info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 2, Okt 2011


Perempuan di Pedalaman Papua: Pengamatan di Dabra – Mamberamo

 

Saat ini Papua sudah ada di tengah-tengah program Otonomi Khusus (Otsus) selama 8 tahun, dihitung sejak tahun 2003. Sejak pemberlakuan Otsus, keadaan makin makin membaik. Orang Papua bisa ditemui di mana-mana di seantero wilayah negeri ini. Indonesia bukan lagi tempat asing yang menakutkan.

Sebelum Dan Setelah Ada Otsus   

Meskipun keberadaan Otsus terus dihantam kritik – terutama dari dalam – tapi harus diakui, bahwa bagaimanapun, Otsus telah ‘membuka’ hutan lebat pedalaman, sehingga warga bisa ke luar menyeruak melihat bagian lain dari negri ini. Keadaan Papua 10-20 tahun yang lalu sangat jauh berbeda. Sebelum ada Otsus, tepatnya dalam pemerintahan Presiden Suharto, Papua tampil sebagai wilayah tertutup: seram, sulit, berbahaya, penuh kekerasan, dan sangat tertinggal. Bahkan warga Papua menjadi sangat minder, sangat apatis, dan kepahitan: tidak pasti mau ke mana. Tidak pasti, apakah ke depan hidup mereka akan berubah meningkat atau sama saja.

Pemerintahan Orde Baru PresidenSuharto sangat ketat mengawasi gerak masyarakat. Demokrasi tidak ada. Sebaliknya, DOM (Daerah Operasi Militer) diberlakukan untuk waktu yang cukup lama. Semua pembangunan dikerjakan dari dan oleh pusat. Tidak ada komunikasi di antara stakeholders. Kalau ada pembangunan, maka itu adalah upaya mendukung kepentingan pusat. Freeport dibangun, tanpa rakyat tahu apa yang terjadi. BP Tangguh dibangun tanpa masyarakat tahu apa dan untuk siapa. Pembangunan infrastruktur tak begitu nampak. Di bidang suprastruktur,  ‘keamanan’ lebih dipentingkan. Entah apa yang dikhawatirkan, yang jelas orang kampung banyak menjadi korban: peluru nyasar, salah tangkap, terror, interogasi, dan lain-lain. Program politik nampak lebih menonjol ketimbang program pemberdayaan masyarakat sipil.

Masuk era Otsus, keadaan jauh berbeda. ‘Papua for Papua’ dirasa menjadi hal penting yang harus dikawal. Meski banyak dicibir oleh orang lain, tapi keberadaan Otsus patut disyukuri. Ada perhatian yang lebih serius dari pusat. DOM dicabut; masyarakat sipil lebih punya ruang. Apalagi Presiden Gus Dur dengan tanpa beban menyilahkan warga Papua mengganti nama panggilan ‘Irian Jaya’ dengan ‘Papua’. Dari sejak itu ‘kegerakan’ Papua tumbuh pesat dengan tak terbendung. Dewan Adat, MRP, berbagai forum sipil, LSM, dan lain lain muncul subur menjadi ajang civil education. Orang mulai tampil memimpin: menjadi Menteri, menjadi Bupati, menjadi Kepala Distrik, kepala sekolah, Rektor, Sekda, direktur bank, dan lain-lain jabatan, baik di sektor pemerintahan maupun publik.

Pemberdayaan Perempuan  

Dulu perempuan menempati posisi lebih tinggi dari jumlah laki-laki. Ini karena banyak laki-laki jadi korban DOM: kekerasan dari TNI ‘penjaga keamanan’ mengurangi jumlah laki-laki secara mencolok. Ini terjadi di pegunungan tinggi Paniai atau Arfak Manokwari, maupun di lembah datar Merauke, dari ujung barat sampai jauh ke timur di Sota, perbatasan dengan Papua New Guinea.

Di masa Orde Baru, laki-laki banyak yang lari bersembunyi di hutan. Termasuk orang-orang suku Dasigo, banyak yang menyusuri sungai besar Mamberamo, menyusup masuk ke wilayah PNG. Kaum perempuan hidup menanggung keluarga tanpa berharap pada bantuan kaum lelaki.    Bersama nenek yang sudah lanjut, kaum perempuan terbebani dengan tugas-tugas keluarga yang cukup berat karena kondisi medannya, seperti hutan yang lebat, sungai yang penuh buaya, jalan yang terjal, dan peralatan yang masih terbatas seperti parang, tuk-tuk (perahu kecil),dan sebagainya. Tugas perempuan adalah menyediakan kayu bakar, mencari ubi, mengambil air, mengolah sagu, dan menjaga anak-anak kecil.

Sampai kertas ini ditulis, suku Dasigo dan beberapa suku yang lain masih nomaden. Mereka bergerak dalam keluarga besar, mulai kakek sampai dengan cucu.  Perempuan dan anak-anak menjadi penduduk yang sangat rentan: kelelahan berjalan naik turun bukit berhari-hari sambil menggendong bayi dalam noken, mengusung kayu di kepala, menyusui, memasak makanan, dan mengasuh anak-anak yang lain.

Kepada kaum perempuan, juga diperkenalkan pengetahuan dasar tentang hidup berumah tangga: arti keluarga, arti rumah, dan sebagainya. Nampaknya masyarakat Dasigo belum tertarik tentang hal ini. Masih dibutuhkan contoh yang konkrit. Karena itu, lewat Dinas Sosial, dibangun beberapa rumah untuk mereka. Sayang terlalu kecil sehingga mereka tidak tertarik untuk masuk ke dalamnya. Apalagi modelnya sangat berbeda dari selera mereka.

Mengolah makanan juga hal yang belum dikenal. Mereka baru tahu membakar saja. Pemerintah sendiri kurang memperhatikan pemberdayaan; terbukti dari tidak diperlengkapinya masyarakat dengan alat-alat rumah tangga dasar yang diperlukan.

Pendidikan

Di bidang pendidikan, perempuan bukannya didiskriminasi seperti jaman Kartini atau Siti Nurbaya, melainkan ‘terjebak’ dalam diskriminasi karena struktur masyarakat. Tradisi nomaden membuat mereka sangat sibuk dan lelah. Setiap kali harus ‘bongkar pasang’ gubuk. Kesempatan menambah pengetahuan menjadi terlewat begitu saja. Anak-anak tidak punya kawan yang permanen, sebab harus mengikuti orangtua bergerak. Otomatis sekolah juga tidak terpikirkan.

Semua yang sifatnya menaikkan pengertian, pengetahuan, diperoleh dari gereja. Di gereja warga saling membagi informasi, pengetahuan, dan belajar memperbaiki perilaku. Ketika guru jemaat membaca Injil, semua mendengar dengan tekun; entah mengerti atau setengah mengerti. Terkadang mereka juga sulit menemuka gereja yang bahasanya mereka mengerti. Kebanyakan gereja di pedalaman dirintis oleh misionaris Amerika. Seperti di Dabra, gereja yang ada adalah Gereja Kingmi (Kemah Injil gereja Masehi Indonesia) dengan pengantar Wamena. Otomatis orang Mamberamo tidak paham.

Di sekolah, murid-murid yang berumur di atas 12-13 tahun umumnya sudah mengalami kehidupan seksual dewasa, bahkan ½ atau bahkan 2/3 dari mereka sudah punya anak. Untuk anak perempuan, bayi-bayi itu mereka serahkan kepada mama mereka, dan mereka membantu sekedarnya seperti memandikan atau mencarikan ubi. Untuk yang laki-laki, mereka tidak peduli apabila pacar mereka menjadi hamil. Di kelas di mana saya ikut mengajar, saya temukan seorang remaja laki-laki 14 tahun yang sudah punya 3 orang anak.

Dengan berlakunya Otsus, anak-anak Mamberamo (terutama remaja, 14-20 tahun) sangat bersemangat untuk datang ke kelas. Bukan ilmu yang mereka utamakan, melainkan keinginan untuk bisa membaca dan menulis, dan punya ‘kertas lulus’ dengan foto di ujung bawah kiri. Mengapa? Sebab kertas itu bisa membuatnya kerja berupah di kantor apa saja. Pendidikan baca-tulis saat ini bisa membawa mereka kerja di lingkungan airport (jadi porter, tukang ambil karcis parkir, mencatat barang, dll), di kantor-kantor, dan di lingkungan gereja (mengerjakan administrasi sederhana). Otsus membuat mereka lebih berpeluang dalam arti untuk kerja-kerja kecil itu tersedia dana untuk upahnya.

Dengan bisa membaca, menulis, dan berbahasa Indonesia, warga pegunungan tidak lagi terkurung di hutan. Bila pesawat Cessna datang seminggu sekali, mereka bisa turun membayar 400-600 ribu Rupiah ke Jayapura. Mereka tak minder lagi tampil di tempat-tempat umum sebab sudah bisa menjawab pertanyaan dari orang-orang lain yang bukan satu suku.

Dengan bantuan CI (Conservation International), dibuat terobosan dengan memberikan pendidikan baca-tulis pada masyarakat (meliputi 3 desa) selama 1,5 bulan. 65% Pesertanya adalah perempuan. Sepanjang sejarah mereka bergabung denga RI, hal seperti ini belum pernah terjadi. Sangat mengharukan menyaksikan mereka menulis dan mengeja kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Kesehatan 

Karena tugas laki-laki adalah perang atau menjaga keamanan terhadap musuh dari luar, maka otomatis perempuan menjadi pendukung domestik yang utama: menjaga ketersediaan pangan, menjaga kesehatan anak, dan menyediakan tubuhnya bagi alat reproduksi. Saking beratnya beban, ia menjadi over-loaded dan pada ujungnya adalah kerentanan. Bila malaria datang menyerang, biasanya bila air pasang naik, mama-mama ini tumbang: terbaring selama 2 minggu, dan kalau tak kuat, maut mengakhiri hidupnya. Kalau sudah begini, semua yang jadi tanggungannya diambil-alih oleh keluarga perempuan lainnya.

Perempuan nampak lebih tua dari usianya. Mereka sangat repot dengan tugas-tugas rumah tangga, kurang istirahat, kurang mengurus diri. Dengan 2-5 kali melahirkan, tubuh mereka makin tersedot karena makanan waktu hamil sama dengan ketika tidak hamil. Di Dabra, mama-mama mengasuh banyak anak; bukan hanya anak kandung, melainkan juga anak dari anaknya (cucu yang dilahirkan oleh anak yang masih remaja), dan anak-anak lain yang ditinggal mati oleh ibunya (biasanya masih sekeluarga). Karena banyak mulut yang harus diurus, maka mencari makan bisa menyita waktu sepanjang hari.

Ada pemandangan yang sedih di Dabra. Ketika seorang ibu akan melahirkan, ia berjalan tertatih-tatih turun ke dalam sungai, mencari jejakan yang kokoh di atas batu yang ada pohon di sampingnya untuk pegangan. Ia berdiri di atas aliran air yang cukup deras sambil menahan sakit menunggu pembukaan rahim. Tanpa teman. Ketika bayi ke luar, dia harus bergegas meraihnya, sebab agak jauh di bawah, buaya sudah menunggu. Setelah itu si-ibu berjuang sendiri membereskan persalinannya, memotong tali placenta, dan lain-lain. Sangat pilu dan menegangkan menyaksikan hal ini. Di manakah dokter atau paramedik?

Di distrik Dabra, ada Puskesmas, dibangun tahun 2006 yang lalu. Tapi menengok ke dalamnya, sungguh menyedihkan. Saya temukan 2 pasien: 1 orang mama mengerang-erang karena maag kronis/gastritis, 1 orang ibu muda demam tinggi malaria. Di bed yang lain, 1 pace dengan hernia yang sudah membusuk. Petugas penjaga tidak ada, perawat tidak ada, dokter tidak ada, semua tidak ada. Keluarga pasien juga sedang pergi; mereka mandi atau mencari makanan atau apa. Puskesmas itu ‘kering’ sekali.

Saya datang ke situ pada pukul 3 sore, di mana Puskesmas sudah tutup. Puskesmas Dabra memilikir 6 bed dengan busa tipis berbungkus perlak biru tua. Bukan hal aneh tak ada petugas di situ. Dokter memang ada di kertas, tapi orangnya ada di Biak bersama keluarga. Sepanjang 1 tahun di Dabra, saya baru jumpa dia 1 kali: Agustus. Bulan Agustus ‘mewajibkan’ para birokrat ikut upacara bendera.

Pertolongan kesehatan lebih sering didapatkan dari gereja. Mendatangkan dokter, mengangkut obat dari kota, dilakukan oleh para misionaris. Susy Air, Yajasi dan MAF/Mission Aviation Fellowship sangat menolong. Bila ada orang yang mendadak sakit keras, tanpa bertanya ini itu, mereka langsung menerbangkannya ke Rumah Sakit terdekat; biasanya di RSUD Doyo – Sentani.

Dana Pembangunan Kampung yang dibagikan oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu sebesar Rp. 100 Juta tidak digunakan sebagaimana diharapkan. Di Dabra, dana itu diserahkan pada pemborong setempat (haji asal Makasar) untuk membuat jembatan  yang menghubungkan sisi kiri dan kanan sungai di kampung itu. Seorang teman mengatakan bahwa harga pekerjaan itu paling banter hanya Rp.40-an Jt. Tapi mata saya menilai harga jembatan itu hanyalah Rp.15-20-an jt sebab masyarakatlah yang mencari kayu dan membelahnya. Sesungguhnya, pembangunan ‘Rumah Singgah’ dengan akses air bersih jauh lebih penting. Di sini perempuan bisa menaruh anak-anaknya dan mengurangi laju nomaden. Sayang ini belum terpikirkan.**

* Dabra adalah sebuah distrik kecil di Kabupaten Mamberamo Raya.  Penduduk Dabra ada sekitar 300-an orang. Saya tinggal bersama mereka.

Penulis

Dr. Antie Solaiman adalah Ketua Pusat Studi Papua, Universitas Kristen Indonesia (Jakarta).