info@leimena.org    +62 811 1088 854

dr. Johannes Leimena

dr. Johannes Leimena

Seri Mutiara Pemikiran dr Johannes Leimena, bersumber pada naskah ceramah Dr. J. Leimena pada Konperensi Studi Pendidikan Agama Kristen di Sukabumi yang diadakan tanggal 20 Mei – 10 Juni 1955 dengan judul Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab. (www.leimena.org, 2010). Dr. Johannes Leimena (1905 –1977) adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora

Seri Mutiara Pemikiran

Kewarganegaraan Yang Bertanggungjawab

1. Kewarganegaraan Yang Bertanggungjawab

Ada dua kata dalam judul tulisan ini, kewarganegaraan dan bertanggung jawab.

Dalam kata kewarganegaraan termasuk ’warga negara’, anggota dari suatu negara. Suatu negara tidak dapat dipisahkan dari anggota-anggotanya, seperti tangan, kaki, mata dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari badan manusia. Badan adalah suatu persekutuan yang organis. Badan tanpa mata, kaki, tangan dan sebagainya tidak dapat digerakkan serasi.

Badan merupakan suatu persekutuan dari fungsi-fungsi tiap anggota. Setiap anggota mempunyai fungsi, tempat dan maksud tersendiri dalam suatu “organisme” yang hidup dan yang bekerja secara harafiah, menurut aturan-aturan yang tertentu.

Demikianlah juga negara dan anggota-anggotanya. Tiap anggota mempunyai tempat, fungsi dan maksud dalam organisme yang disebut negara itu. Warga negara sama dengan anggota suatu negara.

Apakah negara itu?  Negara adalah persekutuan  dari orang-orang yang hidup  dalam satu daerah. Daerah ini mempunyai penduduk yang sebagian besar hidup sebagai bangsa.  Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah ini mempunyai kekuasaan  dan kewibawaan. Dan  mempunyai alat-alat kekuasaan. Suatu negara mempunyai: bendera, lambang dan lagu.

Kita melihat bahwa negara dan bangsa, terjalin satu dengan yang lain. Tidak ada negara tanpa  bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi daripada bangsa.

Apakah bangsa itu?  Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang bukan saja  mempunyai satu daerah yang tertentu dimana ia hidup; atau mempunyai satu bahasa, dimana anggota-anggotanya berhubungan satu dengan yang lain; atau mempunyai satu hasrat hidup bersama  tetapi juga mempunyai satu sejarah, yang membuktikan bahwa ia mempunyai satu nasib (zaman yang lampau) dan menunjukan satu tujuan (zaman yang akan datang). Pada tiap bangsa terdapat pula suatu cara berpikir atas kesatuan,  suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, dan suatu persamaan dalam perasaan hidup.

Lalu bagaimanakah kita dapat merupakan dan hidup sebagai bangsa? Adalah melalui negara yang mengakui tanggung jawab sepenuh-penuhnya atas tiap lapangan kehidupan daripada bangsa itu. Dengan demikian negara itu mempunyai fungsi.

Berhubungan dengan fungsi negara ini terdapat beberapa definisi dari negara yang sebenarnya mempunyai makna yang sama, yaitu (a) Negara adalah suatu bentuk hidup yang teratur dari suatu bangsa; (b) Negara adalah fungsi dari pada bangsa; negara adalah organisasi daripada bangsa itu.

Fungsi daripada negara adalah: mengatur, melindungi dan mempertahankan kehidupan dari pada bangsa sebagai kesatuan. Negara, dengan demikian, mempertahankan dan melindungi kehidupan dan hak-hak dari pada penduduknya. Negara mengatur hal-hal ini atas dasar hukum dan keadilan. Dengan demikian maka peraturan-peraturan negara tergolong dalam suatu tata hukum yang setertib-tertibnya. Peraturan-peraturan ini dijalankan atas dasar suatu kekuasaan yang berdaulat. Karena itu disebutkan juga bahwa: negara adalah suatu bangsa yang mempunyai suatu organisasi territorial dengan suatu peraturan hukum yang dijalankan atas dasar suatu kekuasaan yang berdaulat[1].

Warga negara yang bertanggung jawab.

Warga negara yang bertanggung jawab berarti bahwa warga-warga itu turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negaranya. Ia turut bertanggung jawab atas maju dan mundurnya negara itu. Terhadap kemajuan negara, ia memuji Pemerintah, terhadap kemunduran, ia memberikan kecaman kepada Pemerntah dengan jalan-jalan dan saluran-saluran yang legal.

Karena itu, kita hanya dapat mengatakan bahwa kita adalah warganegara yang mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negara, jika kita telah mempunyai keinsyafan kenegaraan, dan keinsyafan kenegaran tidak dapat tumbuh, jika tidak ada suatu keinsyafan kebangsaan.

Secara konkrit: kita tidak dapat mengatakan bahwa kita adalah warga negara Indonesia, jika pada kita tidak ada suatu keinsyafan bahwa kita adalah suatu anggota dari pada suatu organisme yang bernama negara Indonesia dan jika pada kita tidak ada suatu keinsyafan bahwa kita adalah anggota dari pada suatu persekutuan, yang disebut: bangsa Indonesia.

Kewarganegaraan yang bertanggung jawab.

Bertanggung jawab kepada apa atau siapa?  Seperti tadi telah dikatakan, tiap warga negara dalam suatu negara yang teratur mempunyai hak-hak dan kewqjiban-kewajiban. Kita tahu bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kepada siapa warga negara bertanggung jawab dalam tindak tanduknya?

Menurut paham saya, secara rohani ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Mahakuasa; secara duniawi (ketatanegaraan) ia bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat (bangsa), yang keduanya, menurut bentuk yang baik, didasarkan atas hukum. Menurut pendapat saya, hukum ini paling baik dijalankan dalam suatu negara dalam mana paham demokrasi berlaku. Demokrasi dalam arti kata: kemerdekaan dan persamaan hak terhadap undang-undang.

Kesimpulan

Kesimpulan dari apa yang telah dibentangkan tentang kewarganegaraan yang bertanggung jawab, dan yang bagi umat Kristen mendapat ekspresinya dalam pertanyaan: bagaimana kita bisa hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan warga negara yang sejati adalah sebagai berikut:

Dalam hal kecintaan, kesetiaan, ketaatan kepada dan pengorbanan bagi tanah air, bangsa dan negara, orang Kristen tidak dan tidak boleh kurang dari pada orang-orang lain, bahkan ia harus menjadi teladan bagi orang lain sebagai pecinta tanah air, warga negara yang bertanggung jawab dan nasinalis sejati. Segala sesuatu ini adalah refleksi dari pada kecintaan, kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhannya, dengan pengertian: “Soli Deo Gloria” (segala kemuliaan adalah hanya bagi Tuhan).

Dengan demikian maka ia lepaskan segala sindrom minoritas (“minderwaardigheids-complexen”) yang mungkin ditimbulkan oleh kecenderungan-kecenderungan golongan-golongan yang lain yang menganggapnya sebagai golongan minoritas.

Terhadap anggapan ini ia harus mempunyai suatu sikap tegas. Umat Kristen bukanlah suatu minoritas, dilihat dari sudut ketatanegaraan, ia bukan warga negara-warga negara kelas 2 atau kelas 3, ia adalah warga negara yang mempunyai sama hak dan sama kewajiban seperti warga negara-warga negara lain. Bersama dengan mereka ini mereka bersedia dan sanggup mencurahkan pikiran dan tenaganya bagi pembangunan negara sebagai warga negara-warga negara yang bertanggung jawab.

[1]       Kalau kita bicara tentang negara, maka teringatlah kita kepada: Daerah negara; Bentuk dan dasar negara; Warga negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, beserta kebebasan-kebebasan dasar manusia dari penduduk; Alat-alat perlengkapan negara (Pemerintah-kabinet Parlemen) dengan tugas-tugasnya masing, termasuk alat-alat negara seperti angkatan perang dan polisi; Perundangan-undangan dan peraturan-peraturan lain mengenai kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain; Hubungan luar negeri

2. Bagaimana Kita Memandang Dunia Di Mana Umat Manusia Hidup?

Dalam bahasa sehari-hari diadakan perbedaan antara dunia yang fana (sementara) dan dunia yang baka. Dalam sejarah dunia dan sejarah Gereja terdapat dua pandangan.

Pandangan pertama, berpendapat bahwa kehidupan dan tata hidup manusia ditujukan melulu kepada alam yang baka. Dunia dan sejarahnya dipandang sebagai “ilusi”; ada orang-orang yang tidak mencampurkan dirinya dengan dunia ini berhubung dengan buruknya dunia yang disebabkan oleh kuasa-kuasa yang jahat. Inilah pandangan, yang menghindarkan dirinya dari pada pergaulan dan pergumulan dunia.

Di lain pihak terdapat pandangan tentang cara hidup dan berpikirnya manusia yang melulu ditujukan kepada dunia sekarang. Pandangan ini terdapat umpanya pada marxisme dan orang-orang yang memegang pada paham ”evolusi” dan kemajuan sosial terus menerus.

Sudah jelaslah bahwa pandangan yang pertama tidak mempedulikan kesulitan, kesukaran dan kebutuhan dunia (umat manusia) pada waktu sekarang, dan dengan demikian ia memperlemah perasaan tanggung jawb manusia terhadap dunia (masyarakat).

Pandangan yang kedua menganggap secara sungguh-sungguh kehidupan manusia dalam dunia sekarang ini dan mempunyai visi optimis terhadap dunia. Penyempurnaan kehidupan, menurutnya, tidak terdapat dalam dunia yang akan datang tapi dalam dunia sekarang ini.

Alkitab mengajarkan kita bahwa ada suatu perhubungan yang rapat antara manusia dan bumi:

“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannnya di atas lautan dan menegakkannnya di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2).

. “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15). Sesudah manusia jatuh ke dalam dosa “taman” itu menjadi suatu tempat yang terkutuk, dimana manusia dengan peluh mukanya akan memakan rezekinya. (Kej. 3:19), tapi bumi itu menjadi pula tempat aktivitas pendamaian Allah dalam Yesus Kristus.

Oleh pekerjaan Tuhan Yesus sengsara yang fana dalam dunia ini akan diganti dengan kemuliaan yang baka. Seperti Rasul Paulus berkata dalam Roma 8:18-21:

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan kedatangan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.”

Dengan demikian maka bumi dan dunia manusia adalah “ciptaan Allah” dan “ciptaan kedua kalinya dari Allah”.

Sidang raya Dewan Gereja se-Dunia berpendapat:

Tuhan menciptakan dunia ini, segala waktu termasuk dalam tujuannya. Ia bergerak dan bertindak dalam sejarah dunia sebagai Raja. Menurut paham kekristenan, pusat daripada sejarah dunia adalah kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus Allah masuk dalam dunia ini, menghukum dan mengampuninya”.

Kesimpulan

Allah dalam Yesus Kristus, bukan saja Raja daripada sorga, melainkan juga Raja daripada dunia. Tuhan telah menciptakan bumi (dunia) ini. Ia mengasihi dunia ini, sehingga ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus supaya barangsiapa yang percaya akan Dia tidak akan binasa, melainkan memperoleh kehidupan yang kekal.

Ia memperdamaikan dunia ini dalam Kristus Yesus. Ia memerintah, melindungi dan memeliharakan dunia ini sampai Ia datang kelak kedua kalinya degnan segala kemuliaannya. Dengan datangnya Tuhan Yesus Kristus dalam dunia ini, Allah telah menciptakan untuk kedua kalinya dunia ini. Pekerjaan kerajaan sorga yang telah dimulai dengan kedatangan Tuhan Yesus Kristus akan disempurnakan oleh-Nya pada akhir zaman.

Kita yang hidup diantara dua waktu, yaitu antara kenaikan Tuhan ke srga dan kedatangan kedua kalinya dalam dunia ini, tidak dapat melepaskan diri kita dari pada bumi (dunia) ini, tapi wajib turut serta dalam pemeliharaan dunia ini, turut serta dalam pekerjaan menegakkan kerajaan sorga dalam dunia ini.

Tuhan Yesus Kristus dalam doa-Nya berkata:

“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18).

Dengan demikian maka pandangan pertama diatas, bertentangan dengan maksud dan perintah Allah. Sebaliknya pandangan kedua,  visi optimistis terhadap dunia bertentangan dengan pelajaran Alkitab.

3. Bagaimana Kita Memandang Bangsa, Dalam Mana Kita Terhisab?

Mengenai hal ini, Alkitab menempatkan kita dalam suatu posisi (kedudukan) yang “paradoxaal”.

Pada satu pihak kita diharuskan memandang bangsa itu dengan sungguh-sungguh, dengan penuh keyakinan. Bangsa, ialah tempat di mana Tuhan menempatkan kita untuk menjawab perintah (panggilan)-Nya. Dengan demikian maka kita tidak boleh menjadi “gedenationaliseerde individuen” atau “kosmopolieten,” seperti Ahasyweros-Ahasyweros yang modern.

Tentang hal ini Rasul paulus berkata:

“Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami selutuh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka” (Kis. 17:26).

Di lain pihak Perjanjian Baru memperlihatkan suatu konsepsi mengenai bangsa yang dipengaruhi oleh perspektip “eschatologis.”  Seperti Rasul Paulus dalam Filipi 3: 20 berkata:

“Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,” atau dalam I Petrus 2:11, “Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, . . . “

Kita dipanggil menjadi anggota dari pada bangsa kita dan anggota dari pada Umat Allah. Sudah barang tentu hal ini membawa suatu ketegangan dalam kehidupan kita.

4. Bagaimana Kita Memandang Negara, Yang Dari Padanya Kita Adalah Warga?

Juga mengenai warga negara, orang Kristen mempunyai suatu kedudukan yang “paradoxaal”. Ia adalah warga dari negaranya dalam dunia ini dan ia adalah juga warga dari kerajaan Kristus. Ia mempunyai “double citizenship” (dwi kewarganegaraan). Hal ini pula mengakibatkan suatu ketegangan (spanning) dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Seperti diatas telah diuraikan: sebagai warga negara yang turut bertanggung jawab terhadap kehidupan negara, orang Kristen harus turut serta dalam menentukan pemerintah negara dan turut serta dalam menentukan peraturan-peraturan hukum, undang-undang dan lain-lain hal yang mengatur kehidupan negara.

Berhubung dengan hal ini, maka timbul pelbagai pertanyaan seperti:

  • Sampai berapa jauhkan kekuasaan negara itu mengikat
  • Apa yang menjad sumber dari pada kekuasaan negara
  • Sampai berapa jauh orang Kristen dapat taat kepada negara?

Sebenarnya, semua pertanyaan ini berkisar pada soal yang besar: “Bagaimanakah perhubungan Gereja dan Negara” dan berdampingan dengan itu ialah soal: “Bagaimanakah orang Kristen dapat hidup dengan Tuhannya dan bersamaan dengan itu hidup sebagai warga negara yang baik,” lebih tegas lagi:  “Bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggung jawab.”

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, berhubungan erat dengan teori-teori  mengenai “negara’. Dalam hubungan ini saya hanya hendak mengatakan pendirian-pendirian mengenai negara menurut: Marthin Luther[i], John Calvin[ii], dan Karl Barth[iii].

Teori-teori tentang negara dari Luther, Calvin dan Barth, yang secara ringkas sekali dibentangkan, berlaku khusus bagi negara-negara yang hidup dalam alam tradisi kekristenan, dan yang keadaannya tidak sama dengan umpamanya negara-negara di Asia, yang masyarakatnya terdiri sebagian besar atas orang-orang yang tidak beragama Kristen (Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya), sehingga orang Kristen harus menyetujui suatu dasar negara yang dapat disetujui dan didukung oleh semua orang, yang memeluk berbagai agama itu. Dalam negara itu semua harus mendapat kebebasan agama. Sudah jelas bahwa dasar negara itu haruslah sekular. Namun juga negara secular ini dipandang oleh umat Kristen dari sudut kekristenan.

Menurut pandangan saya, ada beberapa hal yang dapat kita pegang sebagai pokok pangkal dalam soal relasi Negara dan Gereja:

  1. Alkitab mengajar kita tentang:
    • Kejadian atau ciptaan dunia.
    • Perdamaian dari Umat manusia (dunia) dengan Allah dalam Yesus Kristus. Inilah yang disebutkan kejadian yang baru (penciptaan yang kedua kalinya – dari dunia.
    • Penyempurnaan dari ciptaan yang kedua kali ini, yang tercapai pada waktu Tuhan Yesus datang pada kedua kalinya dalam dunia ini.
  2. Gereja mempunyai kewajiban mengabarkan kepada Umat manusia tentang ciptaan yang baru dari dunia dalam Yesus Kristus itu.
  3. Ciptaan yang baru ini berarti
  • Pemulihan dari pada suatu ketertiban (orde), perdamaian, keadilan dan kemerdekaan dalam dunia sekarang.
  1. Karunia Allah memungkinkan “orde” itu, supaya dunia tidak terjerumus dalam suatu kekacauan (chaos) dan “yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (I Tim. 2:4).
  2. Negara berkewajiban menyelenggarakan/memeliharakan ketertiban itu, dengan demikian menjadi pegawai Allah (Rm. 13:6). Karena Allah dalam Yesus Krisuts adalah Tuhan dari dunia dan sorga, maka kekuasaan negara berasal dari Tuhan. Dengan demikian negara tidak mempunyai tujuan dan norma dalam dirinya. Fungsi yang diberikan kepada negara adalah memeliharakan kertertiban itu atas dasar Hukum dan Keadilan, dan menciptakan berbagai kemungkinan kepada warga negara untuk bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
  3. Gereja, khusus umat Kristen, harus turut serta menegakkan ketertiban tersebut diatas. Ia tidak dapat membagi kehidupannya dalam dua lapangan yang terpisah sama sekali: kehidupan batin dan kehidupan politik, tapi Kerajaan Allah harus dikabarkan dalam semua lapangan kehidupan, juga dalam lapangan politik. Menurut “panggilannya” dalam lapangan politik ini, ia tiap kali harus menentukan sikapnya yang tergantung dari pada situasi dan soal yang dihadapinya.

[i]     Biasanya disebutkan bahwa Luther mengemukakan teori “dua lingkungan” atas dasar nisbah (perhubungan) dari hukum Taurat dan Injil. Menurut Luther; Injil termasuk lingkungan Gereja dan hukum Taurat termasuk lingkungan gedung perwakilan rakyat. Injil menguasai ‘kehidupan batin’. Negara dan Gereja ada dua lapangan yang terpisah satu dari yang lain. Dengan demikian maka kehidupan negara gampang dilepaskan dari penguasaan Kristus. Dalam praktek Nazi-Jerman, kita lihat bahwa Gereja yang membiarkan kehidupan negara, akhrnya dikuasai negara.

[ii]     Calvin mengajar: “kebaktian kepada Allah dalam dan oleh kehidupan kekristenan” dan “kebaktian kepada Allah di lapangan kehidupan politik”. Menurutnya, ada dua lingkungan, lingkungan Gereja dan lingkungan dunia, tapi Tuhan Yesus Kristus adalah kepala daripada Gereja dan dunia. Calvin atas dasar tersebut diatas memajukan tuntutan mengenai “aturan-aturan ketertiban politik”. Menurutnya, juga semua aturan ketertiban politik harus memuliakan nama Tuhan dengan jalan mengatur keadilan, perdamaian, kemerdekaan, secara duniawi. Kalau Pemerintah, – bagaimanapun bentuknya, – bersedia memperlihatkan dasar kerohanian daripada “politieke orde” itu,  jadi mempertahankan keadilan, perdamaian dan kemerdekaan, maka orang Kristen wajib bekerja bersama dengan orang-orang yang berkuasa di lapangan politik.

[iii]     Menurut Barth, pendirian Calvin mengandung kebenaran, tapi pendirian Calvin terlalu dipengaruhi oleh teokrasi Abad Pertengahan. Calvin mengharapkan terlalu banyak pertolongan dari negara. Menurut Barth, hal ini akan berakhir dengan “dominasi” negara atas Gereja. Luther dan Calvin, menurut Barth, tidak menjelaskan bagaimana kekuasaan politik dapat didasarkan atas kekuasaan dan pemerintahan Kristus. Karena itu Barth mau berikan suatu “Christologische Fundering” dari negara.

Menurut Barth:

  • Negara harus dipandang dari sudut kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.
  • Tuhan Yesus Kristus adalah kepala (Tuhan) dari Gereja dan Negara.
  • Negara mempunyai tugas menurut ketentuan Allah dalam suatu dunia yang masih ada dalam genggaman dosa, dalam dunia itulah berdiri Gereja.

Negara menjalankan tugas itu menurut kebijaksanaan dan kesanggupan yang ada padanya, ia menyelenggarakan hukum (keadilan) dan perdamaian dengan menggunakan kekuasaan.

  • Gereja adalah persekutuan dari orang-orang yang telah ditebus oleh Tuhan.
  • Negara adalah persekutuan politik.
  • Kalau Gereja benar-benar mengakui kekuasaan Tuhan Yesus Kristus, maka tak boleh ia mengisolir dirinya dalam dindingnya.
  • Gereja adalah lingkaran dalam dari pada kekuasaan Kristus; masyarakat umumnya adalah lingkaran yang luas.
  • Perhubungan Negara dan Gereja adalah suatu perhubungan dari lingkaran-lingkaran yang konsentris; kedua lingkaran itu mempunyai satu titik pusat , yaitu Yesus Kristus.

Namun menurut Barth, jangan ada percampuran dari Gereja dan Negara.  Gereja harus menjaga agar janganlah sampai ia menjadi Negara dan Negara tak boleh menjadi Gereja. Gereja memperingatkan penguasa (Pemerintah) dan yang dikuasainya (diperintahnya) kepada kerajaan dan keadilan Allah.

5. Bagaimana Kita Memandang Masyarakat Dalam Mana Tiap Hari Hidup Dan Bergerak?

Kehidupan masyarakat berhubungan erat dengan kehidupan negara. Mayarakat adalah suatu kompleks dari berbagai kerja sama dan organisasi manusia. Dalam bentuk-bentuk organisasi yang beraneka warna itu terdapat salah satu diantaranya ialah negara dan organisasi ini mempunyai sifat dan kepentingan istimewa.

Masyarakat mengandung arti “hidup bersama”. Kita bertanya: atas dasar apakah masyarakat itu harus berdiri sehingga ia dapat menjadi masyarakat yang sebaik-baiknya?

Atas dasar ide Rosseau-kah[1], atau Hobbes-kah[2] atau Marx-kah[3]?

Pada dasarnya, ide-ide yang tersebut diatas dialaskan atas pendapat: manusia pribadi adalah dasar dari segala pengetahuan, juga dari cara hidup bersama dan dari apa yang seyogianya. Juga Marxisme yang berpikir atas dasar massa sebenarnya bertujuan melepaskan individu dari belenggu.

Ataukah masyarakat harus didasarkan atas paham: manusia adalah suatu zoon politikon (makhluk sosial), dalam arti kata: manusia itu ada, oleh karena ada manusia yang lain. Dengan perkataan lain: dasar daripada wujud manusia terletak bukan pada dirinya sendiri, melalinkan pada cara ia berdiri terhadap yang lain.

Perhubungan dari Aku-Engkau  ini yang menentukan dasar dari persekutuan, yang dinamakan masyarakat. Karena itu, semua bangsa dapat memperlihatkan suatu persekutuan, karena pada bangsa itu terdapat berbagai ikatan yang menghubungkan individu-individu menjadi satu bangsa.

Nisbah Aku – Engkau ini yang menentukan dasar dari masyarakat. Perhubungan oknum – khalayak ramai, sebenarnya, adalah suatu keharusan, ialah perintah kasih. Dalam kasih terhadap orang lain, manusia dapat berhubungan dengan orang lain dalam persekutuan. Oleh kasih, massa menjadi persekutuan, dan individu  menjadi diri pribadi. Dalam kasih tiap persekutuan memperoleh dasar dan tujuan.

Menurut pandangan kekristenan, dasar daripada masyarat, apa yang tercantum dalam Mat. 22: 37-40:

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi.”

Jalan pikiran tersebut di atas kita temukan dalam laporan Seksi III Sidang Raya Dewa Gereja-Gereja se-Dunia (Evanston 1954), di mana disebutkan:

Pertanggunganjawab umat Kristen di lapangan sosial didasarkan atas aktivitas yang membesar dari pada Allalh, yang menjelma dalam Tuhan Yesus Kristus. Ia telah menciptakan suatu perhubungan yang hidup dengan umat manusia dan memberikan kepadanya suatu perjanjian dan perintah. Perjanjian bahwa barang siapa yang memenuhi panggilan-Nya akan memperoleh kehidupan dari Allah. Perintah bahwa manusia harus mengasihi sesama manusianya. Dalam panggilan melakukan usaha-usaha sosial yang bertanggung jawab, kita diharuskan oleh Allah melihat dalam tiap sesama manusia, Kristus sendiri. Sebagai jawaban atas pengasihan Tuhan dan keinsyafan akan Hukum-Nya, Umat Kristen bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab.

Dalam hubungan ini Evanston memperingatkan kita kepada pendapat Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Amsterdam (1948), mengenai masyarakat yang bertanggung jawab. Antara lain dikemukakan:

“ Masyarakat yang bertanggung jawab ialah masyarakat di mana kemerdekaan adalah kemerdekaan dari orang-orang yang mengakui bertanggung jawab terhadap keadilan dan ketertiban umum dan di mana mereka yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan itu kepada Tuhan dan kepada rakyat.”

Mengenai hal ini, Evanston menambahkan bahwa:

“Masyarakat yang bertanggung jawab ini bukanlah suatu alternatip sosial atau politik, melainkan suatu kriterium dengan mana pelbagai sistem-sistem sosial dapat diukur dan pula suatu petunjuk dalam hal menentukan sikap.”

Masyarakat yang bertanggung jawab bukan hanya mengenai masyarakat yang maju tapi juga mengenai masyarakat yang masih mempunyai bentuk sosial yang buruk. Ia mengenai masyarakat yang besar maupun yang kecil (keluarga, pabrik, perkumpulan pemuda, desa dan sebagainya) dan kehidupan masyarakat itu mengenai semua lapangan hidup, baik sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. Bagi negeri-negeri Asia yagn sosial-ekonomis belum maju hal ini berarti berhadapan dengan soal-soal:  Kemiskinan; Perubahan dalam lapisan masyarakat; Bentuk masyarakat desa; Pembangunan daerah-daerah di luar kota (rural areas); Perkembangan-perkembangan di lapangan industri; Keadilan sosial dan kemerdekaan; Tekanan penambahan jumlah penduduk; Pengaruh dunia barat.

Bagi Indonesia, umpamanya, segala sesuatu itu dipusatkan pada: bagaimanakah kita dapat menciptakan suatu negara yang adil dan makmur dan suatu masyarakat dalam mana terdapat: kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan (Mukadimah UUDS). Ada juga yang mengatakan bahwa dalam masyarakat yang digambarkan di atas, berlaku paham:

“Hormat akan Hukum Kejadian alam dan turut akan Keadilan”

Umumnya dilapangan sosial ekonomi berlaku “The Golden Rule”:

“Segala sesutau yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12)

Kalau hal-hal tersebut termasuk tugas dan hak dari Pemerintah, maka tugas warga negara adalah juga turut serta dalam usaha-usaha ini dan mengeluarkan pendapatnya serta memohon pertanggungan jawab dari penguasa-penguasa. Karena itu warga negara harus turut bertanggung jawab mengenai cara ia diperintah dan ia bertugas mempunyai “interesse” dalam hal pemerintahan. Pendapat khalayak ramai (public opinion) sangat diperlukan oleh pemerintah untuk mengatur kebijaksanaannya. Jika tidak ada “public opinion” yang sehat, maka ini sebetulnya berarti: kemunduran dari kehidupan masyarakat.

[1]    Yang mengangap tabiat manusia itu adalah baik, sehingga negara, ialah suatu bentuk dari masyarakat, didasarkan atas suatu perjanjian dari oknum-oknum yang merdeka dan puas akan diri sendiri.

[2]    Yang menganggap tabiat manusai itu sebagai serigala, sehingga negara merupakan suatu raksasa Leviathan yang sangat buas.

[3]    Yang menggantungkan segala sesuatu yang berharga dalam masyarakat (agama, moral, keadilan dan juga negara) pada hakikatnya, pada susunan dan perbandingan ekonomi atau cara-cara kebutuhan dalam mayarakat; suatu ajaran yang didasarkan atas paham massa.

6. Tugas Tiap Warga Negara Indonesia Terhadap Negara Dan Dalam Pemilihan Umum Yang Akan Datang

Di atas telah dibicarakan prinsip-prinsip daripada negara, bangsa, dan telah diberikan – meskipun secara sepintas lalu – suatu pandangan kekristenan mengenai dunia, negara, bangsa dan mayarakat. Pula dibentangkan sekedar tentang paham tanggung jawab.

Sekarang kita akan mencoba menerapkan hal-hal itu pada masyarakat kita pada umumnya dan umat Kristen pada khususnya di Indonesia.

Negara kita adalah negara yang baru. Sekarang ini, sesudah kita miliki negara sendiri, maka kita berhadapan dengan soal-soal kenegaraan, baik yang berhubungan dengan dunia dalam maupun yang berhubungan dengan soal luar negeri. Kalau negara kita adalah milik kita semua, maka semua soal kewarganegaraan, baik yang sulit maupun yang enteng, adalah pula soal-soal kita sendiri. Dan kita harus bersama-sama memecahkannya. Inilah tanggung jawab dan tugas kita bersama. Sebab kemerdekaan berarti tanggung jawab. Syarat mutlak untuk pertanggungan jawab ini ialah keinsyafan kenegaraan.

Menurut perasaan saya, keinsyafan ini, – meskipun belumlah seperti yang dikehendaki, – toh makin lama makin mendalam pada golongan-golongan bangsa kita. Namun hal ini perlu dipupuk, supaya lebih meresap dalam jiwa tiap-tiap anggota bangsa kita.

Perasaan kenegaraan ini mendapat suatu extra stimulans, kalau kita melihat keluar negeri dan kita melihat bahwa disana ada perwakilan kita di mana bendera negara kita – merah putih – berkibar. Keinsyafan ini harus berjalan berdampingan dengan kecintaan pada tanah air kita yang merupakan negara, dan yang pulau-pulaunya bertebaran laksana rangkaian jamrud  yang melingkari khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke.

Kecintaan ini pula harus dipupuk dan diperdalam baik pada golongan pemuda dan pemudi, maupun pada golongan tua. Keinsyafan kenegaraan dan kecintaan pada negara ini kiranya dapat diperdalam jika kita pandang negara kita ini sebagai suatu karunia Tuhan yang Maha Kuasa.

Dalam suatu periode dari sejarah dunia Tuhan mengaruniakan kepada bangsa Indonesia suatu negara. Menurut pandangan saya, Tuhan mempunyai maksud dengan negara ini. Dengan pemberian ini Tuhan memberikan suatu tugas kepada negara dan bangsa itu, ialah tugas memelihara kehidupannya sendiri dengan sebaik-baiknya dengan negara-negara tetangganya. Dengan demikian negara itu turut serta menciptakan suatu masyarakat dunia yang sehat.

Dilihat dari sudut rohani, negara dan bangsa itu sebenarnya harus hidup, bukan saja untuk mencapai suatu derajat yang setinggi-tingginya di antara bangsa-bangsa, tetapi ia juga harus hidup untuk memuliakan nama Tuhan.

Saya mengerti bahwa tugas ini adalah suatu tugas yang mahaberat. Namun bukankah juga benar, bahwa dalam sejarah dunia kita lihat suatu negara (bangsa) runtuh pada waktu ia tidak lagi mengindahkan norma-norma yang dikehendaki Tuhan? Dipandang dari sudut ini, tanggung jawab tiap bangsa, tiap warga negara dan pemerintah adalah sungguh berat.

Tadi telah dikemukakan bahwa tiap warga negara, yang beragama apapun, mempunyai tempat, fungsi dan maksud dalam lingkungan tugas negara. Karena itu, kita semua berkepentingan dalam hal menentukan bentuk dan dasar negara kita. Dalam hal ini harus dicari suatu pembagi yang terbesar bagi semua golongan dari bangsa kita. Oleh karena semua mufakat dalam hal ini, maka semua pula mau mempertahankan negara itu; dan semua mau berkorban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa bagi negara itu.

Soal inilah yang akan menjadi “piece de résistance” (soal yang utama) yang akan diperbincangkan dalam Konstituante yang akan datang, sebagai suatu badan yang terdiri dari golongan-golongan masyarakat, yang ditugaskan menyiapkan UUD negara kita yang tetap. Di sini terletak pentingnya pemilihan tanggung jawab kita terhadap negara kita, yang dasar dan kehidupannya harus ditentukan oleh kita bersama, kaum Kristen dan bukan Kristen.

Secara konkret, kelak kita harus mufakat dalam memilih: Negara yang didasarkan atas pelajaran Komunisme; Negara yang didasarkan atas Quran dan Hadits;  atau Negara yang didasarkan atas Pancasila.

Menurut paham saya, kalau kita tidak mendapat persesuaian paham dalam hal ini – dan sampai hari ini saya belum melihat suatu “rumus” yang terbaik dan yang akan memuaskan semua golongan daripada Pancasila, – maka akan pecahlah negara kita ini dan akan sia-sialah perjuangan bangsa kita. Ia akan menjadi mangsa dari burung-burung gagak luar negeri. Percekcokan dalam negeri sebagian besar terletak pada pendirian-pendirian yang bersimpang siur tentang dasar dan tujuan negara kita, oleh karena UUD kita adalah UUDS Sementara.

7. Bhinneka Tunggal Ika Dan Tujuan Masyarakat Indonesia

Di atas telah beberapa kali disinggung hubungan negara dan bangsa. Negara antara lain adalah bangsa yang mempunyai organisasi territorial.  Dengan demikian maka keinsyafan kenegaraan harus berjalan bersama-sama dengan keinsyafan kebangsaan.

Negara Indonesia tidak dapat berjalan terus dan hidup kekal bila dalam jiwa tiap warga negara tidak tinggal menyala-nyala perasaan dan keinsyafan kebangsaan Indonesia. Satu kali dan untuk selama-lamanya kita harus menetapkan dalam pikiran dan hati kita, – dan hal ini harus menjalin dalam segenap pandangan dan tindakan-tindakan kita:

Indonesia mempunyai pelbagai suku-suku bangsa, tapi semua suku-suku bangsa itu merupakan satu bangsa jua, dari Sabang sampai Merauke: “Bhineka Tunggal Ika.”

Meskipun suku-suku bangsa ini tidak mempunyai suatu tingkat kebuayaan yagn sama, tapi tiap suku mempunyai talenta corak tersendiri. Jika suku-suku bangsa ini diibaratkan bunga dan bunga-bunga itu dipersatukan, maka ia akan merupakan suatu karangan bunga yang indah permai. Jika ia diibaratkan alat-alat perlengkapan (organen) bagan dan ia dipersatukan, maka ia menjadi suatu badan uang sehat dan kuat.

Pada waktu sekarang ini ada tendensi-tendensi yang lebih menekankan kepada “Bhineka”, dengan demikian timbullah gejala-gejala “daerahisme” atau “propinsialisme” yang ekstrem. Perasaan daerah saja dan hasrat memajukan kehidupan daerah dengan sekuat tenaga adalah suatu perasaan dan hasrat yang sehat, asal saja jangan dilupakan kepentingan-kepentingan seluruh wilayah Indonesia.

Sebaliknya ada tendensi ”sentralisme”, yang menekankan kepada “ika”.  Memang negara kita sebagai negara kepulauan memerlukan suatu “kekuasaan sentral” yang kuat, tapi kekuasaan itu harus memberikan kepada daerah-daerah (bagian-bagian wilayah) suatu otonomi yang cukup dan yang dapat memuaskan daerah-daerah itu.

“Bhineka Tunggal Ika” hanya bisa berlaku sempurna, jika “Bhineka” itu diperkuat oleh “Ika”. Sebaliknya “Ika’ hanya dapat tetap “Ika”, kalau “Bhineka” diperhatikan, diperkembangkan dan dipentingkan. Pendeknya, haruslah ada imbangan yang sehat antara “Bhineka” dan “ika.”

Hal-hal tersebut di atas ini berlaku bagi semua warganegara, khusus bagi umat Kristen di daerah-daerah. Soal daerahisme yang ekstrem, seperti terjelma di daerah Maluku (RMS) adalah soal-soal yang timbul dari kesalahpahaman mengenai perhubungan: bangsa – suku bangsa dan suku bangsa – agama.

Kalau dalam perhubungan-perhubungan ini pun berlaku “Bhineka Tunggal Ika”, maka saya percaya peristiwa-peristiwa seperti di Maluku itu tidak akan terulang.

Persesuaian paham mengenai Dasar dan Tujuan Masyarakat Indonesia amat penting.

Apa yang dibentangkan tentang negara dan bangsa berlaku pula bagi masyarakat dengan lapisan-lapisan dan golongan-golongannya. Masyarakat harus mempunyai dasar dan tujuan, kalau masyarakat itu hendak berkembang dengan sehat. Haruslah ada persesuaian paham mengenai dasar dari masyarakat.

Pada umumnya kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh paham agama dan aliran-aliran filsafat yang terdapat dalam masyarakat itu. Hal ini menimbulkan perlbagai kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, baik di lapangan sosial ekonomi maupun politik dan kebudayaan. Hal ini pula menjadi sebab dari pada timbulnya perlbagai partai-partai politik.

Tetapi menurut paham saya, juga dalam hal ini kiranya ada suatu persesuaian paham. Selain dari pada persatuan bangsa haruslah ada persatuan pendirian bahwa kehidupan masyarakat harus didasarkan atas hukum dan moral dan ditujukan kepada kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat di zaman yang lampau bersifat kolonial, artinya ia dipengaruhi oleh kekuasaan bangsa asing. Masyarakat pada dewasa ini sedang mencari bentuknya sendiri, yang cocok dengan sifat dan dan watak bangsa Indonesia yang telah merdeka. Masyrakat Indonesia dalam alam kemerdekaan sekarang ini belum mencapai suatu “kestabilan”, ia sedang bergoyang. Golongan-golongan masyarakat sedang mengalami pergeseran. Segala sesuatu ini berjalan dengan perebutan kekuasaan, dan adanya kalanya dengan metode-metode yang tidak cocok dengan moral. Kejujuran adalah suatu paham yang banyak dikatakan, tapi kurang diwujudkan, Masyarakat kita merupakan masyarakat zaman peralihan, tapi juga suatu masyarakat yang menunjukan gejala-gejala yang tidak sehat.

Dalam buku-buku kecil yang bernama:”Keadaan dan Harapan” dan “Gereja di tengah-tengah Krisis Dunia dan Krisis di Indonesia,” saya telah mencoba menggambarkan masyarakat kita pada waktu sekarang . Korupsi, demoralisasi dan lain-lain gejala yang buruk, sebenarnya menunjukan bahwa kita datang kepada suatu keadaan, seakan-akan kita tidak tahu dan tidak menghargakan lagi sesama manusia.

8. Sikap Gereja Dan Umat Kristen Di Tengah Masyarakat Indonesia Yang Bergolak

Dapatkah gereja dan umat Kristen mewujudkan apa yang tercantum dalam Matius  22:37-40 (kasihilah Tuhan dan kasihilah sesama) dan Matius 7:12 (segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka)?

Dapatkah ia dalam masyarakat yang bergolak ini mewujudkan Terang dan Garam kepercayaanNya? Dapatkah ia menjadi “hati nurani” dari masyarakat?

Bagaimanapun juga beratnya, sikap ini adalah sikap warga negara yang bertanggung jawab.

Pertanyaan timbul: apakah mungkin dengan sikap ini masyarakat kita, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang pemeluk agama lain, dapat diubah ke arah perbaikan, menurut paham agama kita?  Saya berpendapat “ya,” sebab:

  1. Masyarakat selalu mengindahkan dan menghargai sikap dan tindakan-tindakan yang didasarkan atas pengasihan sesama manusia. Seperti padi tumbuh tanpa bersuara, demikian juga adalah pengaruh pengasihan ini dalam kehidupan masyarakat.
  2. Bagaimanapun, perintah Tuhan kepada murid-murid-Nya tetap berlaku: “Kamu adalah garam dan terang dunia” (Matius 5:13-14) dan “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16)

Bukankah masyarakat kita adalah sebagian daripada kerajaan Allah yang harus ditegakkan oleh umat-Nya dalam “zaman antara dua waktu” ini?

Lagi pula, sejarah Gereja (misalnya Kerajaan Romawi) dan sejarah dunia (Rusia dan Tiongkok) memperingatkan kita bahwa sebagian kecil dari masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa, bahkan memimpinnya. Dalam hal ini diperlukan syarat yang utama, ialah bagian yang kecil itu harus mempunyai keyakinan dan kepercayaan yang teguh dan persatuan yang kokoh.

Dari masyarakat Indonesia, memang, tidak dapat diharapkan bahwa tiap pemerintah mempunyai keinsyafan bertanggung jawab, bukan saja kepada rakyat (parlemen) tetapi juga kepada Tuhan, tapi minimal kita dapat berusaha agar pemerintah kita terdiri dari orang-orang yang mempunyai keinsyafan itu.

Sentral Pembangunan Masyarakat

Kalau pembangunan biasanya berjalan berdampingan dengan pembangunan (pembaruan) masyarakat, maka menurut paham saya beberapa sentral pembaruan memerlukan perhatian kita, ialah:

  • Keluarga. Keluarga tetap menjadi batu dasar masyarakat. Relasi orang tua – anak-anak, suami – isteri, anak-anak satu dengan yang lain, merupakan relasi-relasi dari suatu masyarakat kecil. Baik atau tidak baik relasi ini, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat di luar rumah tangga, ialah masyarakat ramai. Di sini semua orang dapat belajar apa artinya “pengasihan.”
  • Sekolah. Sekolah tetap menjadi pusat di mana pemuda-pemudi dididik dalam hal tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat (bangsa) dan warga negara yang berharga
  • Organisasi pemuda-pemudi. Organisasi pemuda-pemudi juga menjadi sentrum di mana kaum pemuda belajar bertindak bersama secara teratur dan dissipliner; suatu sentrum dinamik di mana dapat tumbuh kualitas-kualitas (talenta) yang terpendam, sentrum di mana mereka belajar bertanggung jawab satu kepada yang lain, yang satu mengasihi yang lain.
  • Tempat Pekerjaan (kantor, perusahaan dan lain-lain). Tempat pekerjaan yang aneka warna pula merupakan tempat di mana kita dapat menunjukan keinsafan kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas kita sehari-sehari dan pergaulan kita dengan atasan dan bawahan kita.
  • Gereja (bagi umat Kristen). Bagi umat Kristen, Gereja merupakan persekutuan dari orang-orang yang percaya dan taat kepada Allah dalam Yesus Kristus. Gereja membangun masyarakat, sebagai suatu penjelmaan dari ciptaan yang baru dari dunia ini.

Gereja membangun dunia ini dengan menjadikan dirinya gereja yang sejati, ialah persekutuan di antara persekutuan-persekutuan yang lain di dunia ini, dengan jalan menghubungkan orang-orang yang tidak mempunyai ikatan apa-apa, dengan mempertemukan orang-orang yang hidup tersendiri dengan sesama manusianya. Dengan demikian ia menjadikan dari massa suatu persekutuan.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena

Loading...