info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 2, No. 1, Feb 2010


Dalam dua pemilu terakhir (2004 dan 2009) praktis tidak ada lagi partai politik yang mengatas-namakan dirinya Partai Katolik. Harus diakui bahwa para pemimpin Gereja Katolik memang tidak lagi mendukung berdiri dan aktifnya Partai Katolik seperti dahulu. Tentu, ada yang kecewa. Ada juga yang lega. Mereka yang kecewa biasanya lalu mempertanyakan siapa yang akan mengusung kepentingan Katolik. Sementara itu, pihak yang lega pada dasarnya mengatakan bahwa tidak ada kepentingan yang eksklusif Katolik, sehingga tidak perlu ada lagi partai yang berbendera Katolik.

Sikap dasar inilah yang menjadi pegangan banyak tokoh Katolik, yang dalam suatu pertemuan pada bulan November 1998 tidak mendukung didirikannya kembali Partai Katolik. Tetapi, mereka juga tidak bisa melarang ketika beberapa orang Katolik pada akhirnya mendirikan (lagi) Partai Katolik (dengan tambahan Demokrat di belakangnya). Perbedaan ini disikapi dengan mengacu pada pandangan bahwa politik adalah ‘urusan dunia’ yang multi-interpretasi, tak menuntut adanya kesatuan pendapat.

Meski ada kebebasan dalam berpolitik, tidak berarti Gereja Katolik tidak mempunyai prinsip dalam berpolitik. Prinsip-prinsip dasar ini sangat jelas, dan perlu diingat oleh para aktivis politik yang beragama Katolik, termasuk dalam pemilu. Karena itu, dalam setiap pemilu para pimpinan Gereja Katolik di Indonesia, yang tergabung dalam Konperensi Wali-gereja Indonesia (KWI) selalu mengeluarkan suatu panduan dasar yang biasa disebut sebagai surat gembala. Untuk pemilu 2004 lalu, pada tanggal 20 Januari KWI mengeluarkan surat gembala pemilu berjudul “Carilah Kebenaran dan Keadilan,” yang sebulan sebelumnya didahului dengan sebuah nota pastoral berjudul “Keadilan Sosial bagi Semua” (Desember 2003). Sementara itu, untuk pemilu tahun 2009 KWI mengeluarkan seruan bersama dengan PGI. Artikel pendek ini mencoba menempatkan pandangan itu, secara ringkas, dalam prinsip yang dianut oleh Gereja Katolik secara umum.

Kepentingan Umum

Yang pertama-tama perlu diingat tentang prinsip politik Katolik adalah bahwa tidak ada sesuatu yang eksklusif Katolik dalam perkara politik. Artinya, dalam terang iman, dalam tafsir Katolik tentunya, yang diperjuangkan adalah kepentingan umum, termasuk kepentingan kemanusiaan universal di dalamnya, yang nota bene (juga) bisa saja diperjuangkan oleh agama lain.

Kepentingan Katolik dalam politik adalah kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat yang beragam, bukan melulu untuk kepentingan orang Katolik saja. Kalau toh Gereja Katolik menentang pembakaran gereja, misalnya, hal ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu perjuangan untuk menghargai kebebasan beragama sebagai salah satu nilai kemanusiaan universal. Hal ini dilandaskan pada ajaran yang digariskan oleh Konsili Vatikan II (yang adalah sidang umum para pemimpin Gereja Katolik sedunia) dalam dokumen Dignitatis Humanae (Martabat Manusia) tentang kebebasan bergama, yang ditetapkan pada tanggal 7 Desember 1965.

Sehubungan prinsip kemanusiaan universal yang menjadi pokok dari kepentingan bersama (common good) tadi, nota pastoral KWI Desember 2003 menyebut delapan prinsip ber-politik, yaitu (1) hormat terhadap martabat manusia, (2) kebebasan, (3) keadilan, (4) solidaritas, (5) subsidiaritas, (6) fairness, (7) demokrasi dan (8) tanggung-jawab. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian, dalam surat gembala pemilu, secara lebih kongkret dipakai untuk ‘menakar’ para caleg dan partai yang hendak dicoblos.

Karena itulah bisa ditarik kesimpulan juga bahwa tidak ada blue-print negara Katolik. Artinya, tidak ada yang namanya negara Katolik dalam arti pemimpinnya harus Katolik dan didasarkan pada hukum Katolik. Memang, ada hukum dalam Gereja Katolik, tetapi hukum yang ada sekarang ini (Kitab Hukum Kanonik 1983) tidak bisa diberlakukan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan.

Sehubungan dengan hal ini, dalam dokumen Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) tentang Gereja di dunia dewasa ini, yang ditetapkan juga pada tanggal 7 Desember 1965, Gereja menarik garis batas yang tegas antara agama dan negara. Memang, diakui perlunya inspirasi nilai-nilai iman dalam perkara politik praktis, tetapi karena heterogenitas masyarakat, Gereja tidak pernah lagi mencita-citakan adanya negara Katolik. Bahwa dahulu ada ambisi seperti itu, tidaklah bisa diingkari, tetapi setelah direfleksikan dengan lebih mendalam, cita-cita itu harus ditanggalkan.

Implikasi Praktis

Berdasar prinsip di atas, Gereja Katolik sebagai sebuah institusi tidak mengaitkan diri dengan partai politik tertentu, termasuk dengan partai yang jelas-jelas berlabel Katolik. Sebagai contoh, dalam pemilu 1999 yang lalu, para pemimpin Gereja Katolik Indonesia tidak berkampanye untuk Partai Katolik Demokrat. Memang, dalam hukum Gereja, para pemimpin agama Katolik dilarang berpolitik praktis (kanon 287 par. 2 KHK 1983). Sejajar dengan itu, Gereja Katolik pun tidak merekomendasikan begitu saja supaya orang Katolik mencoblos caleg yang beragama Katolik. Disadari sepenuhnya bahwa caleg beragama Katolik tidak otomatis mengusung nilai-nilai yang diperjuangkan Gereja Katolik itu. Selain itu, Gereja Katolik berusaha untuk tidak terjebak dalam primordialisme agama.

Sikap itu tidak berarti bahwa Gereja Katolik ‘meng-imun-kan’ diri dari perkara politik. Gereja Katolik tetap berpolitik, tetapi dalam arti yang lebih luas daripada sekedar perebutan kekuasaan. Pun, para pimpinan Gereja Katolik juga tetap mendorong umat untuk berpolitik secara bertanggung-jawab. Karena itulah dalam konteks pemilu Gereja Katolik hanya menyodorkan beberapa prinsip dasar, bukan mengarahkan pada pilihan tertentu. Adalah tanggung-jawab umat untuk menerapkan prinsip-prinsip itu sesuai konteks masing-masing. Pilihan pribadi itu dihargai, apa pun pilihannya, termasuk untuk menjadi golput.

Hanya saja, perlu diingat bahwa dalam konteks pemilu seperti dewasa ini, dimana orang bisa relatif bebas mendirikan partai, Gereja Katolik Indonesia lebih cenderung untuk ‘tidak merestui,’ meski tidak melarang, pilihan golput itu. Hal ini tampak jelas, misalnya, dalam panduan praktis pemilu yang dibuat untuk umat di Keuskupan Agung Jakarta 2009 lalu. Selain konteks yang sudah berbeda, alasannya adalah bahwa golput berarti menyerahkan urusan pada orang lain.

Hal itu pun tidak berarti bahwa Gereja Katolik menutup mata dari kekurangan-kekurangan yang ada pada partai maupun caleg. Artinya, kalau toh kriteria maksimal tidak bisa diterapkan, kriteria minimal pun cukup, supaya proses hidup bermasyarakat dan berbangsa ini bisa berjalan. Secara kongkret hal ini berarti bahwa jika toh tidak ada partai dan/atau caleg yang memenuhi kriteria, cukuplah dipilih yang relatif lebih baik dari yang lain. Prinsip minus malum, atau memilih yang lebih baik dari antara yang ‘buruk,’lalu diterapkan, dengan suatu harapan bahwa perbaikan kehidupan politik bisa dilaksanakan sedikit demi sedikit.

Demikian pun, dalam menilai, perlulah menentukan prioritas atas kriteria yang mau diterapkan sesuai konteks masing-masing. Kedelapan prinsip yang disodorkan KWI memang diharapkan berlaku universal, tetapi sangat mungkin bahwa urutan prioritasnya berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Modifikasi ini juga tetap dihargai. Cara lain adalah mencoba menyederhanakannya dalam beberapa prinsip yang dipandang lebih mendasar. Contohnya adalah hal yang dilakukan oleh tim sosialisasi pemilu Keuskupan Agung Semarang yang menakar bermutu-tidaknya partai dari kedekatannya dengan sila-sila Pancasila, yang difokuskan lagi sejauh mana partai itu memperjuangkan inklusivitas dan berjuang dengan cara yang demokratis dan tanpa melakukan kekerasan dalam segala bentuknya (termasuk money politics). Beberapa prinsip ini akan lebih memfokuskan pilihan dengan metode eliminasi dalam prinsip minus malum tadi.

Sekali lagi, prinsip politik Katolik mengacu pada tujuan kesejahteraan bersama dan menghargai martabat pribadi dengan kebebasannya. Dalam konteks ini politik masuk dalam kategori yang tidak pasti, sehingga kebebasan pendapat sangat dijunjung tinggi, asal bertanggung-jawab. Dalam hal ini, salah satu prinsip moral (Katolik) di dunia politik yang perlu dipegang adalah: in  dubiis, libertas (dalam keraguan atau hal-hal yang belum pasti, kebebasan), in necessitatibus, unitas (dalam hal-hal yang ‘harus,’ kesatuan) dan in omnibus, caritas (dalam segala hal, cinta-kasih).**

Penulis

Romo Al. Andang L. Binawan, SJ adalah pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta