info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 001/2013

Sikap Gereja di Tengah Masyarakat Indonesia

 

Dapatkah gereja dan umat Kristen mewujudkan apa yang tercantum dalam Matius  22:37-40 (kasihilah Tuhan dan kasihilah sesama) dan Matius 7:12 (segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka)?

Dapatkah ia dalam masyarakat yang bergolak ini mewujudkan Terang dan Garam kepercayaanNya? Dapatkah ia menjadi “hati nurani” dari masyarakat?

Bagaimanapun juga beratnya, sikap ini adalah sikap warga negara yang bertanggung jawab.

 

Pertanyaan timbul: apakah mungkin dengan sikap ini masyarakat kita, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang pemeluk agama lain, dapat diubah ke arah perbaikan, menurut paham agama kita?  Saya berpendapat “ya,” sebab:

a. Masyarakat selalu mengindahkan dan menghargai sikap dan tindakan-tindakan yang didasarkan atas pengasihan sesama manusia. Seperti padi tumbuh tanpa bersuara, demikian juga adalah pengaruh pengasihan ini dalam kehidupan masyarakat.

b. Bagaimanapun, perintah Tuhan kepada murid-murid-Nya tetap berlaku: “Kamu adalah garam dan terang dunia” (Matius 5:13-14) dan “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16)

 

Bukankah masyarakat kita adalah sebagian daripada kerajaan Allah yang harus ditegakkan oleh umat-Nya dalam “zaman antara dua waktu” ini?

Lagi pula, sejarah Gereja (misalnya Kerajaan Romawi) dan sejarah dunia (Rusia dan Tiongkok) memperingatkan kita bahwa sebagian kecil dari masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat dan bangsa, bahkan memimpinnya. Dalam hal ini diperlukan syarat yang utama, ialah bagian yang kecil itu harus mempunyai keyakinan dan kepercayaan yang teguh dan persatuan yang kokoh.

Dari masyarakat Indonesia, memang, tidak dapat diharapkan bahwa tiap pemerintah mempunyai keinsyafan bertanggung jawab, bukan saja kepada rakyat (parlemen) tetapi juga kepada Tuhan, tapi minimal kita dapat berusaha agar pemerintah kita terdiri dari orang-orang yang mempunyai keinsyafan itu.

 

Sentral Pembangunan Masyarakat

 

Kalau pembangunan biasanya berjalan berdampingan dengan pembangunan (pembaruan) masyarakat, maka menurut paham saya beberapa sentral pembaruan memerlukan perhatian kita, ialah:

Keluarga.  Keluarga tetap menjadi batu dasar masyarakat. Relasi orang tua – anak-anak, suami – isteri, anak-anak satu dengan yang lain, merupakan relasi-relasi dari suatu masyarakat kecil. Baik atau tidak baik relasi ini, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat di luar rumah tangga, ialah masyarakat ramai. Di sini semua orang dapat belajar apa artinya “pengasihan.”

Sekolah.  Sekolah tetap menjadi pusat di mana pemuda-pemudi dididik dalam hal tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat (bangsa) dan warga negara yang berharga

Organisasi pemuda-pemudi. Organisasi pemuda-pemudi juga menjadi sentrum di mana kaum pemuda belajar bertindak bersama secara teratur dan dissipliner; suatu sentrum dinamik di mana dapat tumbuh kualitas-kualitas (talenta) yang terpendam, sentrum di mana mereka belajar bertanggung jawab satu kepada yang lain, yang satu mengasihi yang lain.

Tempat Pekerjaan (kantor, perusahaan dan lain-lain). Tempat pekerjaan yang aneka warna pula merupakan tempat di mana kita dapat menunjukan keinsafan kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas kita sehari-sehari dan pergaulan kita dengan atasan dan bawahan kita.

Gereja (bagi umat Kristen). Bagi umat Kristen, Gereja merupakan persekutuan dari orang-orang yang percaya dan taat kepada Allah dalam Yesus Kristus. Gereja membangun masyarakat, sebagai suatu penjelmaan dari ciptaan yang baru dari dunia ini.

 

Gereja membangun dunia ini dengan menjadikan dirinya gereja yang sejati, ialah persekutuan di antara persekutuan-persekutuan yang lain di dunia ini, dengan jalan menghubungkan orang-orang yang tidak mempunyai ikatan apa-apa, dengan mempertemukan orang-orang yang hidup tersendiri dengan sesama manusianya. Dengan demikian ia menjadikan dari massa suatu persekutuan.

Seri Mutiara Pemikiran dr Johannes Leimena, bersumber pada naskah ceramah Dr. J. Leimena pada Konperensi Studi Pendidikan Agama Kristen di Sukabumi yang diadakan tanggal 20 Mei – 10 Juni 1955 dengan judul Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab. Dr. Johannes Leimena (1905 –1977) adalah salah satu pahlawan Indonesia. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena