info@leimena.org    +62 811 1088 854

Civis 003/2016

I. Pengantar

 

Ketika kita berbicara tentang politik, maka terkesan ”beda-beda tipis” dengan pembicaraan tentang negara. Maka percakapan tentang bagaimana relasi gereja dan politik, tak dapat tidak akan ikut “menyeret” percakapan mengenai relasi gereja dan negara. Politik, sebagaimana telah saya uraikan berulang-ulang dalam berbagai tulisan, adalah kemampuan untuk hidup bersama dalam polis. Hal itu secara jelas misalnya diungkapkan dalam Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah bagi kota itu, karena kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Dari sini jelas, bahwa umat Kristen, termasuk umat Kristen Indonesia tidak boleh menjauhkan diri dari politik, apa lagi menganggapnya sebagai tabu.

 

II. Gereja dan Politik dalam Dokumen-dokumen Gerejawi

 

Bagaimana kaitan antara gereja dan politik di Indonesia juga telah banyak dibahas. Dalam berbagai dokumen yang dihasilkan oleh gereja-gereja, setidak-tidaknya  yang tergabung di dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) jelas terlihat tekad gereja untuk terlibat di dalam politik. Sejak Sidang Raya (dulu masih disebut Sidang Lengkap) DGI di Pematang Siantar (1971), gereja-gereja melihat dirinya sebagai yang diutus ke dalam dunia, juga di bidang politik. Ini dipahami sebagai panggilan gereja. Dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) (saya tidak mengutip langsung karena kesulitan teknis, tetapi saya mengambilnya dari tulisan Weinata Sairin, “Suara-suara Menyeruak Udara”), baik dalam PBIK (Pemahaman Bersama Iman Kristen) maupun dalam PTPB (Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama), panggilan gereja di bidang politik itu dirumuskan.

Menurut dokumen-dokumen tersebut, gereja ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial-politik, sosial-ekonomi dan budaya tertentu. Maka gereja-gereja di Indonesia ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan tugas panggilannya. Kehadiran gereja-gereja di Indonesia dalam NKRI dilihat sebagai tanda pengutusan Tuhan agar gereja-gereja secara aktif mengambil bahagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan di Indonesia.

Di samping itu, mereka yang terpanggil secara aktif dan kreatif mengambil bahagian dalam usaha mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan martabat manusia Indonesia serta segala hal yang merusak lingkungan alam Indonesia. Tugas panggilan itu dilaksanakan melalui upaya pencegahan sekaligus upaya pembelaan dan penegakan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

III.    Bagaimana Pengakuan Gereja Terhadap Negara?

 

Negara diakui sebagai alat di tangan Tuhan yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Oleh karena itu, gereja dan negara harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat. Akan tetapi sebagai lembaga keagamaan yang otonom, gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh negara, dan sebaliknya gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara oleh karena negara mempunyai fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm. 13:6-7; I Ptr.2:13-14).

Dengan demikian gereja dan negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan sub-ordinatif di mana yang satu menguasai yang lain. Gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum negara. Demikian cuplikan-cuplikan kutipan dari dokumen-dokumen tersebut. Dalam Sidang Raya PGI di Nias, 2014 dokumen-dokumen itu tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Namun apapun rumusan tentang negara, gereja-gereja di Indonesia bertekad untuk tidak mengidentikkan diri dengan negara. Sikap kritis-solidaritas diterapkan. Sikap kritis bukan berarti “tukang kritik”. Dalam sikap tukang kritik, apapun yang dilakukan negara dikritik tanpa merasa sebagai bahagian dari bangsa dan negara, dan tanpa ada solusi. Dalam sikap kritis, ada sikap kerendahan hati di kalangan gereja-gereja, bahwa kritik itu juga mengenai diri sendiri. Seberapa mungkin juga solusi ditawarkan. Sikap solidaritas adalah sikap yang melihat diri sendiri sebagai bahagian integral dari bangsa ini. Nasib bangsa ini adalah nasibnya, dan harapan bangsa ini adalah pula harapannya. Maka tidak mungkin gereja melarikan diri setelah menyampaikan sikap-sikap kritisnya.Dengan demikian gereja dan negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan sub-ordinatif di mana yang satu menguasai yang lain. Gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum negara. Demikian cuplikan-cuplikan kutipan dari dokumen-dokumen tersebut. Dalam Sidang Raya PGI di Nias, 2014 dokumen-dokumen itu tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Apabila kita mencermati bunyi dokumen-dokumen tersebut, jelas ada jejak-jejak Calvin, sebagaimana telah diuraikan (dalam sesi sebelumnya). Tetapi pada pihak lain kita juga merasakan adanya interpretasi baru terhadap pandangan Calvin. Hal itu sudah mesti begitu, sebab keadaan yang dialami Calvin di abad ke-16, yaitu masyarakat yang baru saja melepaskan diri dari kekuasaan Gereja Katolik Roma berbeda dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kendati secara resmi tidak diterapkan hukum Islam. Maka memang, Indonesia selalu dirumuskan secara negatif, “bukan negara agama, bukan negara sekuler”.

Namun apapun rumusan tentang negara, gereja-gereja di Indonesia bertekad untuk tidak mengidentikkan diri dengan negara. Sikap kritis-solidaritas diterapkan. Sikap kritis bukan berarti “tukang kritik”. Dalam sikap tukang kritik, apapun yang dilakukan negara dikritik tanpa merasa sebagai bahagian dari bangsa dan negara, dan tanpa ada solusi. Dalam sikap kritis, ada sikap kerendahan hati di kalangan gereja-gereja, bahwa kritik itu juga mengenai diri sendiri. Seberapa mungkin juga solusi ditawarkan. Sikap solidaritas adalah sikap yang melihat diri sendiri sebagai bahagian integral dari bangsa ini. Nasib bangsa ini adalah nasibnya, dan harapan bangsa ini adalah pula harapannya. Maka tidak mungkin gereja melarikan diri setelah menyampaikan sikap-sikap kritisnya.

(Bersambung)

Penulis

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe Senior Fellow Institut Leimena; Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (2004-2014) dua periode; Memperoleh gelar Doctorandus Theologiae dari Vrije Universiteit di Amsterdam (1979); Ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) dan ditugaskan sebagai dosen pada Akademi Teologi Kupang (ATK),(1971); Memperoleh gelar Sarjana Teologi (S.Th) dari STT Jakarta (1969).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena