info@leimena.org    +62 811 1088 854
IL News 025/2020

Bagi kebanyakan orang, mata kuliah Pancasila masuk dalam skala prioritas rendah–jika tidak dianggap penting. Pandangan yang tak sepenuhnya bisa disalahkan, karena ia lahir dari pengalaman sebelumnya yang mempelajari Pancasila sebagai sebuah hafalan. Ini sudah rahasia umum! Negara menyadarinya, hingga berupaya untuk terus menguatkan pemahaman ber-Pancasila melalui sektor pendidikan dan ruang-ruang publik.

Institut Leimena pun menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, dalam pemelajaran Pancasila di Sekolah Tinggi Teologi Seminari Alkitab Asia Tenggara (STT SAAT), Institut Leimena berupaya untuk menghadirkan Pancasila sebagai dialog, yang berujung pada tindakan aksi. Proses perkuliahan di STT SAAT yang diampu oleh Budi H. Setiamarga, Daniel Adipranata, dan Puansari Siregar, diselenggarakan secara daring.

Institut Leimena mengajak peserta untuk memahami Pancasila dengan menggali intensi awal Pancasila sebagaimana yang dimaksudkan Soekarno pada pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Ketuhanan bukan berarti menyembah Tuhan yang satu, melainkan kebebasan bertuhan dengan cara beradab. Kemanusiaan Indonesia adalah kemanusiaan nasionalisme yang juga mengindahkan internasionalisme. Demokrasi politik harus diimbangi dengan demokrasi ekonomi, di mana demokrasi harus beriringan dengan kesejahteraan.

Gagasan dasar negara tersebut dijadikan mahasiswa sebagai pisau untuk menganalisis problem hidup bersama di Indonesia. Dalam diskusi dan tugas-tugasnya, mahasiswa diajak untuk menganalis kebijakan pemerintah, relasi antarwarga, dan kasus lain yang menyangkut kemaslahatan hidup bersama dengan menggunakan perspektif Pancasila.

Pancasila juga selaras dengan iman Kristen. Ia adalah pernyataan kasih dalam ruang publik. Mahasiswa belajar mempraktikkannya dengan menerjunkan diri untuk berjumpa dengan sesama yang ada di lingkungan sekitarnya. Mahasiswa diminta untuk berjumpa dengan sesama, mendengar ceritanya, lalu merefleksikan maknanya bagi peran mereka sebagai mahasiswa dan calon rohaniwan.

Menyapa seorang ibu pedagang asongan di depan supermarket, menyapa petugas keamanan di kompleks perumahan yang mengalami pemotongan gaji karena terdampak pandemi Covid-19, menyapa tetangga yang kesepian, menyapa penyintas konflik Ambon, menyapa teman yang mengalami stereotip, dan lain-lain. Inilah sebagian perjumpaan yang dialami oleh mahasiswa, upaya mereka untuk membumikan Pancasila di bumi Pancasila.

Tentu saja, perjuangan mendaratkan Pancasila tidak pernah mengenal kata tuntas. Ia adalah prinsip yang harus terus menerus dimaknai dan diwujudkan sebagai praksis hidup. Pancasila adalah narasi, juga aksi.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena