info@leimena.org    +62 811 1088 854
Suara Pembaruan 17 Feb 2010

Membenahi Pembentukan Perundang-undangan

oleh Drs. Jakob Tobing, M.P.A.

Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 45. Seorang pakar hukum tata negara, ketua pertama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie  menjelaskan paling tidak ada 12 pilar yang ada bila sebuah negara adalah negara hukum, yaitu adanya: Supremasi Hukum, Persamaan dalam Hukum, Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan , Organ-organ Eksekutif Independent, Peradilan bebas dan tidak Memihak, Peradilan Tata Usah Negara, Peradilan Tata Negara, Perlindungan Hak Asasi Manusia, Sifat Demokratis, Fungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara, Transparansi dan Adanya kontrol Sosial. Pendapat ini sekaligus merangkum juga pendapat-pendapat para ahli hukum tata-negara zaman modern seperti Immanuel Kant, Paul Laband, A.V. Dicey, Utrecht, Wolfgang Friedman, dan sebagainya.

Berdasarkan pilar supremasi hukum maka konstitusi adalah hukum tertinggi yang mengatur dan harus ditaati semua pihak dan semua tingkatan. Negara Indonesia adalah negara yang punya cita-cita, disamping punya landasan dasar dan bintang penutun (lightstar), yakni Pancasila sebagaimana termaksud di dalam Pembukaan UUD 45.

Dalam kerangka itu maka pembentukan peraturan perundang-undangan di negeri ini adalah untuk mewujudkan cita-cita, untuk memberi panduan kepada langkah-langkah mewujudkan cita-cita. Kerangka itu juga berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan desa haruslah taat asas pada UUD 45. Dengan perkataan lain pengelolaan negara Indonesia adalah untuk mengamalkan Pancasila dan hukum adalah sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara. Dengan demikian pula maka setiap bentuk peraturan perundang-undangan adalah untuk merawat dan membina eksistensi bangsa menuju cita-cita bernegara.

Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberi kerangka pembangunan hukum nasional yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan (peratun). UU Peratun ini menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD 45 adalah hukum dasar untuk setiap peratun.

UU No. 10/2004 juga dicantumkan jenis dan hierarki peratun dibawah UUD 45, yaitu UU/Peratun Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Peraturan Daerah meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.

Sayangnya Undang-Undang ini belum bisa mencegah terbentuknya peratun yang tidak taat asas pada UUD 45. Misalnya UU tentang Pemerintah Daerah yang antara lain mengatur bahwa pilkada haruslah seragam langsung sementara UUD 45 mengatakan pilkada harus demokratis, tetapi otonomi daerah itu harus memperhatikan keistimewaan daerah (pasal 18B) dan kekhususan daerah (pasal 18A). Artinya pilkada bisa tidak seragam atau harus bersifat langsung, sepanjang memenuhi sifat demokratis. Demikian juga UU tentang TNI yang mengharuskan Presiden yang adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI untuk meminta persetujuan DPR dalam menentukan panglima TNI.

UU yang mengatur masalah otonomi juga terbentuk tidak sesuai dengan prinsip otonomi di dalam sebuah negara kesatuan. Konstruksi hubungan vertikal yang perlu antara Pusat dan Daerah dan Daerah dengan Pusat tidak cukup kokoh.

Demikian pula pada tingkat daerah/desa masih cukup banyak terbentuk dan berlakuk peraturan daerah/desa yang tidak sesuai dengan UUD 45, seperti peratun yang bersifat diskriminatif dan/atau melanggar HAM.

MK memang telah dihadirkan untuk memberi jalan keluar guna meluruskan jalan peratun yang bersifat diskriminatif dan/atau melanggar HAM.

MK memang telah dihadirkan untuk memberi jalan keluar guna meluruskan peratun setingkat undang-undang agar konsisten dengan UUD 45, walaupun MK tidak dapat pro aktif melaukan judicial-review, tetapi untukperatun dibawahnya tidak/belum tersedia tata cara praktis untuk meluruskan peratun yang dinilai tidak sesuai dengan UUD 45.

Dalam hubungan itu kita perlu mencermati UU no. 10/2004 apakah pasal dan ayat-ayatnya sudah cukup untuk menegakkan maksud undang-undang itu sendiri. Kesimpulannya UU no. 10/2004 itu memerlukan perkayaan dan perkuatan substansi, agar ketentuan didalamnya memberikan kerangka yang kuat bagi pembuatanperatun di semua tingkatan yang taat asas pada UUD 45.

Pada dasarnya prinsip yang harus dibangun dalam UU pembentukan peratun adalah untuk mencegah terbentuknya peratun yang menyimpang, sejalan dengan ujar-ujar bahwa mencegah adalah lebih baik daripada mengkoreksi.

Untuk itu DPR dan Presiden masa bakti 2009 – 2014 diharapkan bersama-sama melakukan perbaikan (legislative review) atas UU no. 10/2004 itu, agar proses pembentukan peratun sesuai dengan UUD 45.

Pasal-pasal UU 10/2004 yang memuat proses bersama antara DPR dan Presiden dalam pembentukan Undang-undang perlu lebih ditegaskan sehingga proses itu berjalan mendalam, dalam suasana musyawarah mufakat, taat asas kepada Pancasila dan UUD 45 dan tidak mengorbankannya demi transasksi politik.

UUD 45 menegaskan bahwa sebuah RUU hanya bisa jadi UU bila DPR dan Presiden telah bersama-sama menyetujuinya. Perlu diatur agar pada tahap-tahap pembahasan sebuah RUU sebelum sampai pada tahap rapat paripurna pengambilan putusan telah terjadi musyawarah mufakat antara DPR dengan Presiden. Jangan sampai RUU yang belum disepakati bersama dibawa pembahasannya pada tingkat yang lebih tinggi.

UU peratun perlu memberi garis besar isi Peraturan Presiden mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah. Ketentuan Perpres itu juga harus meliputi tata cara pembentukan peraturan desa/yang setingkat. Perpres mengatur proses pembuatan Perda.perdes dalam semangat yang sama dengan muatan UU Peratun.

UU Peratun juga perlu mengatur tata cara pengesahan dan pemberlakuan Perda/Perdes. Sebuah Perda/perdes yang telah disahkan hanya dapat diberlakukan bila telah memperoleh persetujuan terlebih dahulu (stelsel aktif) dari Presiden, tidak seperti sekarang dimana sebuah perda akan sendirinya berlaku bila dalam waktu tertentu tidak ditentukan lain oleh Presiden (stelsel pasif).

Dalam hal ini Presiden dapat mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab itu kepada Mendagri dan selanjutnya kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Ketentuan ini tidak cukup bila hanya termuat dalam Perpres. Tata cara itu adalah keharusan yang sesuai dengan lingkup kewenangan dan tanggung jawab Presiden Negara Kesatuan republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan sejalan pula dengan sumpah Presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Tata cara pembentukan dan pemberlakuan Perda. Perdes itu termasuk dalam wewenang Presiden untuk mengontrol peratun (executive review) dan tidak mengurangi wewenang dan tugas peradilan (peradilan tata usaha negara PTUN) untuk menjaga kebersesuaian perda/perdes terhadap UUD. Sesuai dengan itu, bila seorang Kepala Daerah menyetujui pemberlakuan perda/perdes yang tidak sesuai dengan UUD 45 masyarakat dapat menuntut dan PTUN dapat dan wajib mengadilinya.

UU Peratun juga perlu menegaskan pula bahwa jenis dan bentuk peratun yang diakuidan berlaku-mengikat hanya yang ada di dalam UU tentang Peratun. Bentuk-bentuk lain, seperti SKB dan sejenisnya perlu ditegaskan tidak merupakan peratun dan karenanya tidak mengikat.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa setiap peratun haruslah mencerminkan nilai Pancasila, memelihara dan tidak mengingkari semangat kebangsaan Indonesia yang bhinneka tunggal ika, setara, bersatu dan bekerja sama.

Penulis adalah Presiden Institut Leimena, Jakarta. Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 45, Nov 1999 – Juli 2004

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena