info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 3, Des 2010


Kemajemukan di Indonesia : Perspektif Sejarah Masyarakat Tionghoa

 

 

Kemajemukan dan sikap yang menghargai keberagaman di kalangan masyarakat Nusantara sejak dulu telah menarik perhatian para penjelajah asing.  Kepulauan yang subur dan memiliki komoditas yang banyak dibutuhkan oleh orang-orang Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan maupun Tiongkok tersebut, melahirkan emporium yang bersifat kosmopolitan. Para pedagang, tukang, guru, tentara dan penyebar agama dari berbagai negeri memilih bermukim dan beranak pinak di negeri zamrud khatulistiwa ini. Di samping itu, 17,000 pulau yang ada di Indonesia merupakan tempat hidup berbagai suku bangsa, yang berdasarkan survei BPS di bulan Februari 2010, berjumlah 1,128.

Tulisan ini berusaha memberikan fakta-fakta akan tersebarluasnya keberagaman dalam kanvas besar sejarah negeri ini. Kemajemukan bukanlah hal yang asing atau tidak dikenal dalam lembaran masa lalu bangsa ini. Namun, tulisan ini juga hendak mengingatkan, bahwa upaya-upaya untuk menghapuskan keberagaman tersebut pun seringkali muncul. Penyajian pelbagai data historis di sini ingin menunjukkan, bahwa keberagaman selayaknyalah dianggap sebagai rahmat, bukan sebagai fenomena yang menakutkan, yang justru bisa dikelola bagi kemajuan bangsa.

Tionghoa dan Islam

Sebagai kerajaan maritim yang hidup dari berdagang, raja dan penguasa lokal membutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian dalam manajemen bisnis. Maka kehadiran orang-orang seberang yang berniat mengabdikan diri mereka, disambut dengan hangat.    Lodewyks, yang turut dalam ekspedisi pertama Belanda ke Banten, mencatat di tahun 1596 bahwa di kerajaan tersebut terdapat orang-orang Tionghoa yang mengabdi pada raja dan sekaligus menjadi Muslim. Kyai Ngabehi Kaytsu dan Kyai Ngabehi Cakradana merupakan syahbandar Muslim Tionghoa dari Banten di abad XVII. Adipati Bangil dan Bupati Tegal adalah generasi kedua dari keluarga Han Siong Kong yang lahir di Tiongkok (1673) dan wafat di Lasem (1744). Bupati Kota Yogyakarta (1813-1831) pada jaman Sultan Hamengku Buwono II, dijabat oleh Raden Tumenggung Setjadiningrat alias Tan Jin Sing (1760-1831).

Orang-orang Tionghoa yang masuk Islam beserta keturunannya inilah yang kemudian disebut sebagai kaum “Peranakan”. Istilah ini digunakan untuk membedakan golongan tersebut dengan golongan Tionghoa non-Muslim yang dalam catatan Belanda disebut “Chinezen”. Kaum peranakan banyak tinggal di Batavia, Cirebon, Surakarta, Makassar, Sumenep dan Maluku/Banda. Di Batavia, berhubung jumlah penduduk Tionghoa Muslim cukup banyak, maka diangkatlah seorang opsir untuk komunitas ini. Kapten terakhir peranakan bernama Muhammad Japar (wafat 1827). Sejarawan Adolf Heuken menunjukkan banyak masjid di Batavia yang didirikan oleh Tionghoa, seperti Masjid Kebon Jeruk, Angke, Hidayatullah dan Krukut. Di Sumenep (Madura) arsitek Masjid Jami adalah Lauw Pia Ngo, seorang Tionghoa non-Muslim.  Sebagai tanda terima kasihnya, Adipati Sumenep mewakafkan tanah di sebelah barat keraton kepada Lauw dan keluarganya.

Perkawinan Antar (Suku) Bangsa

Para (lelaki) pendatang kebanyakan tiba tanpa disertai pendamping, maka mereka kemudian melakukan perkawinan campuran dengan perempuan setempat. Pejuang kemerdekaan asal Banda (Maluku) yang baru saja berpulang, Des Alwi Abubakar (1927-2010)  adalah contoh dari  “Indonesia Mini” yang dibangun dari keberagaman. Dalam memoarnya Friends and Exiles (2008), dia menuliskan:

Kakek saya dinamai Said Tjong Baadilla. Ibunya adalah salah seorang anggota keluarga Tay, yang dikatakan keturunan Dinasti Ming dari Tiongkok, yang menyerbu Batavia pada pertengahan abad ke-17 dan diasingkan ke Banda. Ayahanda Ibunya adalah pimpinan komunitas Tionghoa; salah seorang putrinya menikah dengan Montanus yang keturunan Spanyol; yang seorang lagi menikah dengan seorang Tionghoa  bernama Nio Chiu dan yang ketiga, nenek buyut saya, menikah dengan Abdullah Baadilla. Baadilla adalah suatu nama yang diketemukan di Spanyol dan Filipina, dan diduga berasal dari Maroko.

Uraian di atas menunjukkan kejayaan hibriditas di pulau rempah-rempah tersebut. Percampuran darah antara berbagai suku bangsa, maupun para pendatang dengan penduduk lokal bukanlah hal yang aneh pada masa lalu, dan kisah-kisah hibriditas seperti di Banda muncul pula di berbagai daerah.

Harian Kompas 23 Februari 2009 menampilkan figur Yasir Feri Ismatrada, pengusaha Mie Lethek di Bantul Yogyakarta. Usaha keluarga ini berawal saat kakeknya yang datang dari Hadramaut, bertemu dengan neneknya yang beretnis Tionghoa. Sang nenek yang memiliki keahlian membuat mie, kemudian memanfaatkannya untuk membantu perekonomian keluarga. Produk keluarga Arab-Tionghoa ini cukup dikenal masyarakat Yogyakarta.

Perjuangan Bersama Melawan Penjajah

Penguasa kolonial Belanda berusaha mencegah terjadinya sinergi antara berbagai suku bangsa yang bisa menggoyahkan kekuasannya. Taktik memecah belah ini sebagian berhasil, namun menariknya banyak pula contoh terjalinnya kerjasama antara berbagai golongan etnis melawan Belanda. Pada tahun 1740-1743 pasukan Tionghoa dan laskar Jawa bersama-sama mengangkat senjata untuk mengusir Belanda. Menurut Daradjadi dalam Perang Sepanjang (2008), dari segi jumlah personil dan luas geografi, cakupan perang tersebut lebih luas dibanding Perang Diponegoro (1825-1830). Sayang sekali, siasat devide et impera berhasil mematahkan perlawanan gabungan tersebut.

Orang-orang Tionghoa pun memberikan dukungan terhadap pergerakan nasional. Kwee Kek Beng, Pemimpin Redaksi Sin Po (harian dan majalah berbahasa Melayu Tionghoa yang sangat populer), menulis bahwa di akhir dekade 1920-an Bung Karno mendatangi Sin Po untuk mendapatkan dukungan. Patut diingat bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut.

Sumbangsih Tionghoa dalam bidang militer antara lain adalah Mayor (AL) John Lie (Jahja Daniel Dharma). Sebagai seorang nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan yang amat dibutuhkan dalam melawan Belanda. Daerah operasinya cukup luas, meliputi Manila, Penang, Bangkok, Rangoon, New Delhi dan Singapura. Saat Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda, John Lie berhasil menembus kepungan itu dan mendapat julukan “Nakhoda Terakhir Republik”. Akhirnya John Lie diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan Pemerintah RI atas jasa-jasanya yang luar biasa.

Perempuan Tionghoa ternyata mampu menjadi inspirasi bagi para perempuan dari etnis lainnya. Salah satu contoh yang jelas adalah kesaksian pahlawan nasional kita, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dalam surat bertanggal 17 Juni 1902:

Di surat kabar, baru saja saya baca bahwa beberapa anak perempuan Cina mengajukan agar mereka diperbolehkan turut menempuh ujian guru. Hura! Untuk kemajuan!  Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! 

Saya mendapat semangat dan harapan!

Ingin benar saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan mereka, jiwa mereka!

Selamanya saya ingin mempunyai teman Cina! Saya ingin benar hendak mengetahui hidup kejiwaan anak perempuan Cina semacam itu! Pasti banyak keindahannya!

Nampak jelas bahwa aktivitas mereka tidak hanya bergaung pada kaumnya saja, namun mampu menembus sekat-sekat rasial dan budaya, serta  menyemangati Kartini untuk terus mengejar kemajuan bagi bangsa dan kaumnya.

Serangan pada Kemajemukan

Menurut Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia (1984), seiring dengan makin intensifnya penetrasi kolonial, sejak abad XVIII beberapa kali pimpinan VOC mengeluarkan larangan kepada golongan Cina memeluk agama Islam, atau mengasimilasikan diri dengan penduduk pribumi. Untuk lebih memperketat pengawasan, perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang Belanda pada abad XVIII. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah.

Semakin dalamnya keterlibatan orang Tionghoa dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa, khususnya penarikan pajak atas gerbang tol dan penjualan candu di abad XIX, menyebabkan mereka dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Maka Pangeran Diponegoro mengumumkan bahwa orang Tionghoa adalah salah satu target Perang Suci yang akan dikobarkannya. Mereka akan dibinasakan apabila tidak bersedia memeluk agama Islam, seperti terekam dalam Babad Diponegoro

Lebih khusus lagi, Diponegoro menjadikan pergaulan dengan perempuan Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekalahannya serta iparnya. Malam sebelum pertempuran, mereka melakukan perselingkuhan dengan nyonya Tionghoa. Tidak bisa menerima kekalahan, mereka mencari kambing hitam dan para perempuan itu mudah sekali dijadikan sasaran. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 Denys Lombard, memberikan komentarnya tentang “gagasan yang sepenuhnya rasialis itu” sebagai berikut:

Mungkin, yang lebih parah …adalah ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan oleh Diponegoro dan para pengikutnya: orang Cina tidak sekedar dimasukkan dalam kategori orang kafir, tetapi pengikut Diponegoro juga secara resmi dilarang kawin dengan wanita Cina maupun untuk mengambil wanita peranakan sebagai selir.

Dengan demikian gagasan ideal tentang pernikahan campur Tionghoa-Jawa menjadi musnah. Seperti yang diceritakan Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa (2008), maka muncullah mitos untuk membuat lelaki Jawa takut menikahi perempuan Tionghoa, dikarenakan ‘abu” orang Tionghoa lebih tua, sehingga nanti anak-anak hasil percampuran itu akan lebih dominan sifat Tionghoa-nya. Maka oleh lingkungan sekitarnya orang Tionghoa makin didorong untuk menjadi ‘orang asing’ (outsider) dan hal ini makin mengukuhkan posisinya yang rentan sebagai ‘minoritas perantara’.

Di masa Orde Baru, diciptakanlah “hantu” bernama SARA (Suku-Agama-Ras dan Antar Golongan) yang tabu dibicarakan di publik. Muncullah tekanan dari pemerintah untuk mengasimilasikan golongan Tionghoa, mereka dipaksa untuk mengganti nama asli mereka menjadi nama Indonesia; perayaan budaya dan bahasa Tionghoa juga secara resmi dilarang. Kejatuhan Orde Baru membuka keran-keran keberagaman yang selama ini dibungkam. Namun masa Reformasi ini pun masih diwarnai konflik etnis dan agama, serta berbagai upaya pemaksaan menuju ke keseragaman atas nama agama atau ideologi.

Penutup

Dari uraian di atas, nampak bahwa suasana kemajemukan tidaklah selalu berlangsung nyaman, karena seringkali mendapat serangan, baik dari rezim penguasa atau kelompok-kelompok penekan, Namun sejarah juga menunjukkan bahwa keberagaman tidak pernah mati di bumi ini, karena masih banyak golongan masyarakat yang memperjuangkannya secara konsisten.  Perpaduan berbagai aspek budaya positif dari berbagai etnis dan suku bangsa itu, mewujudkan apa yang digagas Eddie Lembong sebagai “penyerbukan silang antar budaya” (cross cultural fertilization), yang nantinya akan membentuk suatu budaya Indonesia baru yang harmonis, makin maju dan makin unggul.

Bagi umat Kristiani, dalam Lukas 10: 36-37, Yesus telah menegaskan bahwa penilaian atas diri seseorang bukanlah berdasarkan etnisitasnya, namun dari perbuatannya. Ini adalah pesan penting untuk kehidupan di tengah masyarakat multi kultural.  Dewasa ini mulai diupayakan pendidikan berwawasan multikultural di sekolah lanjutan. Alangkah baiknya, apabila dalam pemaparannya disajikan contoh-contoh dari masa lalu. Sejarah harus selalu dikaji ulang untuk bisa menjawab berbagai permasalahan aktual, termasuk permasalahan integrasi nasional dan multikulturalisme. Untuk itulah, pendapat Koentjaraningrat, bahwa kajian sejarah mengenai hubungan antar etnik akan sangat berguna bagi negara Indonesia yang multi etnik ini, perlu terus disuarakan.**

Penulis

Didi Kwartanada adalah sejarawan, kandidat Ph.D dari National University of Singapore (NUS). Saat ini bekerja sebagai staf di Yayasan Nabil, Jakarta.