✉ info@leimena.org    +62 811 1088 854
Artikel Opini Kompas 22 Oktober 2018

 

Beberapa waktu lalu, seorang pemimpin badan di MPR mengatakan, salah satu usul yang muncul di MPR adalah penguatan kewenangan MPR untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan UUD 1945.

Usul itu muncul, katanya, karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji substansi UU terhadap UUD, tetapi tidak berwenang menafsirkan pasal-pasal UUD 1945 itu sendiri. Usul itu dimaksudkan agar tafsir terhadap UUD 1945 tidak bersifat perseorangan dan memunculkan kerancuan yang meluas (Kompas, 31 Agustus 2018). Tidak jelas apakah usul itu usul perseorangan atau fraksi (-fraksi).

Usul itu kelihatannya sederhana, tetapi sangat prinsipiil karena menjungkirbalikkan prinsip negara hukum yang telah dicapai. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang harus dipatuhi semua lembaga negara, organ pemerintahan, dan seluruh rakyat, hendak diturunkan kembali ke bawah kendali lembaga politik MPR.

Bayangkan akibatnya: ketentuan UUD yang berarti A, misalnya, bisa saja diartikan berbeda jadi B, sesuai kehendak politik dominan di MPR, seperti yang pernah kita alami. Dalam konstruksi demikian, prinsip-prinsip negara demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, negara hukum, peradilan yang bebas, HAM, checks and balances, dan sirkulasi kekuasaan secara demokratis dan berkala yang sudah tertanam dalam UUD 1945 akan kehilangan makna.

Semua lembaga negara dan segala sesuatunya kembali berada di bawah dan bergantung pada peta politik MPR. Artinya, Indonesia ingin dikembalikan menjadi negara kekuasaan, dengan MPR kembali menjadi lembaga tertinggi.

 

Sekelumit sejarah

 

Di tengah masyarakat memang masih ada yang menganggap MPR sebagai lambang kearifan nenek moyang Nusantara masa lalu. Seolah-olah pada masa lalu ada lembaga negara seperti MPR, dengan para tokoh arif bijaksana bermusyawarah menjalankan roda pemerintahan.

Bahkan ada yang menjelaskan, juga di perguruan tinggi, bahwa lembaga MPR seperti itu merupakan perwujudan sila ke-4 Pancasila: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Sesungguhnya, kenangan itu sangat berkelebihan, sebuah hiperbola, bahkan ilusi. Kerajaan-kerajaan di Nusantara masa lalu pada dasarnya adalah kerajaan dengan konsep raja-dewa. Raja memperoleh kekuasaannya dari langit, dari para dewa, bukan dari kawula.

Pada zaman dulu memang dikenal keberadaan lembaga yang mendampingi raja, seperti dewan pertimbangan Bhattara Saptaprabhu pada era Majapahit, yang anggotanya para cerdik cendekiawan dan sanak saudara raja. Namun, badan itu sekadar memberi pertimbangan atau nasihat kepada raja.

Pertimbangan atau nasihat itu tidak mengikat. Raja sendirilah yang mengambil putusan apa yang akan dilaksanakan, dan semua itu didasarkan pada aturan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara zaman itu, yang sekarang dikenal sebagai konstitusi, yang berpuncak pada seorang raja yang berkuasa penuh.

Lembaga negara MPR yang terdapat dalam UUD 1945 bukanlah berasal dari tata cara kehidupan bernegara pada era kerajaan-kerajaan Nusantara. Keberadaan lembaga itu diusulkan Mohammad Yamin pada sidang ke-2 rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Yamin mengusulkan MPR, beliau menyebutnya Badan Permusyawaratan Rakyat, dibentuk sebagai pemegang kedaulatan rakyat dengan kekuasaan yang setinggi-tingginya.

Yamin merujuk usul tersebut pada badan serupa yang ada dalam konstitusi negara diktator-proletar komunis Uni Soviet dan diktator nasionalis kanan China, Kuo-min-tang (Risalah Sidang BPUPKI, PPKI, Sekneg, Jakarta, 1995: 181-182). Kedua sistem itu menganut sistem partai tunggal, yaitu partai komunis pimpinan Stalin di Uni Soviet dan partai Kuo-min-tang pimpinan Chiang Kai-shek di China. Usul Yamin itu diterima. Selanjutnya, pada 22 Agustus 1945, PPKI memutuskan pembentukan partai tunggal sebagai partai negara (halaman 503-505). Namun, pada 31 Agustus 1945, di bawah tekanan Sekutu yang telah menang perang, diputuskan tidak jadi dilaksanakan.

Melalui Maklumat X (3 November 1945), Indonesia menjalankan sistem parlementer dengan sistem multipartai dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Setelah diselingi UUD-RIS (1949 -1950) dan UUDS (1950-1959), Indonesia kembali pada UUD 1945. MPR (S) dibentuk dan resminya adalah lembaga tertinggi. Namun, sistem kepartaian waktu itu adalah sistem multipartai. Juga tidak ada partai/koalisi partai dominan.

Berbagai upaya, seperti membentuk poros Nasakom, mengangkat presiden seumur hidup, mengelukan presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi, dukungan dwifungsi TNI, tetap tak dapat menghadirkan sistem pemerintahan yang stabil dan efektif.

Setelah era itu berakhir tahun 1966, barulah pada era 1966-1998 kekuasaan berhasil membangun sistem politik yang ditopang oleh satu kekuatan politik dominan: Golongan Karya (Golkar). Dengan dukungan dwifungsi ABRI dan korps pegawai negeri, secara terstruktur Golkar mendominasi MPR. Soeharto adalah presiden RI dan sekaligus ketua Dewan Pembina Golkar yang mengendalikan Golkar.

Sejarah memang mencatat kemajuan pembangunan ekonomi yang tinggi meski dengan dukungan sosial politik yang, walaupun kuat, sempit dan rapuh. Namun, langkah-langkah Soeharto untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, termasuk berakhirnya masa pengabdian Angkatan ’45, tidak memperoleh dukungan. Demikianlah era itu berakhir dengan munculnya kekuatan reformasi.

 

Menafsirkan UUD 1945

 

Dalam negara hukum dan demokratis, UUD dibentuk secara demokratis dan menjadi hukum tertinggi yang memuat prinsip konstitusionalisme secara lengkap. Sekali terbentuk, UUD itu ”terbang sendiri” dengan aturan dan ketentuannya sendiri yang melekat pada dirinya, tidak lagi tunduk pada kemauan si pembentuk, baik MPR, konstituante, dan sebagainya.

UUD memberi, membatasi, dan mengatur kekuasaan setiap lembaga negara. Semua peraturan perundangan, lembaga- lembaga negara dan birokrasi pada dasarnya adalah pelaksana operasional konstitusi, bukan atasan konstitusi (Ferrel Heady, 1996). Mereka adalah penafsir UUD pada tingkat, lingkup dan tata caranya masing-masing.

Berpikir dalam pendekatan kesisteman, Pancasila dan seluruh nilai-nilai dalam Pembukaan adalah induk dari segala induk sistem dalam UUD 1945. Induk mengandung sistem-sistem seperti kedaulatan rakyat, negara hukum, negara kesatuan dan sistem presidensial yang saling mengisi dan membentuk. Sistem induk menjadi acuan sistem dan sistem menjadi acuan untuk subsistem di bawahnya. Tak boleh ada subsistem atau sistem yang bertentangan dengan induk sistem di atasnya.

Dalam disiplin demikian, pembuatan rancangan akademik sampai pada proses penyelesaian RUU menjadi UU semestinya taat asas pada hierarki kesisteman. Dengan demikian, keahlian, pengalaman, dan pengabdian tenaga ahli, wakil rakyat, dan lain-lain dipercaya akan menghasilkan peraturan perundangan yang tepat dan kokoh tegak lurus pada UUD I 1945.

Untuk itu, diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam merujuk sumber, untuk membedakan pemahaman perseorangan, sikap politik subyektif kelompok dengan hasil akhir permusyawaratan atau original intent ketentuan UUD yang ada. Seperti diketahui, tidak semua pendapat anggota MPR dan pendapat ahli pada waktu proses perubahan sejalan dengan hasil akhir.

Walau sejak awal semua pihak sepakat mempertahankan Pembukaan, dasar negara Pancasila, bentuk negara kesatuan dan sistem presidensial, dalam prosesnya ada dinamika. Ada yang menginginkan negara serikat, ada yang mendukung sistem perwakilan bikameral, dan lain-lain.

Pada dasarnya, prinsip-prinsip pokok konsepsi dalam UUD hendaknya dipahami dan ditaati dengan sengaja. Jangan sampai tanpa sengaja ide-ide yang tidak sesuai masuk ke dalam peraturan perundangan.

Misalnya, UU tentang Pemerintahan Daerah memuat tentang otonomi seluas-luasnya pada daerah hendaknya taat asas bahwa otonomi adalah subsistem negara kesatuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945.

Kewenangan di daerah adalah berasal dari kewenangan nasional pemerintah pusat yang didevolusikan atau diberikan melalui UU yang dibuat bersama oleh DPR, pemerintah, dan DPD.

Dalam hubungan itu, terdapat kekeliruan dalam menentukan jenis dan hierarki peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam UU No 12/2011, di mana Tap MPR secara keseluruhan dimasukkan pada hierarki kedua.

Seharusnya hanya Tap XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran paham marxisme/komunisme dalam wilayah negara Indonesia, dan Tap XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. (Tap V/MPR/1999 tentang Timor Timur telah terlaksana).

Dengan demikian, jenis dan hierarki perundangan Indonesia adalah (i) UUD 1945; (ii) Tap MPR No XXV/1966 dan Tap MPR XVI/1999; (iii) UU/peraturan pemerintah pengganti UU; (iv) peraturan pemerintah; (v) peraturan presiden; (vi) peraturan daerah provinsi; dan (vii) peraturan daerah kabupaten/kota.

Uji konstitusionalitas UU oleh MK terhadap UUD 1945 adalah cara yang dibangun oleh UUD untuk secara yudisial menegakkan dan mencegah penyimpangan penafsiran atas UUD 1945. UUD 1945 harus dipahami kembali seutuhnya dan tidak dipahami terpotong-potong.

 

Jakob Tobing

Ketua PAH I BP-MPR/Komisi A ST MPR 1999-2002, Amendemen UUD 1945

 

Sumber Foto: Kompas.id

Sumber Artikel: https://kompas.id/baca/opini/2018/10/22/menafsirkan-uud-1945/

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...