info@leimena.org    +62 811 1088 854

Pdt. Andreas A. Yewangoe

Pdt. Andreas A. Yewangoe

Anggota Dewan Pengarah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lahir di Mamboru, Sumba, Nusa Tenggara Timur, 1945. Mendapat gelar Sarjana Teologi (S.Th) dari STT Jakarta, 1969. Ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS), yang ditugaskan sebagai dosen pada Akademi Teologi Kupang (ATK), 1971. Ia memimpin akademi tersebut tahun 1972-1976. Ia memperoleh gelar Doctorandus Theologiae dari Vrije Universiteit di Amsterdam (1979). Setelah bertugas di tanah air, ia kembali lagi ke Vrije Universiteit untuk promosi Doctor Theologiae, 1987, dengan disertasi berjudul Theologia Crucis in Asia (1987). Ia pernah memimpin Universitas Kristen Artha Wacana, yang merupakan peningkatan dan perluasan dari ATK, sebagai rektor tahun 1990-1998 (dua periode). Ia pernah menjadi salah seorang Ketua PGI, dari tahun 1994-2004 (dua periode). Beliau terpilih menjadi Ketua Umum PGI dari tahun 2004-2014 (dua periode)

I. Beragama di Ruang Publik

Hal beragama itu memang harus terjadi di ruang publik. Tidak bisa dilakukan secara senyap saja, kecuali di negeri-negeri yang bersifat otoriter. Sejarah dunia cukup royal memperlihatkan bahwa tekanan, bahkan penindasan terhadap mereka yang beragama selain yang dianut oleh penguasa tidak ditolerir. Contoh klasik adalah penindasan yang dilakukan oleh Penguasa Romawi kepada komunitas Kristen di Roma karena mereka dianggap memuliakan “Kurios” yang lain selain Kaisar. Ini adalah subversip.

“Beragama” mesti juga dibedakan dengan “beriman”. Beragama adalah tampilan luarnya sebagaimana misalnya dituliskan di dalam KTP. Maka bisa saja seseorang menyatakan beragama secara formal, namun tidak beriman. Hal beriman ini tentu merupakan tanggungjawab pribadi dari yang bersangkutan. Ia mementingkan substansi ketimbang forma. Ia tidak merasa perlu memamer-mamerkan bahwa dia orang saleh. Kesalehan itu akan terlihat dari sikap dan perilaku rendah-hati, bukan karena dipuji orang. Yesus bersabda: “Ingatlah, janganlah kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikan, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu.” (Mt. 6:1). Kalau hanya beragama saja bisa terjatuh ke dalam kemunafikan, menjadi tidak otentik; sedangkan beriman pastilah jauh lebih otentik di dalam penghayatan dan praksis percaya. Ia juga tidak perlu mempertanggungjawabkannya kepada pihak lain, penguasa misalnya.

II. UUD 1945 Dan Realisasinya

Kita beruntung sebab secara sangat jelas diatur di dalam Konstitusi tentang kebebasan beragama di negeri ini. Fasal 29 UUD 1945 dengan jelas merumuskan: (1). Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;  (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam UUD yang diamandemen, kita membaca dalam Pasal 28 E dalam kaitan dengan hak-hak asasi manusia sebagai berikut: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Rasanya rumusan-rumusan ini cukup jelas. Ada jaminan bahwa setiap orang diperlakukan setara, tanpa diskriminasi. Setiap orang boleh saja menyatakan pendapatnya di muka umum tanpa merasa terganggu. Setiap orang dijamin untuk menyatakan iman dan kepercayaannya di muka umum melalui ibadah tanpa merasa ditekan. Namun rumusan-rumusan yang jelas itu belum dengan sendirinya difahami dengan baik, sehingga dalam praksisnya bisa terjadi kepincangan. Negeri kita mempunyai banyak pengalaman tentang kepincangan itu kendati belum merusak suasana kerukunan pada umumnya di dalam masyarakat. Namun kalau dibiarkan tanpa ditangani dengan tepat bukan tidak mungkin ia sungguh-sungguh merusak. Ada seorang ibu di Sumatera Utara mempertanyakan bunyi azan yang keliwat besar, namun kemudian dituduh menghina agama dan dijebloskan ke dalam penjara. Ada yang terang-terangan menghina agama A didiamkan saja, sedangkan orang lain yang disangka (dituduh) menghina agama B, diproses hingga masuk penjara. Ada orang yang berpindah dari agama C ke agama D menjadi heboh, sedangkan sebaliknya biasa-biasa saja. Ada pelajar yang diwajibkan memakai busana yang mencirikan agama tertentu, pada hal sekolah itu adalah sekolah negeri, namun dibiarkan saja. Dan seterusnya. Gejala mempolitisasi agama dalam setiap musim pilkada rasanya merupakan pengalaman rutine kita. Ini bisa membuat masyarakat terbelah berdasarkan agama, kendati tidak semua orang mengikuti arus itu.

Sekali lagi sinyalemen ini tidak hendak mengatakan bahwa kerukunan yang kita junjung tinggi di Indonesia sudah sangat terganggu. Tetapi kalau dibiarkan, bukan tidak mungkin kerukunan itu sungguh-sungguh terganggu.

Beberapa tahun terakhir ini terbit berbagai buku yang mengingatkan bahwa agama, ketimbang membawa berkat bisa menjadi racun. Kita sebut misalnya, Keith Ward, Is Religion Dangerous?; Kimbell, When Religion Becomes Evil; Sam Harris, The End of Faith, dan seterusnya. Kita tidak akan membahas buku-buku itu, tetapi inilah sinyal dan kritik sekaligus kepada orang-orang beragama yang memakai agamanya untuk tujuan-tujuan tidak luhur dan merusak kemanusiaan.

III. Ruang Kita Adalah Ruang Publik Berpancasila

Kita setuju dengan rumusan ini. Tetapi apakah yang dimaksud dengan “Ruang Publik Berpancasila”? Adakah kita mempunyai persepsi yang sama tentang hal ini? Rasanya perlu kita kembali menyimak pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 itu dalam kaitan dengan kehadiran agama-agama di dalam sebuah masyarakat yanng sangat pluralistis. Tentu kita juga harus memperhatikan dinamika di dalam sidang BPUPKI yang kemudian menghasilkan “Piagam Djakarta” (22 Juni 1945) dan rumusan akhir Pancasila (18 Agustus 1945) sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Setelah menguraikan prinsip kebangsaan (nasionalisme), prinsip kemanusiaan (internasionalisme), prinsip mufakat, perwakilan dan permusyawaratan, dan prinsip kesejahteraan, Bung Karno berbicara tentang “Prinsip Ketuhanan”. Berkata Bung Karno: “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri…Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan yakni, dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaklah negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.”

Selanjutnya sebagai pesan moral dari hal keberagamaan itu, Bung Karno menegaskan, adalah kewajiban seluruh umatnya untuk melahirkan keadaban dan saling menghormati satu sama lain. Ia berkata: “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban ittu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang menghormati satu sama lain.”

Jelas sekali Bung Karno tidak membenturkan “nasionalisme” dengan “agama”. Agama justru menjadi landasan etik dan moral untuk nasionalisme agar memiliki dasar dan landasan serta fondasi yang kuat. Tuhan yang berkebudayaan tidak berarti bahwa Tuhan adalah produk dari kebudayaan. Tidak mungkinlah Tuhan dianggap oleh Sukarno sebagai hasil sebuah kebudayaan, betapapun canggihnya kebudayaan itu.

Dalam sebuah analisis tentang “Tuhan yang berkebudayaan” ini, Daniel Dhakidae mengatakan, memang tidak bisa digabungkan “Ketuhanan” dan “Kebudayaan”. Namun kalau ditelusuri lebih jauh, “berkebudayaan” memang merupakan hasil usaha manusia. Tidak mungkin orang berbicara tentang berketuhanan tanpa mendasarkan diri pada “hasil usaha manusia”. Maka manusia memang menjadi sentral. Apakah Bung Karno sedang menyebarkan ajaran yang menghina Tuhan (blaspemous)? Menurut Daniel tidak. Pertama, yang dipersiapkan ini adalah sebuah dokumen kenegaraan, bukan dokumen teologis. Kedua, dasar ontologis sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan atas dasar agama., tetapi kemanusiaan, Menschlichkeit atau human-ness. Artinya, adanya keyakinan bahwa keberadaan manusia adalah “ada-yang-terbatas” dan karena itu memerlukan “Yang-Tak-Ada-Batas” (infinitum) atau “Yang Ilahi”, Yang Numinous, dan bukan berpijak pada keyakinan, belief, belief system.

Ya, itu salah satu tafsiran yang dilakukan oleh seorang ahli ilmu sosial di era kita ini. Tetapi marilah kita dengarkan lagi Bung Karno. Dalam pidato (ceramah) yang disampaikan di hadapan “Gerakan Pembela Pancasila” di Istana pada 17 Juni 1954, Bung Karno menguraikan lebih lanjut prinsip Ketuhanan itu. Ia mengakui bahwa semula ia mengusulkan “Ketuhanan”. Tetapi atas usul saudara-saudara dari pihak Islam, maka ditambahkanlah “Yang Maha Esa” itu. Lalu apa yag dimaksud dengan itu? Menurut Bung Karno, itulah Ketuhanan dalam arti religieusiteit yang sudah hidup dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus dan beribu-ribu tahun. Karena bangsa Indonesia masih berada pada tarafnya  agraria. Aku menggali, kata Bung Karno. Pertama-tama saya melihat adalah religieusiteit. Percaya kepada suatu hal yang gaib yang menguasai hidup kita semua. Sebagai masyarakat agraris dia melihat bahwa segala sesuatu dikuasai oleh yang gaib itu. Maka bangsa seperti itu mau tidak mau mesti religius. Tetapi memang religieusiteit itu masih melewati beberapa fase pula. Manusia masuk ke taraf industrialisasi, banyak yang meninggalkan religieusiteit itu Tetapi aku, kata Bung Karno,  “Ya, aku percaya kepada Tuhan”.

Dari pidato dan ceramah Bung Karno ini terlihat bahwa sesungguhnya sudah disiapkan berbagai kemungkinan untuk adanya saling faham-memahami, saling pengertian, saling belajar, dan seterusnya di antara anak bangsa. “Bertuhan yang berkeadaban”, “tidak ada egoisme agama”, semuanya ini memberi indikasi bahwa keberagamaan kita mestinya bukan merupakan keberagamaan tertutup, yang hanya mengarah kepada diri sendiri, sambil melupakan bahwa di samping kita ada juga orang lain yang mempunyai praksis keberagamaan yang berbeda. Keberagamaan kita mestilah merupakan keberagamaan yang terbuka, yang mengarah kepada sesama manusia betapapun berbedanya agama dan sesembahan kita. Sebagai demikian, sila-sila di dalam Pancasila, yang sudah dirumuskan secara resmi pada 18 Agustus 1945 itu tidak boleh dilepaskan satu sama lain. Sebaliknya sila-sila itu mestilah dibaca dan difahami dalam satu tarikan nafas.

Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilepaskan dari kemanusiaan yang adil dan beradab bisa membawa kita kepada fanatisme buta. Bukan tidak mungkin orang membunuh sesama sambil menyebut nama Tuhan. Demikian juga keberagamaan yang egoistis sambil mengabaikan bahwa kita ini satu bangsa bisa merobohkan persatuan Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa mengindahkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan menciptakan agama yang hanya mengarah ke surga, dan bukan tidak mungkin justru agama dipakai untuk memeras sesama. Keadilan sosial saja yang tidak didasarkan atas nilai ketuhanan akan mengarahkan kita kepada faham dan perilaku sosialisme sempit. Dan seterusnya. Intinya, Pancasila itu adalah satu kesatuan, tetapi bukan kesatuan yang masif seperti batu, melainkan yang selalu mempunyai ruang bagi perkembangannya sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia yang sedang bergerak cepat.

Inilah ruang publik Pancasila yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama (apapun agama itu), dan agama juga tidak perlu memusuhinya. Inilah ruang bersama dari agama-agama yang di dalamnya mereka diberi kedudukan yang sama dan setara untuk mengisi makna nilai-nilai Pancasila melalui praksis keberagamaan dan kemasyarakatan mereka.

IV. Belajar Dari Chris Seiple

Ia menulis sebuah artikel menarik berdasarkan 22nd Annual Templeton Lecture on Religion and World Affairs pada 30 Oktober 2018. Dia gelisah dengan keadaan umat manusia yang saling bertentangan, saling bermusuhan di mana yang minoritas dikurbankan untuk mengesyahkan kedudukan kaum mayoritas. 83% penduduk bumi hidup di bawah kondisi “pembatasan yang tinggi atau sangat tinggi atas dasar agama”, baik melalui kebijakan Pemerintah maupun aksi-aksi individu atau kelompok. Menurut PEW (2018), yang merupakan target utama adalah Kristen (di 144 negeri), Islam (di 142 negeri), dan Yahudi (di 87 negeri). Di Eropa sendiri sentimen nasionalisme dimainkan menghadapi kaum imigran.

 Di Cina, Presiden Xi Jinping mengangkat para pemimpin Komunis tempo doeloe, dalam bentuk neo-Mao untuk “mencinakan” (Sinicize) umat beragama minoritas; di Burma, kaum Budha yang mayoritas melakukan pembersihan etnis terhadap kaum Rohingya; di India Partai Bharatiya Janata telah menyerukan kaum Muslim meninggalkan negeri itu, dan seterusnya. Dia menyebut Rusia, Turki, Hungaria, Polandia yang menerapkan kebijakan serupa.

Tetapi juga di Amerika situasinya tidak lebih baik. Mungkin yang ia maksud adalah policy Trump dengan semboyan “Make America great again”  tetapi dengan mengorbankan kaum minoritas. Bagi Amerika, katanya ada 5 (lima) hal penting yang perlu diperkenalkan (lagi):

Respect vs Tolerance. Respek terhadap nilai-nilai esensi dari identitas orang lain, tanpa mengorbankan substansi diri sendiri. Respek berarti setiap orang menghormati martabat yang inheren dalam setiap manusia. Toleransi saja tidak memadai. Toleransi hanyalah sekadar mengizinkan seseorang untuk ada di dekat kita. Tidak ada seorangpun yang ingin ditoleransi dengan cara ini.

Faith vs Religion. Iman itu misterius, penuh keagungan dan belas-kasih dengan kesadaran bahwa ada yang lebih besar dari diri sendiri. Di sini diterapkan teologi kerendahan hati. Teologi ini mencakupi kepercayaan yang absolut kepada Sang Absolut, namun menyadari ketidakmungkinan berbicara bagi Sang Absolut secara absolut. Agama berbicara secara absolut bagi Sang Absolut. Agama memegang monopoli tentang kebenaran dalam tangannya. Tidak perlu mendengar dan belajar.

Multifaith vs Interfaith. Multifaith hanya berbicara tentang banyaknya perbedaan-perbedaan teologi tanpa berusaha memperdamaikannya. Interfaith cenderung berusaha merekat perbedaan-perbedaan itu, menciptakan jembatan dan relasi.

Patriotism vs Nationalism. Patriotisme adalah kebanggaan akan negeri dengan batas-batas internasional yang diakui. Setiap warganegara adalah setara di bawah hukum yang transparan, dengan kesempatan  yang sama bagi semua untuk menyampaikan iman kepercayaan mereka di depan umum.  Nasionalisme cenderung xenophobia (takut kepada orang asing). Etnis mayoritas cenderung melawan etnis minoritas.

Integration vs Assimilation. Integrasi mendorong setiap orang untuk membawa esensi  identitas mereka di atas meja. Integrasi mengakui bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki meja itu, tetapi setiap orang mendapat kursi. Integrasi mengharapkan setiap orang membawa kepercayaan mereka untuk didiskusikan di politik publik. Asimilasi mengharapkan mereka yang mayoritas berlagak bertindak sebagai mayoritas. Asimilasi mentolerir yang lainnya, tetapi tidak dalam cara mayoritas, atau sesuai dengan maksud “bangsa”.

Maka pertanyaannya adalah: “Bagaimanakah kita hidup dengan perbedaan-perbedaan kita yang terdalam (tanpa saling membunuh)? Bagaimanakah kita bergerak melampaui toleransi dan keberbagaian, melampaui sekadar kehadiran seseorang di samping kita, sebagai hidup berdampingan?

Maka di sini dibutuhkan “Covenantal Pluralism” (Pluralisme Yang Disepakatkan) yang mengaitkan kewajiban, tanggungjawab, janji internasional untuk mengikat, menghormati, melindungi kemerdekaan hati nurani orang lain tanpa memberikan kesepadanan moral kepada orang lain yang berakibat pada kepercayaan dan perilaku. Harus ada komitmen untuk menjalin relasi. Kita pun harus memperlengkapi diri kita sendiri. Kita membutuhkan  kemelekan-kemelekan baru (new literacies) dan seperangkat perlengkapan aru (new skill sets).

Kemelekan itu terdiri dari kemelekan di bidang kitab suci (scriptural literacy), mendalami iman sendiri, sehingga tahu apa yang diajarkan bagi sesama; Ini tanggungjawab lembaga-lembaga agama termasuk gereja;

Kemeleken agamani (religious literacy), upaya untuk mengetahui apa yang sesama percayai untuk menghormatinya.

Kemelekan Lintas Budaya (cross cultural literacy) adalah  aplikasi dari dua jenis kemelekan di atas. Dengan kemelekan ini akan ada kesadaran bahwa kemelekan kitab suci dan kemelekan agamani bisa berbeda-beda oleh konteks (lintas) budaya tadi.

Memperhatikan usulan-usulan Seipe ini saya kira menarik dan tidak ada salahnya untuk dijadikan inspirasi. Konteks Amerika yang memengaruhinya tentu tidak sama persis dengan yang kita alami. Sesungguhnya “perangkat-perangkat” sudah disiapkan oleh Pancasila bagi terjadinya “pluralisme yang disepakati” itu. Negara ini sendiri adalah “Negara Kesepakatan” di mana Pancasila merupakan perjanjian luhur dari para pendiri bangsa kita. Sikap saling tenggang rasa yang merupakan ciri keberadaan kita sebagai bangsa cukup kuat. Sayang bahwa akhir-akhir ini sikap itu sedang tergerus oleh perkembangan yang sangat cepat. Membuat diri kita melek, saya kira penting. Saya teringat yang dikatakan oleh mantan Menteri Agama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, K.H. Quraisj Shihab bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah pengetahuan mendalam terhadap agamanya sendiri. Saya kira dia benar. Dengan pengetahuan mendalam terhadap agama sendiri kita dapat menghormati orang-orang yang berbeda agama dengan kita.

Mengetahui agama sendiri, tidak buta terhadap terhadap agama sendiri tercakup juga di dalamnya, sikap jujur. Artinya mengakui bahwa di dalam proses perkembangannya agama kita pun mengalami kekurangan-kekurangan. Ambillah sebagai contoh agama Kristen. Agama ini tidak mulus-mulus saja perjalanannya. Bertrand Russell dalam bukunya, Why I am not a Christian mengatakan: “The intolerance that spread over the world with the advent of Christianity is one of the most curious feature, due, I think, to the Jewish belief in righteousness and in the exclusive reality of Jewish God” (“Sikap intoleransi yang tersebar  ke seluruh dunia dengan kedatangan Kekristenan adalah merupakan ciri-ciri paling mencengangkan, oleh karena, menurut saya, kepercayaan Yudaisme terhadap kebenaran dan realitas eksklusipnya Allah orang Yahudi). Mengapa hal itu terjadi? Saya tidak tahu, kata Russell. Tetapi mungkin saja ini sudah terpupuk ketika orang Yahudi menjadi tawanan di Babilonia. Mereka harus bersikap eksklusip agar tetap memelihara identitas mereka. Bisa saja sinyalemen Russell keliru. Bisa juga benar. Tetapi sejarah memperlihatkan bahwa di dalam sejarah, Kekristenan telah memperlihatkan sikap intoleransi yang parah terutama kepada mereka yang mempunyai pandangan berbeda. Maka sikap seperti ini memang sudah dikoreksi dengan kembali kepada ajaran Yesus untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, bahkan musuh sekalipun, dan “berdoa bagi mereka yang menganiaya kamu”.

Saya kira inilah salah satu hal yang bisa diperoleh apabila kita secara jujur mendalami agama kita. Kita bisa tiba pada kesimpulan bahwa tidak ada seorang pun yang benar dan karena itu tidak ada tempat untuk membanggakan diri. Inilah keberagamaan yang berkeadaban menurut nilai Pancasila.