Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Yasonna Laoly, bersama Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) sekaligus Senior Fellow Institut Leimena, Siti Ruhaini Siti Ruhaini Dzuhayatin, berfoto bersama sejumlah peserta dalam konferensi yang diinisiasi oleh Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama, Universitas Brigham Young (BYU) di Oxford, Inggris.
IL News 014/2023
Oxford, IL News – Konsep martabat manusia merupakan inti dari hak asasi manusia (HAM) yang melekat, yang harus dihormati oleh semua orang. Meskipun diperdebatkan dan didefinisikan dalam berbagai budaya, agama, dan tradisi, namun konsep martabat manusia tetap memperlakukan setiap individu dengan hormat.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Menkumham RI), Yasonna Laoly, saat menjadi pembicara utama dalam konferensi bertajuk “Perspektif Peradaban mengenai Martabat Manusia” (Civilizational Perspectives on Human Dignity) yang diadakan di Oxford, Inggris, pada 27-29 Juli 2023. Yasonna menjadi satu-satunya pembicara yang memberikan opening keynote dalam konferensi high level tersebut yang dihadiri sekitar 150 peserta dari berbagai negara terdiri dari para ahli hukum internasional dan pejabat pemerintahan sejumlah negara.
“Perbedaan persepsi mengenai martabat manusia tidak meniadakan fakta bahwa semua individu berhak diperlakukan dengan hormat, tanpa memandang latar belakang, ras, jenis kelamin, atau status sosial,” kata Yasonna.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, juga hadir sebagai salah satu pembicara dalam sesi “Action Plan for Amplifying Human Dignity Day” (Rencana Aksi untuk Memperkuat Hari Martabat Manusia). Konferensi diadakan oleh Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama, Universitas Brigham Young, bekerja sama dengan Sekolah Hukum Notre Dame dan Universitas Oxford dalam rangka menggalang dukungan global untuk menetapkan Hari Martabat Manusia Internasional lewat Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa.
Yasonna mengatakan konsep martabat manusia sangat terkait dengan HAM. Konsep tersebut juga mencakup gagasan keadilan dan kewajaran sosial. HAM memberikan kerangka kerja untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan martabat yang melekat pada setiap orang.
“Setiap individu harus diperlakukan secara setara, adil, dan tanpa diskriminasi,” ujarnya
Yasonna mengatakan HAM memberikan kerangka kerja untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan martabat yang melekat pada setiap orang. Penegakan aturan hukum adalah suatu keharusan untuk mencegah pelanggaran HAM. Konvensi HAM Internasional mengatur kewajiban pemerintah untuk bertindak dengan cara tertentu atau menahan diri dari tindakan tertentu, untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan mendasar individu atau kelompok.
Menurutnya, pemajuan dan perlindungan HAM adalah proses berkelanjutan sehingga harus disesuaikan dengan realitas baru dan tantangan yang muncul. Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia sendiri menjadi amanat Konstitusi UUD 1945.
“Tidak ada negara yang memiliki catatan hak asasi manusia yang sempurna, dan kami mengakui bahwa kami perlu berbuat lebih banyak,” kata Yasonna.
Menkumham RI, Yasonna Laoly, bersama delegasi dari Indonesia dan Duta Besar RI untuk Inggris, Desra Percaya (ketiga dari kanan).
Sebut Kemitraan dengan Institut Leimena
Dalam pidatonya, Menkumham juga menyebut kemitraan dengan Institut Leimena dalam program Literasi Keagamaan Lintas Budaya. Indonesia, ujarnya, akan menjadi tuan rumah “Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya” yang diadakan Kementerian Hukum dan HAM dan Institut Leimena, didukung oleh Pusat Internasional untuk Studi Hukum dan Agama Fakultas Hukum Universitas Brigham Young dan Sekretariat Kebebasan Beragama Internasional.
“Pada tanggal 13-14 November di Jakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama Institut Leimena, akan menjadi tuan rumah “Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya”, ujar Yasonna.
Yasonna menyatakan konferensi internasional itu diadakan dalam rangka memperingati 75 tahun Deklarasi Universal HAM yang akan fokus pada “Martabat Manusia dan Supremasi Hukum untuk Masyarakat yang Damai dan Inklusif.” Dengan peserta dari berbagai negara, forum ini akan menjadi forum yang baik untuk membahas bagaimana martabat manusia menjadi prinsip dasar tidak hanya HAM, namun juga keterlibatan warga negara dalam memajukan masyarakat yang damai dan inklusif berdasarkan supremasi hukum.
“Konferensi ini akan membangun kemitraan yang kuat dengan Institut Leimena dalam memperkuat supremasi hukum dan kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui program pelatihan guru nasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya,” lanjut Yasonna.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, saat menjadi pembicara salah satu sesi.
LKLB Didasarkan Martabat Manusia
Sementara itu, Matius Ho mengatakan literasi keagamaan lintas budaya, atau disingkat LKLB, merupakan pendekatan yang didasarkan pada martabat manusia. Pendekatan LKLB menganggap semua manusia memiliki martabat yang setara sekalipun berbeda agama dan budaya.
“Kita harus mampu bekerja sama dengan semua orang dari apa pun agamanya,” ujar Matius.
Program LKLB yang diadakan Institut Leimena dan berbagai mitra telah berlangsung selama dua tahun sejak 2021 dengan jumlah lulusan sedikitnya 5.700 guru dan penyuluh agama dari 41 angkatan. Program LKLB tidak berhenti sampai pelatihan saja, melainkan para alumninya juga didorong mengikuti sesi-sesi pendalaman termasuk aktif dalam komunitas alumni LKLB. [IL/Chr]
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena
@institutleimena
Warganegara.org
@institutleimena
Warganegara.org