info@leimena.org    +62 811 1088 854

IL News 019/2019

Selalu ada perasaan yang sama tiap kali menjadi pengampu kelas Pancasila: apakah kali ini akan berhasil? Bukan, bukan hendak menjadi pengampu yang disukai. Tapi, bagaimana agar kelas Pancasila ini dapat mendorong mahasiswa yang mempelajarinya dapat memaknainya, lalu menginspirasi mereka menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab. 

Akhirnya, kelas pun dimulai, di kampus Sekolah Tinggi Theologi Bandung (STTB), 7 September 2019. Demokrasi topiknya. Alih-alih menceramahi mereka dengan definisi dan segala macam teori demokrasi yang dapat mereka temukan dari berbagai sumber, saya mengajak mereka untuk bermain peran. Saya membagi 3 kelompok, dan meminta mereka untuk memerankan proses pemilihan pemimpin pada negara yang berbentuk kerajaan, otoriter, dan demokrasi.

“Pastikan bahwa dalam peran yang teman-teman tampilkan, kita dapat melihat bentuk partisipasi warga dan kualitas hak asasi manusia”, ujar salah satu tim pengajar kami kepada mahasiswa saat mereka sedang mempersiapkan diri.

Kelas pun menjadi riuh, oleh suara diskusi mereka dalam mempersiapkan diri, pun oleh suara tawa dan canda di antara mereka. Bahkan, seorang mahasiswa dengan kreatif membuat bentuk mahkota dari bahan dasar kertas. Berisik? Lumayan! Tapi mereka adalah mahasiswa, manusia, yang sejatinya perlu diperlakukan sebagai subjek, termasuk dalam ruang kelas. Kebebasan dan demokrasi pun perlu terwujud dan dirayakan di ruang kelas.

Singkat cerita, waktu bermain peran telah selesai. Kegiatan belajar dilanjutkan dengan memfasilitasi mereka untuk menguatkan perbedaan di antara ketiga bentuk pemerintahan tersebut. Mereka belajar mengalami secara langsung, dan mampu menarik perbedaan yang jelas dari ketiga bentuk pemerintahan tersebut. Mereka juga didorong untuk berani berekspresi, termasuk bertanya.

Jika kita naik sepeda dan jatuh, jangan-jangan ada unsur sepeda yang rusak hingga kita jatuh. Demikian juga demokrasi, jangan-jangan ada unsur demokrasi yang rusak hingga belum memberikan hasil yang optimal? Tanya seorang mahasiswa.  Pertanyaan yang mengejutkan; menunjukkan kemauan mereka untuk belajar dan tumbuhnya rasa keingintahuan atas pengetahuan.

Benar, bahwa mereka telah memahami demokrasi, setidaknya demokrasi dalam lingkup kecil, bukan teori-teori besar tentang demokrasi atau perbandingan demokrasi di beberapa negara. Mereka tahu kekuatan demokrasi dibanding bentuk pemerintahan lainya, mereka tahu peran warga dalam demokrasi, dan mereka tahu tiang yang menyangga demokrasi agar dapat berdiri tegak. Namun, yang lebih penting dari sekadar tahu adalah menarik makna dari pengetahuan yang dipelajari, pada konteks diri sebagai mahasiswa dan pada masyarakat yang akan mereka layani. Dengan demikian, pengetahuan yang mereka terima dapat lebih berguna. Pun, kesadaran diri mereka sebagai kader muda bangsa yang mengabdikan hidup untuk sesama, dapat bertumbuh.

Bagaimana pelajaran hari ini bermanfaat untuk Anda? Apa yang akan Anda gunakan dengan pengetahuan baru ini? Bagaimana kondisi bangsa kini dibandingkan dengan pengetahuan yang telah Anda terima, apa yang perlu dilakukan?

Kiranya pertanyaan ini terus bergema dalam diri mahasiswa, sekalipun mereka telah melangkah ke luar kelas.

Ada 3 hal yang saya dapat: kecintaan, kesetiaan, dan ketaatan.

Saya rindu saya, agar saya dan pemuda indonesia memiliki ketiga hal ini. Kecintaan akan indonesia, kesetiaan untuk utk menjadi Indonesia dan ketaatan untuk melakukan tugas bagi Indonesia. Tuhan Yesus memberikan tugas untu saya dan kita semua utk menjadi terang dan garam bagi dunia maka kita harus taat akan tugas itu. Dan ada hal baru yang saya dapat: jangan pernah berpikir dan katakan politik itu kotor, tetapi sadarilah bahwa kita sudah memberikan Indonesia ke tangan orang-orang yang keras, serakah dan jahat. Cintai Indonesia dngan brdoa bgi Indonesia

(Ronald, salah satu mahasiswa STTB)

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena