Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011
Pembangunan: Untuk Siapa?
Pembangunan biasa didefinisikan sebagai perubahan komunitas secara terencana dari satu tingkat kesejahteraan ke tingkat berikutnya yang dihargai lebih tinggi. Kaum modernis sangat yakin dengan definisi ini tanpa sedikit pun keraguan. Lebih lanjut mereka melihat banyaknya nilai-nilai tradisional yang harus diubah, karena tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan. Banyak upacara adat yang dinilai menghambur-hamburkan uang. Seorang aktivis pengembangan ekonomi lokal agak frustasi karena tambahan penghasilan Rp 50.000 per bulan yang diraih seorang petani melalui program pengembangan masyarakat menjadi tidak ada artinya ketika petani tersebut harus menyumbangkan seekor kerbau berharga Rp 10.000.000 ketika seorang kerabatnya meninggal dunia. Pada pandangan si aktivis, yang meninggal tersebuat hanyalah kerabat jauh, dan kejadian seperti ini sering terjadi. “Bukan hanya dana yang terhambur percuma, waktu juga melayang sia-sia berhari-hari”, kata aktivis tersebut megungkap keputusasaanya. Kaum modernis mencatat banyaknya unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan kemajuan, dan menganggap hal ini harus disingkirkan, atas nama pembangunan.
Tak dapat dipungkiri, dari sudut pandang obyektif, banyak ketimpangan perkembangan komunitas. Satu komunitas mempunyai infrastruktur yang sangat lengkap, sedang yang lain tidak; satu komunitas dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan modern yang memadai, sedang komunitas lain sama sekali tidak memilikinya. Akibat dari ketimpangan ini, arus migrasi menjadi sangat kuat di Indonesia. Penduduk dari daerah dengan infrastruktur yang kurang memadai pindah ke daerah yang lebih baik. Sering migrasi ini disertai pula dengan brain drain sehingga daerah yang “tertinggal” tadi semakin tertinggal lagi karena ditinggal pergi oleh manusia berpotensi tinggi.
Namun, definisi di atas memunculkan pertanyaan etis: apa yang dimaksud kesejahteraan? Siapa yang memberi bobot penilaian tinggi rendahnya kesejahteraan? Bagaimana membandingkan kesejahteraan komunitas Baduy dengan masyarakat Jakarta? Apakah etis “mengganggu” pola hidup suatu masyarakat yang kita anggap “tertinggal”? Aktivis pembangunan berpendekatan modernisasi menjawab: sehat lebih baik dari sakit, kurang gizi bukan situasi yang baik, pintar lebih baik dari bodoh, dan seterusnya. Kalau itu etis, pertanyaan lain menyusul, siapa yang berhak menentukan cara pengobatan yang tepat? Siapa yang memutuskan jenis makanan apa yang dimakan? Siapa yang tahu ilmu pengetahuan apa yang harus dipelajari? Gugatan ini semakin menguat akhir-akhir ini, ketika banyak yang berpendapat banyak komunitas kita yang kehilangan akar budayanya karena tergerus arus mudernisasi. Banyak gerakan dilakukan untuk revitalisasi nilai budaya tradisional. Banyak upacara dan kesenian yang pernah dilarang, atas nama pembangunan mau pun atas nama agama, kini dibangkitkan dan dikembangkan dalam rangka mencari akar budaya yang selama ini dianggap tercerabut.
Keraguan terhadap pembangunan dengan pendekatan modernisasi dapat diringkas menjadi pertanyaan “Apakah pihak luar berhak mengganggu homeostatis suatu sistem sosial?” Pertanyaan penting ini menjadi lebih penting dipikirkan ketika banyak proses pembangunan di masa lalu justru membuat komunitas semakin menderita. Berbagai laporan menunjukkan bahwa komunitas adat semakin terpinggirkan dan bahkan terancam punah karena pembangunan. Walaupun pasal 18 UUD 1945 menyatakan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, namun sering hak-hak ini tidak diperdulikan dalam proses pembangunan. Puluhan komunitas adat di Sumatera dan Kalimantan punah secara sosial dan menderita secara ekonomi. Hutan, yang selama ini menjadi sumber segala-galanya bagi mereka, diambil kayunya dan dikonversi menjadi perkebunan modern, dan tersisihlah mereka dari “pembangunan”. Di bidang pembangunan pertanian, pertengahan dekade 1960-an, aktivis pembangunan dengan gencar mengampanyekan penggunaan pupuk dan pestisida kimia serta benih baru, namun sekarang gencar pula dikampanyekan pertanian organik setelah melihat dampak buruk dari revolusi hijau tersebut.
Jadi, bagaimana sebenarnya pembangunan itu? Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa komunitas hanya dijadikan objek pembangunan. Mereka menjadi sasaran pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi pihak luar komunitas. Akibatnya, komunitas tersebut berubah, tercerabut, dan terombang-ambing sesuai dengan kemauan pihak luar. Lebih parah, pendekatan modernisasi telah memperlebar kesenjangan antara orang kaya dengan yang miskin.
Memang, saat ini berbagai jargon baru dipakai dalam pendekatan pembangunan, misalnya partisipasi (participation), (empowerment), penyadaran (conscientization). Namun, sering sekali ini masih hanya jargon semata, dan pendekatan sebaliknyalah yang terjadi.
Issu di atas membawa beberapa prinsip penting untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal. Pertama, bila komunitas dikatakan menjadi subyek, berarti pembangunan harus memberdayakan komunitas. Tanpa pemberdayaan tidak ada partisipasi sejati. Pemberdayaan berarti pemampuan kumunitas untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan dilakukannya untuk komunitasnya. Agar komunitas mempunyai kapasitas seperti itu, perlu berbagai aktivitas antara pengembangan kapasitas (individu maupun kelompok sosial), pengembangan jaringan (agar dapat saling menguatkan dan belajar dari komunitas lainnya), dan pengorganisasian komunitas (agar komunitas memiliki arena untuk memperbincangkan berbagai isu mengenai komunitas). Semua aktivitas ini merupakalan kegiatan edukasi dan komunikasi. Karena itu, pembukaan akses informasi menjadi sangat penting dalam pembangunan, termasuk percepatan pembangunan daerah tertinggal. Jargon pendekatan pembangunan baru (pemberdayaan, partisipasi, penyadaran, dan sebagainya) tak lain tak bukan adalah komunikasi. Karena itu, perbaikan sistem komunikasi merupakan unsur yang sangat penting dalam pembangunan. Dalam hal ini, komunikasi bukan hanya kendaraan penghantar pesan-pesan pembangunan, tetapi sebagai proses utama dalam pengembangan partisipasi, pemberdayaan, dan pendidikan penyadaran. Artinya, komunikasi adalah pembangunan itu sendiri.
Kedua, bila disepakati bahwa masyarakat menjadi aktor pembangunan, berarti kita mengakui bahwa pembangunan merupakan hak bukan kewajiban. Artinya, suatu komunitas berhak menentukan arah pembangunan dirinya, bahkan ia berhak untuk tidak membangun. Karena itu, dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat penting “memberitahukan” komunitas tentang hak tersebut dan bagaimana komunitas tersebut mempergunakan hak tersebut. Pihak luar (penyelenggara negara, swasta, masyarakat sipil) berkewajiban menyediakan infrastruktur agar komunitas mengetahui dan memanfaatkan haknya tersebut.
Ketiga, pendekatan percepatan pembangunan daerah tertinggal memang mengutamakan pembangunan berjalan beriringan dengan pembangunan manusia. Manusianya harus dibangun sehingga ia mengerti haknya dalam pembangunan dan ia mengerti bagaimana memanfaatkan pembangunan tersebut. Pembangunan manusia yang tidak disertai pembangunan infrastsruktur akan mengakibat brain drain yang menguras manusia dari daerah tertinggal, sehingga daerah tersebut semakin tertinggal. Sebaliknya pembangunan infrastruktur saja, juga akan mengakibatkan ketimpangan baru, karena infrastruktur tersebut akan dimanfaatkan pihak luar untuk mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada, dan komunitas lokal hanya menonton pembangunan tersebut. Artinya, percepatan pembangunan daerah tertinggal harus terintegrasi.
Keempat, percepatan pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya yang luar biasa besar. Upaya ini harus dilakukan bersama oleh pemerintah, usaha swasta, dan lembaga swadaya masyarakat bersama komunitas di daerah tertinggal. Upaya bersama ini perlu dikoordinasikan agar lebih efisien. Pemerintah bertugas melakukan koordinasi ini, sehingga semua program dari pihak yang berbeda akan bersinergi untuk mempercepat pembangunan di daerah tertinggal.**
Penulis
Djuara Lubis, Ph.D. adalah Dosen di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.