info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 2, Agust 2010


Resensi Buku : Mengamati Pancasila dari Dalam

 

Judul buku: Pancasila: Identitas dan Modernitas

Penulis: Eka Darmaputera, PhD

Penerbit: BPK Gunung Mulia, 1997

Tebal: xiv + 178 halaman

Buku ini diobral murah, hanya Rp 2.500,-. Padahal isinya merupakan harta karun warisan (Alm.) Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D., yang dapat membantu masyarakat Indonesia masa kini untuk memahami Pancasila secara lebih proporsional, sebagai titik tolak bagi pengamalannya yang positif, kritis, kreatif dan realistis.

Buku ini merupakan bentuk yang lebih ringkas dari disertasi Eka mengenai “teologi Pancasila”-nya di Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School pada tahun 1982. Dalam disertasi ini, Eka berusaha menelaah Pancasila dengan pendekatan analisa budaya, yaitu pendekatan untuk memahami suatu objek dengan mengamati dari dalam, dan dalam konteks permasalahan-permasalahan konkret yang harus dihadapi oleh objek tersebut.

Eka meyakini, pendekatan yang kurang tepat akan menghasilkan pemahaman yang salah. Prof. J.M. van der Kroef, misalnya. Dengan menggunakan pendekatan Barat, ia berusaha membuktikan kebenaran hipotesanya yaitu bahwa (di tahun 1956) Indonesia sedang mengalami kelesuan spiritual yang mendalam sehingga mengambil Pancasila sebagai pegangan untuk menjawab kekosongann tersebut.   Dengan kata lain, Pancasila adalah “sekedar bahan perdebatan di kalangan para intelektual dan dalil yang mudah bagi para demagog…,seperti sebuah mangkok tanpa isi.”

Van der Kroef lalu menunjukkan bahwa sila-sila Pancasila saling bertentangan dan tidak berakar baik pada pola berpikir tradisional maupun pola berpikir Islam. Dari titik tolak analisa politik Barat hal itu mungkin benar. Tapi Eka kemudian menunjukkan, bahwa keunikan Pancasila tidak terletak pada sila-silanya yang dianalisa secara terpisah-pisah, tapi justru pada saling keterkaitan antara sila-sila tersebut.  Memandang Pancasila dari sudut pandang sila pertama berarti melihat semua sila yang lain sebagai suatu keutuhan yang seimbang dan serasi.

Walaupun ini aneh bagi bukan orang Indonesia, tapi amat lazim bagi orang Indonesia sendiri. Bagi mayoritas orang Indonesia, memegangi satu kepercayaan bukanlah prasyarat kesatuan. Eka lalu mengambil contoh ritual slametan. Di dalam slametan, memaksakan satu bentuk kepercayaan bagi semua orang malah dianggap akan menganggu kedamaian dan keserasian. Sehingga yang akan terjadi ialah saling memaksakan kepercayaan yang seharusnya bersifat pribadi dan sukarela.

Bagi Eka, ini tidak berarti harus menjurus kepada relativisme ekstrim. Sebab sementara setiap orang/kelompok dapat mempertahankan identitasnya, melalui pengamalan sila-sila itulah semua kelompok itu akan langsung atau tidak langsung berada di dalam situasi dialog yang terus-menerus. Dialog ini bukanlah dialog teoritis, tetapi praktis dan konteksual. Ia merupakan “dialog kerja”, dialog antara bermacam-macam bentuk pengamalan sila-sila Pancasila mengenai masalah-masalah tertentu yang dihadapi secara bersama oleh semua kelompok di dalam masyarakat.

Lewat dialog kerja inilah, Pancasila dapat menjadi “senjata” untuk menghadapi berbagai persoalan kongkret. Efektivitasnya diukur dari sampai sejauh mana ia mampu untuk mempertahankan baik ke “bhinneka”-an maupun ke “tunggal”-an Indonesia  di dalam suatu keseimbangan yang dinamis dan kreatif.

Dalam sebuah esai, Eka mengakui bahwa menjaga keseimbangan di antara keduanya tidak mudah, sebab menuntut kesediaan yang tulus untuk terus-menerus berada dalam ketegangan antara kebhinnekaan dan kesatuan/persatuan. Tapi toh sejarah membuktikan, hingga saat ini Pancasila yang memang berakar pada orientasi religius, kultural, dan nilai rakyat Indonesia, masih terbukti mampu bertahan di tengah berbagai perubahan konstitusional yang terjadi di dalam sejarah negara ini. **

Penulis

Grace Emilia, M.A.