Civis 004/2015
Pendahuluan
Sejak awal, gereja dan umat Kristen di Indonesia, walaupun pada umumnya adalah buah kerja para misionaris Barat pada abad silam, menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Sedari awal, umat Kristen Indonesia melibatkan diri aktif dalam pergerakan kebangunan nasional, dalam upaya memperjuangkan, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan. Demikian pula pada era berikutnya dan pada era reformasi. Pada masa perjuangan pisik mempertahankan kemerdekaan, di medan perang, adalah hal yang biasa Orang Kristen di Indonesia (OKI) berjuang bersama-sama saudara sebangsa bertempur melawan penjajah Belanda yang kembali ingin menguasai Hindia Belanda. Dalam pembangunan di segala bidang OKI juga berperan penting. Keterlibatan aktif itu, tidak saja pada tingkat akar rumput, juga pada tingkat kepemimpinan, bersama-sama dengan saudara sebangsa lainnya.
Pada umumnya gereja-gereja paham akan panggilannya menggembalakan umat Tuhan sebagai bagian bangsa, agar turut serta bahu-membahu bersama-sama dengan saudara sebangsa dari berbagai latar belajang iman dan kepercayaan, membangun bangsa dan negara. Dengan segala kekurangannya, gereja-gereja telah mendorong OKI untuk membangun diri sebagai bagian daripada seluruh masyarakat dan bangsa, menjauhkan sikap menutup diri dan eksklusif.
Memang itulah sebuah sikap awal yang amat penting, karena memang OKI bukan tamu dan bukan pula orang buangan di Indonesia (bandingkan dengan konteks Jeremia 29:7), tetapi diutus untuk membawa terang dan kebaikan untuk semua, sehingga tidak sibuk dengan urusan sendiri saja (bandingkan Yesaya 49:6).
Namun, terkadang ada godaan, seperti yang juga dialami sebagian murid-murid yang langsung bertatap muka dengan Tuhan Yesus,yang memahami panggilan itu sekedar sebagai tugas untuk melepaskan diri orang Jahudi dari “penjajahan Romawi” dan untuk membangun kembali kerajaan khusus untuk “orang Jahudi” (bandingkan Lukas 24: 21 dan Kisah 1:6); melihatnya sebagai panggilan mesias politik.
Demikianlah, sepanjang sejarah, OKI telah mengembangkan sikap positif-partisipatif dan konstruktif, berada di tengah-tengah, bersama dan merupakan bagian tak terpisahkan bangsa ini, bahu-membahu mengatasi berbagai tantangan dan berjuang membangun hari depan yang cerah, yang diimpikan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 19451.
Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 merangkum dengan padat isi hati dan cita-cita perjuangan nasional Indonesia dengan menyatakan :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
(bersambung, Kebangsaan Indonesia)
3Sejarah mencatat, inilah satu-satunya bagian UUD 1945 yang dibuat secara merdeka, lepas dari jangkauan pengawasan, pengaruh dan tekanan penjajah Jepang. Naskah Pembukaan (Piagam Jakarta – Jakarta Charter) ini disusun oleh Panitia Sembilan yang terdiri atas Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Kahar Moezakir, Wahid Hasjim, Abikoesno, dan Agoes Salim. Naskah tersebutdisepakati oleh Tim 38 BPUPK tetapi kemudian ditolak oleh pleno BPUPK serta diganti dengan naskah lain yang disusun oleh Soebarjo, Soepomo, Soekiman dan Parada Harahap, yang isinya mendukung gagasan Indonesia merdeka sebagai bagian dari Asia Timur Raya yang berpusat ke Jepang. Lihat Risalah BPUPK.
(Disampaikan dalam Forum Strategis: Gereja dan Politik, Jakarta, 11 Februari 2015)
Penulis
Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).
Responsible Citizenship
in Religious Society
Ikuti update Institut Leimena