info@leimena.org    +62 811 1088 854
IL News 022/2014

 

Jakarta, 30 Oktober 2014

 

Institut Leimena bekerja sama dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyelenggarakan Roundtable Discussion di Jakarta, Kamis (30/10).

Institut Leimena News edisi ini, akan mengutip berita di harian KOMPAS,  yang menggambarkan beberapa gagasan yang mengemuka dalam acara ini.


JAKARTA, KOMPAS(31/10) — Pemerintah diminta merujuk Pancasila dan UUD 1945 dalam mengelola kehidupan beragama di Indonesia. Siapa pun orang, kelompok, atau lembaga yang melanggar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah hendaknya ditindak sesuai aturan.

Demikian salah satu gagasan yang mengemuka dalam diskusi bertema ”Hubungan Agama-agama dan Hukum Nasional dalam Masyarakat Majemuk” di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Kamis (30/10).

Hadir dalam diskusi itu, antara lain, Presiden Institut Leimena Jakob Tobing; pengajar hukum Regent University, Kanada, James A David; mantan Hakim Konstitusi (MK) Harjono; peneliti Hudson Institute, Washington DC, Amerika Serikat, Paul Marshall; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis Suseno; dan politisi PDI-P Eva Kusuma Sundari. Acara dipandu Rektor UKI Maruarar Siahaan.

Jakob Tobing mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum. Hukum memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak dalam memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya.

Magnis Suseno memuji bangsa Indonesia yang berhasil menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Semua kelompok, suku, agama, dan golongan diterima, diayomi, dan berkedudukan setara di depan hukum. Konstitusi menjamin, orang tidak akan mengalami diskriminasi akibat keyakinan keagamaannya.

”Pancasila dan HAM tak boleh bertentangan. Kita harus koreksi tafsir Pancasila yang menyimpang dari prinsip-prinsip HAM,” kata Magnis Suseno.

Eva Kusuma Sundari menekankan, bangsa Indonesia perlu menjadikan Pancasila sebagai satu bahasa dan rujukan untuk memecahkan berbagai masalah bangsa. Jangan dibiarkan jika ada kelompok mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pemerintah hendaknya menjadi pelaku utama menjalankan Pancasila.

”Saat ini ada 368 peraturan daerah (perda) yang diskriminatif, dan sebanyak 274 di antaranya menargetkan perempuan. Contohnya, perda larangan keluar malam untuk perempuan. Peraturan semacam ini tidak bisa dibiarkan. Perlu dipastikan, demokrasi berjalan secara adil dan tidak disabotase oleh agenda lokal daerah,” ujar Eva.

Paul Marshall mengingatkan, mengacu pada pengalaman di dunia, kebebasan beragama terhambat oleh dua faktor. Pertama, negara yang menjadikan satu agama sebagai agama negara. Kedua, negara yang terlalu sekuler sehingga mempersulit ekspresi keagamaan.

Baik negara agama maupun negara yang terlalu sekuler sama-sama menjadi masalah dalam kebebasan beragama. Indonesia dengan dasar Pancasila memperlihatkan model menarik karena mengakui dan mendukung berbagai agama, tidak memaksakan satu agama, dan berusaha untuk menghilangkan diskriminasi.

James A David menekankan perlunya kebebasan menjalankan agama. Ada banyak agama yang berkembang di dunia. Bahkan, dalam satu agama selalu ada kelompok yang berbeda. Karena itu, diperlukan prinsip-prinsip toleransi dan saling menghargai.

Harjono berharap, negara lebih serius dalam berusaha menerjemahkan Pancasila untuk mengelola kehidupan umat beragama di Indonesia. Kebebasan memeluk dan beribadah sesuai agama harus benar-benar dilindungi hukum. (IAM)

Sumber: Kompas Cetak, hal 3, Jumat, 31 Oktober 2014

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena