info@leimena.org    +62 811 1088 854

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe

Anggota Dewan Pengarah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lahir di Mamboru, Sumba, Nusa Tenggara Timur, 1945. Mendapat gelar Sarjana Teologi (S.Th) dari STT Jakarta, 1969. Ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS), yang ditugaskan sebagai dosen pada Akademi Teologi Kupang (ATK), 1971. Ia memimpin akademi tersebut tahun 1972-1976. Ia memperoleh gelar Doctorandus Theologiae dari Vrije Universiteit di Amsterdam (1979). Setelah bertugas di tanah air, ia kembali lagi ke Vrije Universiteit untuk promosi Doctor Theologiae, 1987, dengan disertasi berjudul Theologia Crucis in Asia (1987). Ia pernah memimpin Universitas Kristen Arta Wacana, yang merupakan peningkatan dan perluasan dari ATK, sebagai rektor tahun 1990-1998 (dua periode). Ia pernah menjadi salah seorang Ketua PGI, dari tahun 1994-2004 (dua periode). Beliau terpilih menjadi Ketua Umum PGI dari tahun 2004-2014 (dua periode)

I. Telah Banyak Dibahas

Bagaimana kaitan antara gereja dan politik telah banyak dibahas. Kita bisa memeriksanya dalam berbagai literatur teologi. Saya sendiri telah banyak menulis tentang pokok ini, kendati belum merupakan bahasan yang utuh. Namun dengan mengumpulkan tulisan-tulisan yang terserak-serak itu diharapkan sebuah pemahaman yang agak utuh bisa dicapai. Tulisan-tulisan saya bisa ditemukan dalam “Trilogi” yang diterbitkan oleh BPK-GM Jakarta, 2009: “Tidak Ada Penumpang Gelap”; “Tidak Ada Negara Agama” dan “Tidak Ada Ghetto”. Selain itu saya juga pernah menulis buku kecil berjudul, “Visi Kristen Mengenai Politik” (diterbitkan oleh Gereja Kristen Sumba, dan versi lainnya oleh Oase Intim, Makassar). Lalu bersama Weinata Sairin menerbitkan buku, “Suara-suara Menyeruak Udara” (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta). Baru-baru ini Penerbit Interfidei di Yogyakarta juga menerbitkan buku saya yang lain berjudul: “Perjalanan Panjang Menuju Indonesia Yang Adil dan Beradab” (Yogyakarta, 2014), di samping sekian banyak makalah yang tersebar di sana-sini. Saya anjurkan agar buku-buku dan makalah-makalah tersebut dipertimbangkan dan dikonsultasi.

II. Tinjauan Secara Umum

Di bawah ini akan dilakukan tinjauan secara umum (tentu terbatas juga!), bagaimanakah kira-kira relasi gereja dan politik di dalam pemahaman gereja perdana. (Sesudah itu, dalam bahagian lain kita akan masuk secara khusus kepada pandangan Yohanes Calvin). Yang dimaksud dengan gereja perdana adalah gereja yang timbul segera setelah Yesus Kristus bangkit dan naik ke surga, dan kemudian disusul dengan pencurahan Roh Kudus. Biasanya dikatakan, gereja perdana masih sangat tabu politik. Konon mereka hanya mengisolasi dirinya di dalam ghetto. Pendapat tersebut terlampau tergesa-gesa. Kita bisa menegaskan, sudah sejak awal gereja bersentuhan dengan politik. Bahkan pernyataan iman (semacam credo) pertama gereja sesungguhnya adalah sebuah pernyataan politik. Pengakuan itu berbunyi: “Yesus Kristus Itu Tuhan” (Kurios). Berbagai literatur memperlihatkan hal itu dengan jelas. Gereja sama sekali tidak steril terhadap politik. Pendeknya di dalam era itu gereja sesungguhnya telah berinteraksi secara politis.

Robin Phillips di dalam sebuah artikelnya berjudul, “Political Christianity in the Early Church” (2004) membantah anggapan, seakan-akan gereja baru melek politik setelah Kaisar Konstantinus Agung menyatakan diri Kristen di awal abad ke-4 M. Dalam abad pertama itu, katanya, “Christianity and politics were inextricably combined”, artinya kekristenan dan politik saling jalin-menjalin secara erat di dalam abad itu. Abad itu, katanya ditandai dengan suburnya kultus-kultus misteri (mystery cults) yang berasal dari seluruh wilayah Kekaisaran. Adapun ciri-ciri kultus itu adalah, bersifat individual, tidak tampil ke publik, berfungsi sebagai memperkuat devosi dan spiritualitas pribadi. Pada pihak lain, terdapatlah “Agama Romawi” yang merupakan kebalikan dari kultus-kultus misteri itu. Ia adalah agama politik yang bersifat totaliter, mendiktekan segala sesuatu yang harus diperbuat oleh warga Romawi. Secara terstruktur, agama ini berpretensi mengatur bagaimana seseorang menjadi warga yang baik, paling tidak dari perspektif penguasa Romawi.

Dalam kaitan itu, banyak  kaisar yang memproklamirkan diri sebagai “anak Tuhan”, bahkan mengklaim diri sebagai “Yang kudus” (baca: Tuhan). Sebagai demikian, pemujaan dan devosi ditujukan kepada kaisar. Ini lalu menjadi sesuatu yang lazim di era itu. Pendeknya, agama Romawi ini mengatur segala sesuatu yang menyangkut kehidupan dan peri-laku. Phillips: “…the Roman State provided a framework of meaning  to answer the question, ‘how should we live?’” Yang dikemukakan Phillips ini diamini juga oleh Stephen Perks: “Religion…structures life. It structures the life of the invidual and of society. This is precisely what a cult does not do. A cult is a personal worship hobby. It does not structure one’s life nor does it structure society.” Ringkasnya, kultus-kultus misteri ditujukan kepada kehidupan pribadi, privat, devosional, spiritual-internal, sedangkan agama Romawi ditujukan kepada kehidupan publik, mengarah keluar, dan mengatur kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, makna politiknya sangat kental.

Di tengah-tengah keadaan seperti inilah gereja timbul. Gereja langsung menantang dengan pengakuan tentang adanya “Kurios” yang lain. Dengan kata-kata lain, Kekristenan menawarkan suatu tantangan langsung kepada agama politik Romawi tersebut. Para penguasa lalu dengan segera menyadari, bahwa kekristenan bukanlah sekadar salah satu dari kultus-kultus yag selama ini dikenal. Maka pantaslah agama ini ditindas. Kalau saja kekristenan hanyalah sekadar kultus misteri, tidak perlu ditakuti dan kemudian ditindas. Kekristenan  adalah saingan dari agama politik Romawi. Phillips: “The practice of Christianity as a religion and not as a cult brought the church into direct conflict with the religion of Rome. This was a clash of religion, not cults.

Lalu bagaimana klaim kaisar-kaisar sebagai anak Tuhan? Muncullah pengakuan gereja terhadap Yesus sebagai Tuhan (Rm. 2:36;10:36; Rm. 8:39; I Kor.1:2; 1:9; 8:5-6; Fil. 2:10-11; 3:20; II Petr. 2:20). Ini makin memperparah keadaan. Sebagaimana dikalimatkan secara bervariasi oleh N.T. Wright, “Jesus is Lord, therefore Caesar is not.” (N.T.Wright, Paul: Fresh Perspective, SPCK, 2005, dikutip oleh Phillips.) Ini bukan saja menantang tetapi sekaligus juga menyakitkan bagi para penguasa Romawi.

Sebenarnya orang-orang Kristen bukannya menyangkal Kaisar sama sekali. Mereka tetap mengakui kewibawaannya. Namun dengan mengakui Kristus sebagai Kurios, maka kewibawaan kaisar ditempatkan di bawah pertuanan Kristus. “Benar Kaisar punya kewibawaan, tetapi itu diberikan oleh Allah…” (bdk.Mark.12:17; lebih jauh ke PL, lihat Mz. 24). Paulus juga mengargumentasikan ketaatan kepada Penguasa dengan mengasumsikan bahwa kewibawaan mereka berasal dari Allah (Rm.13:1-2). Ya, tentu saja kaisar mempunyai otoritas, tetapi hal itu hanya dapat terjadi apabila dianugerahkan oleh Pemilik otoritas tertinggi, yaitu Allah.

Dengan demikian, sebenarnya sudah sangat jelas bahwa agama yang baru ini, yang mengagung-agungkan Yesus Orang Nazaret sebagai Kurios adalah subversip. Kekuasaan Kristus ternyata sudah berlaku sekarang di atas bumi ini. Agama yang mengagungkan Yesus itu tidak saja bersifat devosional, tetapi justru tampil di ruang publik, dan ikut berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial dan politik.

Sebagai demikian, dapatlah ditegaskan di sini bahwa sejak awal kekristenan adalah agama politik, bahkan jauh sebelum Paulus memformulasikan bagaimana seharusnya sikap dan peri-laku Kristen di dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan (Mt. 28:18-19). Memang Yesus pernah mengatakan, “Kerajaan-Ku tidak berasal dari dunia ini…” Namun berdasarkan penelitian yang lebih cermat terhadap teks Yunani yang dipergunakan (Yoh.18:36), jelas bahwa Kerajaan Kristus tidak berasal dari (from) dunia ini, melainkan dari surga. Namun Kerajaan itu diperuntukkan bagi (for) dunia ini, dan adalah milik dari (of) dunia. Hal itu secara jelas juga tergambar dalam “Doa Bapa Kami”: “Datanglah Kerajaan-Mu di bumi seperti di surga…”.

Bahwa tantangan politik kekristenan terhadap agama Romawi itu sangat jelas, makin terungkap ketika ditemukan sebuah inskripsi dari abad ke-9 SM, yang memuja-muja Kaisar Agustus. Di situ tertulis: “ia adalah juruselamat bagi kita dan juga bagi mereka yang datang kemudian, yang menghentikan peperangan, dan yang menciptakan ketenteraman di mana-mana”. Justru kalimat-kalimat inilah yang diterapkan kepada Yesus di abad pertama itu. Kitab-kitab Injil berbicara sangat tegas tentang Yesus sebagai Juruselamat, Yang membawa keadilan, ketenteraman dan perdamaian (Zac.6:13; Joh. 14:27; etc).

Kelihatannya kedua agama ini, Romawi dan kekristenan mempunyai tujuan yang sama. Namun untuk mencapai tujuan itu keduanya sangat berbeda secara radikal (Yoh.18:36: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.”). Maka tidaklah aneh apabila kekristenan dengan mudah ditindas di era itu.

Jadi apa yang bisa kita pelajari dari gereja perdana yang mau tidak mau teranyam secara erat di dalam persoalan-persoalan politik? Pertama-tama gereja-gereja masa kini tidak bisa mengabaikan persoalan-persoalan politik, sebagaimana juga telah dicontohkan oleh Paulus ketika menghadapi persoalan kekristenan yang termarjinalisasi di kota Roma (Rm. 13). Bagaimana mengartikan secara baru amanat Injil yang pernah mengguncang para penguasa zaman itu, seperti Herodes, dan yang lainnya, perlu diperhatikan oleh gereja-gereja secara serius.

III. Perkembangan Yang Tidak Sederhana

Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa keberadaan gereja di tengah-tengah dunia ini telah ribuan tahun lamanya. Dalam rentang waktu itu telah terjadi berbagai perkembangan yang tidak sederhana. Untuk menyebut beberapa contoh saja, dalam abad ke-4 Masehi kekristenan telah menjadi agama resmi negara. Pada waktu itu sifat keterlibatan politik gereja tidak lagi seperti pada abad-abad sebelumnya. Sebagaimana kita lihat dalam uraian sebelumnya, dalam abad-abad pertama itu gereja memang mempunyia klaim politik. Namun bagaimana mewujudkan klaim politik itu tidak mudah. Bahkan gereja terus termarjinalisasi. Hampir-hampir bisa dikatakan, gereja pada waku itu adalah pecundang menghadapai agama politik Romawi yang sangat dahsyat itu.

Namun sejak abad ke-4 itu keterlibatan politik gereja mengalami titik-balik. Gereja bahkan menjadi penguasa. Nafsu-nafsu politik mencuat tanpa tedeng aling-aling. Jeffery W. Robins, dalam artikelnya, The Politics of Paul (2006) menarik garis lurus yang berkesinambungan dari Paulus (abad pertama) ke Agustinus (abad ke-5) dan berlanjut ke Luther (abad ke-16). Kita tidak akan menguraikan semuanya di sini. Namun kita akan mencatat beberapa hal penting, sebagaimana dikemukakan Robbins. Pertama, dalam atau melalui Paulus, terjadilah repolitisasi dari kekristenan, atau realisasi dari hakekat politik yang secara intrinsik justru terletak di dalam inti identitas kekristenan itu. Kedua, setelah melalui reinterpretasi Agustinus, dengan tulisannya yang terkenal “Kota Allah” (The City of God), kekristenan yang merupakan a politicized religion telah meletakkan dasar-dasar dan mengkondisikan pemikiran-pemikiran Barat mengenai politik. Martin Luther (abad ke-16) yang merupakan penafsir penting dari Agustinus memahami keberadaan politik (baca: negara) dan gereja sebagai dua lingkaran (“Teori Dua Kerajaan”) yang secara bersama-sama ada, dan dalam momen-momen tertentu bersilang dalam titik-titik kritis. Artinya kedua kerajaan itu tidak bertindih tepat, namun dalam masa-masa kritis, negara akan tampil sebagai yang “membantu” gereja, dan sebaliknya. Bagaimana pemahaman itu diwujudkan terlihat dalam contoh peristiwa pemberontakan petani. Luther memberi nasihat agar pemberontakan itu ditindas dengan keras sebab merusak tatanan yang ada. Dalam hal ini “gereja” membantu memberi nasihat. Sebaliknya juga, apabila tatanan masyarakat tidak terganggu, maka gerejapun tidak terganggu di dalam menjalankan tugasnya.

IV. Pandangan Yohanes Calvin Tentang Gereja dan Politik

Dengan sengaja kita memberi perhatian khusus kepada pandangan seorang pembaharu gereja abad ke-16 ini, sebab pengaruhnya masih sangat besar di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Pandangan Calvin ini bisa dibaca di dalam buku Institutio (khususnya Buku IV). Di Indonesia buku ini telah disadur oleh Dr. Th. Van den End, diterbitkan oleh BPK-GM. Dalam “Trilogi” saya yang saya sudah sebutkan di atas, sedikit-banyaknya saya juga telah menguraikan pokok ini. (Lihat misalnya, Tidak Ada Negara Agama, pp.175-185). Dalam makalah yang merupakan materi pembahasan kita pada kesempatan ini, saya mengikuti alur pikir George J.Gatgounis II secara kritis dan kreatif, dalam arikelnya, The Political Theory of John Calvin. Alur pikir itu saya ikuti guna tujuan praktis saja. Isinya, menurut pengamatan saya merupakan ikhtisar dari tulisan asli Calvin di dalam Institutio yang tadi telah disebutkan.

Dalam pandangan Calvin, gereja dan negara harus dipisahkan, setidak-tidaknya dibedakan. Namun demikian ia menggarisbawahi bahwa karena Allah berdaulat, maka Allah memerintah baik gereja maupun negara, sebab keduanya adalah entitas spiritual. Teokasi, teonomi dan spiritualitas merupakan dasar kuat bagi sebuah masyarakat yang telah diperbaharui, menurut Calvin, karena ia yakin bahwa seluruh dunia diperintah oleh Allah. Hal mendasar pada teori politik Calvin adalah, pembedaan (kalau bukan pemisahan) antara gereja dan negara, cek dan balans (checks and balances) terhadap kekuasaan, ketaatan warga negara kepada negara, dan tanggung-jawab negara kepada Allah.

Kendati negara dan gereja berbeda, namun juga bisa tumpang-tindih. Hal itu terlihat dalam praktek bergereja dan bernegara di kota Jenewa. Para magistrat yang memerintah kota, dipilih secara demokratis oleh warga gereja dan mewakili gereja. Mereka bersama-sama dengan wakil-wakil lain bertindak sebagai magistrat. Dengan sistem ini terlihat bahwa Calvin menggabungkan sistem demokrasi dan teokrasi. Kedua entitas, gereja dan negara, dalam pandangan Calvin saling melengkapi dan saling membantu. Ada kesatuan maksud bagi gereja dan negara, tetapi juga ada perbedaan di antara keduanya. Karena ketika negara mendukung gereja, gereja tidak menghalang-halangi negara. Calvin berpendapat, negara dan gereja, kedua-duanya bersifat spiritual, sebab kedua-duanya berasal dari Allah. Sebagai demikian, Calvin melihat tujuan gereja dan negara sama, yaitu melindungi umat/rakyat (people). Arnold van Ruler, seorang teolog Belanda dan penafsir Calvin terkemuka menegaskan: “Negara mesti mempunyai visi dan wawasan yang mengarahkan kepada kebenaran, ke dalam esensi dari segala sesuatu”. Pengaruh gereja kepada negara tersebut didasarkan Calvin atas Perintah Pertama dari Dasa Titah, yaitu YHWH tidak mentolerir adanya ilah-ilah lain dihadapan-Nya. Allah yang diyakini Calvin menuntut suatu ketaatan yang mencakupi, bukan saja keyakinan dan praktek religius, tetapi juga setiap bidang dari keberadaan manusia, sosial, hukum, pemerintahan dan politik (harus ditempatkan di bawah pertuanan Allah). Dalam pengertian ini, kita bisa memahami mengapa Calvin mengidamkan terwujudnya sebuah sistem yang teokratis dan teonomos. Di dalam sebuah teokrasi, Allah memerintah, baik negara maupun gereja. Di dalam teonomi, segala hukum diturunkan dari hukum Allah.

Namun itu tidak berarti, Calvin mau menerapkan hukum-hukum Musa secara telanjang. Malah ia menolak penerapan hukum Musa di Jenewa yang dianggapnya bersifat teonomis totalitarian. Sebagai sebuah entitas religius, Calvin memahami negara merupakan kekuatan stabilisasi. Hal itu tersurat dalam Buku IV Institutio: “The external means or aids by which God invites us into the society of Christ and holds us therein.” Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa negara merupakan cara dan bantuan yang bersifat eksternal guna mengundang kita masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus. Dapatlah dikatakan, bahwa concern utama Calvin adalah persekutuan dengan Kristus di dalam gereja. Hal ini terlihat dengan jelas dari struktur buku Institutio itu sendiri, di mana pembahasan tentang negara hanya mencakupi 7%, sedangkan selebihnya (93%) membahas tentang gereja dan peranannya.

Toh harus ditegaskan bahwa pandangan-pandangan Calvin ini tetap penting untuk diperhatikan. Kita melihat misalnya ketegasan Calvin di dalam menerapkan hukum secara konsisten. Ia melihat bahaya dari hukum yang beraneka ragam, sebab dengan begitu akan banyak orang dilukai, dan tidak ada jaminan kestabilan untuk melindungi hak-hak pribadi. Kecenderungan menggantikan keadilan dengan kepentingan-kepentingan pribadi para penguasa juga besar. Maka, kata Calvin, sistem “reward” dan “punishment” adalah “part of a well-ordered administration of a commonwealth”.

Pada sebelah lain, perlu dikatakan bahwa teori Calvin tentang negara ini tidak selalu kuat, bahkan lemah. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Graham. “Calvin’s political theory is weak and unhelpful, his practice as an influencer of the magistrates of Geneva overly harsh, lacking in the generally pragmatic approach. Calvin took toward matters that were not at the heart of the Gospel.” Namun itu tidak mengurangi hal-hal bermakna, yang akan kita tegaskan kembali dalam kesimpulan nanti.

Tentang prinsip cek dan balans (Checks and balances). Mengapa penting? Sebab kecenderungan bersikap tirani pada para penguasa. Calvin melihat tirani sebagai iblis (demon) yang bisa merubuhkan negara. Tirani mengancam kapan pun, ketika kekuasaan berada hanya dalam tangan beberapa orang saja. Maka bagi Calvin, “Power unchecked is power unjustified”. Ia yakin bahwa terlalu sering kekuasaan, khususnya kekuasaan absolut, telah merusak mereka yang memegangnya. Ia melihat kekuasaan mutlak sebagai yang begitu merusak sehingga mereka yang berada dalam kekuasaan tidak dapat menamakan diri mereka ‘hamba-hamba Allah’ (Rm. 13:1-7). Sesungguhnya para penguasa yang terperosok begitu dalam ke dalam sikap tirani ini, tidak mempunyai kemampuan untuk mengagungkan kebaikan dan menghukum kesalahan. Para pejabat yang baik (Rm. 13:1-7), menurut Calvin bisa dikaburkan begitu rupa oleh kejahatan ini sehingga mereka kehilangan kekuatan moral mereka.

Dalam kaitan ini, Calvin melihat bahaya mempercayakan kekuasaan kepada satu atau beberapa orang saja. Makanya ia mengusulkan suatu “system compounded of aristocracy and democracy”. Calvin: “But it is the example of nearly all ages that some princes are careless about all those things to which they ought to have given heed, and, far from all care, laxily take their pleasure. Others, intent upon their own business, put up for sale law, privileges, judgments, and letters of favor. Others drain the common people of their money, and afterward lavish it on insane largesse. Still other exercise sheer robbery, plundering houses, raping virgins and matrons, and slaughtering the innocent.” (Institute 4.20.24). Bagi Calvin, adanya suatu kasta yang memerintah secara turun-temurun merupakan pelanggaran terhadap kebebasan. Para hakimpun yang mestinya berkewajiban menegakkan keadilan, tidak luput dari bahaya tirani ini.

Maka Calvin melihat sebagai yang terbaik untuk negara apabila diperintah oleh “elected representatives”. Calvin mengambil contoh Israel. Menurutnya, “the original Israelite state is categorized as a theocratic theonomic republic”. Calvin: “I readily acknowledge that no kind of government is more happy than this, where liberty is regulated with becoming moderation and properly established on a durable foundation.”

Tidak mudah memaknai kata-kata Calvin ini, apalagi dengan kacamata abad ke-21. Apakah yang ia maksudkan dengan demokrasi? Tetapi bagaimana dengan teokrasi yang berkali-kali ia tekankan? Yang jelas, bagi Calvin teokrasi dan demokrasi secara gampang dan alamiah bisa disatukan. Pemerintahan sipil mempunyai beban yang dilimpahkan Allah untuk menyelenggarakan kedamaian dan ketenangan, sehingga dengan demikian gereja bisa berkembang. Calvin: “Yet civil government has as its appointed end, so long as we live among men, to cherish and protect the outward worship of God, to defend sound doctrine of piety and the position of the church, to ajust our life to the society of men, to form our social behaviour to civil righteousness, to reconcile us with another, and to promote general peace of tranquillity… (Institute 4:20.3)

Bagi Calvin, bentuk tertinggi dari perkembangan politik adalah, “representative democracy”, yang dimodelkan oleh contoh-contoh dari Alkitab. “In this consists the best condition of the people, when they can choose, by common consent, their own shepherds; for when any one by force usurps the supreme power, it is tyrany, and when men become kings by hereditary right, it seems not consistent with liberty.” (Commentaries, Micah 5:5, Edinburgh, 1843-1859). Calvin pun melihat bahaya dari anarki, khususnya yang dilakukan oleh kaum Anabaptis. Ia bukan saja mengeritik anarki yang dilakukan oleh kaum dinasti yang sedang berkuasa, tetapi juga yang dilakukan oleh kaum Anabaptis yang menghendaki penghapusan negara sama sekali dan digantikan oleh suatu pemerintahan oleh gereja (ecclesiocracy). Calvin sebenarnya tidak terlalu peduli dengan bentuk sebuah negara, kerajaan, republik atau apapun. Tetapi Calvin menegur “ungodly kings”, sebagaimana diucapkannya dalam khotbahnya mengenai kitab Ulangan (di antara tahun 1554-1555) dan kuliahnya mengenai Daniel (di tahun 1561). Berdasarkan fakta ini bisa dikatakan bahwa Calvin tidak bisa digolongkan sebagai penganut sistem monarki.

Bagaimana relasi antara pemerintah dan warga-negara? Calvin berpendapat, setiap warga-negara bertanggung jawab bagi ketaatan mereka sendiri. Tetapi mereka tidak boleh taat hanya karena ketakutan kepada pemerintah, melainkan karena mereka hendak memperlihatkan ketaatan kepada Allah. Mengapa? Karena kekuasaan para pemerintah berasal dari Allah. Sebab kekuasaan para pemerintah berasal dari Allah, maka warganegara diwajibkan untuk taat, tidak peduli apapun sifat para penguasa itu. Calvin: “I am not discussing the men themselves…but I say that the order itself is worthy of such honor and reverence and that those who are rulers are esteemed among us, and receive reverence out of respect for their lordship.” (Institute 4.20.22). Maka pemberontakan terhadap para penguasa ini adalah pemberontakan terhadap Tuhan sendiri. Calvin:  “He who attempts to invert the order of God, and thus to resist God himself, despises his power, since to despise the providence of him who is the founder of civil power, is to carry on without him.” “The purpose of these acts of providence is the ‘preservation of legitimate order.’”

Jadi bagaimana kalau ada raja atau pangeran yang lemah dan karena itu berbuat jahat? Calvin melihat ini sebagai hukuman atas dosa kita. Calvin: “For since the wicked prince is the Lord’s scourge to punish the sins of the people, let us remember that it happens through our fault that this excellent blessing of God is turned into a curse”. (Commentary on the Epistle to the Romans, chp. XIII:1, p. 85).

Dalam diskusinya mengenai pemberontakan, Calvin melarang setiap orang secara individual melawan pemerintahan sipil. Ia mempertahankan pendapat, bahwa adalah tugas dan kewajiban para magistrat yang terpilih untuk melindungi rakyat dari “the licence of the kings”. Jadi raja boleh dilawan, tetapi tidak secara individual. For a king to “betray the liberty of the people” is a “nefarious perfidy.” [kedurhakaan yang keji].

Di bawah ini kita mengutip substansi pemikiran Calvin mengenai bagaimana memperlihatkan ketaatan, dan bagaimana melawan sebuah rezim yang sedang berkuasa: “Though we are under Turks, under tyrants, and under the deadly enemies of the gospel, yet is it commanded us to submit ourselves unto them,. Why so?even because it pleases God.” (Commentary Titus 3:1).

Mngenai relasi pemerintah dengan Allah. Kendati warga negara mesti tunduk kepada pemerintah, Calvin mendalilkan, bahwa magistrat tidak harus bermain mata dengan para raja yang dengan kekerasan merendahkan orang-orang kecil. Hal ini dikatakannya dalam tafsirannya kepada Kisah Para Rasul 23:5. Magistrat mempunyai kewajiban melawan tirani, tetapi pada umumnya pemerintahan yang tidak adil dipandang sebagai penghakiman dari Allah. Karena itu, apabila kita diperlakukan secara tidak adil oleh para pangeran, maka marilah pertama-tama kita mengingat akan perbuatan-perbuatan kesalahan kita sendiri, yang tanpa diragukan lagi membangkitkan cemeti Allah sendiri. Dengan demikian, kerendahan hati akan mengendalikan ketidaksabaran kita. Marilah juga kita mengingat, bahwa bukanlah kita yang mampu menyembuhkan kejahatan-kejahatan itu, melainkan hanyalah pertolongan Allah semata, yang di dalam tangan-Nya hati para raja dan perubahan di dalam kerajaan diletakkan. (Institute 4:20.26)

Demikian ikhtisar pandangan Calvin mengenai gereja dan politik. Apa yang bisa kita pelajari? Jelas tidak bisa kita mengambil semuanya secara harafiah. Calvin adalah anak dari zamannya, yang pasti berbeda dengan kita sekarang. Namun beberapa hal bisa digarisbawahi. Calvin tidak membedakan antara agama dengan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi Calvin, agama adalah kehidupan, dan kehidupan adalah agama. Karena itu, semua kehidupan, hukum, politik tidak dipisahkan dari agama tetapi diliputi oleh agama. Ia pun tidak mendekati agama dengan melakukan pembedaan antara yang “noumenal” dan yang “phenomenal” sebagaimana lazim di dalam pemikiran Barat yang sangat dipengaruhi oleh Imanuel Kant. Kedua ranah itu, dalam pandangan Calvin tunduk kepada hukum Allah. Selanjutnya, karena defenisi Calvin tentang hukum berbeda dengan kita, ia melihat hukum, kehidupan, politik dan agama sebagai sebuah kesatuan. Calvin juga menangani institusi gereja dan negara, cek dan balans terhadap kekuasaan, relasi warga-negara kepada pemerintah, dan relasi pemerintah kepada Allah sebagai yang dijabarkan dari agamanya. Dalam sebuah negara yang menerapkan sistem sekuler, tentu saja pandangan Calvin ini “aneh”. Kendati demikian, prinsip-prinsip dasarnya, yaitu: membenci tirani, mencintai pemerintah secara terbatas, merindukan keadilan, tetap merupakan hal-hal sentral di dalam kehidupan dan sistem pemerintahan kita dewasa ini.

V. Kesimpulan Umum

Dari uraian kita ini jelas, gereja sejak semula tidak pernah menjauhkan diri dari politik. Bahkan ia teranyam di dalam politik. Hanya saja bagaimana menangani politik dalam rentang waktu yang begitu panjang (ribuan tahun), mengalami berbagai pergeseran. Kesimpulan ini dengan serta-merta ingin menegaskan, bahwa gereja tidak boleh merasa tabu atau alergis terhadap politik. Kedua, dalam kecenderungan melupakan keterlibatan dan/atau keteranyaman secara politis itu, seruan untuk repolitisasi perlu dilakukan, hanya saja dengan cara yang cermat dan sungguh-sungguh menguasai persoalan.

Keterlibatan gereja di dalam politik khususnya sejak abad ke-4 M. telah menjerumuskan gereja ke dalam libido kekuasaan yang tidak terkuasai dan terukur, sehingga melupakan tugas utamanya sebagai pemberita Kabar Baik. Ketiga, para reformator, seperti Luther dan Calvin adalah anak-anak zaman mereka. Pandangan-pandangan mereka tidak bisa diambil secara harafiah tanpa mengetahui situasi sosial-keagamaan, dan sosial-kemasyarakatan, yang di dalamnya mereka hidup. Keempat, pengaruh Calvin masih cukup besar di kalangan gereja-gereja di Indonesia. Banyak hal positif bisa diambil dari pandangan Calvin sebagaimana telah dikemukakan dalam butir IV. Namun harus sungguh-sungguh disiasati, apakah benar gereja tidak boleh menyampaikan kritik (bahkan “pemberontakan”) apabila ada rezim yang luar biasa jahatnya. Rezim Hitler misalnya, tidak bisa dibiarkan begitu saja sampai ia menghabisi seluruh dunia yang beradab. Maka “Barmen Declaration”, yang nota-bene dipelopori oleh para teolog yang berlatar-belakang calvinistis dapat dianggap sebagai sebuah interpretasi baru di dalam menghadapi kondisi real masyarakat pada zamannya. Memahami kejahatan seorang penguasa sebagai hukuman atas kejahatan kita sendiri (dalam kerangka providentia Dei), kelihatannya melumpuhkan sikap kritis, bahkan hampir-hampir fatalistis. Di era penjajahan kolonial Belanda, tetapi juga belakangan di era apartheid policy di Afrika Selatan, pandangan Calvin ini dipakai secara keliru oleh rezim yang berkuasa untuk “menenteramkan” semua yang gelisah karena perlakuan tidak adil. “Rust en Orde” sering diterapkan atas dasar prinsip berpikir Calvinistis ini.

ditulis untuk Forum Strategis Gereja dan Politik yang diadakan oleh Institut Leimena pada tanggal 9-12 Februari 2015 di Jakarta.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena