info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 1, Feb 2010



“Kita sendiri mesti belajar mempertahankan keselamatan kita sendiri. Bukan saja dari keganasan gerombolan, juga dari kemiskinan dan bencana alam.” (Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa di Banten Selatan, 85)

Negara ada untuk rakyat, bukan sebaliknya. Harapan rakyat dalam bernegara adalah hidup lebih terjamin dan lebih baik. Itulah tujuan ideal keberadaan negara sebagaimana tersurat dalam konstitusi yang menjadi pegangan penyelenggara negara dalam menjalankan amanah kekuasaan. Dengan konstitusi juga, penguasa mengharapkan partisipasi rakyat guna mewujudkan tujuan tertinggi bernegara itu. Dengan kata lain, kekuasaan bukan tujuan bernegara.

Namun, dalam praktiknya penguasa selalu tergoda untuk menikmati empuknya takhta kekuasaan dan kemudian menjadikan rakyat seolah-olah ada untuk negara. Muncullah sosok negara kekuasaan yang menakutkan, yang oleh Hobbes digambarkan dengan metafora Lewiatan yang diambil dari Alkitab. Penyelenggara negara sibuk mengurusi kekuasaan, bukan sibuk mengurusi rakyat, sehingga negara pun menjadi salah urus.

Saat rakyat di mata penguasa cuma sebagai statistik, hilang pula sentuhan personal dalam penentuan kebijakan publik. Di era Suharto, rakyat berhadapan dengan otoritarianisme pemerintah. Di era reformasi, penguasa tidak dapat menghadapi rakyat dengan sepatu lars dan bedil. Solidaritas rakyat bertumbuh cepat berkat politik desentralisasi dan juga berkat pemanfaatan teknologi informasi. Jejaring sosial yang terbentuk berhasil melakukan tekanan publik yang memaksa negara memerhatikan hak asasi individual. Itulah yang terjadi dengan Bibit-Chandra dan Prita. Namun, masih banyak warga Indonesia yang tidak seberuntung mereka.

Kemiskinan dan Pemiskinan

Apa yang tidak ada di Indonesia untuk hidup sejahtera? Alamnya ramah. Hasil bumi melimpah. Buminya kaya dengan sumber daya alam. Ironinya, kita mudah menemui rakyat yang dibelit kemiskinan (poverty) dan pemiskinan (impoverishment). Kematian balita akibat gizi buruk. Kemiskinan erat sekali hubungannya dengan malnutrisi dan kelaparan (Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, 1981).

Salah satu krisis kemanusiaan yang sering tak disadari adalah kemiskinan yang terjadi karena pemiskinan (kemiskinan struktural). Sudah sedini tahun 1979, Soedjatmoko menyuarakan keprihatinannya atas laju proses pemiskinan di Indonesia yang terjadi di kalangan petani dan nelayan (Dimensi Manusia dalam Pembangunan, 156-71).

Sebenarnya pemiskinan di Indonesia sudah lama, bahkan disadari penguasa kolonial sekitar tahun 1850-an, saat kemiskinan menjadi-jadi di Pulau Jawa. Salah satu karakteristik ekonomi kolonial adalah dualistis. Ekspor bahan baku (kekayaan alam diangkut ke negeri asing) dan impor barang murah. Ekonomi negeri terjajah tak dibiarkan tumbuh di atas kekuatan sendiri dan kemampuan produktifnya tak dibiarkan berkembang. Rakyat berpeluh, namun penjajah memetik hasilnya.

Hanya saja sudah watak penguasa pada umumnya, pemiskinan itu tidak dikaitkan dengan pemberlakuan pola tanam paksa melainkan dengan pertambahan jumlah penduduk di Jawa. Penguasa berupaya agar kaum miskin tidak merasa miskin. Kemudian, bangkitlah kesadaran kolektif di kalangan bumiputra bahwa kemiskinan bersifat struktural. Kesadaran itu turut memotivasi pergerakan nasional. Mereka yakin, selama negeri masih terjajah, wajah kemiskinan massal di Nusantara tak akan berubah.

Sayang, kesadaran bahwa miskin membuat orang terhina, bahwa miskin bukan takdir, bahwa nasib bisa diubah, kesadaran-kesadaran seperti itu bersifat elitis. Untuk Indonesia, akibat terlalu lama hidup dalam kemiskinan, kaum miskin seperti kehilangan perasaan diri miskin. Rakyat baru merasa miskin ketika membandingkan diri dengan kesejahteraan rakyat di negeri maju, ketika diperhadapkan dengan bantuan langsung tunai (BLT) atau asuransi kesehatan bagi warga miskin (Askeskin). Kemiskinan tidak dirasakan sebagai masalah besar yang mendesak untuk diselesaikan.

Seyogianya negara mengatasi kemiskinan bukan dengan bantuan yang membuat orang merasa miskin, tetapi bantuan yang membuat kaum miskin memiliki akses memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Nilai-nilai sosial dibuat operasional. Negara wajib memfasilitasi warga untuk memiliki keterampilan, minimal untuk hidup mandiri dan masuk ke dalam sistem rekruitmen pekerjaan sesuai kebutuhan masyarakat. Keberadaan orang miskin dan kaya memang sebuah fenomena sosial biasa. Namun, orang tidak boleh kehilangan martabat hanya karena ia miskin dan martabatnya terjaga dengan ia menjadi tuan atas nasib sendiri.

Posisi Gereja

Sebagai bangsa yang dikenal religius, mestinya kita resah melihat agama belum memberi kontribusi positif bagi pembangunan. Gerakan keagamaan di Indonesia masih tersandera soal-soal teologis yang eksklusif. Ortodoksi seharusnya menjadi urusan internal agama, bukan untuk dibawa ke ranah publik. Namun, teologi keumatan berkembang subur meski efeknya membuat umat kian tertutup dan merasa kelompok sendiri lebih benar.

Agama sejatinya untuk manusia, bukan sebaliknya. Tuhan sendiri tidak perlu agama. Manusia perlu agama, bukan untuk dimuliakan, tetapi untuk memanusiakan dirinya agar hidup sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk sosial yang memihak kemanusiaan (ortopraksis). Beragama seperti itu membuat umat menjadi peduli ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan kemiskinan. Ke arah itulah semua umat seharusnya merapatkan barisan dalam rangka membangun bangsa dan Indonesia yang lebih bermartabat.

Memihak yang lemah tidak melanggar asas egalitarianisme. Itu bukan untuk membenturkan kaum berpunya dan tak berpunya (pertentangan kelas), seperti dalam kategori Marxis. Keragaman merupakan karakteristik fundamental eksistensi manusia. Secara individual, orang berbeda dalam usia, jender, kecakapan, bakat, dan daya tahan tubuh. Secara sosial, orang juga berbeda dalam kepemilikan aset, latar sosial, dan kondisi lingkungan. Maka, egalitarianisme absolut dengan sendirinya mustahil (Amartya Sen, Inequality Reexamined, 1992).

Injil amat jelas berbicara tentang panggilan orang Kristen untuk menjadi sesama, terutama bagi yang tidak berdaya (Mat. 25:31-46; Luk. 10:25-37). Di Alkitab, tolok ukur kritik nabi kepada elite penguasa adalah kelalaian mereka dalam memberi perhatian khusus bagi kaum marjinal (janda, yatim piatu, dan orang asing). Memberi pendampingan dan advokasi bagi yang lemah adalah salah satu alasan kehadiran gereja di dunia. Orang Kristen harus memihak (yang rentan menjadi) korban, terutama sebagai akibat kegagalan negara melindungi warga lemah.

Ada kejanggalan praksis bergereja saat gereja menyibukkan diri mengurusi mereka yang mampu mengurus diri sendiri. Gereja seperti itu biasanya berkilah demi alasan rohani. Jika alasan yang dipakai adalah demi pewartaan, mengapa harus dalam bentuk sekolah unggulan yang padat modal dan sumber daya manusia, sementara masih banyak sekali anak negeri yang tidak memiliki akses pendidikan? Banyak cara untuk mewartakan kabar baik. Tidak elok jika gereja di Indonesia memakai pendidikan untuk menjangkau kaum elit.

Biasanya gereja sudah merasa puas dengan tindakan karitatif yang terlembaga dalam diakonia. Dietrich Bonhoeffer mempersoalkan apakah gereja hanya mengumpulkan mereka yang tergilas roda kehidupan atau seharusnya ia juga mencegah kekuatan-kekuatan represif yang menggilas kemanusiaan (Ethics, 321). Mencegah roda pembangunan agar tidak melindas rakyat adalah upaya mempertemukan kepentingan (hak untuk kebutuhan dasar) individual dan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyat. Gereja dapat melakukan lebih daripada diakonia konvensional dan seharusnya begitu.

Maka, perlu mempertimbangkan diakonia transformatif yang dalam landasan filosofi pelayanannya memandang ketidakadilan bukan hanya masalah individual yang dapat diselesaikan dengan tindakan karitatif, tetapi sebagai masalah struktural. Struktur yang tidak adil menciptakan ketidakadilan struktural dan solusinya juga struktural. Pelayanan diakonia dibuat terstruktur sedemikian rupa sehingga menampilkan wajah “gereja bagi sesama.” Secara moral gereja turut bertanggung jawab mencegah roda pembangunan agar tidak menggilas kemanusiaan dan manusia yang tercipta menurut gambar Allah. Gereja perlu membidani kelahiran struktur mediasi di lingkungannya.**

Penulis

Pdt. Yonky Karman, Ph.D adalah pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.