info@leimena.org    +62 811 1088 854
Suara Pembaruan 28 Januari 2009

Daerah Istimewa Yogyakarta, Pilkada, dan UUD’45

oleh drs. Jakob Tobing, M.P.A.

Sejarah mencatat komunikasi intensif antara para Founding Fathers Republik Indonesia dengan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dari Yogyakarta selama masa kritis yang amat  menentukan menjelang kemerdekaan Indonesia.Kesediaan HB IX dan PB VIII bergabung ke dalam NKRI adalah monumen sejarah sukses terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang kita miliki sekarang.

Sejalan dengan itu, Piagam Presiden Republik Indonesia Sukarno tgl 19 Agustus 1945, sehari setelah UUD 45 ditetapkan, menegaskan Kedudukan Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX, dan Sri Paduka Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII  pada kedudukannya sebagai penguasa Ngajogjakarta Hadiningrat dengan kepercayaan bahwa beliau berdua akan mencurahkan segenap pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.
Secara resmi, pada tanggal 5 September 1945 Kesultanan Yogyakarta mengeluarkan Amanat Kesultanan Yogyakarta yang menegaskan bahwa Ngajogjakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
Keistimewaan daerah Yogyakarta dinyatakan dalam wujud Sultan Yogya adalah kepala daerah dan sebagai kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Selanjutnya diterbitkan UU no. 3 tahun 1950 tentang pembentukan DIY dalam status`setingkat provinsi dengan kewenangan otonomi untuk mengatur rumah tangganya, seperti urusan pemerintahan umum, pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Pasal 18B ayat (1) UUD 45 (setelah amandemen) menegaskan bahwa :
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Artinya DIY tetap dihormati keberadaannya sebagaimana dahulu telah diatur dalam UU no. 3 tahun 1950 dan UU no. 19 tahun 1950 yang dilatarbelakangi oleh Piagam Presiden Soekarno 19 Agustus 1945 dan Amanat
Kesultanan 5 September 1945.
Tidak Mengubah
UUD 45 hasil amandemen tidak menghapus dan tidak mengubah keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta, malahan memberi ruang gerak dengan  menegaskan dalam pasal 18A ayat (1) bahwa :
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Ketentuan itu jelas memberi ruang bagi perbedaan bentuk, hubungan wewenang dan besaran otonomi daerah-daerah. Artinya hubungan otonomi itu tidak simetris di setiap daerah. Semangat itu terkandung dalam keseluruhan Pasal 18, 18A dan 18 B UUD 45.
Hubungan pusat-daerah atau provinsi-kabupaten/kota yang tidak simetris itu dipertimbangkan dan ditetapkan oleh MPR untuk memberi ruang bagi kemajemukan Indonesia yang amat beragam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu, Pasal 18 Ayat (4) UUD `45 yang mengatakan bahwa :
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis,” sebenarnya tidak mengharuskan setiap kepala daerah dipilih secara langsung seperti yang dipraktekkan sekarang berdasarkan Pasal 24 Ayat (5) UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sehubungan dengan itu paling tidak ada 4 hal yang perlu disimak.
Pertama, perdebatan di MPR mengenai tata cara  pemilihan kepala daerah bersamaan dengan perdebatan megenai tata cara pemilihan presiden. Dalam perkembangannya PAH I BP-MPR sepakat menggunakan  istilah kepala daerah dipilih secara demokratis pada tahun 2000, sebelum tata cara pemilihan Presiden secara langsung disepakati pada tahun 2001.
Pada masa sidang tahun 2000 – 2001 hangat diperdebatkan apakah pilpres akan dilakukan langsung atau apakah pilpres akan dilakukan oleh MPR. Akhirnya disepakati bahwa pilpres langsung adalah lebih sesuai dengan kehendak zaman walau pengusung pilpres oleh MPR (FPDI-P) berkeyakinan bahwa pilpres oleh MPR itu pada hakekatnya juga demokratis, mirip dengan dengan pemilihan presiden oleh para utusan (delegates) seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang diakui dunia sebagai cara yang juga demokratis.
Persoalannya sebenarnya adalah pada kualitas pemilihan anggota MPR yang perlu diperbaiki karena pada masa orde baru kualitas politik anggota MPR dinilai rendah.
(Sebagai informasi tambahan perlu disampaikan bahwa dengan penentuan 4 orang anggota DPD dipilh dari tiap-tiap provinsi, berapapun jumlah penduduk tiap-tiap provinsi, maka jumlah anggota MPR (DPR + DPD) yang terpilih dari pulau Jawa dan Bali akan cukup berimbang dengan anggota MPR (DPR + DPD) yang terpilih dari luar Jawa/Bali. Keseimbangan ini perlu antara lain agar apabila pilpres dilakukan oleh MPR tidak akan terjadi suasana politik yang pulau Jawa-sentris).
Kedua, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 18, 18A dan 18B UUD 45, pemilihan secara demokratis tidak selalu harus berarti pemilihan langsung sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 24 Ayat (5)   UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketiga, praktek Pilkada langsung sampai sekarang ini ternyata tidak sama keadaannya di setiap daerah. Ada daerah yang siap. Ada yang tidak siap. Ada yang lancar, jujur, adil dan damai. Tetapi cukup banyak juga yang ribut dan kisruh. Di lain pihak juga mahal.
Keempat, bila karena pilkada langsung terjadi keributan yang  bersifat konflik horisontal antar etnik, antar suku dan/atau antar agama, maka kerusakannya terhadap rajutan kebangsaan Indonesia, terhadap pilar negara kesatuan dan terhadap demokrasi itu sendiri amat serius dan berdampak lama. Kita telah mulai menyaksikan indikasi kearah itu.
Tidak Selaras
Berdasarkan empat hal di atas,  sebenarnya menyamaratakan tata cara pemilihan kepala daerah di semua daerah secara sertamerta adalah semangat keseragaman yang tidak kompatibel (tidak selaras) dengan kemajemukan kita. Harus dibuka kesempatan untuk mempunyai tata cara pilkada yang berbeda di daerah-daerah. Karena itu UU seperti ini seyogianya juga memberi dasar bagi bentuk pilkada lain yang terhisab dalam kategori pilkada demokratis, seperti pilkada dilakukan oleh electoral delegates, atau pilkada dilakukan oleh DPRD I/II. Bahkan, untuk daerah istimewa Yogyakarta dapat dilakukan melalui tatacara yang secara historis-tradisional telah dilakukan di daerah itu.
Kesempatan untuk itu sebenarnya terbuka dengan melakukan legislative review, yaitu DPR atau Presiden mengajukan RUU baru, yang memberi ruang untuk keberagaman tata cara pilkada di daerah, untuk menggantikan UU no. 32/2004 itu.
Atau dengan mengajukan judicial review terhadap UU no. 32/2004 dan/atau UU terkait lainnya kepada Mahkamah Konstitusi.
Khusus untuk daerah istimewa Yogyakarta, negara kita mempunyai sejarah yang juga istimewa. Kita tidak boleh lupa, bahwa pada masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950), hanya wilayah Yogyakarta-lah yang masih tetap merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Dr. Abdul Halim sebagai Perdana Menteri.
Oleh Karena itu, mengingat peran penting DIY dalam sejarah terbentuknya dan dalam perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak ada keperluan dan dasar untuk mengubah tata cara pilkada kepala daerah DIY.
Piagam Presiden 19 Agustus 1945, Amanat Kesultanan 5 September 1945 dan (semangat)  UU no. 3 tahun 1950 dan UU no. 19 tahun 1950 tetap bisa berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 45.
Oleh karena itu diharapkan DPR yang bersama-sama Presiden membentuk undang-undang, untuk cermat dalam menyelesaikan undang-undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada kemudian hari, bila ternyata masih ada bagian dari UU DIY (yang baru) yang tidak sesuai dengan UUD 45 agar diajukan peninjauan konstitusionalitas UU itu terhadap UUD 45 (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi.
Keistimewaan DIY adalah sejarah dan bagian yang tidak terhapuskan dari keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena