✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 004/2015

Demokrasi Kita Demokrasi Konstitusional

 

Semula, UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.1 Die gezamte Staatgewald liegt allein bei der Majelis. MPR dipahami sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, penyandang hati-nurani rakyat. Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes. Rumusan lama itu adalah rumusan paham kedaulatan negara. Dari penjelasan Prof. Dr. Soepomo, ketua Panitia Kecil yang merumuskan pasal dan ayat UUD 45 (lama), dapat disimpulkan bahwa paham itu mempunyai kesamaan dengan paham totaliter Nazi Jerman dan Kokutei Jepang. Dalam pidato dihadapan sidang BPU-PK tgl 31 Mei 1945, Soepomo antara lain mengatakan : “..inilah idee totaliter, idee integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tata negaranya yang asli.” Selain itu beliau juga mengatakan : “…aliran pikiran nasional sosialis ialah prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran.”2

Pada dasarnya paham itu menghilangkan kedaulatan rakyat dan mensubordinasikan orang-per-orang kebawah kepentingan bersama yang diwakili oleh negara. Yang ada dan yang penting adalah kepentingan bersama.

Melalui pembahasan dan permusyawaratan selama 2 tahun, pada tahap ke-3 amandemen tahun 2001, pasal itu diubah menjadi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.”

Dengan perubahan itu, terjadi peralihan dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi. Dalam pemahaman UUD 1945 yang lama, MPR adalah lembaga tertinggi, sebuah lembaga politik, dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Sehingga pada dasarnya, kedaulatan tertinggi itu berada ditangan sebuah lembaga politik yang menurut UUD 1945 yang lama, setiap keputusannya ditetapkan dengan suara yang terbanyak.4Artinya, secara teoritis, UUD 1945 menganut paham demokrasi majoritarian,5 dimana kehendak yang terbanyak yang menentukan, walaupun itu bisa saja tidak sesuai dengan konstitusi, karena kekuasaan MPR tidak terbatas.

Dengan perubahan dalam UUD 1945 itu, maka demokrasi yang berlaku sekarang adalah demokrasi konstitusional. UUD 1945 menjadi hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh semua pihak, seperti Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, BPK, lembaga-lembaga pemerintahan dan oleh masyarakat.

Dalam perkataan lain, kekuasaan negara ditentukan dan dibatasi oleh ketentuan UUD 1945, sebuah konstitusi yang antara lain memuat penghargaan kepada hak-hak asasi manusia, menetapkan pemisahan dan pembagian kekuasaan, mengadakan mekanisme checks and balances, menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberikan kekuasaan judical review kepada MK, membatasi masa jabatan Presiden, mengharuskan pemilu dan pilpres berkala 5-tahunan yang jujur dan adil, dan sebagainya. Demokrasi ini disebut demokrasi konstitusional, dimana bukan apa yang dikehendaki oleh mayoritas yang menentukan, tetapi kesesuaian dengan ketentuan UUD 1945 yang menjadi alat uji terakhir. Sering juga disebut demokrasi berlandaskan penghargaan kepada hak-hak dasar manusia.

Dengan demikian demokrasi kita tidak hanya menghargai suara terbanyak (mayoritas), tetapi sekaligus juga harus menghargai hak-hak asasi manusia. Suara terbanyak tidak dapat menjadi penentu sebuah keputusan manakala misalnya, warganegara tidak dihargai sama, bilamana kebebasan beragama dilanggar, dan hak-hak lain warga yang dijamin UUD 1945, dilanggar.

 

Negara Hukum Dan Rule Of Law

 

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”7  Pada UUD 1945 yang lama, ketentuan negara hukum itu tidak terdapat dalam Batang Tubuh, tetapi dicantumkan belakangan dalam Penjelasan. Walapun telah diusulkan dan dibicarakan semenjak awal Sidang Umum MPR tahun 1999, penambahan ayat (3) itu baru disepakati dalam tahun ke-3, setelah batasan dan syarat sebuah negara hukum terpenuhi. Negara hukum tidak bisa sekedar pernyataan tetapi harus dilengkapi prinsip terkait dan mempunyai mekanisme pelaksanaannya.

Kita dapat mencatat materi perdebatan anggota PAH I dan menyusunnya dalam 12 prinsip pengertian negara hukum sebagai berikut :

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

4. Pembatasan Kekuasaan (Checks and Balances)

5. Organ-Organ Eksekutif Independen.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.

7. Peradilan Tata Usaha Negara.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.

10. Bersifat demokratis.

11. Hukum sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial.

Dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) dan penegasan bahwa kedauatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945, maka lengkaplah keberadaan Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.  Artinya, dalam demokrasi kita, kedaulatan rakyat (demokrasi) itu berjalan bersama dan seiring dengan supremasi hukum (nomokrasi).

 

1. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan.

2. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Edisi Revisi, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.

3. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan.

4. Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 sebelum perubahan.

5. Pada kenyataannya, melalui rekayasa, demokrasi majoritarian itu juga diubah menjadi demokrasi terpimpin, dikendalikan oleh penguasa yang menguasai MPR dengan berbagai cara. Sebenarnya istilah demokrasi terpimpin dan sejenisnya itu juga tidak cocok, karena yang terjadi adalah kehendak penguasa atau otoritarianisme.

6. Pada masa Orde Baru, Presiden Suharto menguasai sepenuhnya MPR, sehingga pada prakteknya kekuasaan tertinggi beralih dari MPR kepada Presiden Suharto.

7. Di Indonesia, pengertian negara hukum sama dengan pengertian rule of law atau rechtsstaat, dimana hukum tidak hanya menekankan aspek juridis formal (rule by law)tetapi juga bahwa hukum itu harus adil dan menghargai hak-hak asasi manusia(substantive rule of law).

 

(Disampaikan dalam Forum Strategis: Gereja dan Politik, Jakarta, 11 Februari 2015)

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...