info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 1, Jul 2011

Gereja dan Pemberdayaan Ormas

 

 

Sebuah negeri bisa menciptakan

demokrasi politik dalam tempo enam bulan,

dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 tahun.

Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat

di Eropa Timur butuh waktu 60 tahun.

(Ralf Dahrendorf).

Salah satu  bukti suatu negara dinyatakan negara demokrasi yang maju adalah bila ia  memiliki masyarakat yang warganegaranya semakin berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.  Pemberian peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi secara benar dalam kehidupan bernegara, merupakan sesuatu yang esensial, tidak bisa ditunda lagi dan tidak bisa diserahkan kepada raja, presiden atau kepada siapa pun kecuali kepada rakyat itu sendiri. Partisipasi warganegara ini dapat dilakukan salah satunya dengan membentuk atau terlibat dalam  Organisasi Masyarakat (Ormas) yang berfungsi sebagai wadah untuk pengajuan tuntutan, dukungan, dan/atau pengawasan warganegara atas  berjalannya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik, dan benar (good and clean governance).  Penguatan ormas yang cerdas dan konstruktif di sisi lain akan juga menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang dewasa dan   merupakan salah satu prioritas pembangunan masyarakat demokrasi di Indonesia.

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar ‘daya’ atau ‘kekuatan’ (power). Dari segi etimologi pemberdayaan dapat dilihat  sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat.  Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut terlihat seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut :

  1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif.
  2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu.
  3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis.
  4. Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial.

Dalam kerangka itu,  pemberdayaan Ormas harus dilihat dalam visi

  • Ormas adalah bagian dari “social political governance” (tata kelola sosial politik) dari, oleh dan untuk masyarakat guna memantapkan masyarakat sipil yang cerdas
  • Pemberdayaan Ormas/LSM sebagai social capital bagi pembangunan (civic engagement, kelembagaan masyarakat, service delivery).
  • Hubungan yang demokratis antara Negara dan masyarakat dapat tumbuh lewat perkembangan Ormas/LSM yang sehat dan kredibel.

Pemberdayaan Ormas juga harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu pemberdayaan  masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat adalah  suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.

Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh yang kita temui dimasyarakat seperti, anak tidak boleh sekolah,  yang membicarakan rencana pembangunan desa hanya kaum laki-laki saja, dan masih banyak lagi yang dapat kita temui dimasyarakat.

Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Di sini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, LSM, Ormas untuk melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain.

Pemberdayaan Ormas dan LSM dapat dilakukan oleh Pemerintah sebagai pengayom, pelayan, dan pengatur; oleh Masyarakat sebagai pembentuk, pelaku, dan pengontrol pemerintah; oleh Masyarakat dan Pemerintah sebagai mitra pembangun bangsa. Untuk pertumbuhan ormas yang sehat dan cerdas, pemerintah perlu mereposisi diri visi dan peran. Pemerintah mereposisi diri, tidak sebagai pembina (UU no 8 th 1985) tetapi menjadi Ormas sebagai mitra yang perlu pemberdayaan.  Pemberdayaan Ormas dan LSM lebih dituntut pada peningkatan dan penguatan kemandirian-profesionalitas. Mandiri dalam hal kreativitas, aktivitas, pendanaan, sumberdaya,  pengelola, pengembangan organisasi, dan seterusnya. Profesional dalam hal kinerja, akuntabilitas publik, spesialisasi fungsional, produktivitas, edukatif-produktif, inovatif (kreatif-ekonomis), dan seterusnya.

Gereja dan Pemberdayaan Ormas

Alkitab  tidak memberikan suatu blueprint politik atau format baku satu sistem politik  tertentu yang siap pakai dalam semua kondisi. Kitab suci hanya memberikan rujukan-rujukan dan inspirasi nilai fundamental, seperti kasih, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan, agar dalam kehidupan bernegara nilai-nilai demikian menafasi kebijakan politik  dan menjadi visi sebuah negara.

Antara agama dan negara memiliki hubungan koordinatif. Agama dan negara mempunyai otonomi dan eksistensi dengan tugas, otoritas, peran, dan  wilayah spesifik masing-masing. Jelas, dalam konstelasi seperti ini agama bukan superordinasi atau sub ordinasi atas negara. Agama mengakui, membutuhkan, menerima, dan menghargai institusi negara pada satu sisi. Pada sisi lain, agama diposisikan selaku sumber kritik dan transformasi atas perilaku negara. Dari sini terlihat ada nuansa ganda; penerimaan positif atas negara berhimpitan dengan sikap kewaspadaan terhadapnya.

Negara sebagai institusi kekuasaan dioperasikan oleh manusia yang juga berdosa. Manusia  memiliki potensi untuk  berkuasa atas manusia yang lain, mengangkat diri menjadi “allah” atas sesamanya, dengan menuntut ketaatan yang mutlak, dan merampas independensi manusia. Penguatan masyarakat sipil  merupakan salah satu pilihan sengaja agar bisa mencegah negara menyeleweng dari tugas dan hakekatnya yang sejati. Masyarakat sipil bisa menjadi representasi dan kristalisasi kekuatan di luar negara, yang menjadi sparring partner negara. Hal itu menjadikan masyarakat sipil sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kontrol, yang membatasi dan memungkinkan negara tetap berjalan sesuai dengan hakekatnya.

Dalam hal ini, keterlibatan  gereja (orang Kristen)  di Indonesia dalam pemberdayaan  masyarakat sipil adalah terlibat dalam transformasi nilai dan kultural yang sedang berlangsung di negeri ini. Gereja harus memaknai kehadirannya di bumi Indonesia tidak dengan sikap pasif atau pasrah namun menyuarakan suara kenabian dan menggarami masyarakat.  Gereja harus hadir  sebagai terang di mana orang-orang melihat perbuatan kita yang baik lalu memuliakan Bapa di surga (Mat. 5:16).  Dibutuhkan kehadiran orang Kristen di berbagai ormas, yang tidak menyilaukan, tetapi mencegah pembusukan moral masyarakat dan ikut memberi arah bagi perjalanan bangsa. Untuk itu, salah satu tanggung jawab gereja adalah adalah mempersiapkan kaum intelektual dan warganya untuk turut bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa melalui pembangunan masyarakat sipil yang cerdas dan berdaya.**

Penulis

Daniel Adipranata, M.Div. adalah Sekjen Perkantas periode 2007-2011.