info@leimena.org    +62 811 1088 854
Suara Pembaruan 19 Mei 2010

RPJPN Sebagai GBHN

oleh drs. Jakob Tobing, M.P.A.

Beberapa hari belakangan, wacana tentang perlunya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan berita utama koran ini. Topik ini rupanya merupakan salah satu topik yang didiskusikan saat kunjungan kerja Pimpinan MPR ke Redaksi Suara Pembaruan.

Tanpa garis-garis besar daripada haluan negara, pembangunan kita memang terkesan berlangsung tanpa arah yang jelas, yang dapat diikuti masyarakat. Sepertinya pembangunan kita tidak mempunyai visi dan sekadar bereaksi terhadap persoalan dan keadaan di lapangan. Terputus-putus, terpencar-pencar, tidak komprehensif, tidak ada yang dapat dijadikan tolok ukur sampai di mana pencapaian pembangunan pada suatu waktu dan bilamana ada, apa kegagalannya.

Kita memang mempunyai UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), tetapi karena isinya tidak selengkap GBHN masa pemerintahan Presiden Soeharto, atau tidak seperti Rencana Pembangunan Semesta Berencana era Presiden Soekarno, hampir tidak mungkin diketahui posisi pembangunan sekarang ini.

Dalam kaitan itulah, sebuah garis-garis besar daripada haluan negara, tanpa harus bersikap sentimental terhadap apapun namanya, yang menjadi pegangan presiden dan semua pihak memang sangat diperlukan. Perlu sebuah rancangan yang disusun secara sistematis, yang menjabarkan keinginan dan harapan kita secara terukur, realistis, dan penuh perhitungan.

Merencanakan Pembangunan
Perubahan UUD 1945 melalui amendemen tahun 2001, telah menghilangkan fungsi dan kewenangan MPR untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Hal itu sejalan dengan dipulihkannya kedaulatan, yang tadinya dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, kembali ke tangan rakyat untuk dilaksanakan menurut UUD. MPR tidak lagi menjadi pelaksana sepenuhnya (locus) kedaulatan rakyat.

 

Dengan perubahan itu, Indonesia telah pulih menjadi negara demokrasi dalam arti sebenarnya, sesuai dengan nilai-nilai Pembukaan UUD 1945. Fungsi dan kewenangan MPR telah berubah, terbatas, jelas, dan tertentu. MPR tidak lagi mempunyai kewenangan maupun tugas untuk menyusun garis-garis besar daripada haluan negara.

Pembukaan UUD 1945, yang memuat norma-norma dasar kita bernegara (Staatsfundamentalnorms) dan cara pandang bangsa Indonesia terhadap dunia (Weltanschaung), tetap dipertahankan. Pembukaan juga mengandung tujuan kemerdekaan 17 Agustus 1945, tujuan kita berbangsa dan bernegara, yang dirumuskan padat dalam kelima sila dasar negara Pancasila. Karenanya, manakala kita akan membuat rancangan pembangunan nasional, Pembukaan UUD 1945 haruslah menjadi dasar dan pedoman rancangan pembangunan nasional jangka panjang kita. Seperti yang dahulu pernah disepakati, pada hakikatnya pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila.

Presiden dapat, kalau perlu diperintahkan oleh UU, membuat RUU tentang RPJPN, misalnya 2011-2034, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), katakanlah 2011-2014, seturut dengan masa jabatan presiden sekarang. Untuk memulainya, Presiden dapat mengundang musyawarah nasional untuk pembangunan serta membentuk tim ahli dari seluruh disiplin terkait.

Dengan masukan itu, RUU RPJPN dirancang sesuai dengan pesan Pembukaan UUD 1945, dan berdasarkan perhitungan dan perkiraan keilmuan yang ketat, dalam tahapan-tahapan jangka panjang 25 tahun, dan jangka menengah 5 tahun.

RUU RPJPN disampaikan kepada DPR untuk dibahas bersama. Dalam kaitan itu, sesuai ketentuan konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus dilibatkan dalam pembahasan menyangkut materi yang terkait. Kesepakatan dan persetujuan bersama DPR dan Presiden akan dituangkan dalam UU RPJPN.

Setiap tahun Presiden mengajukan RUU APBN sebagai pelaksanaan tahunan dari UU RPJPN. Demikian pula APBD diatur untuk menyesuaikan dengan UU RPJPN.

Sebagai sebuah UU, UU RPJPN berkekuatan hukum yang cukup kuat dan mengikat semua pihak, serta dapat diberlakukan untuk jangka waktu panjang yang diperlukan. Namun, setiap 5 tahun sekali, UU RPJPN dapat direvisi sesuai perkembangan zaman. Rencana revisi dan/atau rencana pelaksanaan UU RPJPN, juga dapat digunakan sebagai bahan kampanye calon presiden menjelang pemilihan presiden setiap 5 tahun sekali.

Karakter Kekeluargaan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

 

Dari dua ayat itu, karakter utama sistem politik kita terlihat nyata. Demokrasi kita adalah demokrasi konstitusional. UUD (termasuk Pembukaan) adalah hukum tertinggi yang mengikat dan harus dipatuhi oleh semua orang. Sejalan dengan itu, semua kebijakan negara, termasuk semua peraturan perundangan, adalah untuk mewujudkan tujuan bernegara seperti yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

Dengan batasan itu, praktik demokrasi kita harus bisa menyerasikan peta dan hitungan mayoritas-minoritas dalam gelanggang lembaga politik perwakilan, dengan keharusan untuk mengikuti aturan hukum tertinggi demi menghormati hak asasi manusia, kemajemukan, dan kesetaraan.

Pada tataran teknis pembuatan UU, Presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sama kuat. Tanpa persetujuan bersama dari DPR dan Presiden, sebuah RUU tidak mungkin menjadi UU. Dalam pembuatan UU tidak ada pihak yang dapat memaksakan kehendaknya sendiri.

Dengan kata lain, demokrasi (kedaulatan rakyat) harus berjalan seiring dengan nomokrasi (supremasi hukum). Tidak bisa ada pemaksaan mayoritas, dan juga tidak bisa terjadi tirani minoritas. Dalam kaitan itu pula, kita menaruh harapan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution, yang bertugas dan berwenang untuk menjaga agar UUD dipatuhi. Dengan demikian, jelas bahwa inti hakikat demokrasi kita, setelah perubahan UUD 1945, adalah musyawarah mufakat, kekeluargaan, dan inklusif.

Kewenangan MPR
UUD 1945 juga memberi wewenang tertentu kepada MPR, termasuk untuk mengubah dan menetapkan UUD. Kita semua berpendapat, UUD bukanlah benda sakral yang tidak boleh diubah. Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, MPR dapat mengamendemen kembali UUD 1945, yang telah mengalami perubahan 10 tahun yang lalu.

Mengembalikan MPR sebagai pembuat GBHN dan sekaligus tentu menempatkan Presiden kembali bertanggung jawab pada MPR, pada hakikatnya adalah mengembalikan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Langkah itu akan mencederai hakikat reformasi dan demokratisasi Indonesia, yang telah dengan susah payah dan berhasil dilakukan.

Indonesia akan kembali menjadi negara tidak demokratis, tanpa check and balance. Hal ini tidak sepele. Komplikasinya amat luas dan sangat merugikan.

Tetapi kita percaya, MPR akan sangat bijaksana dalam menggunakan kewenangan-kewenangannya, khususnya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemantapan dan implementasi Pancasila sebagai dasar negara, kemurnian semangat UUD 45, serta kerukunan dan persatuan bangsa Indonesia yang amat majemuk ini.

Akhirnya kita bisa berharap dan percaya, Presiden akan membuat RPJPN dan mengajukannya sebagai RUU RPJPN kepada DPR dan DPD. Kita juga percaya DPR dan DPD akan mengemban tugas nasional itu dengan sepenuh hati.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena