info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010


Keragaman Sosial sebagai Peredam Konflik Komunal: Kasus Maluku

 

 

Sumber konflik sosial muncul dari perbedaan perspektif dalam memandang keragaman, dan bukan berasal dari keragaman sosial itu sendiri.

Ada dua perspektif mengenai peran keragaman sosial di Indonesia yang mengemuka dari waktu ke waktu, walaupun pengaruh kedua perspektif itu tidak sama kuat dalam kehidupan dan perjalanan negara-bangsa Indonesia.

Perspektif pertama, keragaman sosial adalah kekuatan yang berguna jika dikelola dan dimanfaatkan secara arif.  Memang keragaman sosial yang sedemikian kompleks mengandung potensi konflik antar kelompok.  Akan tetapi dengan manajemen konflik yang tepat, keragaman sosial ini akan berubah menjadi perekat kohesi sosial. Pandangan ini bertolak dari fakta bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang sudah jadi (given), namun hasil dari suatu imajinasi (imagine nation) yang membutuhkan penguatan terus menerus dalam kenyataan.  Imajinasi tersebut tersirat dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 saat Kongres Pemuda II di Jakarta.

Para pemuda dari berbagai ’bangsa’ yang hidup di kepulauan Indonesia mengangkat sumpah (berimajinasi) tentang adanya satu bangsa baru, yakni bangsa Indonesia.  Visi jangka sangat panjang dari imajinasi ini adalah bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang utuh dan solid. Esensi dari kekuatan sebagai satu bangsa utuh terletak pada pencarian dan pengakuan kesamaan-kesamaan antar kelompok, dengan tetap menghormati perbedaan-perbedaan antar kelompok.  Pada tataran praksis berbagai kelompok yang berbeda melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama sebagai suatu bangsa utuh.

Perspektif kedua melihat keragaman sosial mengancam kesatuan bangsa apabila tidak dikendalikan oleh sebuah kelompok dominan (big brother).  Pandangan ini menunjukkan adanya rasa kuatir dari kelompok-kelompok dominan tertentu.  Mereka kuatir akan kehilangan pengaruh dan keuntungan apabila harus berbagi dengan kelompok-kelompok yang lebih kecil.

Akulturasi budaya, penyatuan ideologi, eksistensi kelompok tidak sealiran, dan bahkan eksistensi negara dianggap mengancam eksistensi dan keunikan kelompok dan pribadi.  Visi jangka panjang dari perspektif ini adalah munculnya satu kelompok sosial yang dominan, yang mampu menyamakan karakter dan menyatukan semua kelompok.   Perspektif ini jelas bertentangan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika. Namun demikian, perjuangan kelompok yang percaya pada perspektif ini tetap terasa hingga saat ini.  Penajaman ideologi pemecah belah, pengembangan ekonomi berbasis kelompok primordial dan penguatan kekuasaan politik sektarian menjadi menu utama yang ditonjolkan dalam berbagai slogan dan aksi.

Kedua cara pandang tersebut bersingungan, bergulat, dan berinteraksi secara intensif di berbagai ranah sosial di Indonesia.  Sumber konflik sosial muncul dari perbedaan perspektif tersebut, bukan berasal dari keragaman sosial itu sendiri. Dari fenomena konflik sosial yang muncul di lapangan,  dapat diketahui manakah perspektif yang seharusnya dikedepankan di Indonesia.

Terkait dengan itu, dalam tulisan ini akan diangkat suatu fenomena sosial, yakni kerusuhan Maluku (1999 – 2004) sebagai kasus untuk menunjukkan bahwa keragaman sosial di Indonesia dapat meredam perbedaan antar kelompok, dan bukan menjadi ancaman bagi eksistensi dan peran kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Tinjauan Sejarah Kasus Maluku

Secara singkat perlu disampaikan kronologis timbulnya kerusuhan di Maluku untuk memberikan latar belakang kejadian yang akan menjadi tolok ukur pembahasan lebih lanjut. Penjelasan ini merupakan pengetahuan penulis yang saat itu berada di Ambon dan aktif sebagai pengurus sebuah yayasan yang fokus pada pengumpulan dan pendokumentasian data lapangan kerusuhan Maluku, bekerjasama dengan sebuah LBH di Jakarta.  Agar mudah diikuti, kronologis ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahap:

1. Tahap Awal

Kerusuhan Maluku diawali dengan perkelahian antar sopir mobil angkutan kota di Terminal Pasar Mardika tanggal 19 Januari 1999 sore, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.  Para sopir yang terlibat beragama Islam (suku Bugis) dan Kristen (suku Ambon).  Hanya kurang dari 1 jam kemudian, muncul massa yang mengatas namakan kelompok Kristen dan Islam, bersenjata tajam dan menyerang rumah-rumah ibadah maupun bertempur di jalan-jalan utama di Kota Ambon.  Pada saat yang sama, terjadi kerusuhan di tiga titik di dalam kota, dimana dua titik yang lain jauh dari Terminal Pasar Mardika.  Isu yang disebarkan melalui pembicaraan, selebaran, dan spanduk adalah sedang terjadi penyerangan terhadap suku Bugis-Buton-Makassar (BBM) oleh suku Ambon.

Kenyataannya, yang berperang bukan kelompok-kelompok atas nama suku-suku tersebut, melainkan kelompok-kelompok yang mengidentifikasi diri dengan agama Kristen dan Islam.  Mayoritasnya adalah para pemuda tanggung dan remaja sehingga banyak masyarakat hanya menonton atau menghindari daerah konflik.  Diduga mereka adalah para preman yang dipulangkan ke Ambon oleh pemerintah setelah terjadi perkelahian besar di daerah Ketapang, Jakarta. Menjelang malam, kepanikan mulai meningkat karena adanya pembunuhan dan pengusiran warga yang tidak seagama di lingkungan tertentu.  Suasana mencekam terus berlangsung hingga 7 hari kemudian.  Pada tahap ini, Komnas HAM RI mengirim tim pencari fakta ke Ambon.

Situasi keamanan dapat dikendalikan oleh aparat polisi dan tentara yang berjaga di jalan-jalan utama sehingga dalam 1 minggu sudah tidak ada lagi kerusuhan. Isu pengganyangan suku BBM ternyata tidak terbukti.  Akan tetapi kecurigaan antar umat beragama berhasil ditingkatkan.  Kehadiran pengungsi, korban jiwa, dan korban harta dari kedua belah pihak menambah suasana kemarahan di kedua pihak.  Para pemimpin agama, pemerintah daerah, dan aparat keamanan melakukan sosialisasi bersama untuk menenangkan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media massa.

2. Tahap Eskalasi

Karena isu pengganyangan BBM tidak berhasil, maka isu tersebut diganti dengan isu penindasan umat Islam oleh umat Kristen.  Perubahan isu ini masuk akal karena suasana saling curiga antar kedua umat beragama sudah memuncak.  Isu ini juga memungkinkan untuk mendatangkan pihak lain (khususnya Laskar Jihad) dari luar Ambon, dengan alasan solidaritas umat.  Setelah sekitar 1 bulan menikmati ketenangan, akhirnya kerusuhan kembali pecah setelah kedatangan Laskar Jihad dari Jawa.  Walaupun Presiden Abdurahman Wahid memerintahkan TNI memblokir pengiriman manusia dan senjata ke Maluku, namun kelompok-kelompok bersenjata tetap diloloskan lewat pelabuhan-pelabuhan yang dijaga oleh polisi dan tentara.

Kehadiran Laskar Jihad di Ambon dan perpecahan di dalam pasukan-pasukan Polri dan TNI di lapangan, menyebabkan eskalasi perang menjadi sangat cepat.  Perang intensif berlangsung sekitar 3 tahun. Masyarakat kota Ambon telah terpisah secara geografis berdasarkan agama.  Komunitas Kristen berada di belahan selatan pulau Ambon, sedangkan komunitas Muslim berada di belahan utara. Komunitas di dalam Kota Ambon sendiri terpisah berdasarkan desa, sebab ada desa yang mayoritas Kristen dan ada desa yang mayoritas Muslim.

Pada saat yang sama, berbagai tokoh dan kelompok dari Maluku melakukan upaya-upaya advokasi dan mediasi agar kedua umat beragama dapat menghentikan permusuhan.  Pendekatan budaya pela-gandong (ikatan saudara), dijadikan landasan untuk mempertemukan umat kedua agama yang sebenarnya bersaudara secara genetis atau secara hukum adat.  Faktanya, komunitas yang berbeda agama tapi terikat persaudaraan adat, saling melindungi selama kerusuhan tersebut.  Fenomena budaya ini ditambah dengan semakin tegasnya tindakan polisi dan tentara untuk meringkus kelompok bersenjata, sehingga akhirnya dapat meredam kerusuhan.

Tahun 2002, kelompok Laskar Jihad mengundurkan diri dari Maluku dan mereka yang berhasil selamat dipulangkan ke Jawa dengan fasilitasi kapal-kapal Pelni.  Selanjutnya, masyarakat kedua komunitas agama di Maluku mulai melakukan acara-acara perdamaian dan pemulihan.  Puncak perjanjian damai kedua belah pihak dilakukan di Malino (Sulawesi Selatan) tahun 2002.  Namun baru pada tahun 2005 ada upaya pengembalian pengungsi ke komunitas asalnya, walaupun tidak seagama.

3. Tahap Akhir

Setelah isu agama tidak mampu menimbulkan perpecahan dan perang, maka dimunculkan isu baru, yakni isu nasionalisme.  Media massa lokal dan nasional gencar menyuarakan bahwa sebenarnya, kerusuhan adalah ulah kelompok Republik Maluku Selatan (RMS). Kelompok Muslim yang mengklaim diri sebagai kelompok nasionalis menentang kelompok Kristen yang dituduh sebagai kelompok separatis RMS.  Namun para pendemo RMS yang jumlahnya tidak seberapa,  sempat melewati wilayah-wilayah masyarakat Muslim tanpa gangguan ketika melakukan long-march, dan bahkan mendapatkan tambahan massa dari wilayah-wilayah Muslim dalam perjalanan ke Mapolda Maluku. Polisi lalu mengawal long-march ini dan tidak terjadi kerusuhan lagi.

Upaya memperkeruh suasana sempat dilakukan kembali oleh sekelompok teroris (di dalamnya juga ditemukan anggota Polri) yang menyerang sebuah pos polisi di pulau Seram sehingga menimbulkan korban jiwa di kelompok penyerang dan polisi.  Tindakan terorisme ini malah memicu kemarahan masyarakat dari semua komunitas kepada polisi.   Sejak itu, kerusuhan Maluku relatif tidak ada lagi, namun kecemasan masih terasa hingga akhir 2005.  Setelah itu, suasana kehidupan kembali berangsur normal dilihat dari banyaknya pengungsi yang pulang ke rumah yang dibangun kembali dengan bantuan pemerintah.

Pemanfaatan Keragaman Sosial sebagai Pemicu Kerusuhan

Dari kronologis singkat ini dapat dipetik beberapa info penting dalam konteks keragaman sosial dalam kerusuhan Maluku:

1.Pemanfaatan isu permusuhan antar suku bangsa pada tahap awal kerusuhan tidak berhasil menimbulkan sentimen yang mendalam antar suku bangsa di kota Ambon.  Di kota Ambon dapat ditemukan hampir semua suku bangsa, dan semuanya menjadi korban dari kerusuhan itu.

2.Isu permusuhan suku-suku bangsa tidak relevan dengan kenyataan sosial di Maluku sebab suku-suku bangsa bukan Ambon sudah diterima sebagai bagian dari satuan sosial masyarakat Maluku sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu.  Bahkan dalam strata sosial, para pendatang diberi kehormatan dalam perwakilan dewan adat desa. Pada masyarakat kontemporer di Maluku, hampir semua suku bangsa tersebar di pulau-pulau yang ada penduduknya. Banyak pendatang Buton, Bugis dan Makassar yang sudah beranak-cucu hingga empat sampai lima keturunan di Maluku.

3.Keragaman suku bangsa di Maluku juga terkait dengan perekonomian. Suku-suku pendatang biasanya aktif dalam kegiatan perdagangan, perikanan dan pertanian, sementara suku Ambon lebih menguasai bidang pemerintahan dan pendidikan. Dikotomi peran ini tidak mungkin menimbulkan permusuhan sebab mereka tidak bersaing dan malah saling membutuhkan (melengkapi).

4.Pemanfaatan isu permusuhan antara umat beragama Islam dan Kristen berhasil meningkatkan eskalasi dan ekstensifikasi kerusuhan. Faktor penunjang eskalasi adalah kehadiran Laskar Jihad dari Jawa, sebab pada dasarnya, komunitas lokal yang berbeda agama saling menghormati dan melindungi karena adanya ikatan persaudaraan adat.  Selain itu, komunitas lokal yang sedang terpuruk oleh kerusakan dan kehilangan harta benda tidak mungkin membiayai perang.

5.Pemanfaatan isu nasionalisme yang dikaitkan dengan perbedaan agama tidak berhasil mengembalikan suasana permusuhan antar umat kedua agama.  Masyarakat Maluku tahu bahwa RMS didirikan oleh orang-orang Maluku yang beragama Islam dan Kristen.  Walaupun Presiden RMS saat itu beragama Kristen, tetapi terdapat tokoh-tokoh intelektual dan adat beragama Muslim pada jajaran Kabinet RMS.  Bahkan Proklamasi RMS dilakukan di sebuah desa Muslim di pulau Ambon.  Selain itu, bagi masyarakat kontemporer di Ambon,  isu separatis adalah urusan pemerintah (proyek aparat keamanan), dan tidak relevan dengan kehidupan masa kini (susah mencari makan).

6.Keragaman suku dan agama dalam jajaran aparat keamanan (polisi dan tentara) justru menimbulkan perpecahan dalam unit-unit keamanan tersebut.  Perpecahan ini diduga akibat dari solidaritas anggota polisi dan tentara terhadap sesama suku dan umat beragama.  Namun demikian faktor ini tidak banyak pengaruhnya terhadap sikap masyarakat kepada suku dan agama lain.

Keragaman Sosial sebagai Pendorong Perdamaian

Upaya-upaya mendamaikan pihak-pihak yang bertikai selama kerusuhan Maluku merupakan resultante dari berbagai gerakan perdamaian dengan memanfaatkan keragaman kelompok sosial di Maluku, yaitu:

1.Para pemuka agama Kristen dan Islam yang adalah putra-putra daerah Maluku yang dihormati umat.  Kedekatan dan teladan mereka menjadi inspirasi bagi masyarakat lokal untuk percaya pada perdamaian.

2.Kelompok-kelompok intelektual dan akademisi Maluku berbeda agama yang berada di Ambon dan luar Ambon terus menerus menyatakan bahwa kerusuhan itu bukan karena permusuhan antar orang Maluku dan menunjukkan keterlibatan pihak ketiga yang sengaja merekayasanya.

3.Kelompok-kelompok masyarakat adat, organisasi non-pemerintah, dan akademisi Maluku mendorong pertemuan-pertemuan dialogis antar umat beragama di Maluku dan antar kelompok adat.  Konsistensi tersebut membuahkan berbagai kesepakatan damai dalam kelompok-kelompok kecil yang terakumulasi menjadi kelompok yang lebih besar.

4.Kelompok-kelompok masyarakat Maluku di Jakarta dan di Belanda secara konsisten terus menunjukkan bahwa di luar Maluku, semua masyarakat Maluku tidak bermusuhan.

5.Kelompok-kelompok pedagang di wilayah Kristen dan Muslim saling mendukung dalam rantai perdagangan bahan kebutuhan pokok sehingga rasa saling menghormati dan membutuhkan mengalahkan rasa iri dan dendam.

6.Kelompok pendidik, khususnya dosen-dosen Universitas Pattimura Ambon, tetap mengajar mahasiswa dari kedua komunitas.  Para dosen kadang dikirim ke wilayah perbatasan agar bisa menemui mahasiswa kedua belah pihak di wilayah netral.

7.Kelompok-kelompok organisasi non-pemerintah yang melakukan advokasi dan pendampingan bagi para pengungsi bekerjasama tanpa memandang perbedaan agama.  Kehadiran mereka mempercepat proses penerimaan terhadap kelompok agama yang berbeda.

Menyimak apa yang terjadi mulai dari awal hingga selesainya kerusuhan Maluku dalam periode 1999 – 2004, terlihat bahwa upaya untuk memanfaatkan keragaman sosial sebagai pendorong kerusuhan tidak berhasil.  Perbedaan suku bangsa tidak bisa menjadi sumber permusuhan jika kualitas hubungan antar suku bangsa adalah untuk saling melengkapi dalam kehidupan sehari- hari.**

Penulis

Semuel A.M. Littik, Ph.D. adalah Pembantu Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni di Universitas Satya Negara Indonesia (USNI).  Pernah menjadi Team Leader Penelitian Status Keadilan Pasca Kerusuhan Maluku (kerjasama UNDP, UGP, dan Unpatti).