hakekat keberadaannya.

Perlu juga dicatat, bahwa pen-gaku-an (claimed) oleh berbagai pihak, dalam dan luar negeri, seolah mereka telah berhasil mendikte dan merekayasa amandemen UUD 1945 adalah tidak berdasar. Semua perubahan adalah hasil karya sistim dan proses politik konstitusional Indonesia, yang dilaksanakan oleh PAH III, PAH I dan MPR serta pimpinan Partai-Partai Politik dan Pimpinan Negara dengan keterlibatan masyarakat luas.

 

Referensi, a.l.:

  1. Benda, J. Harry, James K. Irikura, Koichi Kishi, Japanese Military Administration in Indonesia: Selected Documents. Document no. 6. Translation Series no. 6, Southeast Asia Studies, Yale University, 1965.
  2. Bodin, Jean (1530-1596), On Sovereignty, Six Books of the Commonwealth, abridged and translated by M.J. Tooley, Seven Treasures Publications, 2009.
  3. Daulat Ra’jat, No. 1, 20 September 1931, dalam Karya Lengkap Bung Hatta, LP3ES, 1998, hal. 342.
  4. Duus, Peter, The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere, Dream and Reality, Stanford University, Journal of Northeast Asian History, Volume 5, number 1, June 2008.
  5. Harian Fikiran Rakyat, 1932 dalam Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Yayasan Bung Karno, Jilid Pertama, 2005, hal. 170 – 173.
  6. Harian Republika, 29 September 1999.
  7. Heady, Ferrel, Public Administration, A Comparative Perspective, Fifth Edition, Marcel Dekker, Inc., 1996.
  8. Indonesia Merdeka, 1926.
  9. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 1999, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  10. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Satu, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  11. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Dua, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  12. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Tiga, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  13. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Empat, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  14. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Lima, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  15. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Enam, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  16. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2000, Buku Tujuh, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  17. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2001, Buku Satu, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  18. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2001, Buku Dua, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  19. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2001, Buku Tiga, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  20. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2001, Buku Empat, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  21. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Satu, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  22. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Dua, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  23. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Tiga, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  24. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Empat, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  25. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Lima, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010.
  26. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, Risalah Sidang Pleno 10 November 1960, Sekretariat Jenderal, 1960.
  27. Mavis Rose, Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd., 2010.
  28. Mimura, Janis, Planning for Empire, Reform Bureaucrats and the Japanese Wartime State, Cornell University Press, 2011.
  29. Nu, Thakin, Prime Minister of Burma, Burma Under The Japanese, Pictures and Portraits, Edited and translated with Introduction by J.S. Furnivall, London, MacMillan & CO Ltd, 1954.
  30. OECD, PISA Report, 2015.
  31. “Propaganda”, in M. Hatta, Portrait of a Patriot, selected writings, Mouton & Company, 1972. Pertama kali diterbitkan dalam Indonesia Merdeka, 1926.
  32. Radjiman, Pengantar buku Lahirnya Pancasila (Bung Karno menggembleng dasar-dasar Negara), Usaha Penerbitan GOENTOER, Yogjakarta, cetakan: tahun 1947.
  33. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta, 1995.
  34. Simanjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik, Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994.
  35. Smith, Anthony D., National Identity, Ethnonationalism in Comparative Perspective, University of Nevada Press, 1991.
  36. Sukarno, Ir., Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Cetakan Pertama, Yayasan Bung Karno, Penerbit Media Pressindo, Jakarta, 2015.

[1] Ceramah pada Peserta PPRA LVIII Lemhannas 2018, Jakarta, 14 Mei 2018.

[2] Presiden Institut Leimena, Jakarta. Anggota DPR-GR/MPRS, 1968-1971, DPR-RI/MPR-RI, 1971-1997, 1999-2004. Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI) 1999, Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945, 1999-2004, Ketua Komisi A ST-MPR, 2000, 2001, 2002, 2003. Duta Besar LBBP-RI untuk Korea Selatan, 2004-2008.

[3] Pada umumnya, sentiment SARA tetap kuat, sehingga kebangsaan yang terbentuk pada umumnya berciri kebangsaan etnos. Bandingkan Anthony D. Smith, National Identity, Ethnonationalism in Comparative Perspective, University of Nevada Press, 1991, hal. 19-28.

[4] Wilayah Nusantara memiliki sejarah kemanusiaan dan peradaban yang panjang. Dari masa pithecanthropus erectus, manusia purba Homo soloensis yang ditemukan di Ngandong, Blora, di Sangiran dan Sambung Macan, Sragen. (Homo Soloensis diperkirakan hidup sekitar 900.000 sampai 300.000 tahun yang lalu).  Manusia hobbit (kerdil) dari Flores, homo floresiensis, hidup sekitar 50.000 tahun yang lalu. Lukisan gua yang ditemukan di Sulawesi berusia lebih tua (40.000 tahun SM) dari lukisan sejenis yang ditemukan di Spanyol (Altamira, di Santillana del Mar, Cantabria, dari era 35.000 – 11.000 SM) dan Perancis (Lascaux Cave, di Montignac, Dordogne , Perancis, dari era 17.000-an SM). Gua Harimau di Sumatera Selatan juga saksi hidup bertoleransi antar manusia pra-sejarah dari ras yang berbeda.

[5] Emas, kemenyan, kapur Barus, cengkeh dan pala, untuk menyebut beberapa contoh. Dapat diduga bahwa kemenyan dan kamper (camphor) yang dipergunakan pada zaman Fir’aun berhubungan dengan kemenyan dan kamper Nusantara. Kehadiran Kristen Nestorian abad V M dan Islam abad VII M di Barus, pusat pendidikan tinggi agama Budha di Jambi abad VII M, dan sebagainya mencatat tingkat peradaban Nusantara yang tinggi pada zamannya. Lihat antara lain, Drakard, Jane. An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus. In: Archipel, volume 37, 1989. Villes d’Insulinde, hal. 55-56.

[6] Kita mengenal Wali Songo (9 wali) yang berasal dari Cina dan Hadramaut, penyebar agama Islam di pulau Jawa abad XV -XVI, misionaris Nommensen abad ke XIX di Sumatera dan lain-lain. Mereka menyebarkan agama secara damai dan dengan pendekatan budaya.

[7] Ciri masyarakat etnos dapat terlihat pada masyarakat bangsa-bangsa tertentu.

[8] Sesuai abjad.

[9] Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta, 1995, hal. 71-74.

[10] Janis Mimura, Planning for Empire, Reform Bureaucrats and the Japanese Wartime State, Cornell University Press, 2011, hal. 189.

[11] Peter Duus, The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere, Dream and Reality, Stanford University, Journal of Northeast Asian History, Volume 5, number 1, June 2008, hal. 143-154.

[12] Pihak militer Jepang mengambil-alih kendali urusan Asia dari kementerian luar negeri Jepang pada tahun 1942.

[13] Harry J. Benda, J. Harry, James K. Irikura, Koichi Kishi, Japanese Military Administration in Indonesia: Selected Documents. Document no. 6. Translation Series no. 6, Southeast Asia Studies, Yale University, 1965, hal. 26.

[14] Janis Mimura, op.cit., 2011.

[15] Thakin Nu, Prime Minister, Burma Under The Japanese, Pictures and Portraits, Edited and translated with Introduction by J.S. Furnivall, London, MacMillan & CO Ltd, 1954, hal. 38 – 69. Thakin Nu kemudian dikenal sebagai Perdana Menteri Birma, U Nu.

[16] Janis Mimura, op.cit., 2011.

[17] Namun pada akhirnya, hanya satu BPUPK yang dibentuk di Jakarta, yang sekarang biasa disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan “Indonesia” (BPUPKI).

[18] Edwin O. Reishauer, 1989, hal. 272.

[19] Sekretariat Negara Republik Indonesia., op.cit., hal. 43.

[20] Ibid., hal. 367-370.

[21] Ibid., hal 373-374.

[22] Radjiman, Pengantar buku Lahirnya Pancasila (Bung Karno menggembleng dasar-dasar Negara), Usaha Penerbitan GOENTOER, Yogjakarta, cetakan: tahun 1947.

[23] Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, Risalah Sidang Pleno 10 November 1960, Sekretariat Jenderal, 1960.

[24] Makloemat Gunseikan no. 23, 2605.

[25] Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1994.

[26] Sekretariat Negara Republik Indonesia., op.cit., hal. 63.

[27] Ibid., hal. 63-84.

[28] Ibid., hal. 385.

[29] Janis Mimura, Planning for Empire, Reform Bureaucrats and the Japanese Wartime State, Cornell University Press, 2011.

[30] Surat kabar Daulat Ra’jat, 1931.

[31] Surat kabar Fikiran Rakjat, 1932.

[32] Sekretariat Negara Republik Indonesia., op.cit., hal. 79.

[33] Surat kabar Daulat Ra’jat, 1931.

[34] Sekretariat Negara Republik Indonesia., op.cit., hal. 262.

[35] Lihat Indonesia versus Fasisme, faham yang bertentangan dengan jiwa Indonesia, dari hal Fuhrerprinzip, dalam Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Cetakan ke Lima, Yayasan Bung Karno, Jakarta, 2005, hal. 459 – 467.

[36] Mavis Rose, Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd., 2010, hal. 149.

[37] Surat kabar Indonesia Merdeka, 1926.

[38] Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 213.

[39] Ibid., hal. 236-238.

[40] Ibid., hal. 266.

[41] Ibid.

[42] Ibid., hal. 34 – 36.

[43] Ir. Sukarno, Indonesia versus Fasisme. Paham yang bertentangan dengan Jiwa Indonesia. Darihal Fuhrerprinzip. Lihat Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Cetakan Pertama, Yayasan Bung Karno, Penerbit Media Pressindo, Jakarta, 2015, hal. 509 -517.

[44] Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 262.

[45] Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang menggantikan BPUPK mempunyai anggota-anggota yang “mewakili luar Jawa”, seperti Mr. Abdul Abbas (Sumatera), Dr. M. Amir (Sumatera), Anang Abdul Hamidhan (Kalimantan), Dr. G.S.S.J. Ratulangie (Sulawesi), I Gusti Ketut Puja (Sunda Kecil – Bali), Mr. Johannes Latuharhary (Maluku), Pangeran Andi Pettarani (Sulawesi), Teuku Moehammad Hasan (Sumatera), dan lain-lain. Ibid., Biodata Anggota BPUPKI dan Anggota PPKI.

[46] Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 414.

[47] Ibid., hal. 414-417.

[48] Ibid.

[49] Setelah Jepang kalah, pihak Jepang menyatakan tidak mendukung dan tidak campur tangan lagi dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. PPKI mengusahakan penyempurnaan atas naskah UUD. Seperti diuraikan diatas, yang pertama diperbaiki adalah mengembalikan naskah Pembukaan sesuai dengan naskah yang semula dirancang oleh Panitia-9. Lihat Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 420.

[50] Sekretariat Negara Republik Indonesia., op.cit., hal. 412 – 455.

[51] Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 503-505. PNI 22 Agustus 1945 berbeda dengan PNI 1926 yang dibentuk oleh Ir. Soekarno dkk pada tahun 1926.

[52] Ibid., hal. 222, 269.

[53] Sebagaimana juga ditegaskan oleh Soerjanto Puspowardojo, guru besar filsafat pada Universitas Indonesia, Jakarta, dengan mengutip filsuf Immanuel Kant dalam seminar “Assessing the Improvement of the UUD 1945, Toward a New Indonesia” di Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, 31 August 1999.  Harian Kompas, 1 September 1999

[54] Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 42.

[55] Jean Bodin (1530-1596), On Sovereignty, Six Books of the Commonwealth, abridged and translated by M.J. Tooley, Seven Treasures Publications, 2009., pp. 230-239. Bodin berpendapat bahwa yang terbaik adalah monarki absolut.

[56] Lihat antara lain, Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., hal. 36, 250, 255, 259.

[57] Aspirasi untuk demokratisasi UUD telah ada semenjak persidangan BPUPK tahun 1945. Lihat a.l. Ibid., hal. 250, 262.

[58] Lihat antara lain, Harian Republika, 29 September 1999

[59] Menurut UU no. 3/1999 tentang Pemilihan Umum, Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden. Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) untuk mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS). KPU dan PPI, masing-masing terdiri dari 48 wakil partai politik peserta pemilu dan 5 wakil Pemerintah. KPU dipimpin Rudini (dari partai MKGR , mantan Mendagri). PPI dipimpin Jakob Tobing (dari PDI-P), yang juga anggota KPU. PPI berhasil melaksanakan pemilu dan menuangkan hasilnya dalam keputusan PPI no. 335/15/VII/1999 tanggal 26 Juli 1999  dan melaporkannya pada KPU. Tetapi KPU tidak berhasil menetapkan hasil pemilu yang telah dilaksanakan PPI. Selanjutnya PPI menyerahkan keputusan PPI no. 335/15/VII/1999 tersebut kepada Presiden Habibie untuk disahkan. Berdasarkan keputusan PPI tersebut, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 1999 tentang Pengesahan Penetapan Keseluruhan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Tahun 1999 Untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II secara Nasional.

[60] Penjelasan disusun oleh Soepomo dan ditambahkan pada UUD 1945 pada bulan Oktober 1945 pada masa beliau menjadi Menteri Kehakiman.

[61] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun Sidang 2002, Buku Lima, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010, hal. 734 – 735.

[62] UUD 1945, Aturan Tambahan, Pasal II.

[63] Bab tentang Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan 5 Bab baru ditambahkan.

[64] Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Pada tahun 1982, deklarasi Djuanda  diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

[65] Laporan UNDP Maret 2015 menempatkan Index Pendidikan Indonesia 0,603, berdekatan dengan Thailand (0,608), Filipina (0,610), diatas Myanmar (0,371), Kamboja (0,495), Vietnam (0,513). Yang tertinggi di dunia adalah Australia (0,927) dan Norway (0,910) dan yang terendah Eritrea (0,228). Index Pendidikan dihitung dengan membandingkan lama rata-rata pendidikan yang dijalani dibanding dan lama pendidikan yang seharusnya.   PISA-OECD (Program for International Student Assessment Organisation for Economic Co-operation and Development) Report 2015 melaporkan bahwa kualitas sumber-sumber pendidikan Indonesia termasuk yang tertinggi (ke-empat dari 69) negara peserta PISA. Dari 72 negara peserta PISA, Indonesia adalah peringkat 65 utk matematik, 64 untuk sciences dan 66 utk membaca. Singapura adalah peringkat 1 untuk ketiganya, Korea Selatan masing-masing ke-7, 11 dan 7. China 6, 10 dan 27. USA, 40, 25 dan 24. Thailand, 55, 56 dan 59.

[66] BPS, 2000.

[67] Seminar mengenai  otonomi daerah yang diselenggarakan oleh PAH I di Pekanbaru mencatat tuntutan untuk membentuk negara serikat atau malah ingin merdeka. Seminar itu juga dihadiri oleh “calon presiden” Riau Merdeka. Delegasi PAH I juga ditemui delegasi mahasiswa yag menuntut kemerdekaan Riau. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., Tahun Sidang 2000, Buku Empat, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010, hal. 9.

Tanggal 6 September 2001, Prof. Dr.  Dayan Daud, Rektor Universitas Syah Kuala di Aceh, dalam perjalanan pulang dari kampus ditembak mati oleh pemberontak GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., Tahun Sidang 2001, Buku Dua, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010, hal. 212.

[68] DK-PBB 29 Januari 1949 mengecam serangan militer Belanda terhadap Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik Indonesia. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit., Tahun Sidang 2001, Buku Dua, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal, 2010, hal. 212.

[69] 29 Desember 1949.

[70] Pada masa BPUPK 1945, Soepomo menentang hak asasi karena dianggap individualistis, menentang pemilu dan sistim parlementer. Pada penyusunan UUD-RI dan UUDS 1950, beliau berpendapat sebaliknya.

[71] Panitia penyusun UUDS 1950 dipimpin oleh Soepomo.

[72] Lihat Ferrel Heady, Public Administration, A Comparative Perspective, Fifth Edition, Marcel Dekker, Inc., 1996, p. 451.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...