info@leimena.org    +62 811 1088 854

Policy Memo No. 006 Tahun 2010

oleh Tobias Basuki, M.A.

 

 

RUU Jaminan Produk Halal merupakan RUU yang sekilas nampak positif namun sebenarnya mengandung beberapa permasalahan.

Pengaju RUU Jaminan Produk Halal mengacu kepada hak konstitusional warga untuk beribadah dan mengamalkan agamanya. Namun bisa dikatakan justru hak ini terganggu bila negara ikut mencampurinya.

Secara konstitusional negara memang wajib melindungi kebebasan beribadah warganya, seperti disebutkan dalam pasal 28(E) UUD 45: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”

Namun menjamin dan memfasilitasi hak beribadah bukan berarti mengatur pelaksanaan ibadah itu sendiri. Masyarakat justru harus diberikan kebebasan untuk melaksanakan hak ibadahnya secara mandiri, sesuai agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah dapat memfasilitasi agar upaya umat beragama untuk memperoleh produk yang halal menurut ajaran agamanya tidak dianggap melanggar hukum. Pemerintah dapat memberikan kepastian hukum ini, tetapi karena negara bukan otoritas agama, maka pemerintah tidak berwenang untuk ikut mendefinisikan dan mengesahkan apa yang halal bagi umat beragama tersebut.

Seperti dikatakan Max Weber, pada saat otoritas negara dan agama bercampur, agama akan selalu terkooptasi/terkorupsi politik. Dus kemurnian ibadat agama, seperti halnya masalah halal, dapat terkontaminasi. Dalam memfasilitasi ibadah agama, pemerintah dapat berperan untuk memastikan proses penyelenggaraan label jaminan produk halal dilaksanakan dengan baik, tanpa merugikan publik, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku umum. Misalnya, menindak pemalsuan jaminan produk halal dan mencegah penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang justru melanggar hak-hak warganegara atau merugikan publik. Peran ini dapat dilakukan dengan menegakkan peraturan yang sudah ada, seperti KUHP. Dengan demikian, negara memberikan kepastian hukum agar umat beragama dapat mengupayakan sertifikasi produk halal tanpa dianggap melanggar hukum, serta menindak apabila upaya tersebut justru membatasi hak ibadah umat beragama tersebut atau mengganggu kepentingan publik. Pemerintah dapat melakukan semua ini tanpa ikut mencampuri proses sertifikasi itu sendiri.

Selain itu pengertian halal secara umum cukup jelas, tapi aplikasinya dalam industri amat sulit. Banyak faktor dalam suatu proses halal amat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, antara lain pakan ternak, cara menyembelih, pengemasan, dan masalah logistik lainnya. Standarisasi dan sentralisasi otoritas jaminan produk halal amat sulit dilakukan, seperti diungkapkan dalam World Halal Forum. Aplikasi definisi halal dalam industri produk konsumen menjadi rumit ketika menyangkut hal-hal teknis, misalnya kesulitan standarisasi gelatin, pewarna dan perasa makanan, enzim hewani, atau metode penyembelihan mekanik, stunning, penggunaan thoracic stick. Ada banyak perbedaan fatwa mengenai hal-hal tersebut dari satu negara ke negara lain, dan juga dari satu sumber otoritas ke yang lain.

Melihat kerumitan tersebut, tidaklah tepat apabila negara memaksakan pemusatan otoritas sertifikasi halal pada lembaga pemerintah (mis. Departemen Agama) yang bukan merupakan lembaga keagamaan. Penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang transparan oleh umat beragama itu sendiri yang memang memiliki otoritas dan kompetensi dalam bidang tersebut akan lebih efektif dan efisien, tanpa intervensi birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang efektif dan efisien, beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan:

 

1. RUU  Jaminan  Produk  Halal  tidak  lagi diperlukan  karena  ketentuan  mengenai produk  halal  sudah  ada  dalam berbagai peraturan perundang­undangan, misalnya UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU no.  7  tahun  1996 tentang  Pangan,  UU no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,  serta  berbagai  peraturan pemerintah  (PP), dan  juga  SK  Badan  POM. RUU Jaminan  Produk  Halal  ini  berpotensi tumpang  tindih,  atau  bahkan  bertentangan dengan undang‐undang lain yang sudah ada. Contohnya dalam UU Pangan sertifikasi halal bersifat  sukarela,  tapi  ada usulan  awal  RUU Jaminan  Produk  Halal  untuk mewajibkan sertifikasi  halal  bagi  setiap  produk. Kontradiksi  semacam ini  tentu  akan menimbulkan kerumitan dalam pelaksanaan.

2. Pelaksanaan  RUU  Jaminan  Produk  Halal dapat  mempersulit  usaha  kecil.  Usaha kecil dan menengah seperti penjual makanan jalanan  dan  pasar  akan  kesulitan mendapatkan  sertifikasi  halal  seperti  yang ditetapkan  dalam  RUU  ini. Produsen  kecil dan menengah  akan  terbebani kewajiban untuk  menyediakan  fasilitas  kompleks  yang ditentukan  RUU ini  mengenai  teknis proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian  dan  penyajian  produk  dan lain sebagainya.  Sektor  usaha  kecil  dan menengah  yang  mencapai  60%  di  Indonesia menjadi penanggung utama beban RUU ini.

3. RUU Jaminan Produk Halal memperbesar potensi  penyalahgunaan  wewenang  dan korupsi,  sebagai  akibat pemusatan wewenang  di  satu  instansi  saja.  Lord  Acton mengingatkan,  Kekuasaan  cenderung menjadi  korup”  (Power tends  to  corrupt). Wewenang  untuk  memberikan  sertifikasi halal  merupakan  kewenangan  yang  amat penting,  yang dapat  disalahgunakan  untuk kepentingan  pribadi,  termasuk  dalam  hal finansial.  Disamping  itu,  apabila  ditangani satu badan  saja,  kemampuan  verifikasi produk  halal  akan  sulit  mengikuti perkembangan  zaman  yang  metode produksinya terus berubah.

4. Privatisasi  pemberi  sertifikasi  halal justru  dapat  melindungi  umat  Islam secara lebih komprehensif dan berkualitas. Pemberian sertifikasi  melalui badan  –  badan  privat  akan  meningkatkan kualitas  dan  standar  halal  yang  bersaing. Apalagi  mengingat  akan ada  begitu  banyak produk  yang  masih  harus  diteliti,  lebih banyak  badan  sertifikasi  akan memastikan standar pengecekan dan pemastiannya akan lebih  komprehensif.  Dengan  adanya lembaga‐lembaga independen yang bersaing dalam  memproses sertifikasi halal,  justru tingkat  keseriusan  dan  kualitas  memproses sertifikasi halal akan makin tinggi.

 

 

TOBIAS BASUKI, M.A.

Director of Studies, Institut Leimena

Sumber Foto:    www.food.detik.com

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena