Sumber foto: PGI.or.id
IL News 021/2019
Waingapu, Sumba Timur, NTT.
4 November 2019, pukul 07.30 WITA, hari keempat Pertemuan Raya Perempuan Gereja PGI. Peserta belumlah tampak ramai di lokasi kegiatan. Meski demikian, mama-mama yang bekerja menyiapkan sarapan sudah berdiri di samping meja makan, siap melayani peserta dengan makanan lezat yang mereka sediakan. Dari cerita santai bersama mereka, terungkap bahwa mereka bekerja sejak dini hari. Bahkan, ada yang tidak tidur demi menjamu peserta. Menakjubkan, perempuan terus bekerja–tiada henti.
Pukul 08.00 WITA. Peserta mulai memasuki ruangan pertemuan, bersiap mengikuti sesi Perempuan dan Demokrasi. Albertus Patty (PGI), Musdah Mulia (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), dan Puansari Siregar (Institut Leimena), hadir untuk berbagi ilmu dan kegelisahan tentang perempuan dan demokrasi.
Puansari Siregar dari Institut Leimena – lembaga yang mendorong partisipasi aktif Kristen dalam berbangsa dan bernegara – membagikan kisah keberagaman Indonesia sebagai konteks keterlibatan perempuan dalam berdemokrasi. Ia juga menyerukan bahwa kedaulatan rakyat yang dijamin dalam Konstitusi, merupakan dasar dan jaminan keterlibatan perempuan dalam berdemokrasi.
Inspirasi tentang demokrasi yang disampaikan fasilitator, diresponi oleh peserta dengan melontarkan banyak pertanyaan pada sesi diskusi: mulai dari persoalan ketidakadilan hingga intoleransi dan praktik politik di wilayah pelayanan masing.
Semua peserta pada kegiatan ini mengamini bahwa perempuan memang tidak boleh diam. Ihwal demokrasi yang digaungkan pada acara ini, menjadi pengingat agar perempuan terus melanjutkan karyanya secara optimal demi keadilan dan kebaikan bagi seluruh ciptaan. Demokrasi yang menjadi sistem pemerintahan kita adalah jaminan dimana hak dan kedaulatan perempuan diakui dan dijamin.
Perempuan tidak diam. Memang betul, sejatinya perempuan terus bekerja–sejak matahari terbit hingga terbenam. Mulai dari pekerjaan domestik yang tidak dinilai dengan upah, hingga pekerjaan yang dinilai dengan upah. Perempuan terus bekerja merajut keadilan, mulai dari keluarga di lingkungan terkecil hingga pemerintahan pada konteks yang lebih luas. Bagai mama-mama di Sumba yang merajut helai demi helai benang hingga menghasilkan kain tenun yang indah, demikianlah perempuan terus bekerja merajut kehidupan yang lebih baik bagi semua ciptaan.
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena