info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 2, Agust 2010


Pembangunan yang Integralistik, Bersama UKM Sebagai Kunci Pertumbuhan Ekonomi

 

Dalam sebuah ceramah berjudul “Pandangan Umum Terhadap Konsep GBHN yang Akan Datang” yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (11 Mei 1981), Dr. T.B. Simatupang menyatakan proyeksinya mengenai pembangunan ekonomi 1983-1988.

Dr. Simatupang memproyeksikan Indonesia akan mengalami pertumbuhan sekitar 7% per tahun selama dasawarsa 80-an. Tantangan fundamental yang dihadapi adalah bahwa pertumbuhan ekonomi di dasawarsa itu sangat tergantung dari penghasilan migas. Padahal, penghasilan Indonesia dari migas diperkirakan akan menurun, sementara konsumsi minyak dan gas di dalam negeri akan terus meningkat. Itu berarti, untuk menjamin pertumbuhan yang terus-menerus sesudah pertengahan dasawarsa 80-an, Indonesia harus mengadakan berbagai perubahan struktural dalam bidang ekonomi di bagian pertama dasawarsa 80-an .

Dr. T. B. Simatupang pun menyatakan bahwa cadangan devisa Indonesia saat itu masih cukup besar dan bahkan diperkirakan masih akan terus meningkat pada bagian pertama dasawarsa 80-an. Karena itu, kendala dalam melaksanakan perubahan-perubahan struktural tadi tidak terletak pada dana, melainkan pada kekurangan kemampuan teknis dan manajemen di kalangan tenaga manusia.

Menarik bahwa Dr. Simatupang kemudian mengingatkan bahwa pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi itu haruslah merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat sesuai dengan Pancasila. Ia juga menyatakan,

stabilitas dan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dihubungkan dengan keadilan sosial saja, tapi juga dengan pengamalan semua sila dalam Pancasila.” Dengan demikian, di satu pihak kita akan dapat menghindari bahaya kegagalan pembangunan seperti yang dialami Iran, sedangkan pada pihak lain kita juga dapat menghindari pembangunan yang mencapai ‘sukses’ dalam pertumbuhan bahkan perubahan struktur ekonomi, tetapi gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis sehingga timbul negara modern, tetapi militeristis bahkan fascistis seperti yang dialami oleh Jepang dahulu dalam pembangunannya. “

Pertanyaannya, apakah peringatan dari Dr. T.B. Simatupang ini telah diterapkan?  Untuk menjawabnya secara komprehensif akan dibutuhkan sebuah tulisan yang panjang lebar, tapi secara singkat kita mengetahui bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di dasawarsa 80-an dan awal 90-an tidak diikuti oleh pembangunan kapasitas manusia dan masyarakat Indonesia secara utuh dan maksimal.

Tak heran ketika terjadi krisis ekonomi Asia (1997) yang disusul oleh resesi ekonomi dunia (2008), target pertumbuhan ekonomi Indonesia  sebesar 6 -7% per tahun tidak tercapai. Rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya berkisar di  4,5%  dan malah berkurang menjadi sekitar 3,5% di 2008. Rendahnya investasi lokal dan asing serta terbatasnya kapasitas fiskal pemerintah berkontribusi pada situasi ini. Karena itu Indonesia membutuhkan strategi industri yang baru untuk mentransformasi negara agraris menjadi negara industri yang modern dan maju.

Selain itu, telah muncul pula kemiskinan dalam bentuk baru. Sebelum krisis ekonomi 1997, kemiskinan di Indonesia identik dengan kemiskinan di daerah pedesaan (rural poverty). Tapi dalam dua dekade menjelang 1997, terjadi urbanisasi kemiskinan ke daerah perkotaan (urban poverty). Ini menunjukkan telah terjadi kegagalan di bidang pertanian dalam menyerap lebih banyak tenaga kerja, dan juga rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur dalam menyerap seluruh pekerja migran. Masalahnya, Indonesia memang sudah memiliki strategi kemiskinan di pedesaan, tapi belum ada strategi mengatasi kemiskinan di perkotaan. Karena itu membangun UKM (Usaha Kecil Menengah) di perkotaan dapat menjadi sebuah strategi baru.

Selain itu, ditemukan pula fakta menarik sebagai berikut: sebelum krisis ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran mencapai 15 juta (1996) dan menjadi 30 juta di 1998. Tetapi di 2008 ketika krisis ekonomi dunia terjadi, jumlah orang miskin berkurang menjadi ‘hanya’ sekitar 11 juta. Hal ini terutama disebabkan oleh kehadiran UKM yang mendorong terciptanya lapangan kerja.  Karena itu, UKM yang jumlahnya kini mencapai sekitar 48 juta harus diperbaiki posisinya secara ekonomis, agar dapat menjadi sebuah sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

UKM adalah bidang usaha yang sangat bergantung pada modal SDM (human capital).  Dalam mengembangkannya diperlukan strategi dan program “naik kelas” agar produktivitas UKM yang masih rendah dapat menjadi tinggi dan yang sifatnya yang terbatas serta berorientasi pasar lokal dapat diperluas ke arah pasar regional dan ekspor. Karena itulah, untuk dapat meningkatkan produktivitas UKM, pemerintah dan swasta harus bersama-sama berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan, dan dalam usaha-usaha untuk memunculkan para wiraswasta baru.

Sayangnya,  otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 telah menciptakan kondisi dimana hubungan antara pusat dan daerah menjadi sangat renggang. Akibatnya, walaupun selama krisis ekonomi Asia tahun 1997 UKM telah berperanan besar, namun pengembangannya tidak pernah ditanggapi secara serius dalam sebuah rencana strategis yang koheren.

Saya menamai situasi ini sebagai sebuah “missing plan”.  Masalah yang paling mendasar dari terjadinya missing plan ini adalah tidak adanya “ideologi kerja” di pusat dan daerah yang dapat meningkatkan produktivitas serta memodernisasi ekonomi dan mengintegrasikan pengembangan UKM.  Pemerintah mungkin sudah memiliki ide-ide brilian untuk mempromosikan pengembangan UKM,  tetapi dalam implementasinya, pemerintah kelihatannya berada dalam posisi ‘tidak punya rencana’.  Promosi mengenai UKM terjadi secara gencar karena merupakan sesuatu yang populer secara politis, tapi kebanyakan dari program-program ini tidak terkoordinasi  dengan baik, khususnya di bidang pembiayaan dengan kredit. Beberapa bahkan merupakan program ‘buang-buang uang’ saja akibat ketidak-efisienan. Menurut beberapa sumber, anggaran tahunan yang dikeluarkan oleh berbagai badan pemerintah diestimasikan mencapai lebih dari 1 trilyun Rupiah. Walaupun begitu, tidak ada evaluasi untuk mengukur efektivitas dari target yang ingin dicapai ini.

Karena itu untuk mengatasi permasalahan di seputar UKM, pemerintah perlu memfokuskan diri pada usaha-usaha untuk 1) meningkatkan pengembangan UKM secara efisien sehingga bisa kompetitif, 2) mendorong munculnya aliansi strategis antara industri-industri berskala kecil dan menengah dengan industri besar, 3) memberikan otoritas yang diperlukan dalam kerangka otonomi daerah untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik dalam mengembangkan dan memperbaiki sektor swasta, dimana pertumbuhan UKM merupakan salah satu bagiannya.

Selain itu, pemerintah daerah harus berusaha menghilangkan semua penghalang pertumbuhan UKM. Misalnya untuk mengatasi masalah modal (kredit), perbaikan sistem perbankan dan alokasi kredit berdasarkan portfolio saja tidaklah cukup. Pemerintah pun perlu berkoordinasi dengan swasta untuk dapat mengintegrasikan UKM arus ekonomi nasional melalui suatu rekonstruksi strategi industri ini secara maksimal. Dan karena program-program pengembangan ini ‘bertebaran’ di berbagai departemen, maka perlu ada suatu lembaga yang memiliki otoritas khusus untuk mengkoordinasikan berbagai program ini.

Dalam tataran filosofisnya, seperti yang dinyatakan oleh Dr. T.B. Simatupang, pembangunan ekonomi (yang berdasarkan Pancasila dan UUD’45 – khususnya pasal 33 yang telah menjadi kerangka dasar untuk diimplementasikan oleh negara dan pemerintah), haruslah merupakan sesuatu yang bersifat holistik-integralistik. Pengembangan UKM yang berpusat pada manusia merupakan satu pilihan.**

Penulis

Prof. Mangara Tambunan, Ph.D. adalah Guru Besar Tetap bidang Ekonomi Sumber Daya dan Regional di Institut Pertanian Bogor, serta anggota Dewan Penyantun Institut Leimena.