info@leimena.org    +62 811 1088 854

Policy Memo No. 004 Tahun 2010

oleh Tobias Basuki, M.A.

Masalah korupsi yang tak pernah berakhir kadang dianggap sudah mengakar di Indonesia. Memasuki era demokrasi, korupsi masih saja merajalela. Bahkan setelah otonomi daerah, sebagian orang menganggap korupsi pun ikut terdesentralisasi ke daerah. Korupsi yang diwarisi dari jaman Orde Baru mulai diadaptasi dalam sistem yang baru. Pemilu demokratis, yang pada dasarnya baik, ikut tergerogoti.

Dalam konteks pemilu, korupsi bahkan terkesan “dipaksakan” karena beberapa hal. Pertama, budaya demokrasi yang belum terbangun. Banyak pemilih yang masih mudah terpengaruh imbalan hadiah, bukan program dan kredibilitas calon yang akan dipilih. Kedua, biaya pencalonan dan berkampanye amat besar. Dana yang diperlukan untuk seorang calon legislatif saja dapat berkisar dari puluhan juta sampai miliaran rupiah. Ketiga, pengaturan dan pengawasan dana kampanye dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang “Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD” belum cukup komprehensif dan tegas, sehingga banyak memberi peluang korupsi.

Menurut perusahaan marketing research Nielsen, dana iklan di masa kampanye saja sebesar Rp. 2,2 triliun. Bahkan, Rajaratnam School of International Studies mengatakan ada partai-partai yang mengeluarkan dana sampai Rp. 15 miliar perbulan untuk iklan saja. Data demikian menimbulkan pertanyaan atas akuntabilitas dana kampanye, karena bisa jadi jumlah dana kampanye riil jauh lebih besar dari laporan resminya. Terlebih lagi, “investasi” untuk pemenangan pemilu yang besar dikhawatirkan berpotensi menimbulkan korupsi di kemudian hari.

Pemilu 2009 telah terlaksana dengan damai dan lancar. Namun masih banyak ruang untuk perbaikan, khususnya dalam pengaturan dan pengawasan dana kampanye pemilu legislatif. Pengaturan dana yang baik dalam kampanye politik merupakan pre-kondisi pemilu yang jujur dan adil, serta pemerintahan yang efektif, demokratis, dan bebas dari korupsi.

Untuk itu diperlukan beberapa perubahan penting dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang “Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD”, khususnya setelah putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Desember 2008 mengenai metode alokasi kursi. Putusan ini memastikan calon legislatif DPR/DPRD terpilih dengan suara terbanyak. Padahal, kerangka berpikir UU No. 10 Tahun 2008 masih didasarkan pada unit partai politik, bukan individu calon legislatif. Saat ini pertanggung jawaban dana kampanye hanya berorientasi kepada partai politik, bukan individu calon legislatif. Sementera itu, justru penggalangan dan penggunaan dana kampanye banyak terpusat di masing-masing calon legislatif bersama tim kampanyenya.

Oleh karena itu, demi memperkuat budaya demokrasi dan menciptakan pemerintahan yang bersih, revisi UU No. 10 Tahun 2008 yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2010 diharapkan dapat mengakomodasi beberapa hal berikut ini:

Menyesuaikan sistem pengaturan dan pengawasan dana kampanye dengan sistem pemilu yang sekarang, yaitu dengan menambah pasal yang mengatur pertanggung-jawaban dana kampanye per individu calon legislatif, serta mempertegas pengawasan sumber dan penggunaan dana kampanye setiap individu calon legislatif, tidak hanya parpol.

Mengatur kewajiban anggota legislatif terpilih untuk memberikan pembuktian terbalik atas penambahan harta kekayaannya setelah kurun waktu tertentu memegang jabatan yang dimenangkannya dalam pemilu. Hal ini merupakan salah satu bentuk pertanggung jawaban publik dan upaya mengurangi potensi konflik kepentingan dalam sumbangan dana kampanye. Kewajiban ini juga mendukung kompetisi kampanye yang sehat.

Memperketat pengaturan dan pembatasan sumbangan dana kampanye, termasuk menurunkan batas maksimum sumbangan. Dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 (untuk pemilu legislatif 2004), batas maksimum sumbangan naik berkali  lipat. Batas maksimum penyumbang perseorangan naik dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 1 miliar, dan untuk penyumbang kelompok/badan hukum dari Rp. 750 juta menjadi Rp. 5 miliar. Semakin besar nilai sumbangan, semakin besar pula potensi pengaruh penyumbang terhadap calon anggota legislatif tersebut. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat batas maksimum sumbangan perseorangan adalah USD 2.400, sedangkan sumbangan langsung perusahaan dilarang keras.

Membuat pengaturan sumbangan dana kampanye baik yang berupa uang maupun yang tidak berupa uang, misalnya fasilitas atau jasa. Banyak sumbangan seperti pemberian fasilitas kantor, transportasi, airtime TV/radio, dan lainnya sulit terdeteksi dan dipertanggungjawabkan. Sumbangan semacam ini harus dapat dikonversikan dalam nilai uang untuk laporan dana kampanye atau dilarang sama sekali.

Memperjelas identitas penyumbang dana kampanye, misalnya dengan mewajibkan pencantuman NPWP baik untuk penyumbang perseorangan maupun kelompok/badan hukum.

Mempertegas sanksi dan hukuman atas pengisian laporan dana kampanye yang tidak benar. Undang-undang yang sekarang telah memuat sanksi denda dan pidana penjara bagi pelanggaran pemberian/penerimaan dana kampanye yang melebihi batas dan pemberian keterangan laporan dana kampanye yang tidak benar. Namun yang masih kurang adalah sistem pelaporan dan pengawasan yang ketat dan jelas, serta perangkat hukum operasionalnya. Diperlukan sanksi denda yang besar dan sesuai tingkat pelanggaran (sanksi administratif), bahkan sanksi diskualifikasi calon legislatif ataupun parpol dari pemilu (sanksi elektoral) atas laporan dana kampanye yang tidak benar.

Mengatur secara tegas pembatasan dan pelarangan pemberian sumbangan dan hadiah lainnya dari calon legislatif untuk calon pemilih. Tanpa “godaan” imbalan materi, rakyat diharapkan dapat belajar memilih calon legislatif dengan mencermati kredibilitas pribadi dan programnya.

 

Tobias Basuki, M.A.

Director of Studies, Institut Leimena

Sumber Foto:    www.setaranews.com

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena