info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010


Kebijakan Public dan Cross Cutting Cleavages

 

 

Meningkatnya konflik internal yang mengusung identitas etnis dan agama pada masa reformasi, membuat kita semua bertanya apa makna keberagaman bagi masyarakat kita saat ini. Keberagaman etnis dan agama bukanlah sekedar atribut yang menggambarkan karakteristik bangsa tanpa makna. Keberagaman kelompok etnis dan agama dan bagaimana hubungan yang terjalin diantara kelompok-kelompok ini juga harus dipandang sebagai produk dari kebijakan-kebijakan publik pemerintah.

Pemerintah melalui kebijakan publiknya memiliki tiga peran penting dalam mengatur hubungan antar kelompok di masyarakat kita. Pertama, secara normatif, pemerintah memiliki peran sebagai pemersatu keragaman yang ada dengan mensosialisasikan kembali nilai-nilai persatuan. Namun persatuan yang bagaimanakah yang tepat untuk masyarakat kita saat ini? Untuk itu ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab. Nasionalisme seperti apakah yang ingin kita bangun? Apakah nasionalisme yang mendasarkan diri pada etnik atau agama tertentu yang dominan atau nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai universal?

Pada masa reformasi dan dengan iklim demokrasi, agaknya kita tidak bisa membangun nasionalisme bangsa dengan mendasarkan diri pada etnisitas atau agama tertentu saja (ethnocultural nationalism). Belajar dari masa Orde Baru, hal ini telah menimbulkan keresahan dan justru menguatkan batas-batas diantara kelompok etnis atau agama lainnya yang menjadi bagian dari bangsa ini. Pilihan yang ada lebih pada mengakui keberadaan kelompok-kelompok etnis atau agama yang beragam secara institusional dalam penyelenggaraan negara (multicultural nationalism) atau sama sekali tidak menggunakan atribut-atribut yang dapat mengarah pada kelompok etnis atau agama tertentu. Nilai-nilai universal yang digunakan oleh negara untuk menyusun kebijakan publiknya dan setiap warga negara didorong untuk memiliki loyalitas yang lebih tinggi pada negaranya dibandingkan dengan kelompok etnisnya (civic nationalism).

Kedua, pemerintah dengan kebijakan publiknya perlu mendorong terjadinya integrasi masyarakat secara fungsional. Pemerintah perlu menciptakan pola hubungan yang saling membutuhkan antar kelompok etnis atau agama atau kelompok- kelompok lain dalam masyarakat. Pertanyaannya apakah saat ini masih banyak kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok etnis atau agama tertentu? Apakah ada kebijakan-kebijakan tentang sumber-sumber penghidupan rakyat yang ternyata hanya menguntungkan kelompok etnis atau agama tertentu? Masih adakah kebijakan-kebijakan yang tidak memperhitungkan kesenjangan ekonomi yang terjadi di berbagai daerah antara penduduk asli dan pendatang? Jangan sampai kebijakan publik yang ada justru mengarah pada diskriminasi institusional yang malah menajamkan perbedaan-perbedaan antar kelompok atau mengarah pada polarisasi-polarisasi kelompok berdasarkan etnis dan agama.

Ketiga, pemerintah juga memiliki peran untuk menjamin adanya rasa aman bagi seluruh kelompok-kelompok yang ada. Jaminan rasa aman ini diwujudkan dengan adanya perangkat hukum yang tegas dan kuat untuk menindak segala bentuk pelanggaran hukum dan penggunaan kekerasan oleh siapapun dan dari kelompok manapun apalagi yang berkaitan dengan konflik-konflik yang bernuansakan etnis atau agama. Di sini pemerintah melalui perangkat hukumnya harus konsisten berada pada posisi netral tidak terkesan memihak kelompok tertentu yang dominan. Sekali kesan ini muncul maka akan menimbulkan dilema keamanan bagi kelompok-kelompok lain dan cara-cara main hakim sendiri dapat saja terjadi.

Kebijakan Publik dan Cross-Cuttiing Cleavages

Seymor Martin Lipset dan Stein Rokkan (1967), mengemukakan konsep cross-cutting cleavages untuk menggambarkan perbedaan atau pertentangan dalam suatu masyarakat setidaknya memiliki 2 dimensi yaitu teritorial-kultural dan fungsional.

Dimensi teritorial-kultural mencakup (1) pertentangan kelompok marjinal seperti masyarakat daerah, kelompok minoritas, atau kelompok yang terancam secara kultural terhadap tekanan dari dominant national elites biasanya pemerintah dan birokrasi yang cenderung melakukan sentralisasi, standarisasi, rasionalisasi, dan (2) konflik elit yang berkompetisi tentang tujuan, mekanisme kontrol, organisasi, dan pilihan kebijakan untuk keseluruhan sistem.

Dimensi fungsional memiliki rentang mulai dari (1) pertentangan yang menyangkut perebutan sumber daya, produk, keuntungan ekonomi antara penghasil dengan pembeli, pekerja dengan pengusaha, pemilik uang dan peminjam; hingga (2)pertentangan yang berkaitan dengan identitas sosial, tentang moral, antara konsepsi kelompok “kita” dan “mereka” seperti pertentangan gerakan-gerakan idelogis dan religius dengan komunitas sekitar. Namun mereka juga menambahkan bukti sejarah menunjukkan kebanyakan konflik sosial yang terjadi merupakan persingungan dari berbagai pertentangan tersebut.

Dalam konteks masyarakat kita, menarik untuk mencermati walaupun sebagian besar analisa menunjukkan permasalahan utama dari maraknya konflik sosial adalah kesenjangan ekonomi namun bukanlah kesadaran kelas sosial yang terbentuk, melainkan kesadaran kelompok etnis atau agama. Hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi polarisasi-polarisasi masalah ke dalam kelompok-kelompok etnis dan agama. Hal ini juga menunjukkan masih lebih kuatnya identifikasi masyarakat terhadap kelompok etnis dan agamanya dibandingkan keterikatannya dengan kelompok-kelompok lain diluar kelompok etnis dan agama.

Oleh karena itu, kebijakan publik yang mendorong terjadinya cross-cutting affiliation menjadi penting. Munculnya konflik sosial yang bernuansakan etnis dan agama dapat dikurangi dengan tidak menjadikan kelompok etnis dan agama sebagai satu-satunya saluran aspirasi masyarakat. Dalam masyarakat yang modern dan demokratis kehidupan seseorang biasanya menjadi lebih kompleks. Setiap orang memiliki seperangkat status dan peran yang beragam.

Demikian pula jenis dan ragam kelompok juga bertambah. Semakin seseorang memiliki kesadaran sebagai bagian dari berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, maka ia semakin terbuka dan toleran pada perbedaan sehingga potensi konflik sosial dapat dikurangi. Hal ini dapat terjadi karena terdapat titik temu dari jalinan kelompok yang berbeda sehingga ia didorong untuk memiliki loyalitas pada berbagai kelompok.

Contohnya seseorang yang beragama Kristen, mengikuti organisasi kemasyarakatan yang nasionalis, bekerja di Departemen Agama, sering berinteraksi dengan kawan-kawan yang mayoritas Muslim, maka ia lebih sulit termakan provokasi ke-etnisan atau yang bernuansa agama. Selain itu kebijakan publik yang mendorong terjadinya mobilitas sosial juga menjadi titik yang krusial untuk membangun cross-cutting affiliation ini. Misalnya: peningkatan pendidikan pada masyarakat daerah, beasiswa perguruan tinggi negeri utama atau bahkan luar negeri bagi kelompok-kelompok marjinal secara ekonomi ataupun teritori.

Kebijakan Publik yang Berbasis Data

Selain masalah ketimpangan ekonomi, perebutan kekuasaan atau ketidakadilan,  masalah dalam kebijakan publik kita terlihat dari minimnya penggunaan data etnisitas dan atau agama dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan publik. Dalam mengelola suatu negara bangsa yang berpenduduk besar dengan teritori yang luas, sudah selayaknya pemerintah mempunyai data yang cukup akurat tentang komposisi, variasi penduduknya. Dalam konteks etnisitas dan agama, kebijakan menyembunyikan data dengan kedok “SARA” pada masa Orde Baru telah menjadi buah simalakama, karena justru keragaman, pertumbuhan dan penyebaran penduduk berdasarkan kelompok etnis atau agama tidak terekam dengan baik. Sayangnya sampai pada sensus penduduk 2010, pertanyaan tentang etnisitas dan agama belum dapat mengakomodir keragaman yang ada dalam masyarakat kita.

Penutup

Sudah saatnya kita tidak menutup sebelah mata pada kesadaran-kesadaran kelompok yang muncul dari etnis, agama atau menganggapnya sebagai masalah yang kurang penting dibandingkan dengan pembangunan ekonomi dan teknologi. Jika masalah kesenjangan ekonomi atau ketidakadilan ini tidak sekedar dirasakan oleh individu tertentu (personal troubles of milieu) tetapi dirasakan oleh sejumlah orang dalam kelompok etnis atau agama yang sama bahkan telah menjadi isu dalam masyarakat kita. (public issues of social structure), dan secara sistematis terjadi terus-menerus maka kesadaran kelompok akan mudah direkayasa sebagai instrumen konflik-konflik sosial. Negara melalui perangkatnya selayaknya berperan sebagai agen pemersatu dan menjembatani berbagai kepentingan kelompok sebagai komponen pembentuk bangsa. **

Penulis

Daisy Indira Yasmine, M.Soc.Sci. adalah staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia.