info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010


Kita Tidak Siap untuk Berbeda

 

Pertengahan 2010 lalu, patung “Tiga Mojang”  karya I Nyoman Nuarta yang terletak di persimpangan pintu gerbang sebuah perumahan di Bekasi (Jawa Barat) dibongkar oleh Pemkot Bekasi. Alasannya karena ada protes dari organisasi kemasyarakatan yang menganggap patung itu sebagai simbol Trinitas dan juga sebagai gambaran Bunda Maria. Padahal patung setinggi 15 m itu telah berada di tempat itu selama hampir 2 tahun.

Kepada ANTARA News  Nyoman Nuarta menyatakan tuduhan Kristenisasi itu sama sekali tidak benar. “Patung tersebut adalah gambaran mojang Priangan yang menggunakan pakaian kemben, dan bukan gambaran Bunda Maria yang memakai kerudung,” katanya. Ia menyesalkan aksi pembongkaran tersebut dan menganggapnya sebagai preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Grace Emilia dari Institut Leimena berdialog dengan seniman kelahiran Tabanan (Bali) yang telah melahirkan berbagai karya monumental ini (antara lain patung “Garuda Wisnu Kencana” di Bali, monumen “Jalesveva Jayamahe” di Surabaya, “Arjuna Wiwaha” di Jl. Medan Merdeka Jakarta, dsb), di Nu Art Sculpture Park yang juga merupakan studio kerjanya di Bandung – Jawa Barat.

Sebagai seniman, bagaimana pendapat Anda tentang kasus pembongkaran patung “Tiga Mojang” ini dalam hubungannya dengan keberagaman Indonesia?

Itu adalah ketakutan berlebihan. Kalau betul urusannya agama, apakah Tuhan perlu dibela? Apakah Tuhan itu seperti bupati atau walikota yang perlu dibela? Kalau itu betul dari Tuhan, maka yang bisa melenyapkannya adalah Tuhan. Jadi memang ada masalah di sini, yaitu kita tidak siap untuk berbeda. Dan itu melawan kodrat manusia. Begitu lahir saja, manusia itu sudah berbeda dan lalu memilih jalan hidupnya masing-masing. Koq sekarang ada orang yang mau melawan kehendak Tuhan akan adanya perbedaan itu.

Pada dasarnya, seniman itu justru ingin berbeda, tidak ingin sama. Orang yang ingin ramai-ramai itu penakut. Sebagai seniman, ketika harus memilih antara berjalan di terowongan yang gelap atau terang, maka saya akan pilih yang gelap. Kalau yang terang, kita sudah tahu isinya apa. Tapi kalau yang gelap, isinya bisa macan, ular, atau juga emas. Jadi ada opportunity. Tinggal ambil saja senter untuk lihat apa isinya. Artinya, kita harus berani menghadapi tantangan hidup ini dan juga berani untuk berbeda.

Apakah negara perlu membuat kebijakan yang mengatur kebebasan masyarakat dalam perbedaannya itu?

Kita bicara demokrasi dimana lebih dari 50% penduduk kita masih bodoh. Demokrasi yang tidak sekedar banyak-banyakan itu masyarakatnya harus intelek dulu, kalau tidak jadi seperti sekarang ini. Siapa pun bisa jadi presiden asal jumlah pemilihnya banyak. Ini khan bahaya. Kita tidak bisa liberal seperti ini. Amerika saja tidak seperti ini.  Jadi kebijakan untuk mengatur itu jelas diperlukan, supaya pemerintah jangan cuma melayani dari kebodohan. Sekarang ini banyak orang yang menganggap dirinya tokoh agama, tapi ngomongnya ngawur. Ini khan harus ditertibkan.

Sejauh mana batasan dari kebebasan seniman dalam berekspresi?

Saya tidak menganggap seniman berbeda dengan manusia lain. Seniman juga harus taat hukum. Falsafah kita adalah Pancasila, tapi kita suka melanggar hal itu. Makanya jadi amburadul seperti sekarang ini. Seorang seniman harus jadi dirinya sendiri, tapi di sisi lain kita juga tidak bisa semena-mena karena kita bermasyarakat. Masalahnya, ada orang yang tidak mengerti sejarah dan budaya bangsa, lalu menuduh kita tidak berbudaya. Contohnya, patung “Tiga Mojang” itu khan pakai kemben. Itu adalah pakaian asli orang Sunda, Jawa, dan Bali, tapi kemudian dibilang itu tidak sesuai dengan budaya. Jadi budayanya dia itu budaya apa?

Apakah menurut pengamatan Anda telah terjadi penggunaan isu primordialisme untuk kepentingan-kepentingan tertentu di tengah bangsa kita sekarang ini?

Ya, primordialisme sudah jadi alat karena alat ini bisa jadi kekuatan politik untuk cari makan. Di Indonesia, politik itu digunakan untuk cari makan. Kalau sudah tidak bisa bersaing lagi secara intelektual, maka digunakanlah kekuatan itu. Apalagi sekarang ini di masyarakat muncul image menjadi pejabat itu enak, bisa dapat uang banyak dan dihormati, walau tidak tahu uangnya dari mana. Image semacam ini membahayakan negeri ini.

Apakah sikap yang tidak bisa menerima perbedaan itu merupakan warisan Orde Baru?

Tidak juga, itu lebih karena kebodohan. Selama ini, Pancasila hanya dihafalkan tapi tidak diresapi maknanya. Semua serba dihafal. Kita tidak pernah belajar kenapa kita merdeka tahun 1945, misalnya. Saya tidak pernah hafal isi Pancasila. Tapi yang penting, menurut saya, adalah bagaimana kita bisa tahu maknanya. Jadi yang harus diubah itu adalah sistemnya, karena cara-cara pelajaran di sekolah sekarang ini tidak logis. Jadi Doktor asal bisa memenuhi target, lalu buntutnya korupsi.

Selain itu, sekarang ini uang tampaknya jadi segala-galanya. Coba lihat teman-teman yang kaya-kaya itu. Mereka bangga dengan uangnya dan sudah betul-betul ada di telapak kaki uang. Lalu untuk apa uang sebanyak itu? Kesombongan saya adalah daun-daun hijau ini (Nuarta lalu menunjuk pada pohon-pohon rindang yang mengelilingi area Sculpture Park-nya). Tanah di daerah sini harganya Rp 6 Juta Rupiah per meternya, tapi saya korbankan 3 HA untuk tanaman hijau. Bagi saya, inilah yang namanya sorga. **

Penulis

I Nyoman Nuarta