info@leimena.org    +62 811 1088 854

Pdt. Andreas A. Yewangoe

Pdt. Andreas A. Yewangoe

Anggota Dewan Pengarah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lahir di Mamboru, Sumba, Nusa Tenggara Timur, 1945. Mendapat gelar Sarjana Teologi (S.Th) dari STT Jakarta, 1969. Ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS), yang ditugaskan sebagai dosen pada Akademi Teologi Kupang (ATK), 1971. Ia memimpin akademi tersebut tahun 1972-1976. Ia memperoleh gelar Doctorandus Theologiae dari Vrije Universiteit di Amsterdam (1979). Setelah bertugas di tanah air, ia kembali lagi ke Vrije Universiteit untuk promosi Doctor Theologiae, 1987, dengan disertasi berjudul Theologia Crucis in Asia (1987). Ia pernah memimpin Universitas Kristen Arta Wacana, yang merupakan peningkatan dan perluasan dari ATK, sebagai rektor tahun 1990-1998 (dua periode). Ia pernah menjadi salah seorang Ketua PGI, dari tahun 1994-2004 (dua periode). Beliau terpilih menjadi Ketua Umum PGI dari tahun 2004-2014 (dua periode)

I. Politik Tidak Lagi Tabu Bagi Gereja

Pemahaman bahwa politik itu tabu bagi gereja (dan orang Kristen) telah merupakan masa lampau. Dulu memang, sebagai akibat dari kesalehan pietisme orang tidak mempedulikannya. Politik dianggap kotor dan secara sangat sederhana dipertentangkan dengan kehidupan rohani yang serba  kudus. Politik mengurus urusan‐urusan duniawi, dan karena itu tidak pantas dilakukan oleh orang‐orang Kristen yang perhatiannya ke surga. Tentu saja pengertian seperti ini mesti difahami  di dalam kerangka pemahaman pietisme mengenai dunia dan keselamatan. Kesalehan pietisme yang sangat mendambakan keselamatan manusia, karena Yesus akan segera datang tentu tidak terlalu merasa perlu melihat politik sebagai bidang yang harus dihadapi. Kita tidak perlu menyayangkan hal ini. Bahkan, dalam derajat tertentu kita harus berterimakasih kepada pietisme sebab, oleh gerakannya itu kegairahan untuk mengkhabarkan Injil yang selama ini membeku di dalam institusi gereja dihidupkan lagi. Sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah, sejak itu berbagai kelompok, perkumpulan, yayasan pekabaran Injil tumbuh di mana‐mana dengan tujuan meneruskan Injil keselamatan ke seluruh dunia. Kegiatan‐kegiatan mereka merambah ke mana‐mana, tidak terkecuali di negeri kita. Alhasil, berbagai gereja (suku) timbul di seluruh Tanah Air. Semua ini patut disyukuri.

Tetapi zaman telah berubah. Sejalan dengan perkembangan zaman itu, pengertian terhadap politik pun berubah. Telah lama gereja‐gereja, termasuk gereja‐gereja di Indonesia melihat politik sebagai bidang pelayanan yang tidak boleh diabaikan. Gereja harus terlibat di dalam pelayanan tersebut, sebab pertuanan Yesus mencakupi segala sesuatu, demikian keyakinan gereja. Tentu saja ini bukan pandangan baru sama sekali, sebab sudah di dalam Alkitab dan tulisan‐tulisan bapa‐bapa gereja belakangan kita menemukan ajakan untuk terlibat di dalam politik. Maka ketika gereja (dan orang Kristen) sekarang melibatkan diri di dalam politik, kita mesti berkata mengenai penemuan kembali tugas yang selama ini diabaikan. Barangkali bisa juga disebut penafsiran kembali terhadap amanat Kitab Suci yang selama ini dikaburkan oleh adanya sikap apriori terhadap politik itu. Namun demikian, tetaplah perlu untuk mengklarifikasi pengertian “politik” itu sendiri. Apa sesungguhnya yang dimaksud apabila di dalam Yeremia 29:7 misalnya ada ajakan untuk mengusahakan kesejahteraan kota ke mana Tuhan membuang umat‐Nya, dan berdoa bagi kota itu, sebab kesejahteraannya adalah pula kesejahteraan umat Tuhan. Mengusahakan kesejahteraan dan berdoa bagi kota adalah tindakan politik yang memperlihatkan kemampuan umat untuk hidup bersama di dalam kota. Ingat bahwa istilah politik yang kita warisi sekarang adalah jabaran kata yang berasal dari bahasa Yunani/Latin: polis. Atau ketika rasul Paulus mengajak umat Tuhan di kota Roma untuk taat kepada Pemerintah, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan ditetapkan Allah (Roma 13), maka itulah sikap politik sebab Pemerintah di sini dianggap sebagai pengemban amanat untuk mengurus kota (baca: negara).

Pada pihak  lain, politik memang  berurusan  dengan  kekuasaan (power/macht). Pada dirinya kekuasaan tidak perlu ditakuti atau dijauhi, asal saja dipakai dengan benar bagi kesejahteraan bersama. Sayangnya tidak selalu begitu. Kekuasaan cenderung disalahgunakan. Guna memperoleh kekuasaan, sering cara‐cara yang tidak etis ditempuh. Kekuasaan menjadi tujuan di dalam dirinya. Di dalam keadaan seperti inilah gereja (dan orang Kristen) sering gamang. Haruskah kekuasaan diperoleh kalau perlu dengan mengorbankan etika, atau berpegang pada etika tetapi tidak mendapat apa‐apa? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak sederhana. Intinya adalah, sampai di manakah di dalam transaksi‐transaksi politik misalnya, prinsip‐prinsip etika Kristen dipegang secara teguh, dengan akibat tidak mencapai apapun? Atau bolehkah ada sedikit “kompromi” asal saja kekuasaan digenggam? Kenyataan inilah yang menghantar orang untuk menstigmatisasi politik sebagai sesuatu yang kotor. Perlu kita camkan, bahwa bahkan di dalam negara‐negara yang menamakan diri “Kristen” tidak selalu prinsip‐prinsip kristiani dikedepankan. Negara Papua‐Nugini misalnya, secara terang‐terangan di dalam Konstitusinya menamakan dirinya “Negara Kristen”, tetapi tidak selalu aman dan sejahtera di sana sebab begitu banyak kompromi politik dilakukan.

Ketika Indonesia memasuki era reformasi, saluran kebebasan berpolitik dibuka seluas‐luasnya. Orang berlomba‐lomba mendirikan partai‐partai politik. Tidak terkecuali orang‐orang Kristen.  Sebagian  lainnya  melibatkan  diri  di  dalam  partai‐partai bersifat kebangsaan, karena merasa aspirasi politiknya ditampung di dalam partai‐partai tersebut. Semua ini baik. Namun pertanyaannya adalah, apakah yang diperjuangkan oleh umat Kristen dengan mendirikan partai‐partai Kristen, atau melibatkan diri di dalam partai‐partai bersifat kebangsaan itu? Adakah visi Kristen yang diyakini yang sekaligus membimbing mereka, sehingga di dalam partai manapun mereka melibatkan diri mereka tidak kehilangan arah? Pertanyaan ini juga tidak mudah menjawabnya. Biasanya orang berpendapat bahwa seseorang yang berada di dalam partai politik tertentu tidak  bisa  melepaskan  diri  dari ideologi partai tersebut. Tulisan ini berusaha menyumbang sesuatu mengenai apa yang disebut visi Kristen tentang politik itu.

II. Politik, Binatang Apa Itu?

Pertanyaan ini kedengarannya sederhana dan sepertinya lazim di dalam percakapan sehari‐hari. Namun jawabannya sungguh sukar. Berbagai tulisan telah mengulas pertanyaan ini. Ahli‐ahli ilmu politik memberikan berbagai definisi. Demikian juga para ahli ilmu sosiologi dan etika. Ketika kita bertanya mengenai politik (paling tidak dalam konteks pembahasan ini), maka peranan orang‐orang Kristen di dalamnya juga ikut ditanyakan. Banyak buku telah mengulas politik dan peranan orang‐orang Kristen di dalamnya. Kita tidak perlu membahas buku‐buku itu sekarang. Tetapi secara khusus saya mau mengarahkan perhatian terhadap buku yang ditulis oleh J. Philip Wogaman berjudul, Christian Perspectives on Politics. Secara selektif saya mengangkat pokok‐pokok penting dari buku itu yang, setidak‐tidaknya menurut pengamatan saya, relevan bagi kehidupan perpolitikan kita di Indonesia dewasa ini. Penulis adalah seorang pendeta senior di Foundry United Methodist Church di Washington DC. Ia mengajar Etika Kristen di Wesley Theological Seminary selama lebih dari 20 tahun. Ia penulis buku‐buku Christian Ethics: A Historical Introduction; Speaking the Truth in Love: Prophetic Preaching to a Broken World; From the Eye of the Storm;  A  Pastor  to the  President  Speaks  Out.  Buku  setebal  374 halaman ini dipuji sebagai sebuah pembahasan terbaik mengenai politik di bidang Etika Kristen. Ia secara jelas dan jujur menganalisa dan mengkritisi semua yang berpartisipasi di dalam perdebatan, secara sangat berhati‐hati mengkonstruksi pendekatan‐ pendekatannya sendiri, dan secara cekatan mengarahkan perhatian kepada isu‐isu politik yang abadi dan tetap merupakan kepentingan primer justru ketika kita memasuki millennium baru (abad ke 21). Ia menegaskan, bagi seorang Kristen berpikir (sebagai seorang Kristen) mengenai politik, akan memberikan sumbangan berharga bagi pembangunan civil society yang di dalamnya mereka hidup. Dengan melakukan itu orang‐orang Kristen tidaklah mengisolasi diri mereka sendiri dari yang lainnya.

Tentu saja percakapan mengenai politik bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di dalam sejarah umat manusia. Tulisan‐tulisan klasik seperti Republic‐nya Plato, atau Politics­-nya Aristoteles telah mengarahkan perhatian kita kepada pokok penting ini. Tetapi juga di dalam Perjanjian Lama kita menemukan percakapan mengenai politik di dalam Kitab Hakim­-hakim atau Yeremia. Kendati ditulis ribuan tahun lalu, namun dengan pengamatan yang cermat tetaplah relevan bagi kehdupan masa kini, tentu saja dengan melakukan (re)‐interpretasi terhadapnya. Yang mau dikatakan adalah, bahwa percakapan mengenai politik dan relevansinya tidak akan pernah habis selama manusia hidup. Tidak aneh, sebab politik memang bersangkut‐paut dengan manusia dan kehidupannya, baik yang terprediksi maupun yang tidak. Sebagai akibat  kebebasan kehendak yang dimiliki manusia, pastilah banyak tuntutan diajukan. 

Dapatlah dikatakan, bahwa politik sangat penting dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia tidak bisa diabaikan. Bahkan  politik penting untuk menentukan siapakah atau apakah manusia itu. Politik pun sangat fundamental di dalam pembagian kebutuhan‐kebutuhan ekonomi. Termasuk di dalamnya bagaimana menentukan hak‐hak seseorang atas harta‐milik.

Segi lain dari politik yang tidak bisa diabaikan adalah, kaitannya dengan agama. Dalam setiap kebudayaan agama menjadi unsur sangat penting terhadap politik. Demikian juga sebaliknya. Kedua jenis kebutuhan itu tidak jarang berada pada orang (pihak) yang sama. Kendati demikian hubungan di antara keduanya sering juga krusial. Maka sedapat mungkin kita berusaha menginterpretasikan makna politik dengan bertolak dari kerangka acuan moral dan/atau teologi, dan di dalam terang ini, persoalan‐persoalan politik tertentu didekati. Wogaman menegaskan, bahwa sebagai seorang Kristen kerangka acuannya adalah “Kristen”, kendati tidak berarti bahwa pendekatannya akan pragmatis belaka. Sebagai demikian, orang‐orang Kristen tidak boleh melupakan iman mereka ketika mendekati persoalan‐persolan politik. Seyogianyalah mereka memberikan sumbangan‐sumbangan bermakna kepada dialog publik, justru dengan bertolak dari iman mereka.

Setelah pengantar yang agak panjang ini, kita tiba pada pertanyaan apa sesungguhnya politik itu. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Bahkan banyak ahli meragukan apakah mungkin merumuskan sebuah definisi obyektif mengenai politik. Bukankah setiap rumusan selalu mengandaikan adanya pilihan‐pilihan tertentu? Raymond  Plant  misalnya  menegaskan,  suatu  definisi  yang  “riil” mengenai politik yang melepaskan diri dari dari preferensi‐preferensi ideologis dari pilihan politik tidaklah mungkin. Alhasil, di dalam sejarah kita menemukan sekian banyak orang, seperti (disebut secara acak!) Aristoteles, Martin Luther, Karl Marx, Mahatma Gandhi, John Locke, Jacques Maritain, dan  seterusnya yang berbicara tentang politik, namun tidak dalam persepsi yang sama. Kendati demikian, pendapat‐pendapat mereka bukannya tidak punya kaitan sama sekali satu terhadap lainnya. Maka Marx dan Aristoteles memang berbeda, namun tidaklah dalam arti yang seorang berbicara tentang musik dan yang lainnya tentang ilmu kimia. Tetapi memang rumusan mereka sangat ditentukan oleh interpretasi mereka terhadap realitas yang dialami masing‐masing dari suatu pandangan tentang masyarakat manusia yang berbeda secara drastis. Maka perbedaan ini merefleksikan perbedaan‐perbedaan serius dari titik pandang filsafat tertinggi. Namun demikian, concern mereka terhadap kebutuhan manusia tetaplah sama.

 

1.  Negara dan Politik

Satu faktor penting di dalam berbicara mengenai politik adalah negara. Negara tidak boleh secara sederhana diidentikkan dengan pemerintah, kendati keduanya mempunyai kaitan satu sama lain. Negara melampaui pemerintah. Salah satu bahaya dari pengindetikkan negara dengan pemerintah adalah, politik lalu diartikan hanya sekadar manuver para politikus untuk memperoleh kekuasaan. (Di Indonesia akhir‐akhir ini kita mendengarkan ucapan, bahwa yang kita punyai barulah sekadar politikus. Kita kekurangan negarawan!). Negara mencakupi semua warganegara. Atau dengan kata‐kata lain, warganegara adalah bagian dari negara, tetapi sebagian besar warganegara bukanlah bagian dari pemerintah. Sekali lagi negara jauh lebih besar dari pemerintah. Maka politik yang dimaksud di sini, bukanlah pertama‐tama yang berkaitan dengan pemerintah, melainkan dengan negara.

Tetapi apakah negara? Tentu saja banyak definisi telah dihasilkan. Para pemikir, baik dari zaman baheula maupun modern tidak berhenti‐hentinya mendefinisikannya. Leon Trotsky misalnya menegaskan bahwa setiap negara didirikan di atas dasar paksaan. Pandangan ini diaminkan oleh Max Weber, seorang sosiolog berkebangsaan Jerman, sebab kalau “tidak ada institusi‐institusi sosial yang memahami pemakaian kekerasan, maka konsep tentang negara akan dihapuskan”. Kekerasan yang dimaksudkan di sini bukanlah yang sewenang‐wenang, tetapi suatu klaim monopoli penggunaannya secara syah di dalam suatu teritori yang telah ditetapkan. Mengapa kekerasan digunakan? Banyak alasan. Tetapi dengan dibayang‐bayangi oleh pandangan Rasul Paulus, itulah disebabkan oleh karena dosa manusia. Pandangan ini digemakan oleh Agustinus (abad ke V) dan belakangan oleh Martin Luther (abad XVI) dan Yohanes Calvin (abad XVI).

Namun demikian pandangan seperti itu telah bergeser sejalan dengan makin modernnya pengelolaan negara. Talcott Parsons, seorang   sosiolog   berkebangsaan   Amerika   memahami negara dengan mengacu kepada kekuasaan politik sebagai “kapasitas yang mengatur sistem‐sistem yang saling terkait sebagai sistem”. Seorang lain, Robert M.MacIver, juga sosiolog berkebangsaan Amerika, menegaskan bahwa kekuasaan politik sajalah organ dari seluruh komunitas. Sebagai demikian, kedua orang ini ingin menggarisbawahi bahwa negara, dalam derajat tertentu menubuhkan (atau menampilkan) integrasi kekuasaan dari suatu komunitas sebagai keseluruhan, sehingga, dengan demikian komunitas itu  dapat digerakkan untuk  menyelesaikan  sesuatu secara bersama. Artinya, semua potensi di dalam masyarakat dapat digerakkan, dan kalau ini terjadi, di situlah negara. Tetapi di sinipun aspek paksaan tetap tidak dikecualikan, sebab bagaimana negara bisa bergerak apabila aspek itu dinafikan. Pendeknya, negara adalah masyarakat yang bertindak sebagai suatu keseluruhan, dengan kekuasaan terakhir (atau tertinggi) untuk memaksa pemenuhan [tujuan] di dalam daerah yurisdiksinya sendiri. (“The state is society acting as a whole, with the ultimate power to compel compliance within its own jurisdiction”).

Bagaimana definisi ini difahami dengan menerapkannya kepada negara‐negara yang selama ini telah terbentuk? Sejarah memperlihatkan bahwa sekian banyak negara telah  terbentuk dengan pilihan (ideologi) masing‐masing. Hal yang menonjol di dalam definisi itu adalah, bagaimana relasi antara negara dan masyarakat difahami secara layak? Ada yang sungguh‐sungguh mengidentikkan negara dengan masyarakat (sistem fasis di bawah Mussolini misalnya), sehingga masyarakat tidak mempunyai ruang apapun untuk bertindak. Ia bahkan melihat negara berfungsi hanyalah melalui pemimpinnya. Tentu saja negara seperti ini bersifat totalitarian. (Sebagai catatan, apakah Indonesia di bawah rezim Orde Lama Sukarno dan Orde Baru Suharto juga demikian?) Ada juga yang memahami negara sebagai suatu kontrak sosial (Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau). Dalam pandangan Rousseau misalnya, negara tampil sebagai suatu keseluruhan sosial (social whole), memfokuskan maksud‐maksud dan aksi‐aksi dari masyarakat secara keseluruhan dan mengungkapkan makna kehidupan mereka secara bersama‐sama. Hobbes dan Locke pada pihak lain, lebih bersifat individualistik. Kendati demikian, mereka sepakat bahwa esensi negara terletak dalam persetujuan semua anggota masyarakat  untuk meletakkan hak‐hak individual mereka mengenai perlindungan diri ke dalam suatu kekuasaan bersama dari seluruh masyarakat itu sehingga yang disebutkan terakhir ini cukup kuat untuk mempertahankan hak dari semuanya. Berbeda dengan pilihan kaum fasis, sistem kontrak sosial tidaklah bersifat totalitarian, karena bagaimanapun ada batasan‐batasan yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh negara sesuai dengan kontrak sosial tersebut. (Di Indonesia di era reformasi ini telah menjadi kebiasaan untuk meneken kontrak politik dengan para politisi. Inikah yang dimaksud dengan Kontrak Sosial itu? Akan sangat menarik apabila topik ini didiskusikan lebih mendalam lagi).

Berbeda dengana sistem kontrak sosial ini, pandangan Karl Marx, sebagaimana dirumuskannya dalam The Communist Manifesto berhubung dengan makin maraknya kekuasaan kapitalisme yang begitu besar, “pelaksana‐pelaksana kekuasaan dari negara modern hanyalah berfungsi mengatur kepentingan‐kepentingan kaum borjuis”. Bagi Marx, tidak mungkin ada masyarakat yang melayani kepentingan seluruh masyarakat selama masih ada konflik kelas karena perbedaan ekonomi. Maka, terutama di dalam Marxisme klasik, dicita‐citakan penghapusan negara. Di dalam masyarakat tanpa kelas itu negara tidak lagi dibutuhkan.

Pandangan yang hampir bersifat organis mengenai negara dikemukakan oleh Thomas Aquinos (abad pertengahan), yang kelihatannya mengikuti pandangan Aristoteles. Visi politiknya menggambarkan masyarakat manusia di dalam bentuk hierarkhi. Masyarakat diandaikan telah diatur secara baik berdasarkan kelahiran dan/ atau kemampuan seseorang yang memang telah tertanam di dalam dirinya. Hampir‐hampir seperti bakat. Alhasil, memerintah dilakukan oleh mereka yang memang pantas untuk memerintah. Negara, yang oleh kaum Thomisme dipandang sebagai institusi yang sempurna (yang lainnya adalah gereja!), ditugaskan untuk memerintah semua perkara‐perkara masyarakat  yang bersifat sementara sebagai suatu keseluruhan. Kesempurnaannya terletak di dalam kenyataan bahwa, ia (negara) memiliki semua kekuasaan dan sumber‐sumber di dalam dirinya yang dibutuhkan guna pemenuhan yang layak bagi tujuan yang telah ditetapkan. Maka negara menubuhkan (atau merepresentasikan) masyarakat sebagai suatu kesatuan sejauh ia (negara) bertindak secara pantas sesuai dengan peranannya. (Petani misalnya tidak pantas menjadi pemerintah, tetapi peranannya untuk mempertinggi kekuatan perekonomian diakui).

Semua pilihan ini tidaklah mudah. Hak negara untuk memaksa misalnya bisa mengarahkan orang kepada tindakan anarkhis oleh mereka yang tidak mengakui peranan negara, sebagaimana disinyalir oleh Leo Tolstoy. Tolstoy memandang sifat paksaan yang secara esensial dimiliki negara adalah sebab, dan bukan obat bagi kefasikan manusia. Di era kita ini adalah Robert Nozick yang melihat negara sebagai institusi pengganggu yang sangat tidak adil terhadap hak‐hak kepemilikan dari warga negara sebagai orang‐ orang bebas. Di sini jelas, bahwa yang ada di belakang kepala mereka adalah, sifat negara sebagai pemaksa. Tolstoy menginginkan adanya sebuah negara yang menerapkan cinta‐kasih dan kerjasama timbal‐balik di dalam masyarakat, bukan yang dipaksakan. Tentu ini sangat ideal. Mungkin juga tidak akan pernah terwujud. Mussolini sangat mengagung‐agungkan negara, sehingga cenderung melihatnya tanpa cacat, kendati sangat jelas diidentikkannya dengan pemimpinnya (Mussolini sendiri). Wogaman melihat semua perkembangan pemahaman ini sebagai suatu lingkaran, yang di dalamnya tidak ditemukan perspektif penting mengenai politik yang secara fundamental tidak terfahami apabila diuji di dalam terang defenisi ini. Dengan mengemukakan ini, maka perlu dibahas mengenai konsep kedaulatan negara.

 

2.  Kedaulatan

Negara, sesuai dengan definisi yang dikemukakan di atas adalah lokus dari kekuasaan tertinggi di dalam sebuah masyarakat. Maka pertanyaan mengenai kedaulatan menjadi penting. Apalagi di dalam prakteknya di banyak negara orang‐orang tertentu begitu kuatnya mendominasi orang‐orang lain. Tentu saja kedaulatan adalah sesuatu yang bersifat mistis, sebab di dalam kenyataannya tidak  ada  negara  yang  sungguh‐sungguh  berdaulat,  artinya  yang secara penuh mengendalikan nasibnya sendiri. Tidak ada kekuasaan yang sama sekali tidak ikut ditentukan oleh kekuasan‐kekuasaan eksternal. Namun demikian, istilah kedaulatan tetap penting dan berguna sebab ia membantu kita memfokuskan diri kepada sumber‐sumber kuasa tertinggi. Di dalam sistem kerajaan, kedaulatan berada di tangan raja, bahkan bisa sangat mutlak (ingat ucapan Louis XIV: “l’etat c’est moi”). Pada pihak lain jelas juga, bahkan di dalam kekaisaran Romawi pada akhirnya kedaulatan dilihat sebagai yang terletak di dalam masyarakat (boleh dibaca: rakyat). Masyarakat itu sendirilah merupakan sumber kedaulatan kekuasaan politik. Namun demikian perlu juga untuk mengajukan pertanyaan berkaitan dengan ini, pantaskah berbicara mengenai masyarakat sebagai sumber tertinggi kedaulatan? Banyak ahli meragukan hal itu. Jacques Maritain misalnya berpendapat, bahwa tidak ada satupun yang layak dilihat sebagai sumber tertinggi kedaulatan kecuali Tuhan. Mengapa? Karena pelaksanaan yang absyah dari hukum moral sesungguhnya secara intrinsik tertanam di dalam kemanusiaan kita. Maritain: “…God is the very source of the authority with which the people invest those men or agencies, but they are not the vicars of God. They are vicars of the people; then they cannot be divided from the people by any superior essential property.” Jadi ada keterbatasan kedaulatan. Ada dua hal yang dikemukakan berhubung dengan keterbatasan pelaksanaan kedaulatan itu. Pertama, bahwa ada pembatasan‐pembatasan faktual terhadap semua kekuasaan politik manusia,  karena  tidak ada kekuasaan yang secara total mampu menandingi kehendak dan keterbatasan alamiah; kedua, bahwa istilah kedaulatan tidak diperbolehkan  meneruskan  implikasi‐implikasi etis dan teologis sehingga suatu kekuasan manusiawi yang tidak teridentifikasi tidak tunduk kepada suatu kritik moral yang lebih tinggi.

 

3.  Kekuasaan Politik

Kalau begitu apakah kekuasan politik? Secara singkat dapat dikatakan, ialah kekuasaan untuk membuat masyarakat (boleh dibaca, rakyat) melakukan sesuatu, suka atau tidak suka. Kenyataan ini membawa kepada anggapan bahwa kekuasaan politik memang bisa bersifat demonis. Contoh, Adolf Hitler atau Joseph Stalin yang mampu membuat rakyat mereka taat kepada mereka.  Dalam banyak hal mereka meragakan kekuatan, bahkan kepada rakyat mereka sendiri. Tetapi itukah pemahaman yang layak mengenai kekuasaan? Tidak juga. Kekuasaan politik bersumber dari kehendak manusia. Di mana kehendak manusia terlibat, pengaruh atas keputusan jauh lebih penting ketimbang penerapan kekuatan (force) secara mekanis. Franz Neumann mengemukakan hal itu ketika ia mengadakan pembedaan antara dua bentuk kekuasaan: “pengendalian terhadap alam” dan “pengendalian terhadap manusia”. Yang disebut pertama hanyalah sekadar kekuasaan intelektual, yang didasarkan atas pemahaman kita mengenai alam dan status ketrampilan teknologi kita dewasa ini. Misalnya saja membunuh hewan (atau manusia), atau pengiriman manusia ke bulan adalah pengendalian terhadap alam. Semua kekuasaan politik di dalam dunia tidak dapat melakukan apa‐apa apabila status ketrampilan teknologi yang ada tidak mengizinkannya. Dengan demikian dapatlah dikatakan, pengendalian terhadap alam relevan bagi kekuasaan politik, tetapi kekuasaan politik mencakupi matra tambahan. Mengapa? Karena kekuasaan politik mencakupi lebih dari sekadar “membuat” sesuatu terjadi. Sebagai contoh, para pemimpin politik kadang‐kadang dapat memerintahkan kematian seorang warganegara yang menjadi oposan, atau yang tidak taat‐ dan itu berarti mencakupi pengendalian terhadap alam. Tetapi mengendalikan kelakuan manusia berarti mempengaruhi mereka melakukan apa yang kita kehendaki untuk dilakukan. Dari penjelasan singkat ini Neumann menyimpulkan, bahwa kekuasaan sosial adalah suatu kekuasaan politik yang difokuskan pada negara. Ia mencakupi pengendalian terhadap orang lain dengan tujuan mempengaruhi perilaku negara, kegiatan‐kegiatan legislatif, administrasi dan yudisialnya. Alhasil, mereka yang menggunakan/mempunyai kekuasan politik didorong untuk menciptakan respons‐respons emosional dan rasional di dalam mereka yang diperintah, merayu mereka untuk menerima, secara implisit atau eksplisit, perintah‐perintah dari penguasa mereka. Maka politik, demikian kesimpulannya, adalah pergumulan‐ pergumulan ide‐ide dan kekuatan.

Kesimpulan ini dapat diterapkan kepada semua bidang politik. Apa implikasinya? Wogaman: “Every human interest or value having any influence over the will of any person is potentially a form of political power.” Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sikap, perilaku dan keputusan manusia dapat saja dipolitisasi. Misalnya, tidak dapat diragukan bahwa ekonomi penting untuk  sebuah negara. Tetapi ekonomi bukan segala‐galanya. Kebanggaan bangsa dapat saja pada suatu saat menggeser kepentingan ekonomi. Para pahlawan yang dikagumi atau kaum selebritis dapat mempengaruhi para pengagum mereka secara politik. Dan seterusnya.

Lalu jangan lupa agama.  Kekuatan dahsyat agama dapat mempengaruhi  juga kehendak   politik.   Orang‐orang beragama, siapapun mereka dapat saja disentuh secara politik melalui nilai‐nilai agama mereka. Misalnya saja timbulnya kaum kanan religius di Amerika Serikat, Kaum Muslim Syiah di Iran, kaum Buddha di Myanmar, rabbi‐rabbi konservatif di Israel, dan seterusnya. Nicolo Machiavelle misalnya, sangat menyadari kekuatan agama ini di dalam politik. Maka nasihatnya kepada Sang Pangeran berhubung dengan kebajikan, adalah, “tidaklah esensial apabila Pangeran mempunyai kualitas yang baik”. “Tetapi”, ia meneruskan, “sangatlah esensial apabila sang Pangeran kelihatannya memiliki kebajikan itu. Maka sangatlah riskan bagi seorang penguasa untuk tampil sangat bermoral dan religius, tetapi pada saat yang sama juga merupakan kesalahan serius apabila tidak tampil seakan­akan bermoral dan religius”. Artinya Sang Pangeran harus cerdas untuk tampil seakan‐akan bermoral dan beragama. Di sinilah kekuatan agama dipergunakan bagi kepentingan politik, walau dengan cara yang sangat keliru. Kendati karya Machiavelli ini dikutuk, namun ia berhasil menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang mempengaruhi kesadaran manusia dan menyentuh nilai‐nilai mereka adalah relevan bagi kekuasaan politik. Maka segala sesuatu yang mampu mempengaruhi perilaku manusia secara potensial adalah bentuk dari kekuasaan politik. Dengan mengutip Machiavelli di sini, kita dibawa kepada pertanyaan lanjutan, apakah kewibawaan yang absyah itu?

 

4.  Kewibawaan Yang Absyah

Pertanyaan mendasar adalah mengapa rakyat mau bertindak bersama, melalui negara, bahkan ketika negara cenderung merusakkan nilai‐nilai atau interesa yang justru sangat berguna bagi mereka? Di dalam setiap civil society, masyarakat dikondisikan untuk taat kepada kewibawaan politik, suka atau tidak suka. Jikalau suatu kewibawaan politik diterima sebagai syah oleh suatu komunitas, maka secara umum akan ditaati. Keabsyahan sebuah kewibawaan politik sesungguhnya adalah suatu konsep moral, yang mengungkapkan kepercayaan yang berakar dalam suatu masyarakat, bahwa kewibawaan itu memang mengekspresikan nilai‐nilai yang dihidupi oleh masyarakat tersebut. Sekaligus ia juga mengungkapkan bahwa melalui keyakinan mendalam dari masyarakat, mereka diajak untuk taat kepada kewibawaan tersebut. Rasul Paulus misalnya menegaskan agar setiap orang taat kepada Pemerintah, sebab ditentukan oleh Tuhan (Rm. 13:1). Dengan pendasaran ini orang akan setuju memperlihatkan ketaatan itu. Maka, apabila pada suatu saat tertentu gereja melihat pemerintah telah menyimpang, maka rakyat bisa diserukan untuk menarik kembali dukungan kepada pemerintah. Contoh di dalam sejarah cukup banyak, misalnya Kaisar Henry IV terpaksa harus merendahkan diri di hadapan Paus Gregorius VII di Kastil Canossa (1077) sebelum Paus memulihkan kewibawaannya. Di Inggris kita menemukan drama berbeda ketika raja Inggris Henry VIII diekskomunikasikan oleh Paus karena menceraikan isteri pertamanya, Catherina dari Arragon. Maka untuk menjaga kewibawaannya ia melepaskan diri dari gereja Katolik dan mendirikan gerejanya sendiri, yang belakangan dikenal sebagai The Church of England (Gereja Anglikan). 

Bagaimana di dalam zaman modern? Pengabsyahan oleh gereja kelihatannya tidak dibutuhkan lagi. Namun keabsyahan tetap penting. Lalu dari mana legitimasi kewibawaan itu? Tradisi kontrak (Hobbes, Locke, Rousseau) memperkembangkan pemahaman bahwa kewibawaan adalah absyah sejauh ia menampilkan komitmen mula‐mula dari warganegara untuk menaati hukum dengan imbalan faedahnya bagi negara. Secara moral kita semua diikat dalam pengertian, bahwa kita mengikat diri kita sendiri kepada sesama warganegara; bahwa kita semua akan menaati penguasa. Tetapi kita juga taat karena kita mengakui bahwa pada akhirnya semua itu dibuat demi kepentingan kita.

 

5.  Pemerintah dan Perjuangan Untuk Kekuasaan Politik

Biasanya negara bertindak melalui pemerintah. Pemerintah adalah pengungkapan yang syah dari kewibawaan negara. Kaitan antara negara dan pemerintah begitu erat, sehingga kedua pengertian itu sering diidentikkan saja satu sama lain. Alhasil, dapat mengaburkan pemahaman mengenai negara. Di dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan (monarkhi, aristokrasi dan demokrasi). Dengan mengikuti Montesquieu kita mengenal adanya pembagian atas tiga jenis kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tentu saja, suatu sistem pemerintahan jauh lebih kompleks di dalam kenyataannya dari sekadar tiga jenis kekuasaan itu. Ketiga jenis kekuasaan itu di dalam prakteknya tidak sungguh‐ sungguh begitu sebab misalnya, kekuasaan yudikatif bisa saja “menciptakan” hukum dalam yudicial review misalnya. Atau kekuasaan eksekutif juga dapat membuat hukum di dalam bentuk penjabaran dari UU misalnya di dalam bentuk peraturan‐peraturan pemerintah. 

Maka perjuangan untuk mengontrol (kekuasaan) pemerintah sangatlah penting. Kontrol atas pemerintah bisa juga berarti mengontrol apa yang akan diperbuat atau tidak diperbuat oleh seluruh masyarakat. Perjuangan itu berbentuk banyak. Di dalam negara yang menerapkan sistem absolut, perjuangan untuk kekuasaan adalah bagaimana mempengaruhi si penguasa. Demikian juga di  dalam  negara‐negara demokratis,  perjuangan  dapat dilakukan melalui berbagai lobi. Upaya‐upaya itu dilakukan untuk mempengaruhi para legislator, eksekutif bahkan yudikatif. Tetapi upaya‐upaya pun bisa dilakukan untuk mempengaruhi birokrasi, yang di dalam kenyataannya juga menjalankan kekuasaan politik.

Aspek yang paling nampak dari perjuangan bagi kekuasan politik adalah ketika kontrol yang jelas atas pemerintahan sedang berada dalam bahaya, misalnya dalam masa pemilihan umum dan atau revolusi. Persoalan penting yang dikedepankan di sini adalah, siapakah yang akan mengontrol semua aparat dalam keseluruhannya. Kekuatan ini bisa saja sangat besar. Perjuangan bagi kekuasaan dalam bentuk yang beranekaragam ini merupakan gejala yang sangat kompleks. Bisa terjadi secara terbuka. Bisa juga terjadi di balik layar. Pertanyaan adalah, siapakah akan memerintah? Apakah yang akan dilakukan? Di dalam banyak masyarakat terdapaat ketidakleluasaan kultural yang ikut mempengaruhi perjuangan ini. Mereka yang tidak memperhatikan hal ini merusakkan nilai‐nilai fundamental yang menentukan keabsyahan. Tetapi apapun yang terjadi, mereka yang berjaya dalam perjuangan bagi kekuasaan akan menentukan apa yang orang lain akan lakukan apabila mereka semua bertindak bersama sebagai suatu masyarakat politik. Perjuangan ini selalu merupakan kenyataan di dalam politik.

III. Adakah Warisan Historis Bagi Pemikiran Politik Kristen?

Jawabannya singkat saja: Ada. Wogaman membahas pokok ini dalam 12 halaman. Kita tidak perlu mengemukakan semuanya di sini. Kita akan memilih pokok‐pokok yang kita anggap penting saja. Sesungguhnya sejak semula orang‐orang Kristen bergaul dengan politik. Surat rasul Paulus kepada Jemaat di kota Roma (fasal 13) yang telah kita sebutkan, membuktikan hal itu. Tunduklah kepada pemerintah karena tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Pemerintah‐pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah. “…karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang…”, dan seterusnya. Pada pihak lain, perlu dikatakan bahwa di dalam pemikiran politiknya sering orang Kristen bersifat ambivalen, sebagaimana terlihat dalam “Surat Kepada Diognetus”. Orang Kristen berada dalam dunia, tetapi mereka tidak berasal dari dunia. Kewarganegaraan mereka mentransendenkan orde politik duniawi bahkan walaupun tanggungjawab mereka di hadapan Allah adalah berpartisipasi di dalam orde itu.

Alhasil, kesibukan Kristen selama berabad‐abad adalah bagaimana mencari keseimbangan dari ambivalensi tadi. Orang‐ orang Kristen di dalam rentang waktu yang panjang sekali telah mengalami, baik menarik diri sama sekali dari dunia (karena, demikian keyakinannya, penuh dengan dosa dan kefasikan), maupun terlibat secara tidak kritis di dalam persekutuan‐ persekutuan sosial di dalam masyarakat. 

 

1.  Gereja Mula­-mula

Tentu saja ambivalensi di dalam kekristenan mula‐mula itu bisa difahami. Penghambatan dan penyiksaan yang terus‐menerus oleh para penguasa negara menyebabkan orang  Kristen memandang kekuasan politik sebagai kejahatan (di dalam Why. 13, dilukiskan sebagai binatang buas yang keluar dari dalam laut). Tetapi pada pihak lain, mereka juga merasa perlu untuk menimbulkan kesan di pihak para penguasa bahwa mereka adalah warganegara yang taat. Karena itu, demikian anggapan mereka, tidak patut mereka dihambat dan disiksa. Pemahaman itu terefleksi dalam surat yang ditulis oleh Origenes (kira‐kira 182‐251 M) kepada Celsus, yang menegaskan kalau saja semua berlaku seperti orang‐orang Kristen, maka semuanya akan taat hukum dan karena itu Kaisar tidak perlu kuatir. Di dalam abad II, Yustinus Martir menulis, bahwa kami yang “sekali dibunuh satu sama lain bukan saja tidak melancarkan perang kepada satu sama lain, melainkan supaya tidak berbohong atau menipu para penyiksa kami, kami dengan gembira mau mati bagi pengakuan kami kepada Kristus” dan “kami yang dipenuhi dengan peperangan, dan saling membunuh, dan setiap kefasikan, telah mengubah senjata‐senjata perang menjadi mata bajak….”. Pernyataan Yustinus ini masih memperlihatkan paradoks.

Menarik untuk dicatat, bahwa kendati orang‐orang Kristen selalu berada di bawah ancaman penghambatan dan penyiksaan, namun terdapat pernyataan positif mengenai keabsyahan negara. Sekaligus kita juga melihat implikasi dari penghakiman terhadap kekuasaan politik.   Bangkitnya Konstantin   Agung   dengan   menyatakan   diri sebagai Kristen (313 M) telah mengubahkan sama sekali status politik orang‐orang Kristen. Alhasil, para teolog seperti Lactantius, Ambrosius dari Milano, Agustinus dan Kaum Kapadokian merefleksikan pemikiran tentang kekristenan “yang mapan”. Yang menonjol adalah tulisan Agustinus, “The City of God” (De Civitate Dei), yang memang ikut dirangsang oleh penyerbuan kaum Gothik ke kota Roma pada 410 M. Kota dunia, yang diwakili oleh Roma, menurut Agustinus dibuat oleh mereka yang mencintai diri sendiri, sedangkan Kota Allah, didirikan oleh mereka yang mencintai Allah. Kedua kota itu akan saling berhadap‐hadapan secara abadi, tetapi juga akan saling merasa aneh satu terhadap lainnya. Negara (Kota Dunia) dapat saja memegang di dalamnya orang‐orang yang sesungguhnya adalah warga Kota Allah, dan begitu pula sebaliknya. Gereja sebagai contoh terbaik di dunia dari Kota Allah, juga di dalamnya terdapat unsur‐unsur Kota Dunia. Itu berarti, secara implisit tugas gereja adalah menangani kecenderungan‐ kecenderungan disintegratif dari Kota Dunia sehingga karya Allah yang beranugerah itu dapat tampil di tengah‐tengah umat manusia. Kota Dunia, diungkapkan dalam terminologi politik, bahkan dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif baik apabila ia bukan sekadar wahana bagi kepentingan diri sendiri.

Pandangan Agustinus ini bertahan ribuan tahun sebagai dasar pemikiran Kristen mengenai peranan sentralnya sebagai saluran anugerah Allah kepada manusia. Ia juga yang memulai pemikiran mengenai “perang yang adil”, suatu konsepsi tentang perang yang dapat diterima keabsyahannya sebagai yang kadang‐kadang perlu.

  

2.  Di Dalam Abad-­abad Pertengahan

Di dalam abad‐abad pertengahan orang memberi perhatian kepada apa yang terjadi di antara masa‐masa runtuhnya Kekaisaran kuno Romawi dan permulaan timbulnya modernitas. Era ini meliputi masa ribuan tahun, sampai kepada timbulnya Revolusi Industri di Inggris (permulaan abad XX). Dalam masa yang panjang ini berkembang  pemikiran politik Kristen.  Yang  menonjol  adalah bagaimana etika Kristen secara sangat mudah mengakomodasikan diri ke dalam pola‐pola feodal yang timbul sesudah pecahnya kekaisaran itu. Eropa Barat terpecah dalam pecahan kerajaan‐ kerajaan kecil. Yang pasti adalah, bahwa di dalam era ini tidak ada pemikiran politik yang menyatakan diri demokratis.

Thomas Aquinos menonjol dalam era ini (abad XIII) di dalam pemikiran politiknya. Ia menganalisa negara (dan semua lembaga‐ lembaga manusia) dalam pemahaman tujuannya yang fundamental. Maka, sebagaimana telah dikatakan dalam fasal sebelumnya, negara (sama dengan gereja) adalah suatu “masyarakat sempurna” karena di dalamnya terkandung cara‐cara yang dibutuhkan guna mencapai tujuannya. Tujuan negara memang bersifat sementara, di mana termasuk di dalamnya perjuangan untuk mempertahankan perdamaian dan keadilan. Pemikiran Thomas ini mendominasi pemikiran Katolik Roma mengenai politik hingga ke abad XX. Sementara itu, segi‐segi kewibawaan dari pemikiran Thomas mulai dipertanyakan, sebagaimana nampak dalam gerakan‐gerakan konsiliar di abad XIV dan permulaan abad XV yang mempersoalkan demokratisasi gereja. Memang setelah beberapa dekade gerakan itu gagal, tetapi benih telah ditanamkan yang meluas melampaui gereja ke dalam bidang politik. Orang seperti Marsilius dari Padua (1280‐ 1343) mempertanyakan akuntabilitas Paus dan hierarkhi atas seluruh gereja. Ia memahami kedaulatan negara sebagai milik dari seluruh rakyat (dan kedaulatan gereja sebagai milik segala orang percaya). Ia menulis bahwa legislator adalah “rakyat atau keseluruhan tubuh dari warganegara… melalui pemilihan atau kehendak diungkapkan dengan kata‐kata di dalam sidang  umum dari para warganegara”.

Tentu saja pemikiran politik gereja di dalam abad‐abad ini tidak hanya dikuasai oleh kaum pasifis. Di tengah‐tengah kekerasan kekuatan‐kekuatan peperangan, crusade melawan kaum fasik dan tekanan terhadap para bidat pemikiran  politik kaum  pasifis  bisa saja hilang. Namun motif kaum pasifis yang terlihat di era pemikiran Kristen mula‐mula tidak hilang. Fransiscus dari Asisi adalah contoh. Ia menolak kekayaan duniawi, dan menerapkan perilaku hidup miskin dan berusaha mendamaikan orang yang sedang berkonflik. Konon, ia pernah berusaha mendamaikan orang‐ orang Kristen dan Muslim yang terlibat di dalam perang salib di dalam masa hidupnya.

Satu catatan lain dari era abad‐abad pertengahan ini adalah, timbulnya suatu bentuk pemikiran moral yang didasarkan atas pengakuan. Ini juga mempunyai konsekwensi‐konsekwensi politik. Gereja sebagai pengawal dan pemelihara sakramen‐sakramen difahami sebagai yang empunya kekuasaan formal untuk meneruskan atau menahan alat‐alat anugerah yang dibutuhkan bagi keselamatan ini. Maka kalau keselamatan jiwa seseorang adalah segala‐galanya, tentulah kemungkinan orang kehilangan akses ke alat‐alat keselamatan itu akan dicegah sekuat‐kuatnya. Terjadilah politisasi terhadap, apakah meneruskan atau menahan sakramen‐ sakramen tersebut. Kadang‐kadang seluruh bangsa terkena dampaknya. Kalau sudah begini, maka bukan tidak mungkin raja akan didesak oleh rakyatnya untuk mengundurkan diri. Dalam abad‐abad pertengahan ini pula berbagai manual konfesi disiplin diperkembangkan, dengan instruksi kepada para imam untuk mendengarkan pengakuan‐pengakuan. Begitu ada dosa, maka segera pula dilaksanakan ritual penebusan dosa.

 

3.  Menuju Era Modern

Di dalam menuju era modern, berbagai perkembangan dan perubahan sosial maupun kultural melanda Eropa, yang juga berdampak bagi  pemikiran politik Kristen.  Yang paling menonjol adalah timbulnya Reformasi di abad XVI. Martin Luther (1483‐ 1546), salah seorang pelopor Gerakan Reformasi tidak menantang konsepsi‐konsepsi tentang hierakhi kewibawaan politik yang diterima secara umum‐setidak‐tidaknya tidak banyak‐. Tetapi pandangannya mengenai harkat panggilan sekuler mempunyai implikasi bagi pelayanan publik. Lebih‐lebih lagi  ajarannya mengenai dua bidang (kerajaan) memberikan tekanan baru kepada ide Agustinus mengenai dua kota. Bagi Luther, kerajaan sekuler, sementara bisa merupakan panggilan yang pantas bagi seorang penguasa Kristen, tidak dapat secara sederhana didasarkan  atas Injil kasih. Kita hidup dalam dunia yang penuh dosa, di mana dosa tidak bisa dihapuskan sama sekali. Karena itu tetaplah perlu negara mempergunakan kekuasaan pedang untuk menentang dosa. Kedua kerajaan ini, menurut Luther haruslah secara tajam dibedakan dan keduanya diizinkan tetap ada; yang satu  untuk  menghasilkan kesalehan, sedangkan yang lainnya untuk menyelenggarakan perdamaian dan mencegah perbuatan‐perbuatan fasik; karena tidak ada dari keduanya yang memadai tanpa yang lainnya. 

Salah seorang pelopor Reformasi yang lain adalah Yohanes Calvin (1509‐1564). Ia juga menekankan pembedaan antara bidang sekuler dari kekuasaan dan bidang spiritual dari anugerah, kendati konsepsinya tentang kemuliaan dan kedaulatan Allah mempunyai lebih banyak dampak bagi orde sosial. Bagi Calvin, tugas Kristen adalah mencari dan menampilkan kehendak Allah, dan hal ini dapat mendorong kita melampaui tempat yang kita warisi di dalam orde sosial. (Dalam kaitan ini perlu dikemukakan buku Max Weber berjudul, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism) . Implikasi kedaulatan Allah adalah, tidak ada kedaulatan manusia yang imun terhadap kritik dan seseorang setidak‐tidaknya secara potensial mampu melihat kehendak Allah, tanpa memandang lingkungan formal mereka di dalam kehidupan. Memang Calvin tidak berbicara persis begitu, tetapi pemikirannya mengandung kemungkinan‐kemungkinan. Artinya, dengan adanya kemungkinan dan kemampuan manusia menginterpretasikan kehendak Allah di dalam lingkungannya, ia dengan segera dapat merespon secara alkitabiah tantangan‐tantangan lingkungannya itu. Maka tidak aneh apabila demokrasi modern berkembang pertama‐tama di dalam negeri yang sangat dipengaruhi oleh Calvinisme: Swiss, Skotlandia, Inggris dan Amerika Utara. Bisa juga ditambahkan Belanda. Terhadap negara pun Calvin bersikap positif. Menurut Calvin, pemerintahan sipil tetap bermanfaat selama kita hidup di antara manusia guna memperkembangkan dan melindungi ibadah lahiriah kepada Tuhan, mempertahankan doktrin yang benar mengenai kesalehan dan posisi gereja, menyesuaikan kehidupan kita kepada masyarakat   manusia,   membentuk   perilaku   sosial   kita   kepada kebenaran sipil, mendamaikan kita satu sama lain, dan memajukan perdamaian umum dan ketenangan.

Pemikiran‐pemikiran kedua reformator ini, kendati tidak secara langsung, telah memberikan sumbangan berharga bagi transformasi pemikiran Kristen mengenai negara. Di dalam masa Pencerahan muncullah pemikiran tentang demokrasi yang sesungguhnya adalah interpretasi lanjutan pemikiran Luther dan Calvin. Kita sudah menyebutkan Hobbes, Locke dan Rousseau yang terkenal dengan “kontrak sosial”, yang sangat dipengaruhi oleh ide‐ide Kristen. Tulisan Locke berjudul, First Treatise of Civil Government sangat diinspirasikan oleh pemahaman Alkitab. Sikap Hobbes yang agak pesimistis terhadap hakekat alamiah manusia agaknya sangat dipengaruhi oleh ajaran Kristen mengenai dosa pusaka (dosa asal).

Dorongan untuk mulai memikirkan hak‐hak asasi manusia, dan penentangan terhadap perbudakan dan  ketidaksamaan berdasarkan jender, diperjuangkan oleh “sayap kiri” Reformasi, termasuk kaum “Diggers” di Inggris dan “Levellers” serta kaum Quaker. Gerakan‐gerakan ini secara tegas menekankan kesamaan semua manusia, sebagaimana diajarkan Yesus. Gerakan revival yang dipelopori oleh Wesley bersaudara dalam abad XVIII di Inggris dan kaum Injili seperti Charles Grandison Finney dalam abad XIX di Amerika mempunyai dampak besar bagi perjuangan demokrasi, kendati mereka tidak secara eksplisit berbicara tentang politik. Kaum Quaker, yang telah kita singgung di atas secara sangat konsisten melawan perbudakan. Bahkan Finney, penginjil terkenal itu menegaskan dengan bahasa tanpa tedeng aling‐aling di tahun 1835, bahwa “satu dari alasan‐alasan mengapa kedudukan agama merosot adalah karena banyak gereja‐gereja memilih pihak yang salah dalam persoalan perbudakan.” Tetapi memang dibutuhkan banyak waktu sebelum gereja tiba pada kesadaran akan kesalahan itu. Demikian juga sikap terhadap kaum perempuan.

 

4.  Abad XX

Di dalam abad XX sekian banyak teolog yang melakukan analisis teologi terhadap kehidupan politik. Sejalan dengan itu berbagai pernyataan dan aksi politik diambil oleh lembaga‐lembaga gerejawi. Secara singkat dapat dikemukakan berikut ini. Di kalangan Gereja Katolik Roma dikenal berbagai ensiklik: Rerum Novarum (Paus Leo XIII, 1891), Quodragisimo Anno dari Paus Pius XI (1931), Mater et Magistra (1961), Pacem in Teris (1963), dan banyak lagi ensiklik baik dari Paus Paulus VI maupun Paus Yohanes Paulus II. Konsili Vatikan II juga memperlihatkan perubahan‐perubahan signifikan di dalam Gereja Katolik Roma dalam hal relasi gereja‐ negara, kebebasan beragama, partisipasi politik di dunia modern. Akibat dari semua perkembangan ini adalah, Gereja Katolik Roma bergeser dari sikap reaktip ketakutan terhadap proses demokratisasi ke arah sikap yang lebih pro‐aktif terhadap perjuangan hak‐hak asasi manusia.

Di kalangan gereja‐gereja Protestan muncul gerakan‐gerakan Social Gospel pada permulaan abad XX. Para tokohnya adalah Washington Gladden dan Walter Rauschenbusch yang mencoba mencari relevansi Injil secara lebih segar terhadap kehidupan perekonomian, khususnya ketika angin Revolusi Industri telah mulai berembus. Ada desakan untuk lebih memberi perhatian terhadap nasib orang‐orang miskin. Kita juga mengenal Konperensi Life and Work (1937, di Oxford), yang secara jelas melakukan analisis terhadap bahaya politik dan ekonomi dengan munculnya rezim‐rezim fasis dan komunisme, bersamaan dengan makin melemahnya kapitalisme laissez­faire. Dewan Gereja‐gereja Sedunia (WCC), yang didirikan pada tahun 1948 di Amsterdam merupakan arena bukan saja bagi penyatuan gereja, tetapi juga tempat berdebat dan merumuskan sikap gereja terhadap persoalan‐ persoalan politik dan ekonomi. Sampai sekarang peranan itu tetap dimainkan oleh WCC. Para pemikir Kristen juga memberi perhatian terhadap persoalan‐persoalan politik. Di dalam abad ini terkenal nama‐nama seperti, Karl Barth, Paul Tillich, Reinhold Niebuhr, Richard Niebuhr, Georgia Harkness, John Howard Yoder, Gustavo Gutierrez, Martin Luther King Jr., Rosemary Radford Ruether, Bernard Haring, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Indonesia, sesungguhnya perhatian gereja terhadap persoalan‐persoalan politik, dan berusaha memberikan pendasaran‐pendasaran teologis bukannya kurang. Khususnya gereja‐gereja di dalam lingkungan “Persekutuan Gereja‐gereja di Indonesia” (PGI), sejak Sidang Raya 1971 di Pematang Siantar menyadari bahwa mereka diutus ke dalam dunia. Dunia yang dimaksud adalah Indonesia dengan berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan seterusnya. Karena itu gereja‐gereja secara sadar melakukan reinterpretasi terhadap makna Injil sebagaimana tertulis di dalam Lukas 4:18‐19. Ditegaskan  bahwa Injil adalah “Kabar Baik” yang diperuntukkan bagi setiap orang, Injil yang konkret memasuki berbagai persoalan konkret manusia.Gereja‐gereja diajak dan didorong untuk melibatkan diri di dalam pembangunan nasional, sebab di sanalah Kabar Baik didengar dan dirasakan, asal saja berbagai upaya itu dilakukan dengan memperhatikan keadilan, martabat manusia, kesejahteraan dan sebagainya. Manusia tidak boleh dikorbankan bagi pembangunan, melainkan pembangunan untuk manusia. Itu berarti bahwa gereja‐gereja tidak boleh lagi mengurung dirinya dalam tembok‐tembok gereja (ghetto). Gereja harus memasuki seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Dalam bahasa Sidang Raya XIV PGI (2000), gereja mestinya menjadi “Gereja Bagi Orang Lain”.

PGI dan gereja‐gereja yang tergabung di dalamnya berkali‐kali melakukan “Konperensi Gereja dan Masyarakat” (KGM). KGM VIII baru saja diselenggarakan dalam bulan November 2008 lalu. Dalam setiap KGM, berbagai persoalan bangsa dan gereja dibahas dengan sangat mendalam. Hasil‐hasil diskusi itu merupakan pekerjaan rumah bersama gereja‐gereja, di samping diteruskan kepada pemerintah untuk mendapat perhatian.

Dari berbagai penjelasan ini jelas bahwa gereja‐gereja dan orang‐orang Kristen sangat menyadari peranan mereka di dalam masyarakat yang perlu dibangun bersama. Maka kemampuan untuk hidup bersama di dalam polis Indonesia, itulah sikap politik orang Kristen.

IV. Demokrasi: Perlukah Didukung?

Di antara sekian banyak topik yang dibahas Wogaman, saya memilih topik ini untuk ditampilkan karena Indonesia sedang menjalani proses demokratisasi. Setelah selama kurang‐lebih lima dasawarsa berada di bawah rezim Orde Lama dan Orde Baru yang kurang memberi peluang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas, oleh berkat gerakan reformasi Indonesia memasuki fase baru di dalam kehidupan politiknya: demokrasi. Tentu saja proses demokratisasi yang sehat akan didukung sebagai wujud kedewasaan sebuah civil society. Tetapi euforia yang kebablasan, yang bahkan mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri patut ditolak. Di dalam fasal yang lalu kita melihat bahwa para reformator gereja dari abad XVI telah menyediakan rahim bagi terjadinya demokrasi, kendati pemahaman mereka mengenai itu belumlah sama benar dengan yang kita fahami di era modern ini. Demikian juga, dengan timbulnya Pencerahan di Eopa, kesadaran orang akan perlunya demokrasi, dalam arti suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat, atau dengan kata‐kata lain, rakyat sebagai sumber dan pengemban kekuasaan telah menjadi lazim. Eropa, yang dalam abad‐abad sebelumnya sangat terbiasa dengan pemerintahan aristokratis, di mana kerajaan dan gereja menjadi pilar utamanya, tiba‐tiba mendapatkan dirinya dalam suatu sistem yang baru, dan mereka harus berusaha untuk hidup menurut sistem ini.

Proses itu sendiri bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali lika‐likunya. Dalam banyak hal darah masih  sering tertumpah. Karena itu judul fasal ini yang dirumuskan secara interogatif harus dijawab dengan kalimat afirmatif. Dirumuskan secara  lebih  jelas,  kita  sebagai  gereja  dan  orang‐orang  Kristen mendukung demokrasi. Dalam suatu Pernyataan yang dikeluarkan oleh World Council of Churches (WCC) pada tahun 1948 kita menemukan dasar teologis dukungan kepada demokrasi: “Manusia diciptakan dan dipanggil sebagai makhluk bebas, dan bertanggungjawab kepada Allah dan sesamanaya. Setiap kecenderungan di dalam negara dan masyarakat yang menghilangkan manusia dari kemungkinan untuk bertindak secara bertanggungjawab adalah penolakan terhadap maksud Allah bagi manusia dan karya‐Nya bagi keselamatan. Suatu masyarakat bertanggungjawab adalah masyarakat di mana kemerdekaan adalah kemerdekaan manusia yang mengakui pertanggungan‐jawab kepada keadilan dan orde publik, dan di mana mereka yang memegang kewibawaan politik atau kekuasaan ekonomi bertanggung‐jawab bagi karya‐karyanya kepada Allah dan rakyat yang kesejahteraannya dipengaruhi olehnya.” Kendati kata demokrasi tidak terdapat di sini, tetapi cakupan makna kebebasan dan pertanggungjawaban manusia, baik kepada Allah maupun kepada sesama mengacu kepada nilai demokrasi.

 

1.  Gereja dan Orang Kristen Bisa Hidup Dalam Sistem Apa Saja?

Bisa saja benar, sebagaimana sejarah memperlihatkan. Di dalam gereja‐gereja mula‐mula, orang‐orang Kristen bisa hidup di dalam keadaan yang menghambat. Di dalam abad‐abad sesudahnya pun kita menemukan hal serupa. Dewasa ini pun banyak orang Kristen yang hidup dalam sistem yang menonjolkan tangan besi. Di Pakistan  misalnya,  di  bawah  UU  Penghujatan  (Blasphemy  Laworang Kristen banyak dirugikan, namun tetap bisa hidup. Tentu saja di dalam keadaan seperti itu diharapkan orang‐orang Kristen masih mempunyai daya untuk menyampaikan “Kabar Baik” sebagaimana dituntut Injil. Bahkan ketika gereja didesak ke situasi defensip, tuntutan ini tetap berlaku, sebagaimana oleh gereja‐gereja dan orang‐orang Kristen yang pada waktu lalu hidup di negara‐negera Eropa Timur yang menerapkan ideologi sosialis. Maka dapatlah dikatakan, gereja dan orang‐orang Kristen bisa saja hidup dalam arti sekadar survive. Apalagi sistem non‐demokratis belum tentu bersifat menindas dalam beberapa kasus tertentu. Dalam sistem monarkhi yang stabil misalnya sering penerapan kehidupan adil lebih baik ketimbang sebuah negara demokrasi yang buruk. Kenyataan lain yang dihadapi adalah, dalam sistem apapun selalu ada orang baik dan jahat. Di negara yang menerapkan perbudakan seperti di Amerika Serikat (Selatan) pada waktu lalu, ada majikan yang sangat berperikemanusiaan, tetapi juga ada yang berperikebinatangan. Di dalam negara yang menerapkan sistem apartheid seperti Afrika Selatan pada waktu lalu, ada orang kulit putih yang baik, bahkan bersedia mati menentang sistem tersebut seperti Pendeta Bayers Naude, tetapi ada juga yang memang sangat bersifat rasis. Dan seterusnya. Di dalam keadaan seperti ini bisa saja kesaksian Kristen membantu memanusiakan manusia.

Namun demikian, semua yang dihadapi ini bukanlah alasan pemaaf untuk menjadi lebih kompromistis terhadap sistem yang berlaku. Kita berhadapan dengan sebuah sistem, bukan sekadar orang per orang. Maka pertanyaan kritis yang mestinya diajukan adalah, bagaimanakah sebenarnya sistem itu dibangun? Dengan mengutip Walter Rauschenbusch, tidakkah suatu sistem yang buruk akan menjadikan orang baik justru menjadi buruk pula, ketimbang kalau mereka berada dalam sistem yang baik? Dan tidakkah sistem yang adil akan menjadikan orang yang tidak baik menjadi lebih baik? Kalau menurut penilaian kita sistem demokrasi adalah yang baik (kendati tidak sempurna), bukankah juga tugas gereja dan orang‐orang Kristen untuk membela dan memajukannya?

 

2.  Bukan Sembarang Sistem Politik

Tidak setiap sistem politik memungkinkan semua orang berpartisipasi di dalam menentukan apa yang negara akan lakukan. Bagaimana kita ikut mempengaruhi kehidupan politik  negara sangat tergantung dari bagaimana lembaga‐lembaga politik diatur. Sistem pemerintahan demokratis misalnya, sebagaimana sejarah telah membuktikan adalah yang memungkinkan rakyat ikut berpartisipasi di dalamnya. Tradisi bahwa secara esensial negara milik rakyat mempunyai akar yang sangat tua. Kendati tradisi‐ tradisi Yunani‐Romawi dalam banyak hal berbeda dengan tradisi Alkitab, namun dalam hal ini keduanya mengandung unsur yang sama. Tradisi Alkitab mencakupi apa yang lazimnya disebut “teologi kerajaan” dengan pengagungan terhadap warisan monarkhi Daud. Tetapi pada saat yang sama kita juga mendengarkan adanya kritk‐ kritik profetis terhadap teologi itu yang membela hak‐hak rakyat kecil. Kitab Hakim­hakim penuh dengan hal itu. Tidak ada hakim yang dipilih tanpa pengesahan kharisma kepemimpinan oleh komunitas sebagai suatu keseluruhan. Perjanjian Baru sedikit berbeda. Ia bukanlah tradisi dari komunitas politik yang sama dengan yang dikatakan sebelumnya. Tetapi penegasannya mengenai makna rakyat biasa di hadapan Allah berarti bahwa rakyat  layak  diperhitungkan.  Rakyat  lebih  tinggi  dari  negara  di hadapan kewibawaan. Alhasil, tidak boleh ada seorangpun yang dipandang sebagai sekadar “rakyat”, yang tunduk kepada kewibawaan orang lain.

Tradisi Yunani‐Romawi tentang filsafat politik didasarkan atas praktek‐praktek demokrasi awal. Di dalam dialog Plato yang diabadikan dalam The Crito, akuntabilitas politik timbal‐balik diformalisasikan di dalam sejenis teori kontrak. Tradisi Stoa, khususnya sebagaimana terdapat dalam karya para ahli hukum Romawi, menekankan kesamaan semua orang, dan menolak hak seseorang untuk memerintah tanpa izin dari yang diperintah. Dalam pandangan ini, kedaulatan yang dimiliki oleh semua, telah didelegasikan oleh semua juga kepada seseorang yang disebut kaisar. Implikasinya, Kaisar yang memerintah memang melakukan tugasnya atas nama semua. Bahkan di dalam abad‐abad pertengahan, cara‐cara berpikir dan bertindak seperti ini masih kelihatan, kendati telah dikaburkan juga. Di dalam gereja misalnya, yang sangat bersifat hierakhis terdapat gerakan‐gerakan untuk mendemokratisasikannya.

Kebanyakan faham demokrasi Barat menelusuri kembali asal‐ usulnya sampai ke para pemikir “kontrak” seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau. Tentu saja orang‐orang ini sangat dipengaruhi oleh jiwa Pencerahan. Bagi para pemikir ini, negara adalah hasil keputusan manusia: Kita telah memutuskan untuk menjadi civil society; demikian dikatakan. “Penyatuan” kekuasaan‐kekuasaan pribadi kita adalah demi pencapaian yang lebih besar. Demi pencapaian yang lebih besar ini kita menerima  kewajiban  untuk taat kepada UU yang diterima oleh para magistrat. Kita pun memperlihatkan kemauan kita untuk menderita hukuman apabila tidak taat. Kekuatan pribadi kita ditinggalkan agar supaya mencapai keuntungan‐keuntungan yang lebih besar bagi keamanan kolektip. 

Tentu saja rumusan‐rumusan ideal ini belum mampu menghalangi kecenderungan kebrutalan yang juga timbil di dalam pelaksanaan sistem demokrasi ini.

Tradisi kontrak itu berbicara mengenai persamaan formal dari semua anggota civil society. Dua hal tercakup di sini: a. kekuasaan formal yang sama atau pemerintahan mayoritas. Jikalau semuanya sama, maka setiap suara sama harganya. Alhasil, yang menang adalah yang  mempunyai suara terbanyak; b.hak‐hak formal  yang sama guna mengungkapkan sesuatu, akses kepada proses politik, dan kesamaan di hadapan hukum. Semua orang mempunyai kebebasan yang sama untuk mengungkapkan pandangan‐ pandangan mereka mengenai apa saja dan untuk mendukung suatu posisi politik. Ini juga mencakup kebebasan untuk mengorganisir kekuatan‐kekuatan politik dan untuk bebas dari kekerasan politik yang secara potensial dapat dilakukan oleh yang sedang berkuasa.

Dalam bahasa demokrasi konsepsi‐konsepsi ini berarti, pemerintah mengimplikasikan pemerintahan mayoritas. Tetapi juga mengimplikasikan hak‐hak kaum minoritas. Kecuali kalau kaum minoritas diberikan kebebasan untuk mengungkapkan diri dan kemauan mereka, baru pemahaman “mayoritas” mempunyai makna. Ini berarti, demokrasi sejati barulah tercipta apabila kaum minoritas memperoleh hak‐haknya.

 

3.  Kedaulatan Populer dan Kedaulatan Allah

Pertanyaan Maritain yang pernah dilontarkan di atas meragukan kedaulatan manusia. Hanya Allah saja Sumber kedaulatan. Bagaimana harus mengartikan ini? Bukankah di dalam kenyataan kita hadapi kekuasaan manusia? Tentu saja tidak dapat disangkal  adanya  pemahaman  tentang  kedaulatan  Allah  sebagai titik masuk utama teologis mengenai pertanyaan‐pertanyaan politik, karena kedaulatan Allah setidak‐tidaknya berarti Allah pada akhirnya memelihara seluruh ciptaan‐Nya. Ialah Pusat dan Sumber segala sesuatu. Sebagai demikian, seluruh ciptaan mestilah responsip terhadap maksud‐maksud Allah itu. Ajaran Kristen tentang dosa mengimplikasikan adanya kekuatan manusia untuk merusak maksud‐maksud ilahi ini. Kendati demikian, keyakinan bahwa Allah pada akhirnya tetap memerintah ciptaan‐Nya tidak pernah tergeserkan. Kita juga tahu, bahwa sikap perlawanan manusia terhadap kedaulatan Allah itu bukanlah tanpa konsekuensi. Memang kedaulatan Allah tidak harus diungkapkaan dalam terminologi‐terminologi preskriptif (atau yang bersifat deontologis). Kita pun tidak harus berpikir bahwa Allah “memerintah” dengan hukum yang statis. Tidak demikian. Kita bisa meyakini bahwa suatu “proses” pemahaman tentang Allah dapat melukiskan‐Nya sebagai Pengambil prakarsa bagi ciptaan‐Nya. Dalam “proses” itu Ia, seakan‐akan memberi peluang kepada manusia untuk ikut berpartisipasi dalam karya penciptaan yang terus berlangsung. Sebagai demikian, pemahaman bahwa Allah berdaulat bisa merupakan kritik terhadap kecenderungan mendewa‐dewakan politik. Bagi orang Kristen ini berarti, tidak ada pemerintah atau sistem pemerintahan, tidak ada program atau ideologi di mana kesetiaan setinggi‐tingginya dituntut. Jikalau Allah berdaulat, maka kesetiaan setinggi‐tingginya hanyalah kepada‐Nya, bukan kepada yang lainnya.

Apakah ini berarti, demokrasi sebagai kemungkinan Allah bekerja di dalam ciptaan‐Nya lebih unggul? Tidak juga. Bagaimanapun, demokrasi adalah perilaku  manusia,  bukan  Allah. Bahkan bukan tidak mungkin, demokrasi akan hilang lenyap apabila ada sekelompok elit politik yang merasa yakin dipilih Allah untuk tampil sebagai wakil‐wakilNya. Dalam keadaan seperti ini, ketimbang demokrasi, teokrasilah yang diterapkan seperti misalnya terlihat dalam rezim para mulla di Iran dewasa ini.. Kaum neo‐ fundamentalis di Amerika Serikat juga, dalam derajat tertentu berada dalam garis ini. Orang‐orang ini berpendapat, hanya “orang terlahir kembali” saja yang berhak memerintah.

Pada pihak lain, jikalau Allah mentransendenkan dan merelatifkan lingkungan yang di dalamnya manusia hidup (dan berpolitik), maka sikap skeptis terhadap semua kekuasaan manusia memang harus ada. Allah selalu lebih besar. Allah selalu lebih baik. Allah senantiasa merupakan Sumber transenden bagi penghakiman yang memegang kehidupan manusia dalam ketegangan. Itu berarti tidak ada seorang pun dapat dimutlakkan sebagai ilahi. Allah mengatasi semua mereka.

Dalam pengertian positif, kedaulatan Allah yang transenden juga berarti, Sumber dan Pusat segala sesuatu (termasuk nilai‐nilai) juga unik. Ia langsung mengenai semua manusia. Maka semua orang (bisa dibaca: rakyat, warga negara) harus meyakini, mereka semua adalah wakil‐wakil bagi terselenggaranya pemerintahan dunia ini. Manusia adalah rakyat sekaligus warganegara. Bahwa Allah secara langsung menangani (“berbicara” kepada) manusia berarti, tidak ada seorangpun yang sekadar diperlakukan sebagai rakyat (tanpa hak), melainkan harus selalu sebagai warga negara (dengan hak‐ hak dan kewajiban‐kewajibannya). Sebagai demikian, sebagaimana dikatakan oleh WCC, tidak boleh ada ada seorangpun diperlakukan hanya demi tujuan politik atau ekonomi. Kita semua dipanggil sebagai makhluk bebas. Lebih‐lebih lagi, dalam terang kedaulatan Allah yang transenden, banyak hal bisa dikatakan mengenai sistem‐ sistem   politik.   Dalam   terang   kedaulatan   Allah   itu terbukalah kemungkinan untuk menyampaikan kritik‐kritik membangun terhadap sistem dan lembaga‐lembaga politik.

 

4.  Suatu Pemahaman Demokratis Tentang Keadilan

Sebelum tiba kepada pembahasan ini ada baiknya sedikit disinggung sub‐fasal yang mendahuluinya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa di dalam penyelenggaraan demokrasi hal keberdosaan dan kebaikan manusia memainkan peranan penting. Dalam kaitan ini dikutip pandangan Niebuhr, seorang teolog berkebangsaan Amerika di era tahun 1960‐an yang terkenal: “Kemampuan manusia ke arah keadilan membuat mungkin demokrasi, tetapi kecenderungan manusia ke arah ketidakadilan membuat demokrasi sebagai sebuah keharusan.” Kenyataan bahwa manusia berdosa menyebabkan ia sulit dipercaya, juga di dalam penyelenggaraan demokrasi. Namun demikian, ditekankan juga bahwa hal berdosa dan hal baik itu tidak punya kena‐mengena dengan orang dan atau golongan tertentu. Hal baik dan jahat bisa berada dalam setiap orang, laksana dua sisi dari satu keping uang. Bahkan orang yang dianggap baikpun tidak bisa lepas dari situasi keberdosaan. Sebaliknya orang yang dianggap jahat tidaklah tertutup sama sekali kemungkinan untuk menghargai hal‐hal yang baik. Alhasil, di dalam mengelola kekuasaan faktor‐faktor ini harus diperhatikan. Seseorang yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas bisa saja tergoda untuk mempergunakannya bagi kepentingan dirinya sendiri. Diakui juga, dengan mengikuti Niebuhr “kecenderungan untuk berbuat tidak adil” dan “kemungkinan untuk melakukan yang adil” sebagai dasar demokrasi ada pada semua manusia. Maka kewajiban orang Kristen untuk membela demokrasi dapat diperluas dengan mengacu kepada hal ini: kedaulatan dan transendensi Allah hendak menegaskan bahwa manusia itu relatif. Pada saat yang sama, konsepsi mengenai hakekat manusia sebagai orang berdosa, hendak memperlihatkan bahwa ada jarak antara Allah dan manusia. Selanjutnya penekanan kepada kebaikan Allah hendak memperlihatkan bahwa melalui pelaksanaan kekuasaan yang benar, Allah menyatakan kehadiran‐Nya dalam kehidupan dan sejarah manusia.

Ini juga menegaskan bahwa bagaimanapun kita menerima tanggungjawab bagi masa depan. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menjamin kesempatan bagi semua untuk ikut bertanggungjawab untuk arah masa depan sejarah manusia. Melalui aksi‐aksi dan perbuatan‐perbuatan kita, masa depan  itu dipengaruhi. Kehidupan sehari‐hari kita pun memberikan sumbangan bagi  arah masa depan itu.  Memang ada  negara  yang dengan sengaja merencanakan masa depannya. Ada pula yang tidak. Namun demikian, kebijakan publik secara sengaja digerakkan oleh rakyat yang memerintah. Maka di dalam sistem demokrasi, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mengambil bahagian merajut tujuan‐tujuan bersama.

Sementara itu ditekankan bahwa di dalam pelaksanaan demokrasi selalu terjadi ketegangan antara identitas individual dan komunal. Ketika orang tiba di era Pencerahan, kelihatannya individualisme memperoleh penekanan besar. Pada pihak lain, kekristenan justru menekankan kehidupan persekutuan. Dalam berbagai diskusi, persoalan ini menjadi bahan kritik. Kritik itu bukannya tanpa kebenaran. Namun demikian, ketegangan itu akan terus terjadi di dalam perjalanan sejarah. Bagaimanapun hak‐hak individu penting, sehingga harus dijaga agar jangan sampai larut di dalam komunal. Maka hak‐hak individu, sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi‐konstitusi negara‐negara demokratis berfungsi sebagai proteksi terhadap komunitas palsu dengan berbagai berhalanya. Hak bicara misalnya tetaplah merupakan hak individu, dan karena itu tidak boleh dengan semena‐mena menjadi hak kelompok. Pendeknya harus tetap ada keseimbangan antara hak‐ hak individu dan hak‐hak komunal. Di dalam masyarakat demokratis yang dimaksud dengan hak adalah hak individu.

Dalam kaitan ini saya ingin memberi catatan tentang pemahaman demokrasi kita di Indonesia, setidak‐tidaknya sebagaimana dirumuskan di dalam Konstitusi 1945. Rasanya inilah debat yang tidak kunjung habis di masa‐masa mendatang, yaitu di manakah diletakkan batas antara individualitas yang mempunyai hak (termasuk hak‐hak asasi), dengan semangat kekeluargaan di mana negara dipandang sebagai negara kekeluargaan. Kita tidak bermaksud mendiskusikan pokok yang tidak mudah ini di sini. Namun demikian, cukup menarik bahwa ketegangan antara hak individu dan hak komunal itu secara inheren terdapat di dalam setiap pelaksanaan demokrasi di manapun.

Menyangkut pemahaman demokratis tentang keadilan sangat penting untuk memahami implikasi‐implikasinya. Tetapi apakah keadilan sesungguhnya? Tidak mudah juga merumuskannya. Di dalam pengertian Barat, keadilan adalah upaya untuk melindungi dan atau menjaga apa yang telah kita kerjakan agar tidak diganggu siapapun. Maka berkaitan dengan ini, mereka yang mengganggu akan memperoleh hukuman. Ini mempunyai kaitan dengan prinsip kontrak sosial yang telah berkali‐kali disinggung di atas. Jelas, pemahaman keadilan seperti ini berkaitan erat dengan pembalasan, yaitu bahwa setiap orang menerima sesuai dengan hak yang seharusnya ia terima. Di dalam pemahaman komunal, keadilan adalah jaminan persekutuan terhadap kondisi yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagai bahagian di dalam kehidupan bersama sebagai persekutuan. Dengan mengemukakan ini, mau tidak mau harus dicatat akar teologisnya. Artinya, kalau kita percaya bahwa setiap orang berada di bawah providentia Dei (pemeliharaan Allah), maka tidaklah layak untuk memperlakukannya secara tidak adil. Maka bagi struktur lembaga‐lembaga dan hukum, adalah adil apabila mereka menyediakan kondisi begitu rupa sehingga kehidupan individu dapat berkembang di dalam kehidupan komunal tersebut. Individu harus mempunyai ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi bagi perkembangan komunitas. Dengan mengatakan ini, tidak berarti bahwa hanya gereja saja yang mampu melakukannya. Tidak. Bahkan di dalam pengertian kuno, keadilan adalah topik utama bagi percakapan di dalam masyarakat. Yang disebut civil society tidak boleh kebablasan untuk membicarakan hal‐hal yang remeh‐teme. Harus ada semacam pembatasan diri. Diacu di sini John C. Muray yang meneliti akar dari civilization, yang berarti “men locked together in argument”. Konsepsi tentang kehidupan negara dapat diperkaya oleh wawasan yang berasal dari mereka yang terlibat dalam dialog. Makna teologis dari keberadaan bersama kita satu sama lain pada akhirnya menghindarkan diri kita menjadi egois, dan negara akan menjadi institusi yang peduli dengan kesejahteraan bersama. Pendeknya, mereka yang mendasarkaan diri atas tradisi‐tradisi teologis tidak mungkin gagal untuk berpartisipasi di dalam pertimbangan‐pertimbangan persekutuan dari apa yang disebut persekutuan. Pendeknya, sebagai orang Kristen kita tidak dapat menghindarkan diri untuk menjadi persekutuan.

5.  Proses Demokratis dan Hasil­-hasilnya

Adakah jaminan bahwa hasil‐hasil positif akan dihasilkan dari proses demokrasi? Belum tentu. George Bernard Shaw, seorang filsop berkebangsaan Inggris pernah mengatakan bahwa sementara demokrasi bukanlah bentuk terbaik dari pemerintahan, namun ia adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya ada jaminan rakyat akan memperoleh apa yang menjadi haknya. Observasi, bahwa demokrasi belum tentu menghasilkan yang baik bukannya tanpa alasan. Dalam kenyataannya kadang‐kadang bentuk monarkhi bisa jauh lebih baik melaksanakan kewajibannya ketimbang wakil‐wakil yang dipilih rakyat (Catatan: Bukankah di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini kita menemukan kebenaran sinyalemen ini ketika DPR kita sering dicela karena banyak kali mangkir di dalam melaksanakan tugasnya?) Bahkan kadang‐kadang demokrasi memfasilitasi perbuatan jahat. Setiap sejarah bangsa mempunyai catatan dari ketidakseimbangan moral. Di era Nazi di Jerman misalnya, rakyat membiarkan dirinya ditelan oleh histeri yang pada akahirnya membawa kepada malapetaka atas nama demokrasi. Memang itulah resiko demokrasi.

Pada pihak lain, ada juga saatnya ketika rakyat sangat berhati‐ hati dan waspada. Di sini juga demokrasi memfasilitasi kehendak publik. Di dalam sejarah negara‐negara kenyataan ini ada, yaitu di mana rakyat mampu menimbulkan idealisme di dalam dirinya. Memang demokrasi tidak menjanjikan berakhirnya suatu “ups and downs”; demokrasi tidak menjanjikan bahwa pada akhirnya akan terwujudlah kerajaan kasih dan keadilan di atas dunia.

Namun demikian, demokrasi bisa memungkinkan terjadinya suatu pembaruan di dalam masyarakat. Apalagi dengan adanya pers bebas dan bangkitnya kekuatan‐kekuatan di masyarakat yang committed kepada Konstitusi.

Demokrasi memang tidak menjamin hasil‐hasil yang baik, tetapi ia selalu bersifat terbuka. Demokrasi menyiapkan saluran‐ saluran bagi adanya kritik‐kritik di dalam masyarakat dan juga bagi terciptanya perubahan. Rakyatnya bukanlah orang‐orang suci, tetapi mereka ditantang oleh kesempatan‐kesempatan dan tanggungjawab dari pemerintahan sendiri. Sesungguhnya kalau rakyat tidak berminat apapun terhadap demokrasi, maka akibatnya justru akan sangat buruk bagi negara.

Demokrasi di Barat dalam pengalamannya selama ini bukan saja berminat terhadap hasil‐hasil proses demokratis, tetapi juga dengan ketidaksempurnaan di dalam proses itu sendiri. Masyarakat media pun ikut memainkan peranan di sini, entahkah membantu atau tidak membantu proses demokrasi yang sehat. Lembaga‐ lembaga politik yang bersifat demokratis pada satu aras bisa saja justru bekerja melawan demokrasi pada aras yang lain. Misalnya saja di Amerika Serikat pada waktu buku ini ditulis, tidak ada satupun wakil orang hitam di dalam Senat, sementara semua orang tahu bahwa jumlah kaum kulit hitam meliputi 25 juta orang.

Semua yang dikatakan ini bukanlah alasan yang syah untuk menafikan demokrasi. Juga tidak perlu dengan demikian, demokrasi lalu tidak dibutuhkan lagi di dalam dunia masa kini. Tetapi inilah cara untuk mengingatkan, bahwa demokrasi, seperti juga halnya gereja haruslah terus‐menerus membaharui dan memurnikan dirinya dengan pembaruan. Mereka yang peduli dengan itu mesti terus‐menerus, tanpa lelah melakukannya.

  1. Suatu “Presumption” Bagi Demokrasi

Dapatkah disimpulkan bahwa iman Kristen mengimplikasikan dukungan bagi demokrasi dan bahwa demokrasi mengungkapkan roh kristiani? Tidak sederhana juga menjawabnya. Walter Rauschenbush, pelopor Social Gospel di Amerika Serikat yang telah kita sebutkan di atas, secara positif melihat bahwa dalam banyak hal orde sosial kita telah dikristenkan justru oleh proses demokrasi itu sendiri. Prinsip‐prinsip kemerdekaan pribadi dan hak yang sama bagi semua orang, adalah hal‐hal positif dan bukti “kristenisasi” itu. Pernyataan‐pernyataan normatif ini tentu saja tidak menutup mata terhadap kekurangan demokrasi. Bagaimana menerapkan demokrasi sangat juga tergantung pada cara bagaimana menstrukturkannya, dan watak serta budaya rakyat yang melaksanakannya. Satu hal perlu diingatkan, janganlah demokrasi diperlakukan sebagai sesuatu yang mutlak. Dalam banyak  kasus bisa terjadi ada situasi yang belum siap untuk itu.

Pada pihak lain, ada juga contoh di dalam sejarah, bahwa atas nama demokrasi justru kelaliman yang diterapkan, lebih‐lebih lagi kalau negara berada dalam krisis. Contoh pengurungan orang‐orang keturunan Jepang‐Amerika selama PD II, adalah tindakan yang tidak ditemukan dasarnya dalam Konstitusi Amerika Serikat. Itu hanyalah sekadar histeri, mencurigai semua orang keturunan Jepang jangan‐ jangan mereka berkhianat apabila terjadi peperangan dengan Jepang.

Sering juga dikemukakan dalih, bahwa kebanyakan yang disebut “Dunia Ketiga” belum matang untuk berdemokrasi. Dengan dalih itu lalu terjadi pembenaran untuk menerapkan sistem yang lain. Akibatnya tidak menguntungkan. Tetapi orang melupakan bahwa demokrasi Barat yang membutuhkan waktu sangat panjang untuk tiba pada keadaan seperti sekarang justru bertolak dari persoalan‐persoalan yang dikemukakan itu. Bahkan dalam demokrasi yang mapan sekalipun, persoalan tetap ada. Latarbelakang budaya dari masyarakat dan situasi aktualnya membuatnya berbeda. Kadang‐kadang demokrasi tidaklah sekali jadi. 

Kendati semuanya ini, komitmen kita kepada demokrasi mestilah tetap teguh, hingga demokrasi sesungguhnya dicapai. Kalau ada situasi yang kelihatannya tidak kondusip untuk berdemokrasi, maka perlu diajukan pertanyaan, adakah rakyat sungguh‐sungguh tidak mampu untuk memerintah dirinya sendiri? Berhadapan dengan sekian banyak ide yang berlomba‐lomba mendesakkan pengaruhnya, adakah rakyat tidak mampu menyeleksi mana yang benar? Adakah pemerintahan yang tidak demokratis hanya bersifat sementara? Akankah kepemimpinan seperti itu menolak korupsi? Akankah itu cukup arif? Dan seterusnya.

Makna dari semuanya ini adalah, kita mestinya mempunyai “presumption” bagi demokrasi. Sistem‐sistem pemerintahan yang kurang demokratis justru ditantang untuk menghadapi beban‐ beban ujian yang terus‐menerus guna membuktikan, benarkah penerapan sistem demokrasi belum mugkin? Dalam setiap situasi “presumption” mestilah selalu ada kesiapan untuk terjadinya pembaruan demokrasi.

 

7.  Bilakah Demokrasi Dapat Ditunda Penerapannya?

Secara singkat jawabannya adalah, ketika  demokrasi ketimbang memberikan kebaikan, justru membuat masyarakat makin runyam. Hal ini terjadi ketika demokrasi tidak bekerja untuk menghasilkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.  Guna menguji bilakah demokrasi diterapkan atau ditunda, 5 (lima) pertanyaan di bawah ini dapat dipertimbangkan:

  • adakah pemakaian kewibawaan sekarang ini atau metode pemerintahan yang bersumber dari diri sendiri (otokratik) memang diperlukan selama masa‐masa malapetaka guna menjamin  tercapainya   kebutuhan   dasar   bagi masyarakat? Misalnya saja  UU  Darurat  (martial  law)  bisa dideklarasikan selama ada gempa bumi atau selama ada kekacauan massal.
  • adakah pemakaian sementara kewibawaan atau metode pemerintahan yang otokratik diperlukan untuk mencegah terjadinya kelaliman yang lebih besar atau lebih permanen? Di dalam sejarah, Nazi disebut‐sebut sebagai rezim terpilih secara demokratis, tetapi justru menghancurkan demokrasi itu Dalam keadaan seperti ini tidak mungkin sistem demokrasi diterapkan. Mesti ada tindakan radikal untuk menghancurkan Nazi. Dalam kaitan dengan pokok ini, biasanya dibedakan antara rezim yang “totalitarian” dan “otoritarian”. Yang pertama adalah rezim yang sangat lalim dan permanen, sedangkan yang kedua sebagai kurang demokratis dan bersifat sementara. Yang menarik adalah, bahwa bukan tidak jarang rezim yang dilukiskan otoritarian justru menjadi jauh lebih kejam dan berlangsung  lama,    sedangkan    beberapa    rezim    komunis bergerak ke arah yang lebih   demokratis     seperti    misalnya negara‐negara di Eropa Timur.
  • adakah kepemimpinan otoritarian (yang singkat) itu mendasarkan pemerintahannya atas hukum dan committed untuk menaati hukumnya sendiri? Dengan menghormati hukumnya sendiri, setidak‐tidaknya memperlihatkan komitmen untuk menghindarkan pemakaian salah kekuasaan bagi tujuan‐ tujuan sendiri.
  • akankah pemerintahan otoritarian (jangka pendek) menghormati dan melindungi sebanyak mungkin unsur‐unsur dari  pemerintahan   demokratis   di   bawah   kondisi   darurat? Jikalau pemilu untuk sementara dikecualikan dalam pertanyaan ini, adakah kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tetap dihormati? Adakah pihak oposisi diakui? Dan seterusnya.
  • akankah pemerintahan otoritarian (jangka pendek) committed kepada waktu‐waktu khusus guna meninjau kesepakatan‐ kesepakatan sementara dan untuk mewujudkan demokrasi yang riil?

Semua pertanyaan ini dapat dipergunakan rakyat sebagai rasionalisasi terhadap sistem yang sedang berlaku. Pertanyaan‐ pertanyaan seperti ini setidak‐tidaknya menolong kita untuk menentukan entahkan otoritarian yang ada mengecualikan norma demokrasi yang betul‐betul dibutuhkan, dan entahkah pengecualian itu sungguh‐sungguh benar?

Kembali kepada pertanyaan fasal ini, perlukah demokrasi didukung? Jawabannya adalah “Ya”. Bukan karena sistem demokrasi sempurna, tetapi karena sistem inilah yang telah terbukti dalam sejarah menjamin partisipasi rakyat dan warga negara untuk menentukan arah dan tujuan negara. Segala kekurangannya bisa diperbaiki, asal saja semangat pembaruan diri diterapkan di dalam pelaksanaannya.

V. Relasi Gereja Negara

Topik ini dikemukakan dalam pembahasan ini sebab sampai dengan saat ini kita masih mempertanyakan bagaimanakah seharusnya relasi itu diatur. Di Indonesia, tentu saja kita tidak hanya berbicara mengenai gereja, melainkan juga agama. Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hampir dengan sendirinya orang berasumsi bahwa agama dan negara itu satu. Dalam doktrin Islam dikenal yang disebut din wa dawla, yaitu bahwa Islam bukan sekadar agama melainkan juga negara. Pemahaman ini begitu melekat di dalam diri orang Indonesia, sehingga orang menjadi heran apabila ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya konsep negara Islam tidak terdapat di dalam Al Qur’an. Di dalam buku berjudul Ilusi Negara Islam, pendirian yang disebut belakangan ini dengan jelas dikemukakan. Konon, sistem negara Islam baru terjadi di dalam era para khalifah, yaitu para pengganti Nabi Muhammad. Namun demikian, pandangan ini tidak memudarkan keinginan untuk mewujudkan sebuah negara di mana Shariah Islam dapat dilaksanakan secara kaffah. Maka usulan Paus Benedictus XVI misalnya, agar Islam dapat memisahkan urusan negara dari agama, adalah sesuatu yang mustahil. Kita tidak akan berkutat dengan diskusi yang tidak mudah ini pada kesempatan ini. Di dalam prakteknya  di  Indonesia,  kendati  secara  resmi  tidak  ada  agama negara, namun Islam mendapat   kedudukan   istimewa.   Hal   ini disebabkan bukan saja karena penduduk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi juga para pejabatnya kebanyakan menganut agama ini. Tetapi lebih dari itu, ucapan Bung Karno di dalam pidato Lahirnya Pancasila, bahwa Indonesia hendaknya menjadi negara yang berTuhan, lalu diinterpretasikan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk ikut memajukan agama. Maka bukan tidak jarang terjadi kerancuan, misalnya dalam penampilan seorang pejabat, kapankah ia tampil sebagai pejabat negara dan kapan sebagai orang menganut agama tertentu. Sering dua hal ini tidak jelas batas‐batasnya. Ada semacam kekuatiran, bahwa negara akan terjerumus ke dalam sikap hidup sekuler apabila agama tidak dimajukan. Terbentuknya Departemen Agama sebagai bentuk “kompromi” antara yang memperjuangkan negara Islam dan negara kebangsaan di awal‐awal kemerdekaan, kendati secara teoritis mengatur semua agama, namun Islam tetap mendapat prioritas. Di segi Anggaran Belanja misalnya, menurut keterangan Dirjen Bimas Kristen Dr Jason Lase, untuk Bimas Kristen hanya dialokasikan 0,46 %, suatu jumlah yang tidak seimbang dengan yang diperoleh Islam.

Di kalangan gereja‐gereja lebih santer pendapat, bahwa relasi agama (gereja) dan negara mestinya dipisahkan (de scheding van kerk en staat). Artinya urusan‐urusan agama sebaiknya diselesaikan oleh agama itu sendiri tanpa campur tangan negara. Tentu saja pemahaman ini masih bisa didiskusikan di dalam kalangan Kristen sendiri. Di era Orde Baru, ketika kegairahan membangun menggebu‐gebu, kedudukan dan fungsi  agama‐agama  dalam seluruh kegiatan itu juga dipersoalkan. Rumusan yang kita temukan di dalam “Garis‐garis Besar Haluan Negara” (GBHN) adalah, agama‐agama memberikan landasan moral, etik dan spiritual bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Ini rumusan normatifnya. Tetapi bagaimana menerapkannya sering diartikan sebagai membangun agama secara fisik. Itulah sebabnya agama pun dilihat sebagai salah satu “bidang” yang harus dibangun.

Wogaman yang mengarahkan perhatian juga terhadap persoalan relasi ini menegaskan, bahwa relasi‐relasi itu ikut ditentukan oleh sejarah dan sifat relasi itu sendiri. Dengan mengacu kepada sejarah, ia menyebutkan setidak‐tidaknya 4 (empat) macam relasi. Pertama, Teokrasi, di mana negara berada di bawah kontrol pemimpin‐pemimpin agama. Dalam masyarakat primitif, bentuk negara seperti ini sangat lazim, seperti misalnya di dalam teokrasi Ibrani kuno. Tetapi juga di Utah Amerika Serikat di era permulaan muculnya golongan Mormon. Lalu di Tibet, dan dalam derajat tertentu, Iran sekarang. Kedua, Erastianisme. Istilah ini berasal dari nama seorang Swiss‐Jerman di abad XVI, Thomas Erastus. Di sini negara, atau lebih tepat para politisi berusaha mengendalikan gereja. Mereka mencari keuntungan‐keuntungan politik dengan memperalat gereja. Pendeknya agama (gereja) dipolitisasi bagi keuntungan‐keuntungan politik. Ketiga, pemisahan gereja dan negara secara ramah. Di banyak negara pemisahan itu berlaku secara legal, tanpa kekerasan dan rasa benci. Itulah yang secara konstitusional terjadi Amerika Serikat,  kendati  di  dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Keempat, pemisahan gereja dan negara yang tidak ramah. Khususnya dalam dua abad terakhir pemisahan seperti ini marak. Gerakan anti‐klerikalisme (anti‐ gereja) di Perancis dalam abad XIX misalnya adalah contoh. Juga di Mexico  terjadi  hal  serupa,  ketika  para  imam  dilarang  memakai pakaian imam. Di dalam kebanyakan negeri‐negeri Marxis juga pemisahan seperti ini terjadi. Negara Albania dulu merupakan contoh sangat jelas bahwa negara sama sekali tidak mau tau menahu dengan gereja.

 

1.  Ilusi Teokrasi

Ditegaskan bahwa teokrasi, lebih‐lebih lagi di era  modern dewasa ini adalah sebuah ilusi. Gereja telah mengalaminya ketika Kaisar Konstantinus Agung (abad IV) menjadikan kekristenan sebagai agama negara. Kekuasaan negara seperti itu bahkan tidak menjamin penyebaran kekristenan yang  benar.  Pada  akhirnya negara selalu bersaing dengan gereja di dalam perjalanan yang maha panjang itu. Dewasa inipun upaya‐upaya serupa masih dijalankan misalnya oleh kaum Injili di Amerika Serikat yang berjuang untuk menyatakan Amerika Serikat secara konstitusional sebagai “bangsa Kristen” dan sebagai demikian, mencoba memperkenalkan kembali pelajaran agama di dalam sekolah‐ sekolah umum. Kalau langkah ini terus ditempuh, akan sangat berbahaya justru bagi kekristenan sendiri. Inilah jalan penuh ilusi, baik praktis mau pun politik. Masalah praktisnya adalah, bagaimana misalnya membedakan profesi‐profesi iman yang terhormat dari yang tidak terhormat di dalam sebuah masyarakat ketika lembaga agama begitu dominan. Bagaimanapun kekuasaan selalu punya upah. Bagaimanakah gereja dapat memberitahukan perbedaan antara mereka yang mengakui imannya karena benar‐benar beriman dengan mereka yang hanya menginginkan upah duniawi? Tetapi ilusi yang terdalam bersifat teologis. Teokrasi ada atas dasar anggapan bahwa kebenaran dapat diketahui cukup untuk membedakan secara apriori mereka yang ada di dalam kebenaran dari yang tidak. Maka yang dianggap berada di dalam kebenaran mempunyai hak dan dibenarkan untuk memerintah, sedangkan yang dianggap tidak mempunyai kebenaran tidak  boleh memerintah. Sekali lagi, ini ilusi. Mengapa? Karena tidak ada seorangpun yang mampu mengetahui kehendak Allah secara penuh dan benar. Allah yang transenden itu, dengan demikian diturunkan derajat‐Nya hanya sebagai salah satu unsur yang diatur oleh manusia. Lebih dari itu, ternyata Allah seperti ini “tunduk” kepada hukum yang dibuat manusia, kendati manusia mengklaimnya sebagai berasal dari Allah.

 

2.  Pemberhalaan Erastianisme

Dalam pemahaman ini, transendensi Alah pun ditolak. Tujuan politik mereka sendiri menjadi mutlak. Negara menjadi Allah, bahkan menjadi berhala yang sangat berbahaya. Kalau Robert Bellah, pemikir dan penulis buku mengenai Civil Religion yang terkenal, berbicara mengenai legitimasi religius yang transenden bagi sebuah kehidupan negara yang lebih sehat, maka maksudnya tidak sama dengan faham erastianisme. Ia menginginkan sebah civil religion yang lebih sehat. Bagi dia, negara mesti berada di bawah penghakiman Allah, dan bukannya menjadi alat manipulasi para politisi. Apabila negara diperlakukan sebagai Kebaikan Tertinggi‐ sebagaimana lazim di dalam erastianisme‐maka integritas organisasi‐organisasi dan lembaga‐lembaga religius secara fatal diremehkan. Lembaga‐lembaga itu tidak lagi diperlakukan menurut sifat mereka sendiri, yaitu atas dasar iman yang mereka akui. Alhasil, lembaga‐lembaga agama hanya penting sejauh bisa dimanfaatkan secara politik. Di Jerman di masa Hitler ada yang disebut “German Christian” (Die Deutsche Christen). Hal yang sama dapat juga dikenakan kepada kontrol negara yang sangat ketat terhadap Gereja Anglikan di Inggris di bawah Raja Henry VIII. Di Afrika Selatan, ketika rezim apartheid masih berjaya Dutch Reformed Church juga dipakai untuk memperkuat posisi pemerintah rasialis. Erastianisme pun bisa muncul di dalam ukuran kecil‐kecil, seperti misalnya di Amerika Serikat, ketika gereja‐gereja dipakai untuk tujuan ini atau itu secara politis. Baik juga direnungkan apakah kecenderungan seperti itu terjadi di Indonesia, di mana agama secara sangat mudah diperalat bagi tujuan‐tujuan politik. Di masa‐masa Pemilu misalnya tidak jarang kita menemukan lembaga‐lembaga agama dipergunakan misalnya oleh salah seorang kandidat bagi tujuannya sendiri. Atau lembaga‐ lembaga itu sendiri mendeklarasikan dirinya mendukung si A atau si B. Pemakaian keliru ayat‐ayat kitab suci di dalam mendukung diri sendiri dan programnya dapat juga digolongkan ke dalam erastianisme ini. Pemakaian agama oleh negara ini sering juga disebut politisasi agama.

Kadang‐kadang erastianisme tidak terhindarkan, karena gereja berada di dalam negara dan diperintah oleh negara. Dalam keadaan seperti ini, integritas gereja haruslah tetap menjadi perkara pergumulan teologis. Bagaimanapun, erastianisme dalam pengertian negara secara penuh mengendalikan negara, adalah pemberhalaan.

  

3.  Ketidakmungkinan Praktis Bagi Pemisahan Total

Yang disebut pemisahan negara dan gereja secara ramah terdapat di hampir semua negara‐negara Barat. Di Amerika Serikat misalnya dicantumkan dalam Amandemen Pertama Konstitusi: “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof.” Inilah dasar pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat. Kendati demikian, sering juga interpretasi   terhadap   amandemen   ini   diperluas,   sebagaimana dilakukan oleh Thomas Jefferson. Interpretasinya mengenai pemisahan bahkan membawa kepada pengertian, “wall of separation”, dalam arti pemisahan mutlak sama sekali yang seakan‐ akan dibatasi oleh tembok. Penafsiran ini menghentar Mahkamah Agung pada 1947 membuat keputusan, bahwa baik negara federal maupun negara‐negara bahagian tidak diperbolehkan meloloskan UU yang membantu satu agama, semua agama‐agama, atau lebih menyukai satu agama di atas yang lainnya. Kedengarannya seperti mendukung prinsip pemisahan agama dan negara. Namun di dalam kenyataannya ternyata persoalan yang dihadapi di dalam masyarakat jauh lebih kompleks dari sekadar membuat tembok antara agama dan negara. Institusi‐institusi gereja (agama) ada sebagai bahagian dari masyarakat, menduduki ruang sosial dan ekonomi. Apa yang merupakan kebutuhan masyarakat berkaitan erat juga dengan kebutuhan bersifat sementara dari institusi‐ institusi agama di dalam banyak hal. Lebih‐lebih lagi di era modern sekarang, kebutuhan‐kebutuhan itu menjadi jauh lebih kompleks ketimbang di waktu lalu. Negara modern mempunyai kebutuhan‐ kebutuhan di bidang pendidikan, komunikasi, kesehatan dan kesejahteraan, keuangan dan seterusnya. Alhasil, apabila “wall  of separation” ditafsirkan secara harafiah, maka kehidupan gereja (agama) akan makin tergeser dari kehidupan publik, dan gereja (agama) makin masuk ke dalam ghetto.

Secara teologis, ini juga tidak bisa diterima, karena iman lalu berarti sangat bersifat individualistik. Karena itu, pemisahan “ramah” antara gereja (agama) dan negara mestinya dimaknai bahwa gereja (agama) tetap mempunyai fungsi‐fungsi sosial, di samping tentu saja watak individualnya.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam kaitan ini adalah, bawa negara mesti mendefenisikan agama. Defenisi yang dimaksud bersifat legal. Tentu saja ini tidak mudah bagi agama‐agama, sebab bisa berarti agama‐agama menundukkan diri kepada defenisi yang dirumuskan negara. Di Indonesia misalnya, dengan defenisi yang dibuat pemerintah lalu ditegaskan bahwa hanya ada lima (belakangan enam) agama diakui. Jelas praktek ini adalah gangguan serius terhadap prinsip pemisahan negara dan agama. Masalah selesai? Tidak juga. Sebab bagaimanapun defenisi dibutuhkan. Sebagaimana dikatakan Charles M. Whelan, bahwa doktrin mengenai pemisahan antara agama (gereja) dengan negara tidak akan bermanfaat apabila negara sendiri tidak tahu apa itu agama (gereja). Karena itu, katanya “pemerintah mestilah juga bisa mengakui dan mengartikulasikan perbedaan‐perbedaan dasar antara agama dan tipe‐tipe kepercayaan lain, dan antara praktek‐ praktek agama dan bentuk‐bentuk perilaku lainnya”.

Persoalan memang tidak mudah. Ini diperumit lagi oleh adanya pandangan teolog seperti Karl Barth dan Hendrik Kraemer yang tidak mau menyebut kekristenan sebagai “agama”. Keduanya membedakan antara “iman Kristen” dan “agama”. Iman adalah respons manusia terhadap prakarsa Allah (artinya Allah yang lebih dahulu  berprakarsa),  sedangkan  agama  adalah  upaya  manusia untuk menggapai Allah (manusia berprakarsa, suatu tindakan yang berlawanan dengan ajaran mengenai anugerah). Semua persoalan ini, kendati rumit perlu difahami. Alhasil, negara memang mesti berhati‐hati mendefenisikan “agama” sehingga kecenderungan manipulasi dan eksploitasi hukum oleh orang atau golongan dengan menamakan diri “beragama (atau bersifat agamani)” hanya demi memperoleh keuntungan‐keuntungan  tertentu  atas  agama  bisa dicegah. Sebagai contoh, di Amerika Serikat sendiri ketidakmudahan membuat defenisi mengenai agama nampak dengan jelas. Ada sekian banyak defenisi mengenai agama di dalam sekian banyak UU. Maka tidak heran, pada akhirnya terjadilah inkonsistensi. Bagi Wogaman, inilah bukti ketidakmungkinan praktis membuat pemisahan total antara agama dan negara.

 

4.  Keutamaan Kebebasan Beragama

Pemisahan agama (gereja) dan negara memang dimaksudkan agar agama (gereja) dilindungi dari kerusakan yang dilancarkan oleh Erastianisme tadi. Tetapi pada pihak lain, guna memberikan kebebasan beragama. Kalau kebebasan beragama difahami lebih luas, inilah nilai yang pada akhirnya berada dalam bahaya. Ada dua pengertian. Pertama, kerusakan dari kerangka rujukan religius transenden itu bisa dipergunakan oleh negara bagi tujuan politiknya sendiri. Tentu saja bukan tidak mungkin terdapat persamaan antara tujuan negara dan agama. Tetapi kalau negara mengendalikan agama, maka anggota‐anggota (umat) yang berada di dalam agama itu hanya memperoleh informasi dari pihak negara. Sebagai    demikian,    integritas    teologis     dari    kelompok agama bersangkutan secara fatal dikompromikan.

Kedua, kalau kebebasan beragama itu dimaknai secara sepihak, di mana misalnya kelompok agama sendiri tidak tercakup di dalam hak‐hak istimewa khusus. Misalnya, penganut agama A membayar pajak tetapi demi keuntungan penganut agama B. Hal ini bisa terjadi karena kelompok agama B tadi memperkembangkan nilai‐nilai dan faham yang mereka timba dari pengertian mereka sendiri.Tentu ada yang bertanya, bukankah ini konsekwensi dari demokrasi, di mana kita selalu berada dalam posisi menerima kendati tidak menyetujuinya? Benar. Namun perlu dibedakan secara tajam adanya perbedaan antara kalah‐menang pada aras pribadi dan kebijakan pemerintah yang telah merupakan hasil dari prosedur demokratis yang syah, pada satu pihak, dan memiliki konsepsi transenden mengenai makna dan arti hidup yang didefenisikan sebagai benar atau tidak benar melalui suatu proses politik, pada pihak lain. Sesungguhnya tindakan‐tindakan dan kebijakan‐ kebijakan (negara) mestinya mencerminkan jawaban‐jawaban terhadap pertanyaan, apakah yang harus dikerjakan, bukan terhadap pertanyaan, apakah yang dipercayai? Kalau negara sibuk dengan pertanyaan kedua, maka ia (negara) mencederai esensi perjanjian politik itu sendiri. Menurut esensi perjanjian itu, setiap orang, orang‐orang pribadi yang sama, bertindak dalam integritas terdalam dari keberadan mereka, ikut serta di dalam kegiatan bersama. Maka mereka yang ikut serta di dalam perjanjian demokratis itu tidak dapat diperlakukan hanya sebagai sesuatu; kehidupan transenden setiap orang harus dihormati. Setiap orang memang tunduk kepada hukum. Tetapi setiap orang juga adalah warga negara. Sebagai warganegara, setiap orang adalah pemilik bersama   kedaulatan   secara   keseluruhan.   Sebagai   kedaulatan‐warganegara, setiap orang harus terus berusaha sebagai saluran makna dan nilai dari kelompok, tidak hanya sekadar tunduk kepada makna dan nilai orang‐orang lain. Dalam kaitan ini patut ditegaskan, bahwa negara tidak berteologi. Sekali negara berteologi, ia berubah menjadi lembaga agama.

Dari titik pandang itu, kita setuju dengan pandangan bahwa kemerdekaan beragama adalah hak asasi manusia yang fundamental, yang di atasnya semua hak‐hak lain didasarkan. Dengan merumuskan ini, kita bersentuhan dengan pemahaman mengenai civil religion. Inikah makna civil religion? Adakah ini berarti adanya gangguan terhadap integritas religius dari mereka yang tidak menerimanya? Wogaman tidak berpendapat demikian, asal saja dipegangi pendapat bahwa orang mempunyai makna transenden, dan bahwa masyarakat dapat mempunyai maksud‐ maksud yang sungguh‐sungguh menghasilkan perkara. Konsekuensinya, sikap eksklusip agama, apalagi yang sangat fundamentalistis‐fanatik tidak bisa diterima dalam kerangka berpikir ini. Tentu saja mereka mempunyai hak untuk mengekspresikan diri mereka. Tetapi eksistensi masyarakat berdiri berhadapan dengan eksklusivitas mereka. Maka masyarakat seperti itu tidak bisa berdiam diri saja berhadapan dengan mereka. Bagi negara, ini berarti tidak boleh ada agama yang diprioritaskan di atas agama‐agama lainnya. Bahkan simbol‐simbol agama pun tidak boleh diprioritaskan oleh negara. Tetapi adalah perkara  lain, apabila negara mempersiapkan suatu kehidupan bersama yang terbuka bagi pengungkapan‐pengungkapan agamani bagi semua. Ini sesuai dengan salah satu asas demokrasi, bahwa ia terbuka bagi diskusi‐diskusi terbuka. Arena publik ini harus terbuka kepada semua penganut agama. 

Perlu pula  ditegaskan bahwa segala  sesuatu  yang  menamakan diri “agama” tidak dapat menikmati kemerdekaan mutlak di dalam civil society. Kalau misalnya sebuah kelompok kultis membahayakan kehidupan dan mencederai hukum yang sangat esensial bagi kesejahteraan bersama, maka mesti dihentikan. (Baru‐baru ini di Manado ada sebuah kelompok kultis yang di dalam ritus peyembahannya menerapkan kekerasan. Kalau praktek kultis seperti ini sungguh‐sungguh berbahaya bagi para pengikutnya, maka hukum harus ditegakkan dengan mencegah yang bersangkutan meneruskan praktek semacam itu!). Itu berarti ada pembatasan terhadap kebebasan beragama. Beberapa hak ekspresi agama bisa saja lebih mutlak dari yang lainnya. Hak untuk berbicara dan mempublikasikan pandangan perlu dijunjung tinggi. Tetapi perlu diperhatikan agar yang ditulis itu tidak mencederai orang lain, dan dengan demikian mengganggu kehidupan bersama.

 

5.  Pembelaan Politik Oleh Kelompok­-kelompok Agama (Gereja)

Pertanyaan ini juga sangat menarik bagi kita di Indonesia dewasa ini. Perlukah kelompok‐kelompok agama, dalam hal ini gereja melakukan kegiatan‐kegiatan politik guna membela keberadaan sebagai orang Kristen? Bahwa gereja dan orang Kristen ada di dalam masyarakat, dan sebagai demikian ikut membangun polis, telah dikatakan berulang‐ulang. Tetapi bagaimana bentuknya? Ikut serta menjadi anggota di dalam partai‐partai politik yang ada? Atau sendiri mendirikan partai‐partai Kristen? Di era reformasi ini hak untuk mendirikan perkumpulan sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 diterapkan dengan cukup bebas. Alhasil, cukup banyak partai‐ partai Kristen didirikan. Tetapi yang berhasil memperoleh kursi di DPR‐RI  baru  dua  partai,  yaitu  Partai  Demokrasi  Kasih  Bangsa (PDKB) dengan 5 kursi di dalam periode 1999‐2004, dan Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 13 kursi di periode 2004‐2009. Dalam Pemilu terakhir (2009) tidak ada satupun partai Kristen memperoleh kursi.

Pertanyaan adalah, hanya dengan mendirikan partai‐partai politik saja orang Kristen dapat melakukan pembelaan politik? Tidak adakah bentuk‐bentuk lain? WCC pernah berbicara mengenai tanggungjawab Kristen di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di kalangan gereja‐gereja di Indonesia, apa yang dikatakan WCC ini juga terdengar gemanya. Kita berbicara mengenai kewarganegaraan yang bertanggungjawab, sebagaimana dipopulerkan oleh Dr. J. Leimena, negarawan dan tokoh gereja di era Bung Karno. Kita pun berkata‐kata  mengenai  creative minority,  sebagaimana disebarluaskan oleh Prof Dr. Notohamidjojo (mantan Rektor UKSW). Dan seterusnya. Pendeknya orang‐orang Kristen Indonesia tidak ingin hanya menjadi penonton dalam seluruh keriuhrendahan politik itu.

Wogaman pun memberi perhatian serius terhadap peranan ini. Ia mengemukakan adanya 7 (tujuh) aras pembelaan: 

Aras 1: Mempengaruhi Etos

Pada aras ini, gereja (dan orang Kristen) berusaha mempengaruhi roh zaman dari makna aksi‐aksi politik yang muncul di dalam negara. Kebijakan‐kebijakan dan program‐program politik diarahkan kepada realisasi nilai‐nilai kultural. Di Amerika Serikat misalnya, gereja mempengaruhi roh zaman dari suatu masyarakat yang pada waktu itu masih mempertahankan segregasi sosial berdasarkan warna kulit. Gereja menekankan bahwa sikap itu bertentangan dengan nilai‐nilai keyakinan terdalam iman Kristen. Demikian juga di Afrika Selatan, Dutch Reformed Church, yang semula menjadi benteng pembenaran politik apartheid, pada akhirnya mulai mempertanyakan kebenaran pemahaman itu. Di Jerman kita mengenal “Barmen Declaration” (1934) dari “Gereja Yang Mengaku” (Die bekennende Kirche) yang menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah satu‐satunya Firman Allah yang harus didengar, dipercaya dan ditaati. Deklarasi itu sendiri tidak secara terang‐terangan berbicara mengenai Hitler, atau mendukung kanditat dari partai oposisi. Tetapi dengan melakukan itu, gereja sesungguhnya sedang menantang pemberhalaan dan totalitas negara di era Nazi itu.

Aras 2: Mendidik Anggota Gereja Mengenai Isu­isu Khusus

Pendidikan ini penting dilakukan sebab tidak semua anggota jemaat mempunyai pemahaman yang benar mengenai apa yang sesungguhnya sedang berlaku di dalam negara. Pada aras ini gereja menerima pertanggungan jawab untuk mengaitkan imannya yang sangat umum dengan isu‐isu politik secara khusus. Di kalangan Uskup‐uskup Katolik di Amerika Serikat di permulaan tahun 1980 diperkembangkan dokumen‐dokumen studi yang mengesankan mengenai isu‐isu politik seperti misalnya perang nuklir dan kehidupan ekonomi. Demikian juga di kalangan gereja‐gereja Protestan. Di dalam PGI, setidak‐tidaknya dalam periode 2004‐2009 telah empat kali dilakukan pendidikan politik bagi anggota‐anggota gereja membahas pokok‐pokok khas berkaitan dengan perkembangan negara sejak era reformasi dan tempat gereja di dalamnya. 

Aras 3: Menggiatkan Lobi­lobi Gereja

Melakukan lobi‐lobi juga adalah upaya yang bisa dilakukan gereja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bisa dialamatkan kepada Pemerintah dan atau DPR. Yang kurang langsung, tetapi sering lebih efektip adalah bagi pembelaan legislasi untuk membangkitkan kewaspadaan guna menghujani para legislator dengan komunikasi‐komunikasi mengenai berbagai isu. Ini bisa menimbulkan kesan, kadang‐kadang juga ilusi, bahwa posisi yang dibela itu mendapat dukungan luas.

Aras 4: Mendukung Calon­calon Tertentu Bagi Suatu Jabatan

Di dalam gereja‐gereja di negara‐negara Barat yang demokratis, langkah ini jarang ditempuh. Memang kurang alasan untuk melakukan ini. Tetapi di Amerika Serikat, gereja‐gereja etnis sering memberikan dukungan langsung kepada kandidat tertentu yaitu yang mempunyai rekam jejak yang  baik  di  bidang  hak‐hak  asasi manusia. Demikian juga mereka yang mempunyai rekam jejak yang baik di bidang keadilan sosial. Itu berarti, tidak serampangan gereja memberikan dukungan. Memang masalah bisa muncul apabila ada sekian banyak calon yang mencalonkan diri dan semuanya meminta dukungan gereja, apalagi kalau sajian program mereka tidak jelas. Kalau ambisi‐ambisi mereka saling bertentangan satu sama lain, maka gereja mestilah sungguh‐sungguh harus mempunyai catatan rekam jejak mereka, sehingga dapat menilai secara obyektif.

Dalam Pemilu Presiden 2004‐2009, “Surat Penggembalaan” PGI secara jelas mendorong orang Kristen untuk memilih dengan cerdas dan mendengarkan hati nurani. Secara eksplisit dikatakan, bahwa yang dipilih bukan hanya sekadar presiden melainkan juga bangunan koalisi yang ada di belakangnya. Dari rumusan ini, lalu muncul  anggapan  bahwa  PGI  telah  mengarahkan  orang  Kristen untuk memilih kandidat tertentu. Sejatinya memang begitu, tetapi bukan karena pertimbangan orang per orang, melainkan karena telah menyentuh ideologi bangsa. Dalam penilaian PGI, negara dan bangsa bisa dibahayakan apabila Pancasila tidak dikemukakan secara tegas sebagai satu‐satunya ideologi negara dan pilar bangsa. Ini dilihat sebagai keadaan krisis. Maka dalam keadaan krisis itu, PGI menganjurkan agar memilih seorang presiden yang benar‐ benar menegaskan mendukung Pancasila dan mengamalkan nilai‐ nilainya.

Aras 5: Menjadi Partai Politik

Adanya partai‐partai demokrat Kristen di negara‐negara Eropa dan Amerika Latin membuktikan, bahwa bahkan sampai ke aras ini perkembangan pemahaman politik di kalangan orang Kristen telah menempuh sejarah yang panjang. Partai‐partai politik memang harus menentukan posisi, sebagian atas dasar apakah akan memperoleh suara. Ketika menentukan posisi, gereja‐gereja mestinya bebas membela kebijakan. Kalau perlu juga bagaimana mendorong pihak oposisi menentukan kebijakannya bagi tahun‐ tahun mendatang. Gereja‐gereja pun  dapat  mengambil  jarak dari mereka yang hanya mengedepankan ambisi‐ambisi pribadi. Sebagai demikian, gereja tetap mengambil posisi sebagai yang melayani dan mempengaruhi semua partai‐partai politik. Tetapi keadaan yang sangat luarbiasa, seperti di era Nazi Hitler bisa memaksa gereja untuk berpihak dan berhadapan dengan partai berkuasa. Bahkan bukan tidak mungkin gereja mendirikan partai politik sendiri. Jadi tidak sebarang waktu gereja mendirikan partai politik. Hanya dalam keadaan kritis, ketika semua upaya telah habis. 

Aras 6: Pembangkangan Sosial

Suatu pembangkangan sosial dapat dilakukan, khususnya terhadap UU atau produk hukum lainnya yang tidak disetujui, dan segala macam cara sudah ditempuh. Cara ini misalnya telah ditempuh oleh Martin Luther King Jr. Syarat‐syaratnya harus dipenuhi, yaitu terbuka, nir‐kekerasan dan tidak ada upaya untuk mengelak dari konsekuensi‐konsekuensi hukum. Kadang‐kadang pembangkangan sosial juga dilakukan untuk menetapkan bahwa suatu UU spesifik tidaklah konstitusional. Kalau orang Kristen melakukan pembangkangan sosial, bukanlah supaya  mereka menjadi murni,  karena tidak ada seorangpun mampu melakukan itu. Maksudnya adalah untuk mengkomunikasikan, dengan cara yang sangat mendesak, bahwa hukum atau UU atau kebijakan yang ditempuh pemerintah bertentangan dengan nurani Kristen.

Aras 7: Berpartisipasi Dalam Revolusi

Ikut serta di dalam revolusi adalah cara paling serius di dalam keterlibatan politik karena ia mencakupi rekonstitusi dari perjanjian politik itu sendiri. Lagi pula, karena revolusi bisa mengarah kepada tindakan kekerasan. Orang Kristen baru mengambil sikap ini apabila keadaan benar‐benar sudah sangat serius, tidak tertolong lagi dengan cara‐cara biasa. Di dalam sejarah, sikap seperti in memang pernah dialami. Ketika perang saudara di Zimbabwe, kelompok‐kelompok gereja bekerjasama dengan kaum revolusioner. Demikian juga dengan beberapa peristiwa di Amerika Latin. WCC dengan “Programme to Combat Racism” pernah digelar, dan inipun mendapat perlawanan dari banyak gereja yang tidak sepakat. Maka gereja memang harus sangat berhati‐hati sebelum mengambil jalan revolusi, sebab kecenderungan memutlakkan diri di dalamnya sangat besar. Pada akhirnya memang gereja committed bagi keterlibatan politik. Ia adalah bahagian dari civil society. 

Tujuh aras ini memang tidak harus berurutan dilakukan. Juga bukan sesuatu yang mutlak. Tetapi inilah pilihan‐pilihan yang mungkin, yang bisa dilakukan gereja dan orang Kristen, dengan memperhatikan perkembangan di dalam masyarakat. Satu hal perlu dicatat, bahwa orang Kristen harus memperlihatkan rasa hormat terhadap mereka yang tidak sependapat dengan presuposisi‐ presuposisi religius mereka. Di kalangan Kristen, kita mengenal sayap kanan dan atau kiri di dalam pemahaman dan sikap terhadap politik. Tidak usah harus disesuaikan dan dipaksakan agar selalu sesuai dengan satu pandangan.

VI. Adakah Kesatuan Visi Kristen Dalam Politik?

Setelah mengedepankan beberapa aspek dari tulisan Wogaman, maka dalam bagian terakhir tulisan ini kita mengajukan pertanyaan, adakah kesatuan visi Kristen terhadap politik? Tulisan ini sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa visi itu ada. Namun kita perlu mempertajamnya. Sebagaimana kita maklum, di Indonesia orang‐orang Kristen bebas memasuki partai politik manapun, kendati lebih banyak di dalam partai‐partai bersifat kebangsaan. Di DPR‐RI maupun DPRD, wakil‐wakil rakyat yang beragama Kristen merupakan anggota‐anggota dari partai‐partai politik yang beraneka ragam. Alhasil, mereka tunduk kepada “ideologi”, program dan penugasan partai masing‐masing. Bisa juga dikatakan, mereka masing‐masing mempunyai perspektif berbeda tentang politik.

Apakah itu berarti bahwa tidak akan ada kesatuan visi di antara orang‐orang Kristen ini? Tidak usah harus begitu. Ada banyak hal yang mempersatukan. Yang mempersatukan itu, tentulah jangan pertama‐tama karena adanya rasa terancam oleh pihak lain, dan karena itu harus bersatu. Misalnya, karena kepentingan Kristen terlalu diremehkan selama ini. Kalau hanya begitu, maka dasarnya sangat rapuh. Ketika ancaman itu tidak ada lagi, lalu kesatuan (visi) menjadi buyar. Saya lebih suka merumuskan visi bersama itu dengan meletakkannya di atas dasar yang jauh lebih kuat. Pertama­ tama, para politisi adalah orang‐orang Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus. Segala kuasa baik di atas bumi maupun di surga telah diserahkan ke dalam tangan‐Nya. Itu berarti, Ia adalah Tuhan atas sejarah. Sebagai demikian, orang‐orang Kristen yang duduk di dalam bidang politik juga dipanggil untuk ikut mengarahkan sejarah termasuk  sejarah  bangsa.  Sebagai  orang  Kristen,  mereka  harus yakin bahwa keberadaan bangsa ini dimungkinkan karena Allah berkenan mendirikannya, sebagaimana secara sangat khikmat dirumuskan dalam “Pembukaan UUD 1945”. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Paul L.Lehmann, seorang etikus berkebangsaan Amerika, orang Kristen harus sangat sensitif terhadap apa yang sedang dilakukan Allah di dalam dunia ini, yaitu menjaga agar kehidupan manusia tetap manusiawi, mencapai kedewasaan manusia, yaitu manusia baru.

Kedua, sebagaimana dikatakan Wogaman, setiap  politisi Kristen mesti mencamkan bahwa dunia politik adalah arena di mana terjadi pertemuan antara kemanusiaan dan Allah. Tentu saja pandangan ini jangan membawa politisi Kristen kepada sikap arogan, seakan‐akan hanya mereka yang punya hak istimewa mengetahui kehendak Allah. Sebaliknya, pengetahuan ini justru harus makin membuat para politisi Kristen rendah hati dan “gentar” sebab “tanah tempat kamu berpijak adalah kudus”. Maka tugas politisi Kristen adalah terus berusaha mencari tau kapankah “pertemuan” itu terjadi dan dalam bentuk apa. Kalau sudah tahu, bagaimana menanganinya. Ketika ketidakadilan terjadi misalnya, politisi Kristen diharapkan mempunyai “mata tajam” dan “telinga peka” untuk melihat dan mendengar, bahwa di sanalah pertemuan kemanusiaan dan Allah itu terjadi. Dengan kata‐kata lain, visi politik Kristen adalah memperjuangkan keadilan di mana ketidakadilan terjadi, meringankan penderitaan kemiskinan, di mana kemiskinan merajalela, dan seterusnya. Undang‐undang yang dihasilkan mestilah  sungguh‐sungguh  berpihak  kepada  yang  menderita  ini. 

Ketiga, politisi Kristen mesti mampu menerjemahkan makna pengakuan iman, bahwa melalui Yesus Kristus, Allah mengasihi dunia ini. Ini juga berarti, mengasihi setiap orang Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras, etnis, kepentingan. Bagaimana jadinya seorang politisi Kristen yang tidak sensitif terhadap hak‐hak asasi manusia yang dengan sewenang‐wenang diinjak‐injak. Ketika korban‐korban Peristiwa Semanggi pada tahun 1998,  dengan sangat sewenang‐wenang diputuskan oleh  DPR‐RI  sebagai  bukan pelanggaran HAM berat, kita semua kecewa. Kita tahu bahwa peristiwa itu sungguh serius. Itulah pelecehan terhadap manusia sebagai citra Allah sebagaimana ditegaskan oleh Alkitab. Keempat, seorang politisi Kristen selalu diperhadapmukakan dengan persoalan politik tertinggi: apakah kehendak manusia dan kekuasaan politik hendak dipersembahkan bagi hal‐hal yang baik ataukah demi melayani diri sendiri dan kepentingan diri. Drama Kristus, kata Wogaman adalah ujian dari kuasa kasih Allah atas kejahatan dan kefasikan manusia, dan iman kebangkitan menyatakan kemenangan terakhir kasih atas kejahatan.

Rumusan‐rumusan ini barangkali belum cukup “praktis”. Namun demikian, setiap politisi Kristen, apapun latarbelakang partai politiknya bisa menerjemahkannya ke dalam program partai masing‐masing dengan bertolak dari iman Kristen itu. Saya mau menutup tulisan ini dengan mengingatkan, bahwa sesungguhnya kita mempunyai sebuah “Grand Program” sebagaimana dirumuskan dalam Lukas 4:18‐19: “Roh Tuhan ada pada­Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang­orang tawanan, dan penglihatan bagi orang­orang buta, untuk membebaskan orang­orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Disampaikan dalam KONSULTASI NASIONAL, 27 ‐ 29 September 2009 Hotel Santika Jakarta