info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 2, Agust 2010


Fungsi Kritis Pancasila Terhadap Hukuman Mati

 

 

Sebagai falsafah dan ideologi negara yang merupakan cita-hukum dan cita negara (rechtsidee en staatsidee), Pancasila merupakan sekumpulan nilai-nilai yang dianut serta yang menjadi pedoman, inspirasi, dan penerang jalan menuju tujuan negara. Karena itu Pancasila memiliki fungsi kritis terhadap semua kebijakan publik yang diambil, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menata ketertiban masyarakat, maupun terhadap program-program sosial, ekonomi, dan budaya  yang perlu untuk  mencapai tujuan negara.

Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang diakui dalam sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini, meskipun kontroversi mengenai keabsahannya dilihat dari konstitusi dan dasar negara masih berlanjut.  Sebagai konsekuensi logis dari Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,   Indonesia telah secara menyeluruh  memuat hak-hak asasi manusia dalam UUD’45.  Selain itu, Indonesia pun telah menyepakati perjanjian internasional tentang hak-hak asasi manusia, terutama International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)  yang telah menjadi bagian hukum nasional dengan ratifikasi kedua instrumen HAM tersebut.  Semuanya menjamin hak hidup manusia sebagai hal yang tidak dapat dikurangi dalam cara apapun (non-derogable rights).

Namun,  posisi hukuman mati dalam sistem hukum  pidana Indonesia masih belum berubah secara berarti. Padahal, negara-negara yang tidak mengenal Pancasila secara perlahan sudah bergerak ke arah penghapusan (abolisi) hukuman mati, baik atas dasar keterikatan pada instrumen hak asasi manusia yang telah disepakati, maupun atas dasar teori pemidanaan baru bahwa pembalasan bukan menjadi tujuan. Apalagi hasil penelitian menunjukkan bahwa  hukuman mati tidak berhasil menjadi  deterrence terhadap kejahatan. Tetapi hasil penelitian tersebut sering diabaikan. Banyak pihak di Indonesia yang  bersikukuh bahwa prevalensi kejahatan dengan masih adanya hukuman mati pun masih tinggi, apalagi kalau hukuman mati dihapuskan.

Uji Konstitusionalitas Hukuman Mati

Telah terjadi perdebatan uji konstitusionalitas hukuman mati di Mahkamah Konstitusi RI dengan berpusat pada sila pertama Pancasila. Baik ahli yang diajukan pemerintah untuk mempertahankan hukuman mati maupun ahli yang diajukan pemohon yang menghendaki ditiadakannya hukuman mati,  mempersoalkan apakah berdasarkan filosofi dan orientasi nilai Pancasila,  hukuman mati layak diperkenankan. Terjadi polarisasi dalam hal ini.

Di satu sisi, muncul argumen yang  berdasar ajaran agama. Argumen ini lalu ditolak oleh Prof. Dr. J.E. Sahetapy dengan alasan Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama.  Tapi kemudian terjadi perdebatan, karena Sahetapy sendiri mengutip Injil Matius tentang ajaran mengasihi sesama manusia. Argumen berdasar ajaran agama tentu saja membawa hasil yang  tidak selalu sama. Perbedaan segera mengemuka, karena pihak Kristiani yang menghayati ajaran untuk mengasihi sesama manusia berpendirian bahwa hukuman mati tidak mengambarkan kasih terhadap sesama seperti yang diajarkan oleh Kristus.

Ketika ahli yang diajukan pemerintah dari sisi agama Islam mengajukan Qisas sebagai dasar pembenar diberlakukannya hukuman mati, dan kemudian Prof. Achmad Ali  merujuk ayat di Perjanjian Lama sebagai dasar pembenar bahwa umat Kristiani juga membenarkan  hukuman mati dalam ajarannya, ketegangan terasa.  Setidaknya bagi saya, karena Sahetapy menganggapnya sebagai penghinaan agama.  Pertukaran pendapat yang agak menegangkan itu segera mengingatkan kita kepada analisis  Eka Darmaputera tentang pendekatan “ini atau itu” terhadap Pancasila yang dipandang tidak tepat. Seharusnya, menurut Eka, kita menggunakan pendekatan “bukan ini dan bukan itu”.

Dari catatan pandangan Muhammad Nasir dan Kasman Singodimejo tentang pertemuan pendapat yang hanya mungkin dicapai dengan mengetahui secara tepat  pendapat dan ide yang harus dipertemukan, kita memperoleh penegasan bahwa dialog merupakan keniscayaan.  Toleransi dirumuskan sebagai ruang atau atmosfir dimana konfrontasi ide-ide dan pemikiran dimungkinkan. Toleransi tanpa konfrontasi bukanlah toleransi. Uji materi tentang hukuman mati di Mahkamah Konstitusi telah membuka ruang bagi hal semacam itu.

Masalahnya, satu pendekatan yang tepat dalam menafsirkan Pancasila untuk dapat disepakati sebagai payung yang cukup besar bagi  realitas  kemajemukan Indonesia yang berimplikasi pada pemaknaan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat disepakati semua komponen bangsa, haruslah menjadi konsensus bersama. Secara ilmiah penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan yang  cukup sahih, bahwa hukuman mati tidak efektif sebagai faktor prevensi kejahatan. Teori pemidanaan yang bergeser ke arah dasar peri kemanusiaan yang beradab, juga menyatakan jenis hukuman tersebut tidak sesuai dengan  filosofi yang dianut secara universal dewasa ini.

Jabaran rechtsidee sebagai orientasi nilai  Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD’45 dan yang  menjadi norma-norma konstitusi, seharusnya mendasari kebijakan publik tentang hukuman mati dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Sistem norma yang dibangun harus menjadi satu kesatuan sistem yang utuh dan serasi dengan pandangan hidup, filosofi, dan nilai-nilai yang menjadi  ideologi bangsa dan negara  dalam Pancasila yang telah disepakati. Secara kritis, semua kebijakan publik dapat dilihat dari tolok ukur sila-sila Pancasila.

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemajemukan, dan Konsensus

Masyarakat majemuk yang hendak dipersatukan dalam kesatuan,  keseimbangan, dan keselarasan  yang serasi seperti dicerminkan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” mengalami hambatan mendasar, jika dialog berkelanjutan secara toleran untuk membangun konsensus tidak dilakukan. Sila Pertama Pancasila boleh jadi justru menjadi   hambatan yang besar jika pendekatan yang dilakukan, seperti yang berulang-ulang dikemukakan oleh Eka Darmaputera, adalah pendekatan “ini atau itu”.

Pancasila yang diterima dan diamanatkan para pendiri republik  ini sebagai dasar negara, tidak menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara agama, dan tidak juga sebagai negara sekuler.  Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mendorong ke arah pilihan “Tuhan agama ini” atau “Tuhan agama itu”. Konsensus yang dicapai adalah memberi ruang dan tempat bagi semua penganut agama dengan agamanya masing-masing tanpa kehilangan kebebasannya.

Jika pendekatan yang diterapkan adalah “bukan ini dan bukan itu” maka semua akan memperoleh tempat dalam wadah negara yang majemuk ini. Toleransi sebagai ruang atau atmosfir yang memayungi semua unsur dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika memberi kebebasan bagi semua untuk mengembangkan diri, sejauh tidak menghilangkan kebebasan agama komponen lainnya. Ini harus menjadi konsensus bersama. Dalam atmosfir seperti ini, kebijakan publik yang inklusif didasarkan pada kesamaan kepentingan dan tujuan, dimana semua komponen yang ada diharapkan bersedia membatasi diri masing-masing.

Kebijakan publik yang inklusif berdasar Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam pendekatan “bukan ini dan bukan itu” yang sangat saya setujui, seharusnya menghasilkan konsensus dimana kebijakan berdasarkan kepentingan dan tujuan yang sama, akan selalu mengalir dari jawaban atas pertanyaan penentu; yaitu apakah kebijakan publik yang diputuskan bertentangan dengan agama/kepercayaan tertentu sebagai komponen dalam “payung” sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan bukan dari pertanyaan apakah suatu ajaran agama memberi perintah tertentu untuk menjabarkan kebijakan publik.

Sepanjang kebijakan publik yang diputuskan tidak bertentangan dengan hak serta kebebasan orang lain dalam mengembangkan dan menjalankan ibadah menurut agama/kepercayaannya, dan merupakan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai agama, itulah ruang toleransi dalam kebersamaan serta keselarasan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila. Determinant demikian timbul karena kelima sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yang membentuk maknanya secara utuh.

Jika kembali kepada masalah hukuman mati di Indonesia, kebijakan yang diputuskan seharusnya merupakan jawaban atas pertanyaan penentu “Apakah penghapusannya bertentangan dengan ajaran agama tertentu?” Kalau pemaknaan secara utuh  kelima sila Pancasila menjadi tolok ukur kebijakan publik yang akan diputuskan, memberi jawaban atas pertanyaan sensitif bahwa  kebijakan publik demikian tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun, kita akan tetap survive dalam kesatuan  yang beragam, secara serasi dan selaras, sebagai bangsa dan negara. **

Penulis

Maruarar Siahaan, S.H. adalah mantan Hakim Konstitusi RI (2003 – 2009), kini menjabat sebagai Chairman Center for Indonesian Constitutional Jurisprudence (CIC-Jure).