info@leimena.org    +62 811 1088 854

IL News 014/2021

“Saya ingin guru madrasah menjadi contoh bagi guru-guru lain.

Bagaimana caranya, dengan mendeklarasikan kepada anak-anak didik kita bahwa sejak semula Al-Quran mentolerir perbedaan.”

Prof. Dr. Nasaruddin Umar

Jakarta, 26 November 2021 – Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengajak para guru madrasah dan pesantren untuk menyebarkan Islam yang toleran. Guru sewajarnya memiliki filosofi yang utuh dalam memandang perbedaan, sebagaimana Al-Quran sendiri terbuka dan mengakui agama-agama lainnya.

Pernyataan itu disampaikan Prof Nasaruddin saat memberikan ceramah kunci pada Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah dan Pesantren untuk Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang digelar oleh Masjid Istiqlal dan Institut Leimena, Senin (22/11/2021). Program LKLB kali ini berlangsung 22-26 November 2021 diikuti 174 guru madrasah dan pesantren dari mayoritas pulau Jawa dan Sulawesi, serta sebagian kecil dari provinsi Jambi dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Saya ingin guru madrasah menjadi contoh bagi guru-guru lain. Bagaimana caranya, dengan mendeklarasikan kepada anak-anak didik kita bahwa sejak semula Al-Quran mentolerir perbedaan,” kata Prof Nasaruddin.

Wakil Menteri Agama tahun 2011-2014 itu mengatakan umat Islam wajib meyakini agamanya terbaik, namun jangan sampai melarang orang yang berbeda untuk berkeyakinan sama. Konsep Al-Quran dalam beragama sangat jelas yaitu lakum dinukum waliyadin artinya “untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 6).

“Saya mengakui agama Islam paling baik, paling benar, itu ada ayatnya. Tapi jangan melarang orang lain berkeyakinan sama. Agama Protestan paling baik, monggo. Tapi jangan kita saling mengusik,” kata Prof Nasaruddin.

Menurutnya, sangat jarang kitab suci secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap agama lain. Namun, Al-Quran justru menyebut agama Nasrani dan Yahudi bahkan aliran kepercayaan Majusi.

“Kitab suci Al-Quran sangat terbuka, 17 kali memberikan pengakuan terhadap agama Nasrani, Katolik, Protestan, dan 15 kali memberikan pengakuan, penyebutan terhadap agama Yahudi,” kata Prof Nasaruddin.

Dia menjelaskan sebutan orang kafir dalam surat Al Kafirun bukan merujuk kepada umat beragama lain termasuk Nasrani atau Yahudi, melainkan para penyembah berhala. Al Quran memiliki 4 terminologi tentang penyembah, sehingga perlu berhati-hati dalam memahami maknanya agar tidak mudah mengkafirkan orang lain.

“Jangan mengatakan yang dimaksud (surat Al Kafirun) adalah Nasrani atau Yahudi. Bukan. Jadi jangan alergi terhadap agama Nasrani dan Yahudi. Jangan alergi dengan Nabi Isa yang di sana disebut Yesus Kristus atau Nabi Musa yang di sana disebut Moses,” ujar Prof Nasaruddin.

Prof Nasaruddin menambahkan Al-Quran dalam akhir surat Al Baqarah juga tidak membedakan nabi dan rasul. Umat Muslim mengakui Nabi Muhammad SWT sebagai nabinya, namun jangan mengingkari kenabian dan kerasulan orang lain.

“Tentu seluruh nabi dan rasul Allah masuk surga, bukan saja nabi dan rasulnya, tapi pengikut setia para nabi dan rasul pun dijanjikan surga. Jadi surga bukan monopoli umat Islam, umatnya Nabi Muhammad,” katanya.

Para narasumber dalam Program LKLB kelas ke-6 yang digelar antara Institut Leimena dan Masjid Istiqlal pada 22 November 2021, yaitu Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) Dr. Farid F Saenong, Dosen Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI) Dr. Mulawarman Hannase, dan moderator Moch. Taufiqurrahman.

Islam Agama Cinta

Di sisi lain, Prof Nasaruddin mengatakan agama Islam pada hakikatnya bermakna cinta. Ummul Kitab jika dipadatkan maka intinya adalah Al-Fatihah yaitu “Allah maha pengasih dan penyayang”. Kata Ar Rahman dan Ar Rahim berasal dari satu kata “Rahimah” yang artinya cinta.

“Jika 6.666 ayat dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah cinta. Jadi kalau ada mengatasnamakan Islam tapi isinya benci, marah. Itu bukan Islam. Kalau ada mengatasnamakan Islam, itu senang cinta,” lanjutnya.

Prof Nasaruddin mendorong para guru madrasah dan pesantren agar memberikan wawasan lebih luas kepada peserta didik. “Jangan sampai kita mendidik anak-anak untuk berpikiran sempit, seolah-olah akan melahirkan pertentangan. Oke kita memang berbeda, tapi tidak mesti perbedaan harus diselesaikan dengan pertikaian, pertengkaran, dan konflik,” tandasnya.

Prof Nasaruddin mengatakan Indonesia bukan negara Islam, namun terkadang jauh lebih Islami dari negara Islam. Dia membandingkan pengalaman hidup di Indonesia dengan negara Islam, Afghanistan, dimana masyarakatnya mengalami kesulitan ekonomi dan ancaman keamanan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan program LKLB sangat sejalan dengan visi Masjid Istiqlal untuk mewujudkan lembaga pemberdayaan umat yang menyuarakan moderasi Islam berwawasan Indonesia. Program LKLB sejauh ini telah memasuki kelas ke-6 dengan sejumlah mitra yang berbeda, termasuk Masjid Istiqlal.

“Kami sangat senang dan bangga dapat bekerja sama dengan Masjid Istiqlal, menjadi bagian ‘The New Istiqlal’ yang bersama kepemimpinan visioner Imam Besar Prof Nasaruddin Umar semakin aktif dan inovatif memperbanyak ruang-ruang perjumpaan antar sesama manusia yang berbeda agama dan kepercayaan,” kata Matius.

Hadir pula dalam sesi hari pertama yaitu Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) Dr. Farid F Saenong, Wakil Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan BPMI sekaligus Dosen Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI) Dr. Mulawarman Hannase, serta Kepala Sub Direktorat BPMI Moch Taufiqurrahman. (IL/Chr)

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena