info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011


Dampak Wacana Pembangunan dan Desentralisasi bagi Daerah Tertinggal

 

Wacana pembangunan dan otonomi daerah memiliki peran yang penting dalam pembangunan daerah tertinggal. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan pada daerah tertinggal di Indonesia, yang menurut informasi Kementerian Daerah Tertinggal berjumlah 199 kabupaten. Pengertian tentang pembangunan dan otonomi daerah serta dampaknya akan dibahas dalam tulisan singkat ini untuk pemahaman yang lebih baik dalam menangani daerah tertinggal.

Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

Pada mulanya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB, dalam dunia international dikenal dengan istilah: negara Dunia Ketiga – Third World Countries) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita. Hal ini sering dikenal dengan istilah strategi pertumbuhan ekonomi, di mana pendapatan rakyat pada sebuah negara menjadi alat ukur dalam menentukan negara maju atau NSB.

Pemikiran di atas itu didukung oleh para ahli pembangunan pada dekade 1940-an dan 1950-an. Pada masa itu munculnya teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama setiap kebijakan ekonomi di negara manapun di dunia ini (Prof.Mudrajat Kuncoro,Ph.D, Ekonomika Pembangunan – Masalah, Kebijakan, dan Politik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010, hal. 4). Walaupun ada banyak varian pemikiran, namun pada dasarnya para pemikir itu sepakat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Maka strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.

Namun memasuki akhir dasawarsa 1960-an, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development) (Prof.Mudrajat Kuncoro,Ph.D,  Penerbit Erlangga, 2010, hal. 5). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, namun tidak dapat melepaskan diri dari masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural. Sementara pembangunan berdimensi lebih luas dari sekadar peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Maka memasuki dasawarsa 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Ada yang mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Di sini pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, tetapi lebih memusatkan perhatian pada kualitas proses pembangunan. Dengan demikian pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan, setidaknya mengurangi, kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Sementara itu isu mengenai lingkungan mulai bermunculan pula dalam dasawarsa 1970-an itu. Isu itu menekankan bahwa tata dunia tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang pembangunan ekonomi dunia tidak diperhatikan. Sehingga dianjurkanlah untuk memulai melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan ini terus berkembang hingga saat ini untuk menjaga stabilitas ekosistem dan pembangunan dunia.

Jika melihat paradigma pembangunan dari beberapa masa di atas, maka terlihat pergeseran paradigma yang terjadi. Dari yang hanya terpusat pada satu sektor, yaitu ekonomi, sampai turut memperhatikan beragam sektor yang ada, bahkan ekosistem sekitarnya menjadi perhatian dalam mengerjakan pembangunan.

Pembangunan di Indonesia pun tidak luput dari paradigma ekonomi yang berkembang di dunia. Dengan pembangunan yang sudah dilakukan selama ini, tidak dapat dipungkiri telah terjadi kemajuan pada berbagai sektor, juga pada berbagai daerah. Tapi, masih ada juga daerah-daerah yang tertinggal sebagai dampak dari pembangunan itu. Daerah yang tertinggal itu bisa muncul, diantaranya karena letak geografis yang tidak menguntungkan, kualitas sumberdaya manusia yang lemah, kurang terbukanya akses untuk kemajuan, lemahnya infrastruktur, dan lain-lain.

Desentralisasi di Indonesia

Pada akhir abad 20, desentralisasi sudah menjadi trend di tingkat Internasional baik di negara maju maupun di negara berkembang (Mangara Tambunan, Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan – Menggerakkan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi Ekonomi, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal. 9). Perjalanan desentralisasi di Indonesia pun tidak dapat dipungkiri merupakan bagian dari sejarah dunia yang sedang berlangsung itu. Dalam sejarah desentralisasi, Indonesia termasuk negara yang berani mengambil resiko, secara drastis pemerintah daerah merubah model sentralisme menjadi daerah otonomi. Hal ini berdampak pada berbagai bidang kehidupan, termasuk kelembagaan, keuangan, sumberdaya manusia, dan sebagainya. Proses desentralisasi itu melahirkan peraturan hukum dalam Undang-Undang RI no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang RI no. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Menurut Ter-Minassian, yang dikutip oleh Mangara Tambunan, mengatakan bahwa urutan desentralisasi dimulai dari politik, kelembagaan, dan kemudian diikuti oleh desentralisasi ekonomi. Desentralisasi politik secara umum terkait dengan peningkatan partisipasi masyarakat melalui keterkaitan peranserta masyarakat dalam lembaga masyarakat. Desentralisasi kelembagaan terkait dengan ketentuan lembaga pemerintah dan non-pemerintah dan kerangka legal yang dibentuk. Sementara desentralisasi ekonomi berhubungan dengan alokasi, redistribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi diserahkan pada pemerintah yang lebih rendah, sementara fungsi redistribusi dan stabilisasi diserahkan pada pemerintah nasional.

Program desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memiliki keunikan dibandingkan pengalaman negara lain, karena tiga alasan utama: (1) memilih kabupaten dan kota, dan bukan propinsi sebagai unit desentralisasi pemerintahan, (2) desentralisasi dilaksanakan dalam skala nasional (terbesar di dunia), dan secara simultan dalam dua belas sektor dan dinas pemerintahan, (3) waktu pelaksanaan desentralisasi pada Januari 2001 saat program demokrasi kehidupan politik dan ekonomi masih dalam krisis dan pemulihan (Mangara Tambunan, Graha Ilmu, 2010, hal. 13-14)..

Dalam konteks Indonesia, desentralisasi adalah program yang baik, karena akan mendorong kemajuan, pertumbuhan, dan pemerataan bagi seluruh rakyat. Dalam paradigma pemerintahan lama yang sentralistik, maka aspirasi masyarakat daerah sulit untuk diserap. Dengan desentralisasi, aspirasi rakyat di daerah semakin mudah untuk diserap dan dilaksanakan.

Desentralisasi dilakukan dengan harapan supaya terjadi penataan kelembagaan pemerintah yang mengupayakan semakin dekatnya pelayanan publik dan keputusan-keputusan pembangunan ekonomi dengan kepentingan masyarakat dan pemerintah setempat. Artinya di sini bahwa kesenjangan antara aspirasi rakyat dengan wujud pelaksanaannya harus semakin kecil bahkan dapat dihilangkan. Hal ini menuntut kualitas wakil rakyat (yang berada di parlemen lokal dan nasional) dan aparat pemerintah daerah (pemda) untuk memformulasikan aspirasi masyarakatnya, dan mewujudkan dalam program-program pembangunan yang sesuai.

Dampak Wacana Pembangunan dan Desentralisasi bagi Munculnya Daerah Tertinggal

Dari pemaparan di atas maka ada beberapa hal yang membuat daerah tertinggal tetap ada, yaitu:

  1. Wacana pembangunan yang tidak memperhatikan karakteristik negara Indonesia sudah menyebabkan munculnya daerah tertinggal, terlepas dari sebab inheren yang ada pada daerah tertinggal itu. Seharusnya wacana pembangunan yang diterapkan di Indonesia memperhatikan kondisi geografis dan karakteristik daerah yang ada. Sehingga pengembangan daerah selalu berhubungan dengan karakteristik daerahnya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-4 dengan jelas dan utuh menjamin dan memaparkan hal tersebut.
  2. Pelaksanaan ide desentralisasi di Indonesia ternyata masih belum seperti ideal yang diharapkan. Terlihat ketidaksiapan dalam bidang politik, birokrasi, dan konsep pembangunan, dalam rangka menyerap aspirasi rakyat dan pemerintah setempat, serta peningkatan kualitas layanan publik bagi rakyat. Tidak heran bahwa setelah berjalan satu dasawarsa, ternyata daerah tertinggal di Indonesai masih cukup banyak.

Kesimpulan

Melalui uraian singkat di atas, terlihat beberapa hal perlu dilakukan jika menginginkan perbaikan signifikan pada daerah tertinggal, yaitu:

1. Penataan Visi Pembangunan Nasional.

Visi Pembangunan Nasional mestinya tetap mengarah pada visi pemerintah Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah berarti selama ini telah terjadi penyimpangan? Tidak. Tetapi pelaksana visi di lapangan dalam hal ini Presiden hingga Gubernur, Bupati, dan Walikota sepertinya kurang menjabarkan hal-hal tersebut dengan detail dalam program kerja yang dilakukan. Dengan visi di atas, maka salah satu tugas dan tanggungjawab mendasar dari para pemimpin itu ialah membangun dan membawa daerah terkebelakang ke daerah yang lebih maju, mengurangi jumlah orang miskin, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendidikan dn kesehatan masyarakat, dan seterusnya.  Jika dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-sungguh maka daerah terkebelakang akan mengalami penurunan jumlah yang signifikan dalam satu dasawarsa ini. Namun realitas yang ada belum menunjukkan hasil demikian.

Wacana pembangunan yang diusung pun perlu memperhatikan hal ini. Perlu penyesuaian dari teori-teori yang akan dipakai, sehingga ketika diterapkan dapat sesuai dengan konteks yang ada di negara yang berbentuk kepulauan ini.

2. Penataan Aturan Yang Mendukung Pelaksanaan Visi.

Untuk dapat melaksanakan visi tersebut, maka perlu didukung dengan seperangkat aturan-aturan hukum yang sesuai dan tepat. Jika menyimak hal itu, maka aturan hukum untuk mengakomodir percepatan pembangunan pada daerah tertinggal belum ada. Maka aturan ini perlu dibuat untuk mendorong terjadinya percepatan pembangunan pada daerah tertinggal.

3. Penataan Organisasi Yang Melaksanakan Visi.

Pada bagian ini perlu dibangun organisasi yang tepat sasaran untuk dapat mengakomodir visi dan aturan hukum yang telah dibuat. Organisasi yang dibangun perlu mengakomodir prinsip desntralisasi yang dikembangkan sesuai dengan aturan pembagian yang sudah ditetapkan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam realitanya memang belum demikian.

Organisasi politik dalam hal ini partai politik, masih menganut prinsip sentralistik, belum menganut desentralisasi. Tidak heran muncul peristiwa pemilihan kepala daerah yang bermasalah karena aspirasi rakyat di daerah berbeda dengan aspirasi pemimpin partai di pusat.

Organisasi pemerintahan juga mengalami kesulitan dalam pengembangan sumberdaya manusia yang ada. Dalam sistem sentralistik yang lampau, pada tingkatan tertentu birokrat berkualitas sudah berada di pusat, sementara di daerah tidak terlalu banyak. Dalam era desentralisasi ini, komposisi jelas berubah. Daerah pun membutuhkan birokrat yang berkualitas untuk tetap menjalankan roda pemerintahan dengan baik.

Organisasi pembangunan pun perlu mengalami penataan yang lebih baik, sehingga percepatan pembangunan di daerah dapat cepat terjadi, tanpa harus melalui proses birokrasi yang panjang dan berbelit.

4. Aspirasi rakyat dan swasta perlu dikembangkan.

Dalam melaksanakan pembangunan, sudah saatnya tidak menunggu pemerintah yang bergerak untuk memulai. Dalam sistem sentralistik lampau, segala sesuatu dimulai dari pemerintah. Namun dalam sistem desentralisasi ini, aspirasi rakyat dan swasta perlu didorong untuk bertumbuh dan berkembang, tanpa menanti pihak pemerintah.

Hal ini akan sangat menolong, karena pemerintah mengalami banyak keterbatasan, misalnya dari segi sumberdaya manusia, pendanaan, pengorganisasian, dan lain-lain.

Keterlibatan rakyat dan swasta yang aktif tentunya akan menghasilkan ide-ide baru dalam pengelolaan daerah masing-masing, khususnya jika berbicara dalam konteks daerah terkebelakang, misalnya tentang pendanaan pembangunan, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan sumberdaya alam, dan sebagainya.**

Penulis

Reza Tehusalawany, S.E. adalah staf Perkantas Sulawesi Selatan yang juga aktif di Lintas Pikir Intelek Muda (LPIM) dan sedang melanjutkan studi pascasarjana di Jakarta.