Hak Asasi Hidup Layak
Ketika Pancasila lagi-lagi diingatkan sebagai ideologi negara yang perlu dipraksiskan, sila keadilan sosial memperoleh momentum tepat.
Kelanjutan demo buruh di sejumlah kota belum selesai. Terjadi tarik ulur antara buruh dan pengusaha. Ada beberapa yang sudah memperoleh kesepakatan. Ditambah kenyataan tidak hadirnya pemerintah sebagai pelaku ketiga di samping pengusaha dan karyawan, konflik itu sebagian selesai, sebagian lainnya ibarat api dalam sekam.
Mengingatkan diabaikannya kelima sila Pancasila, terutama sila kelima, ibarat genderang yang bersamaan terjadi. Hak hidup layak sebagai salah satu hak-hak dasar asasi mendesakkan perhatian ekstra. Perjuangan HAM bidang politik bertemu dengan kebutuhan dasar meningkatkan taraf hidup.
Padahal, selama ini HAM kurang ditekankan pada pemenuhan hidup yang layak. Kriteria Bank Dunia, tarif minimal dipatok 2 dollar AS sehari, dirasa tidak memadai lagi. Patokan UMR pun belum ada kesepakatan walaupun untuk DKI Jakarta, misalnya, diperkirakan sekitar Rp 2 juta per bulan.
Senyampang belum selesainya penetapan UMR dan tuntutan penghapusan tenaga alih daya, di saat yang sama berkembang pengabaian Pancasila. Pancasila mati suri dan yatim piatu di negeri sendiri, kosakata kritis atas dinafikannya eksistensi Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara tidak ada masalah. Yang menjadi masalah, penempatan yang sedemikian agung membuatnya tidak membumi. Terjadi kesenjangan antara nilai-nilai dalam kelima sila Pancasila serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kita apresiasi acara TB Simatupang Memorial Lecture yang diselenggarakan Institut Leimena, Senin (12/11), mengangkat pemikiran TB Simatupang (1920-1990). Tepat dalam perkembangan aktual kita, tepat dalam mengingatkan eksistensi Pancasila sebagai ideologi terbuka yang belakangan ini nyaris tabu dibicarakan.
Aktualitas itu tidak hanya dalam perjuangan meningkatkan taraf hidup layak, tetapi juga sebagai bagian dari membangun kebersamaan sebagai warga bangsa Indonesia. Ketika konflik yang meletup sporadis dan semakin rumit latar belakangnya, pun semakin tidak bisa diprediksi, jangan-jangan masalahnya terletak pada ketimpangan ekonomi yang berujung pada kecemburuan sosial.
Kendurnya penegakan hukum dan lemahnya gerakan sosial membangun kebersamaan, di antaranya menegakkan keadilan sosial konkretnya keadilan distributif, menambah penyulut terjadinya konflik. Akar tunggangnya mungkin bukan alasan politis, melainkan ekonomi. Namun, konflik rentan diperparah atau dipicu oleh dimanfaatkannya untuk kepentingan politik praktis.
Seperti yang banyak disarankan, di antaranya TB Simatupang Memorial Lecture, ikut kita serukan: tegakkan keadilan sosial. Tempatkan kelima sila Pancasila sebagai kesatuan, dengan sila kelima sebagai yang terpenting, rujukan kebijakan praksis pemerintahan.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena