info@leimena.org    +62 811 1088 854
Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow

Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow

Anggota Majelis Pekerja Harian, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Pdt. Dr. Zakaria J. Ngelow, lahir tahun 1952 di Seko. Studi teologi bidang Sejarah Gereja (Doctor of Theology SEA-GST 1992). Pendeta Gereja Kristen di Sulawesi Selatan. Dosen STT INTIM Makassar 1979 – 2005 (Ketua 1997 – 2005). Ketua Persetia 2002 – 2006. Area Dean SEAGST Eastern Indonesia Area sejak 2002. Direktur Yayasan OASE INTIM. Anggota MPH PGI 2009 – 2014. Publikasi antara lain: Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900 – 1950, BPK Jakarta, 1994. Seberkas Cahaya di Ufuk Timur, Pemikiran Teologi dari Makassar, Makassar: STT INTIM , 2000 (ed.). Teologi Bencana. Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Yayasan Oase INTIM, 2006. Bidang keahlian beliau adalah Sejarah Gereja, Teologi Agama-agama, Teologi Interkultural dan Teologi Kontekstual.

Pendahuluan

1. Pokok Kajian

Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad sejak awal abad ke-20 ini, pergerakan nasional Indonesia berhasil membawa Indonesia kepada kemerdekaan dan kesatuan nasional. Dalam pergerakan itu berhadap-hadapan pihak pemerintah kolonial Belanda, yang ingin mempertahankan kekuasaannya atas bangsa dan wilayah Indonesia, dengan bangsa Indonesia,yang ingin menjadi bangsa yang merdeka. Bagi bangsa Indonesia, pergerakan itu merupakan proses dimana rasa kesebangsaan makin mengental mengatasi kepelbagaian suku dan daerah. Pergerakan itu juga adalah konfigurasi dari aneka gagasan dan kegiatan, mulai dari yang kolot sampai yang radikal, dari tekanan yang primordialistik sampai yang modern dan sekuler. Hasil-hasil kajian sejarah pergerakan nasional Indonesia sampai sekarang menampilkan kemajemukan itu, dimana pada kerangka dasarnya pihak Indonesia pendukung pergerakan dapat dibedakan atas golongan nasionalis radikal dan nasonalis konservatis. Golongan radikal menghendaki kemerdekaan Indonesia sepenuhnya dan secepatnya dari penjajahan Belanda, sedangkan yang konservatif menyetujui suatu kemerdekaan dalam ikatan dengan dan yang dipersiapkan (secara berangsur-angsur) dari pihak penjajah. Perbedaan lainnya adalah dari segi ideologi, yaitu – yang menjadi jelas pada saat-saat perumusan konsep UUD – golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam (lazim pula disebut golongan Kebangsaan dan golongan Islam).

Sejumlah kajian ilmiah mengenai peran golongan-golongan yang berbeda itu dalam pergerakan nasional, telah dilakukan terutama oleh para sarjana asing dan sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Tetapi peranan atau tempat pihak Kristen Protestan Indonesia dalam pergerakan nasional Indnoesia, sampai sekarang belum mendapat perhatian yang memadai.

Pada tahun 1965-1967 diselenggarakan di Indonesia suatu proyek penelitian bernama “Project Study Fadjar” bahagian dari rangkaian penelitian di beberapa negara dengan tujuan meneliti partisipasi umat Kristen dalam national building dalam bidang-bidang sejarah gereja, politik, ekonomi, pemuda, kebudayaan, pendidikan dan kebudayaan. Dr. T.B. Simatupang, yang menyusun laporan penelitian bidang politik, mencatat adanya partisipasi Kristen dalam pergerakan nasiional melalui tiga bidang:

(a) adanja orang Kristen jang mendjalankan partisipasi mereka melalui perkumpulan jang tidak bersifat Kristen;

(b) adanja perkumpulan politik jang berdasarkan Kristen dan jang mempergunakan nama Kristen;

(c) tugas Geredja berhubung dengan partisipasi Kristen dalam bidang politik, telah terdapat dalam zaman antara permulaan abad ini dan pendudukan Djepang.

Pendekatan ini tampaknya bertolak dari suatu upaya politik untuk membuktikan adanya peran historis pihak Kristen dalam pembangunan nasional khususnya dan dalam upaya bina bangsa Indonesia pada umumnya. Walaupun proyek penelitian itu meliputi berbagai segi, keseluruhannya masih merupakan “permulaan dari suatu usaha yang serius”. Pendekatan ini tentu mempunyai fungsinya dan merupakan sumbangan penting bagi pembinaan dan pengenalan dari pihak Kristen Protestan, baik sebagai bangsa maupun sebagai gereja di Indonesia. Pihak Kristen Katolik di Indonesia telah pula megungkapkan partisipasinya dalam perjuangan dan pembangunan nasional, dengan pedekatan yang sama.

Perhadapan kekristenan dengan nasioalisme Indonesia adalah suatu perjumpaan, dimana pihak Kristen juga mendapat masukan-masukan dari nasionalisme Indonesia. Dalam ungkapan teologis dapat dikatakan bahwa pergerakan nasional Indonesia menjadi konteks dimana panggilan gereja di Indonesia diberi bentuk. Sebab itu perlu diungkapkan bersama, baik sumbangan yang diberikan oleh pihak Kristen terhadap pergerakan nasional Indonesia, maupun pengaruh nasionalisme terhadap kekristenan di Indonesia. Dengan demikian gereja di Indonesia masa kini memperoleh pengenalan diri yang lebih utuh dan kritis dari masa lampaunya. Maka masalah pokok yang perlu dikaji dalam hubungan dengan peranan golongan Kristen dalam perjuangan mencapai kemerdekaan dan dalam usaha bina bangsa Indonesia adalah bagaimana golongan Kristen Indonesia menemukan dan memahami tempatnya yang tepat dalam perjalanan sejarah bangsanya. Dengan ungkapan teologis, ini berarti bagaimana golongan Kristen memahami pemberitaan Firman Tuhan dalam konteks dunia zamannya. Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menempatkan kekristenan di Indonesia bagi dinamika sejarah dan karena itu dapat dinilai secara kritis. Dengan kata lain, diperlukan suatu studi yang bertolak dari pengakuan terhadap kontekstualisasi kekristenan, yang sekaligus menjadi tolak ukur dalam menilai sejarahnya. Artinya, sejarah gereja di Indonesia dikaji dalam kerangka keterkaitannya dengan kenyataan-kenyatan masyarakatnya. Tentu saja selain jasa dan peran, pengkajian sejarah secara kritis akan juga menyingkap noda-noda “kesesatan” golongan Kristen dalam liku-liku pencarian dan pemahaman panggilannya di tengah-tengah sejarah bangsanya. Dan justru dalam kenyataan-kenyataan itu pula sejarah bermakna sebagai guru bagi kekristenan.

Dalam kerangka itulah maka dalam studi ini diusahakan memberi perhatian pada hubungan kekristenan Protestan dengan nasionalisme di Indonesia. Hubungan itu dapat diperiksa dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan pengungkapan nasionalisme Indonesia. Dalam konteks pokok kajian ini, nasionalisme Indonesia diartikan keseluruhan gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang bertolak dari dan terarah kepada perjuangan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu. Tekanan studi ini dibatasi pada dua hal: sikap pihak Kristen Protestan terhadap pergerakan nasional di bidang politik dan pada pengaruh nasionalisme di dalam perkembangan kekristenan Protestan di Indonesia. Pada yang pertama hendak diperiksa bagaimana sikap (bukan terutama peran)  lembaga-lembaga atau tokoh-tokoh  Kristen Protestan di Indonesia terhadap pergerakan nasional. Diharapkan bahwa dalam bagian ini akan dapat diungkapkan dan dijelaskan wawasan politik kalangan Kristen Protestan Indonesia , baik terhadap hubungan kolonial maupun tehadap cita-cita nasional Indonesia. Pada bagian kedua diharapkan dapat diungkapkan pengaruh nasionalisme Indonesia di dalam proses ganda kemandirian dan keesaan gereja-gereja Protestan di Indonesia.

 

2. Sejarah Agama Kristen

Jadi, pokok studi ini adalah kekristenan Protestan di Indonesia: sikapnya terhadap pergerakan nasional dan pengaruh nasionalisme Indonesia terhadapnya. Dalam hal itu maka studi ini adalah pengkajian sejarah gereja. Dalam pendekatannya, terdapat tiga aliran pengertian mengenai tempat sejarah gereja dalam disiplin ilmiah. Para pendukung pemikiran yang bertolak dari kenyataan empiris menempatkan sejarah gereja sebagai bagian dari sejarah umum, yakni sejarah agama Kristen. Pihak lainnya bertolak dari pandangan teologis dan menempatkan sejarah gereja di dalam disiplin ilmu-ilmu teologi. Sedangkan pihak ketiga menggabungkan kedua pandangan itu, bahwa sejarah gereja bertolak dari fakta-fakta empiris dan kemudian menilainya secara teologis. Sesuai dengan pokok bahasan, studi ini terutama menekankan segi sejarah agama Kristen dalam kerangka sejarah nasional Indonesia. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam pendekatan ini titik tolak dan evaluasi historis yang menjadi acuan subyektif adalah keterkaitan (sifat kontekstual) kekristenan dengan kenyataan sosial politik zamannya. Keterkaitan itu dapat dinilai dalam wawasan dan sikap serta adaptasi kalangan-kalangan Kristen terhadap masalah-masalah sosial politik zamannya (dalam hal ini perhadapan nasionalisme dengan kolonialisme).

Keterkaitan tersebut ditempatkan dalam kerangka pemikiran teologi, sehingga sejarah kekristenan dievaluasi secara teologis. Dalam hal ini berlaku pendekatan multidisipliner dalam historiografi, bahwa ilmu-ilmu lain dibutuhkan dalam usaha memahami dan menulis sejarah. Jadi, dalam studi ini teologi mendukung pemahaman dan penulisan sejarah.

Dengan pendekatan yang dikemukakan di atas, maka selain sebagai sejarah gereja, studi ini adalah studi sejarah nasional Indonesia, yakni bagian dari sejarah pergerakan nasional Indonesia yang berlangsung dalam kurun waktu parohan pertama abad ke-20 ini. Sejarah pergerakan nasional Indonesia sampai kemerdekaan merupakan acuan dalam menguraikan sikap politik kalangan Kristen terhadap nasionalisme Indonesia, dan menjadi salah satu latar belakang utama bagi proses perkembangan di dalam kekristenan di Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan sejarah nasional yang ideologistik, studi ini berusaha mempertahankan historiografi yang kritis, dengan mengikuti historiografi Indonesia yang dikembangkan Prof. Sartono Kartodirdjo. Fokus utama dalam studi ini adalah kekristenan Protestan Indonesia. Orang Kristen Protestan Indonesia merupakan subyek utama dalam sejarah perhadapan kekristenan Protestan dengan pergerakan nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kenyataan peran penting orang Kristen asing (khususnya para pekabar injil Eropa). Dengan kata lain, studi ini menempatkan kekristenan Protestan Indonesia pada titik pusat dinamika perjumpaannya dengan pergerakan nasional Indonesia dan dalam hubungannya dengan pihak Kristen asing (Eropa). Selain penekanan pada orang kristen Indonesia, segi “Indonesia sentris” lainnya dalam studi ini adalah sudut pandang integratif terhadap sejarah gereja-gereja di Indonesia (perspektif oikumenis). Tanpa mengabaikan kemandirian sejarah lokal masing-masing gereja, diutamakan di sini faktor-faktor yang mendukung proses pemuaraan sejarah masing-masing ke sejarah bersama.

Diharapkan bahwa genre historiografi Kristen seperti ini dapat memberi sumbangan tersendiri, baik terhadap penulisan sejarah nasional Indonesia, maupun dan khususnya terhadap penulisan sejarah gereja di Indonesia. Maka studi ini, sebagaimana adanya, pada satu pihak ditempatkan berjajar dengan hasil-hasil kajian kritis dalam sejarah nasional, dan pada pihak lain dengan sejarah gereja di Indonesia. Sebagai bagian dari sejarah nasional, diharapkan akan melengkapi keutuhan sejarah nasional Indonesia, suatu sumbangan bagi peningkatan saling pengertian dalam memperkokoh kesatuan dan persatuan nasional.

 

3. Sumber-sumber

Salah satu kendala utama dalam penelitian sejarah kekristenan di Indonesia zaman pergerakan nasional ini adalah langkanya bahan-bahan sejarah yang berasal dari pihak Indonesia, sementara sumber-sumber dari pihak asing (badan-badan Zending, pemerintah kolonial) cukup banyak. Sumber-sumber asing itu bermasalah dalam bahasanya yang asing, tempat penyimpanannya di negeri yang asing, dan terlebih karena diungkapkan dalam sudut pandang dan “ideologi” yang asing dari sudut pandang Indonesia. Sebab itu perlu diusahakan supaya bahan-bahan asing itu dapat melayani dalam mengungkapkan kenyataan kekristenan Indonesia secara lebih obyektif.

Selain bahan-bahan primer (laporan-laporan dan bahan-bahan arsip lainnya), dalam studi ini dipakai pula bahan-bahan sekunder (hasil-hasil studi dari masa itu dan dari masa kemudian). Secara khusus perlu disebutkan bahan-bahan yang terdapat dalam media cetak yang diterbitkan badan-badan Kristen masa itu, seperti de Banier (media CEP/CSP), De Opwekker (media NIZB), Mededeelingen der vereenigde Indische Oud-leden der Nederlandsche Christen Studentenvereeniging (media VIO-NCSV), Mededeelingen vanwage het Nederlandsch Zendelinggenootschap, The Student World (WSCF), Eltheto (NCSV). Dapat dikemukakan di sini bahwa fungsi terbitan-terbitan itu tidak hanya menyimpan bahan-bahan sejarah bagi masa kemudian; pada masanya, terbitan-terbitan itu merupakan sarana penting dalam pertukaran dan perluasan gagasan. Tetapi terbitan-terbitan itu tertulis dalam bahasa asing dan berasal dari pihak asing, sehingga beredar dalam lingkungan terbatas dan dengan sudut pandang yang berbeda. Hanya sedikit orang Kristen Indonesia yang membacanya dan lebih sedikit lagi yang ikut mengungkapkan pemikirannya di dalamnya. Kebanyakan terbitan dalam bahasa melayu atau bahasa daerah, untuk kebutuhan setempat dan bagi kalangan sendiri, lebih merupakan bacaan-bacaan rohani dan kurang berisi informasi atau penyuluhan-penyuluhan masalah sosial politik. Antara tahun 1926-1931 diterbitkan di Batavia dwimingguan Zaman Baroe dalam bahasa Melayu, yang merupakan majalah sosial politik Kristen. Terbitan ini merupakan media penting bagi perluasan politik orang Kristen Indonesia dan salah satu sumber penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran politik yang hidup di kalangan orang Kristen Indonesia pada waktu itu, yang justru merupakan masa puncak dalam pergerakan nasional Indonesia.

 

4. Struktur Uraian

Seperti dikemukakan di atas, studi ini mengkaji dua pokok: mengungkapkan bagaimana sikap lembaga-lembaga atau tokoh-tokoh Kristen di Indonesia terhadap pergerakan nasional, dan mengenai pengaruh nasionalisme Indonesia di dalam proses ganda kemandirian dan keesaan gereja-gereja di Indonesia. Kedua pokok ini diuraikan dalam enam bab, Bab I – Bab VI. Dalam bab I diuraikan sejarah kekristenan di Indonesia sejak abad ke-16, ketika agama Kristen (Katolik Roma) masuk ke Indonesia oleh kedatangan bangsa Portugis, sampai jaman pergerakan nasional Indonesia. Dengan bersandar pada sumber-sumber sekunder, pokok perhatian dalam masa kurang lebih 400 tahun ini adalah perhadapan kekristenan Gereja Protestan dan kalangan Zending dengan masalah-masalah sosial politik di Indonesia, yang berada di bawah kekuasaan asing. Dalam bagian ini pula diuraikan politik kolonial Belanda di Indonesia pada abad ke-19 dan ke-20, khususnya politik etis dan bangkitnya pergerakan nasioanal Indonesia serta sikap Zending terhadap masing-masing kenyataan itu. Dalam pokok yang disebut terakhir, peran Hendrik Kraemer cukup menentukan dalam mengarahkan kalangan Zending kepada sikap yang lebih positif.

Bab II mengenai organisasi sosial dan organisasi politik kalangan Kristen di Indonesia dalam rangka pergerakan nasional. Pertama-tama dikemukakan organisasi-organisasi suku/daerah yang anggotanya terbanyak beragama Kristen. Selanjutnya uraian mengenai partai-partai politik Kristen, yaitu CEP/CSP, PKC dan PMI/PKMI. Dalam bagian ini dikemukakan pemahaman teologis mengenai politik dari dua orang aktivis politik Kristen Indonesia, A. Latumahina dan I. Siagian, dan pandangan-pandangan politik dua orang tokoh nasionalis Indonesia beragama Kristen, Dr. Ratu Langie dan Dr. T.S.G. Moelia.

Bab III mengenai kemunculan generasi muda Kristen dengan wawasan yang baru, yaitu generasi yang dibina untuk bersikap positif (tapi kritis) terhadap nasionalisme Indonesia dalam terang iman Kristen. Generasi ini pula yang mengalami terobosan dalam arah oikumenis kekristenan di Indonesia. Kemunculan mereka berhubungan dengan pelayanan sejumlah mantan anggota gerakan mahasiswa Kristen Belanda di Indonesia dan dalam kaitan dengan peristiwa-peristiwa oikumenis tahun 1920-an dan 1930-an. Pembentukan CSV dan konferensi WSCF di Citeurep tahun 1933 merupakan puncak-puncak utama dalam sejarah generasi ini. Sosok nasionalis generasi ini diungkapkan melalui dua orang tokohnya, P.A. Tiendas dan J. Leimena. Di bidang kepemimpinan dan pelayanan gereja, pendirian HTS pada tahun 1934 juga merupakan terobosan penting dalam kemunculan generasi muda Kristen yang berwawasan baru itu.

Bab IV secara khusus mengenai pandangan politik kalangan Kristen Indonesia dengan tokoh-tokoh penting dari generasi baru tersebut di atas dalam menyambut dan mendukung Indonesia baik di dalam lingkungan partai politik Kristen (PARKINDO) maupun dalam kalangan para pemimpin gereja-gereja Indonesia. Penekanan mereka adalah dukungan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia dan pentingnya kebebasan (ber)agama.

Pengaruh nasionalisme Indonesia terhadap kalangan Kristen Indonesia turut menentukan perkembangan menuju kemandirian dan keesaan gereja-gereja. Dalam Bab V diusahakan menunjukkan proses itu dalam proses kemandirian jemaat-jemaat asuhan Zending dan dalam reorganisasi gereja Protestan, dan selanjutnya Bab VI, dalam usaha mewujudkan keesaan gereja di Indonesia, yang bermuara pada pembentukan DGI pada tahun 1950.

Bab pendahuluan ini merupakan pengantar ke dalam semua bab uraian; dan selain rangkuman pula pada tiap-tiap bab, suatu bab dikhususkan pada bagian akhir dalam studi ini, yang merupakan penyimpulan dan penilaian terhadap keseluruhan uraian.

 

5. Agama di atas Kebangsaan

Studi ini mengungkapkan bahwa di bidang politik kalangan Kristen bersikap kritis terhadap nasionalisme yang diperjuangkan golongan radikal dalam pergerakan nasional Indonesia. Sikap kritis itu bertolak dari pemahaman mereka terhadap prinsip-prinsip Kristen dalam Kitab Suci mengenai hakikat sejarah dan kebangsaan. Sebab itu baik para politisi konservatif pada masa kolonial, maupun yang lebih progresif menyambut pergerakan kemerdekaan Indonesia sama berpegang pada asas teokrasi, yaitu bahwa panggilan orang Kristen adalah menyatakan dan berusaha mewujudkan kehendak Tuhan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Peralihan dari pengungkapan konservatif ke progresif sikap politik yang sama asasnya itu, menunjukkan adanya suatu transformasi pemahaman nasionalisme dalam kalangan Kristen.

Di bidang kegerejaan berlangsung adaptasi positif, dalam arti aspirasi nasionalisme turut menentukan proses dan tujuan gerakan oikumenis yakni gerakan kemandirian dan keesaaan gereja di Indonesia. Dan dalam gerakan itu kekristenan Protestan di Indonesia menemukan jati dirinya sebagai kekristenan di Indonesia. Dengan kata lain, gerakan oikumene di Indonesia adalah pula transformasi nasionalisme dalam kekristenan di Indonesia.

Jadi, yang menonjol dalam kajian ini adalah proses transformasi, yakni transformasi pemahaman Kristen mengenai nasionalisme dalam asas teokrasi di bidang politik, dan transformasi nasionalisme Indonesia di dalam gerakan oikumene gereja-gereja di Indonesia.

Bab I - Kekristenan dan Kolonialisme di Indonesia

1.1. Gereja di bawah Pemerintah Asing 

1.1.1. Gereja Katolik Zaman Portugis

Ada dugaan bahwa kekristenan Asia Lama telah sampai ke Indonesia pada abad ke-7, tetapi tidak bertahan hidup dalam masa selanjutnya.[1] Sebab itu kedatangan bangsa-bangsa Barat, khususnya Portugis dan Spanyol , pada awal abad ke-16 membuka babakan yang baru sama sekali. Kekristenan Katolik, dengan sistem dukungan pemerintah (padroado) Kerajaan Spanyol dan Kerajaan Portugis, disebarkan mengikuti pusat-pusat perdagangan (emportum) di Asia: Goa (India), Malaka, Maluku dan Macao, sampai ke Jepang. Malaka, yang merupakan bandar dagang utama pada jalur pelayaran ke pulau Maluku (sumber rempah-rempah), ditaklukan Portugis pada tahun 1511.

Seperti yang digambarkan Muller-Kruger, Indonesia yang dijumpai bangsa-bangsa Barat pada abad ke-16 sedang mengalami perubahan-perubahan penting. Peta politik dan peta keagaman sedang berubah: kerajaan-kerajaan Hindu runtuh digantikan oleh bangkitnya kesultanan-kesultanan Islam di berbagai tempat.[2]

Dalam penyebaran agama Kristen itu, peranan para imam dari ordo Fransiskan dan kemudian ordo Yesuit sangat penting. Para rahib dari ordo-ordo ini melakukan pengkristenan secara lebih serius daripada pendahulu mereka, yang lebih mengutamakan kepentingan politik dan perdagangan. Ordo Yesuit membawa pula sikap Kontra Reformasi, sehingga permusuhan antara pihak Katolik dengan pihak Protestan dilanjutkan di Asia. Dari antara mereka terkenal tokoh-tokoh penginjil seperti Fransiscus Xaverius (1506-1552), sang rasul Asia itu, Mateo Ricci (1552-1610), yang bekerja di Cina dan Roberto de Nobili (1577-1656) di India. Fransiscus Xaverius mengkristenkan banyak penduduk asli di kepulauan Maluku. Pekerjaan Xaverius banyak berhasil karena pendekatannya menggabungkan pengkristenan masal dengan pembinaan, pelayanan diakonia dan pergaulan yang akrab dengan penduduk.

Kekristenan (Katolik) di Indonesia pada zaman Portugis terutama terdapat di Indonesia Timur (Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara), yang pada mulanya merupakan jemaat-jemaat benteng. Kemudan terdapat kekristenan dalam masyarakat pribumi di Indonesia bagian timur. Orang Kristen terdiri atas orang Eropa, orang Mardika (orang Asia atau Indonesia yang bukan penduduk setempat, umumnya bekas budak) dan penduduk pribumi. Jumlahnya pada awal abad ke-16 ± 16.000. Selain kekurangan tenaga pelayan untuk melayani orang Kristen yang lahir dari pembaptisan masal itu, gereja diganggu oleh pertikaian politik Portugis dengan musuh-musuhnya (pihak Islam dan kemudian pihak Protestan).

Orang-orang yang masuk Kristen dan bermukim di sekitar benteng masuk ke dalam lingkungan kehidupan asing (Barat), sedangkan yang tetap dalam masyarakatnya memasuki proses pengembangan kekristenan dengan campuran unsur-unsur kepercayaan pra-Kristen. Percampuran itu membuat kekristenan di Indonesia timur itu “kebal” terhadap agama Islam dan bahkan di Maluku Tengah “tiba pada suatu ko-eksistensi yang rukun dan damai”.[3] Akan tetapi pemribumian di Maluku itu dan di kantong kantong Kristen lainnya kemudian tidak memunculkan pusat-pusat kekuasaan pribumi yang berpengaruh. Berbeda dengan agama Islam, dengan kesultanan-kesultanannya seperti Aceh, Banten atau Ternate, agama Kristen tidak menjadi anutan kekuasaaan pribumi sehingga tetap bercitra agama para penguasa asing (bangsa-bangsa Eropa), tidak mendapat cap agama pribumi. Lagipula karena bangsa-bangsa Eropa adalah musuh-musuh kerajaan Islam di Nusantara dalam memperebutkan monopoli perdagangan di Nusantara maka agama Kristen menjadi identitas musuh dan sekutu-sekutu pribuminya.

1.1.2. Gereja Calvinis VOC

Kemenangan Belanda atas Portugis diikuti pengalihan jemaat-jemaat Katolik Indonesia menjadi jemaat-jemaat Protestan[4], kecuali pada beberapa tempat yang tidak bernilai ekonomis bagi Belanda, seperti Nusa Tenggara. Ketika diambil alih dari Portugis, orang Kristen berjumlah ±16.000. Jumlah ini meningkat menjadi ± 33.000 orang pada tahun 1700, tetapi anggota sidi hanya ± 1.600 orang (5%). Kekristenan di bawah VOC Belanda tidak lebih baik daripada sebelumnya, antara lain karena VOC lebih mengutamakan urusan perdagangannya daripada pemeliharaan jemaat-jemaat atau penyebaran injil. Malahan kekristenan dikorbankan demi kepentingan perdagangan. Muller-Kruger mencatat adanya piagam perjanjian dengan pemerintah setempat yang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan kekristenan (Banda 1602, Ternate 1607, plakat Jepang).[5]

Di Maluku Tengah agama Kristen menjadi gereja suku dalam arti mengganti agama suku pada permukaan dan menjadi anutan formal masyarakat secara umum, sedangkan isinya merupakan percampuran dengan kepercayaan lama. Cooley menilai bahwa pada masa itu belum berlangsung suatu pertemuan yang mendasar (konfrontasi teologis) antara iman Kristen dengan agama suku:

Konfrontasi antara agama Kristen dengan agama asli berlangsung selama tiga abad, dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang perlu diuraikan panjang lebar untuk menjelaskan hasil pergumulan itu. Pertama, agama Kristen dan gereja dalam perjuangan itu tidak dilengkapi dengan baik, dalam arti bahwa hanya sedikit perhatian yang dicurahkan kepada jemaat-jemaat pedesaan di Maluku, sampai setelah tahun 1815, sehingga pendidikan dan pengawasan atas iman dan kehidupan Kristen di desa-desa dilakukan oleh para guru yang tidak berpendidikan khusus itu. Konflik yang terjadi tidak begitu tajam, karena masing-masing agama menggunakan bahasa tersendiri. Agama Kristen menggunakan bahasa Melayu, agama asli menggunakan bahasa pribumi. Akibatnya, tidak terjadi konfrontasi yang berbobot teologis yang bersifat menentukan dalam bidang kepercayaan, walaupun banyak praktek dari agama asli telah melemah atau melenyap. Ketiga, karena sebab-sebab politis, menjadi Kristen berarti memperoleh status. […] Menjadi Kristen juga berarti lebih dekat kepada orang asing, bahkan menjadi sekutu mereka. Status ini memberikan keuntungan tertentu kepada kelompok yang menjadi Kristen, terutama pimpinan mereka. Hal ini merupakan unsur-unsur penting dalam pola peralihan orang Ambon menjadi Kristen dan memperkuat kecenderungan untuk memandang [kekristenan] secara lahiriah, bukannya menerima itu sebagai faktor perombakan dan pengarahan baru secara menyeluruh dalam hal kepercayaan dan cara hidup.[6]

Meskipun begitu, seperti telah dikemukakan sebelumnya, agama Ambon tersebut menjadi daya tangkal terhadap pengaruh pengislaman. Dan betapapun keadaannya, telah melangkah setindak lebih maju dari pola kekristenan benteng yang umum berlaku pada masa itu di pusat-pusat perdagangan. Jadi, agaknya diperlukan penilaian yang baru terhadap kenyataan agama Ambon tersebut. Penilaian Cooley, sebagaimana yang dikutip di atas, agaknya bertolak dari ideal masa kini. Kenyataan yang berlaku di Maluku Tengah pada masa itu merupakan proses yang normal dalam hubungan dengan faktor-faktor teologis, sosial, politik yang terkait. Tanpa disadari atau disengajakan oleh pembawa injil atau oleh orang Kristen setempat, berlangsung kontekstualisasi kekristenan, dalam arti Injil disambut ke dalam sistem keagamaan dan kebudayaan setempat. Selain berhasil membendung perluasan Islam, agama Ambon tersebut berhasil pula bertahan dan berakar kuat dalam masyarakat, sehingga tetap bertahan, walaupun tidak ada pembinaan dari para pejabat gereja atau pihak pekabar injil.

1.1.3. Gereja Negeri Pemerintah Hindia Belanda

Pembinaan gereja di Indonesia sejak abad ke-19 dilakukan oleh pihak pemerintah Belanda dan oleh badan-badan pekabaran Injil. Kekristenan Protestan di Indonesia pada zaman VOC lebih merupakan gereja yang diistimewakan negara dan “jemaat jauh” dari gereja Belanda yang berasas Calvinis. Setelah keruntuhan VOC dan setelah seluruh kekuasaannya di Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (termasuk kekuasaan atas gereja) pemerintah menata ulang organisasi gereja di Indonesia. Sesuai kecenderungan para penguasa di Eropa masa itu, raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan pertikaian antar gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di Indonesia. Dengan keputusan raja Belanda tanggal 5 September 1815 gereja di Indonesia ditempatkan di bawah urusan kementrian perdagangan dan jajahan (Departement van Koophandel en Kolonien) dan ditunjuk suatu komisi yang dikenal dengan nama Haagsche Commisie untuk mengurus kepentingan gereja itu, dalam hal ini memberi nasihat kepada pemerintah mengenai gereja di Indonesia dan menguji serta menahbis calon-calon pendeta yang diangkat oleh raja untuk gereja itu.[7] Selanjutnya ditetapkan kesatuan pengurus seluruh gereja Protestan di tanah jajahan (Protestantsche Kerkenin Nederlandsch Oost- en West-Indie) pada tahun 1820. Pembentukan gereja kesatuan di Indonesia baru dilakukan dengan menyatukan seluruh golongan Protestan (Hervormd, Lutheran) dalam penetapan pada tahun 1835 dengan nama De Protestantsche Kerhin Nederlandsch-Indie (=Gereja Protestan di Hindia Belanda). Dengan penetapan itu gereja Protestan di Indonesia diputuskan hubungan resminya dengan gereja di Belanda, dan diciptakan suatu gereja kesatuan yang menjadi bagian terpadu dari lembaga pemerintahan kolonial. Pada tahun 1840 ditetapkan strukturnya, yakni dipimpin oleh suatu Kerkbestuur (=pengurus gereja) di bawah Gubernur Jenderal. Suatu ketetapan yang lebih rinci diterbitkan pada tahun 1844, namun baru menjadi efektif sepuluh tahun kemudian setelah jemaat Lutheran di Batavia menerima penyatuan ke dalam Gereja Protestan itu. Demikianlah rangkaian proses penciptaan suatu gereja negeri, gereja yang secara administratif dan finansial menjadi bagian dari dan tunduk kepada pemerintah.[8] Maka juga fungsinya lebih sebagai jawaban rohani daripada persekutuan orang beriman yang hidup dalam pelayanan dan kesaksian. Dalam peraturan pemerintah tahun 1854 ditetapkan hubungan pemerintah dengan gereja ini, yaitu bahwa perubahan struktur dan kepengurusan harus dengan persetujuan bersama antara raja Belanda dan pengurus badan gereja itu.

Kedudukan sebagai gereja negeri itu sejak semula disadari tidak sesuai dengan hakikat gereja, sehingga timbul usaha-usaha untuk memberikan otonomi atau memisahkan gereja dari negara. Berbagai gagasan, usul dan saran dikemukakan sejak tahun 1851, baik oleh tokoh-tokoh perorangan atau oleh suatu komisi yang ditunjuk, oleh kalangan gereja atau dari pihak pemerintah. Setelah menempuh proses panjang dicapai hasilnya di bidang administrasi pada tahun 1935 dan di bidang keuangan pada akhir tahun 1950. Ternyata pemisahan itu disertai suatu reorganisasi. Mengikuti arah yang diusulkan Hendrik Kraemer untuk mereorganisasi Gereja Protestan menurut kenyataan alami warganya (menurut suku atau daerah). Gereja ini dimekarkan menjadi empat gereja suku, tiga di Indonesia bagian Timur mengikuti wilayah suku masing-masing: Minahasa (GMIM 1934), Maluku (GPM 1935), Timor (GMIT 1947), dan satu untuk seluruh wilayah “Indonesia bagian Barat” di luar ketiga wilayah itu (GPIB 1948).

Beberapa bagian Gereja Protestan di wilayah Indonesia Timur diserahkan pelayanannya kepada NZG sejak tahun 1860. Ini dimaksudkan untuk menghubungkan gereja-gereja itu dengan jemaat-jemaat yang dirintis sendiri oleh NZG. Dan seperti dicatat di atas, Gereja Protestan Maluku bertumbuh sebagai gereja suku. Hal yang sama berlangsung di wilayah suku-suku lainnya, baik dalam lingkungan gereja Protestan (Minahasa dan Timor) maupun dalam jemaat-jemaat yang lahir dari kegiatan badan-badan pekabar Injil.

 

1.2. Zending dan Kolonialisme di Indonesia

1.2.1. Beberapa Catatan tentang Zending

Paham kebebasan beragama yang dihasilkan Revolusi Perancis (1789) adalah pula kebebasan memberitakan Injil, sehingga badan-badan pekabaran Injil dapat bekerja di Indonesia. Pada umumnya badan-badan itu bukan lembaga dari gereja tertentu, melainkan perkumpulan ”swasta” di luar gereja. Di Indonesia ada pembatasan-pembatasan dari pihak pemerintah kolonial, antara lain dengan hanya mengijinkan satu lembaga pada setiap wilayah atau menutup sama sekali daerah-daerah tertentu karena alasan keamanan. Pada tahun 1814 tiba tiga orang dari lembaga pekabaran Injil Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG, berdiri 1979) yang diutus melalui London Missionary Society (LMS). Mereka segera “disita” oleh pemerintah untuk melayani Gereja Protestan. Salah seorang dari mereka, Gottlob Bruckner (1783-1857) bekerja beberapa lamanya di Semarang dan sempat menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa.[9] Joseph Kam (1769-1833), yang kemudian digelari rasul Maluku, terus ke Maluku melayani jemaat-jemaat dan memberitakan Injil di seluruh kepulauan itu sampai ke Sulawesi Utara.[10] Pekabaran injil yang intensif di beberapa wilayah Indonesia berlangsung sejak parohan kedua abad ke-19, dengan perhatian pada suku-suku yang masih menganut agama asli (agama sukunya). Perhatian itu berhubungan dengan pembatasan-pembatasan  pemerintah kolonial yang, demi keamanan dan ketertiban, melarang penginjilan di Pulau Jawa dan di wilayah-wilayah yang dianggap sudah memeluk agama Islam. Tetapi pembatasan-pembatasan tu tetap diterobos berita Injil, terutama melalui pelayanan-pelayanan orang Kristen secara pribadi. Masuknya agama Kristen di kalangan orang jawa dan orang Cina dimulai oleh tokoh-tokoh perorangan dan baru kemudian berlangsung perwalian Zending.

Kebanyakan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pekabar Injil berlatar belakang Pietisme, yakni aliran kekristenan yang timbul dalam gereja-gereja di Eropa pada akhir abad ke-17 dan menjadi pendorong utama kebangkitan utama pekabaran Injil pada abad berikutnya.[11] Gerakan ini lebih menekankan kesalehan dan etika daripada ajaran, dan pertobatan pribadi daripada baptisan masal. Pietisme juga lebih mementingkan persekutuan yang hidup daripada lembaga gereja, dan bersikap negatif terhadap kebudayaan asli dan cenderung menjauhi masalah-masalah sosial-politik.[12] Pedoman yang dianut NZG, badan pekabaran Injil non-konfesional yang bekerja di berbagai tempat, khususnya di Indonesia bagian Timur, adalah memberi tekanan pada pertobatan pribadi yang terjadi melalui pengajaran (bukan oleh tekanan politik atau bujukan materil). Dalam prakteknya, prinsip ini sulit dijalankan: pembaptisan masal terpaksa dilakukan karena berbagai alasan (terutama untuk mencegah pengislaman). NZG mengutamakan lembaga-lembaga pendidikan, yang sekaligus juga melayani tujuannya yang lain: membawa peradaban (moderen/Barat) kepada suku-suku “primitif”. Tujuan ini menonjol di kalangan pekabar Injil menjelang akhir abad ke-19, karena rata-rata lebih terpelajar dari generasi sebelumnya dan karena itu pula mendukung ideal pengadaban dalam imperialisme dan kolonialisme Barat. Tekanan pada kesalehan mempunyai dampak tertentu pada pola pembinaan jemaat dan pada persyaratan yang ketat dalam perluasan tanggung jawab kepada para pembantu pribumi. Dampak lain sehubungan dengan praktek NZG mengutus tenaga-tenaga yang kurang terpelajar  (asalkan saleh) adalah kegagalan untuk memahami dan karena itu bersikap negatif terhadap kepercayaan pra-Kristen setempat, ketimbang berusaha mempertemukannya dengan Injil. Sebab itupula praktek-praktek pra-Kristen masih sering dilakukan warga jemaat dan mutu kekristenan begitu dangkal sehingga praktek pemisahan sakramen dari zaman VOC tetap dipertahankan.[13] Baru kemudian tampil pekabar Injil “akademisi”, yang mendalami berbagai segi kehidupan pribumi dalam rangka penginjilan yang lebih mendalam dan menyentuh.

Pembaptisan masal berhubungan pula dengan pendekatan penginjilan yang bertujuan mengkristenkan suatu suku “kafir” secara keseluruhan, walaupun tidak berhasil sepenuhnya. Pendekatan ini berhubungan dengan teologi pekabaran Injil (misiologi) yang menggeser ataupula melengkapi prinsip-prinsip pietisme, yakni yang menekankan pentingnya gereja bangsa (Volkskirche).[14] Hasil-hasil yang menonjol dicapai di kalangan suku-suku Batak dan Nias di Sumatera, Dayak di Kalimantan, Poso dan Toraja di Sulawesi, dan di kalangan suku-suku di Irian dan pulau-pulau lainnya di Indonesia bagian Timur. Dalam hubungan itu dapat dicatat bahwa kegiatan penginjilan mempunyai aspek sosiologis yang penting dalam rangka emansipasi suku-suku bangsa itu ke dalam peradaban moderen. Ketiga prasarana sosial yang mendukung usaha penginjilan dan pelembagaan gereja (pendidikan, pelayanan medis dan pelayanan sosial) sangat menentukan perubahan sosial masyarakat suku-suku tradisional. Sejarah penginjilan di kalangan suku-suku Batak, Dayak, Toraja, Pamona, Mori dsb memperlihatkan kenyataan itu.[15]

Suatu perkembangan yang agak lain terjadi dalam pengkristenan di kalangan orang Jawa pada tahap awal, yakni melalui pembukaan hutan untuk pertanian dan kegiatan di bidang ekonomi lainnya. Terbukanya, pusat kekristenan Jawa di Ngoro dapat dilihat sebagai model yang khas. Coenraad Laurens Coolen (1775-1873), seorang Indo Jawa yang menganut kekristenan yang berciri kejawen (dipengaruhi tradisi Jawa), memperoleh hak sewa tanah pertanian di rimba Ngoro, yang kemudian dia olah menjadi lahan pertanian yang subur. Coolen mengorganisasikan orang-orang yang datang menyewa tanahnya dalam suatu persekutuan yang harmonis dimana masing-masing kelompok agama (Kristen dan Islam) mempunyai tempatnya. Agama Kristen berkembang dengan baik dan dalam pertalian dengan kebudayaan Jawa tanpa hubungan dengan atau campur tangan dari pihak Zending. Coolen sekaligus menjadi pemimpin masyarakat dan guru rohani bagi mereka.

1.2.2. Zending dan Kolonialisme Abad ke-19

Seperti dikemukakan di atas, Gereja Protestan adalah bagian dari lembaga pemerintahan kolonial di Indonesia. Para pelayannya adalah pegawai negeri, yang diangkat dan digaji oleh pemerintah, sehingga fungsinya kurang lebih hanya sebagai pegawai kantor urusan keagamaan Kristen. Juga dalam jemaat-jemaat di Indonesia Timur, yang secara khusus dilayani oleh NZG, kekristenan kurang terkait dengan soal-soal politik masyarakat kolonial. Tidak ada suara kenabian dari kalangan gereja terhadap kenyataan buruk kolonialisme. Pada abad ke-19 terdapat peristiwa-peristiwa penting dalam hubungan kolonial, yang seyogianya menjadi perhatian gereja: sistem tanam paksa (cultuurstelsel), perang-perang kolonial (pasifikasi daerah-daerah luar Jawa), kuli kontrak (khususnya Koeli Ordonnantie dengan Poenale Sanctienya). Tetapi harapan ini bisa tidak adil, mengingat keterlibatan gereja dalam soal-soal politik belum menjadi perhatian pada masa itu. Suatu perjuangan dari Clapham Sect, suatu organisasi sosial Kristen Injili di Inggris pada abad ke-19, memang berhasil mendesakkan penghapusan perdagangan budak pada tahun 1807.[16] Gema gerakan ini di Indonesia disuarakan bukan oleh gereja, melainkan oleh pemerintah Inggris dalam masa Interregnum. Stamford Raffles, kawan dan murid Wilberforce, memulai pembatasan-pembatasan pada masa pemerintahannya: tahun 1812 menarik pajak dari pemilik budak, tahun 1813 melarang perdagangan budak di seluruh Indonesia dan melarang perbudakan seseorang karena tak mampu membayar hutang. Soal ini diperjuangkan kaum liberal Belanda kemudian, yang berhasil menghapus perbudakan di seluruh jajahan Belanda sejak 1 Januari 1860.[17]

Pada abad ke-19 timbul banyak gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial, utamanya di pulau Jawa. Seperti yang terungkap dalam studi Sartono Kartodirdjo, perlawanan rakyat pedesaan terhadap kenyataan kolonialisme seringkali terungkap dalam simbol-simbol keagamaan, dalam hal ini agama Islam, dengan pengaruh tertentu dari agama suku.[18]

Mengenai perlawanan dari kalangan orang Kristen Indonesia, A.B. Lapian menunjuk dan berusaha memperlihatkan sifat Kristen perlawanan rakyat Maluku Tengah pada tahun 1817. Tetapi perlawanan di Maluku Tengah itu – walaupun mengedepankan simbol-smbol keagamaan – tidak dapat dikatakan sebagai perlawanan yang diilhami pemikiran keagamaan (Kristen) dalam arti gagasan-gagasan Kristen dipakai sebagai pembenaran terhadap tuntutan dan cara perjuangan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pattimura itu disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap tekanan pemerintah Belanda, yang baru mengambil alih kekuasan dari tangan Inggris dan disulut oleh isyu mengenai kebijakan pemerintah Belanda terhadap penduduk pribumi (a.l. bahwa para pemuda akan diangkut ke Jawa untuk dinas militer dan bahwa para guru agama Kristen akan diberhentikan). Pattimura menganggap bahwa keterpilihannya sebagai kapitan (=panglima) perang sebagai tunjukan dari Tuhan. Lapian mengutip surat Pattimura kepada para raja negeri (=kepala adat setiap satuan kampung tradisional) supaya memerintahkan semua rakyat untuk setia kepada titah Tuhan: agar supaya kita mendapat kekuatan dan dorongan dalam perang ini yang bertujuan untuk memperbaiki nasib kita dan negeri kita.[19] Pattimura memerintahkan rakyat tetap setia menjalani kehidupan Kristen. Pada akhir peperangan yang berlangsung dengan ganasnya selama beberapa bulan itu Alkitab di atas mimbar gereja Saparua, yang ditinggalkan Pattimura dan pasukannya, terbuka pada Mazmur 17, yang berisi doa memohon pembenaran dan perlindungan Tuhan terhadap serbuan orang-orang fasik. Walaupun simbol-simbol Kristen seperti itu dipakai, tampaknya tidak cukup alasan untuk menyebut perlawanan Pattimura itu sebagai perlawanan Kristen, dalam arti iman Kristen menjadi sumber inspirasi bagi tuntutan-tuntutan yang diperjuangkan dengan senjata itu. Perlawanan itu tidak dirumuskan sebagai perlawanan “umat Allah”.[20] Yang dapat dikemukakan adalah kenyataan bahwa kesamaan agama dengan penguasa kolonial tidak menutup mata Pattimura dan pengikutnya terhadap ketidakadilan yang mereka lihat dan mereka rasakan. Enklaar mencatat dua hal yang menonjol dalam laporan Joseph Kam mengenai peristiwa itu kepada badan-badan pengutusnya di Rotterdam dan London: bahwa pemberontakan itu merupakan tindakan bengis orang-orang Alifuru dari Seram, yang juga merenggut nyawa orang-orang Kristen pribumi, dan bahwa ada ketakutan di kalangan warga jemaat dan Zending terhadap kebengisan itu.[21]

Hubungan antara Zending dengan pemerintah kolonial pada abad ke-19 di Indonesia memperlihatkan variasi. Contoh pertama dari Irian Jaya . Pulau yang besar dengan penduduk yang lama tertutup dalam “zaman batu” ini mulai diinjili pada parohan kedua abad ke-19.[22] Setelah suatu rintisan oleh beberapa lembaga pekabaran injil Jerman yang berlatar belakang Pietisme, suatu badan pekabar Injil Belanda yang bercorak etis, Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV), mengambil alih panggilan itu. UZV bersikap mendua terhadap kolonialisme: pada satu pihak menerima kolonialisme sebagai penyelenggaraan Tuhan dimana berlangsung balas budi berupa Injil Kristus kepada penduduk pribumi atas kekayaan materil yang diambil dari negeri mereka. Dalam hubungan itu Kamma mengutip pandangan Hoornbeek, seorang teolog Belanda abad ke-17:

Sudut-sudut tersembunyi di Barat dan di Timur itu telah jadi kita kenal; bahkan di tempat-tempat itu dikuasakan kepada kita. Tetapi menurut pendapat saya demikianlah terjadi bukan supaya majulah kesejahteraan dan kemahsyuran negara, bahkan lebih-lebih demi kemajuan kerajaan Kristus. Itu berarti bahwa daerah-daerah jajahan itu dikuasai oleh negeri Belanda demi keselamatan penduduk sendiri. Jadi di sini orang melihat tangan Tuhan. Siapa akan menyangka bahwa kita kebagian semua itu, berkat pemeliharaan serta anugerah, semata-mata agar kita dapat menyelidiki dan menaklukkan negeri-negeri itu, dan mengambil kekayaan buminya serta barang-barang yang ada di sana dalam jumlah yang melimpah? Bukankah yang pertama-tama menjadi tujuannya, yaitu supaya kita membawa pengetahuan dan penyembahan kepada Allah kepada bangsa-bangsa yang sampai sedemikian jauh masih asing dengan kemanusiaan dan agama itu? Buktinya ialah bahwa negeri–negeri itu dibuka bukan untuk orang-orang kafir yang lain, melainkan untuk kita orang Kristen. Oleh karena itu adalah wajar kalau mereka menerima barang-barang rohani dari kita, karena mereka telah memperkaya kita secara materiil.[23]

Pemahaman seperti ini berlangsung dalam suatu masa dimana lazim pandangan merendahkan manusia dan bangsa-bangsa di luar peradaban Eropa, dan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa itu dianggap wajar saja. Tetapi juga di dalam UZV mulai timbul kesadaran baru. Seorang pekabar Injil dalam hubungan dengan penginjilan di Jawa mengecam sikap merendahkan pribumi:

Orang Jawa tak suka kepada kita. […] Pertama-tama diperlukan sekali ialah agar orang Jawa percaya kepada cinta orang Belanda. Bertahun-tahun lamanya kita menjadi nomor satu dan mereka menjadi nomor dua. Bagaimanakah mungkin dalam keadaan seperti itu tumbuh cinta? Di dalam hati mereka harus terjadi lebih banyak supaya mau menerima Injil, daripada yang harus terjadi dalam hati kita supaya kita mau membawakannya kepada mereka.[24]

Para pekabar Injil UZV menghadapi kesulitan khusus di Irian: perang suku, pengayauan dan kanibalisme. Maka dapat dimengerti jika mereka cenderung untuk memihak dan mendukung usaha pasifikasi pemerintah kolonial. UZV ingin memancangkan bendera Belanda dan panji-panji merah salib di Irian Barat.[25] Pada sebaliknya suatu komisi negara pada tahun 1858 meminta dukungan pemerintah kepada pekabaran Injil:

Komisi tidak ragu-ragu menganjurkan, sesuai dengan pendapatnya, bahwa di dalam mendirikan kekuasaan di antara orang kafir, maka pada umumnya, dengan beberapa perkecualian saja, penyebaran agama Kristen patut mendapat dorongan dari pihak resmi, bahkan ditunjang dengan uang; sedang di negeri-negeri kafir yang belum dikuasai secara efektif dan dimana kekuasaan kita belum mau didirikan, Pemerintah harus membatasi diri hanya pada memberikan izin masuk, yaitu apabila hal itu dapat dilakukan tanpa membahayakan ketenteraman.[26]

Usulan di atas tidak dijalankan pemerintah sepenuhnya. Dukungan terhadap pekabaran Injil tidak begitu besar, walaupun pemerintah mengakui peran pentingnya membuka suku-suku pedalaman yang terisolir. Pemerintah lebih mengutamakan saran yang terakhir di atas: mengatur penyelenggaraan pekabaran Injil secara ketat dalam batas-batas kepentingan keamanan dan ketertiban. Kegagalan UZV untuk bekerja di Jawa Barat antara lain berhubungan dengan peraturan-peraturan pemerintah, demi keamanan dan ketertiban itu.

Pendekatan keamanan dan ketertiban yang merugikan pekabaran injil itulah yang memperlambat pekabaran Injil di Jawa. Telah dicatat di atas mengenai ketiga pekabar Injil yang pertama masuk ke Indonesia pada masa pemerintah Inggris. Supper ditahan untuk melayani di Batavia dan sempat mendirikan suatu Lembaga Pekabaran Injil Pembantu di Jawa, Bruckner bekerja di Semarang, dan Kam sempat singgah beberapa lamanya di Surabaya dalam perjalanan ke Maluku. Bruckner rupanya melihat kemungkinan-kemungkinan baik bagi pekabaran Injil di Jawa sehingga ia meminta tenaga dari Belanda. Tetapi tenaga yang dikirim pada tahun 1818 dipekerjakan di Timor (Le Bruijn) dan di Surabaya (Buitenaar). Beberapa tahun berikutnya diutus  seorang pekabar Injil untuk Jawa, tetapi ditempatkan pemerintah di Maluku. Sampai tahun 1847 tidak ada tenaga untuk Jawa, karena:

[…] adanya kekhawatiran umum akan agama Islam, yang mencekam baik pemerintah maupun para pegawai, baik para pendeta GPI maupun orang-orang swasta, dan tokoh-tokoh sending pun tak luput dari pesona keadaan ini.[27]

 Nortier juga mencatat pandangan J.C. Baud (1789-1859) seorang pegawai tinggi yang kemudian menjadi menteri kolonial (1840-1848) dan anggota Tweede Kamer (1850-1858) yang mempengaruhi sikap NZG sejak tahun 1820-an:

Orang Jawa itu acuh tak acuh, sehingga ia dengan mudah dapat dijadikan pemeluk agama Kristen atau agama manapun, secara nominal. Akan tetapi orang-orang terkemuka dan alim ulama amat tidak toleran. Terutama yang belakangan ini besar sekali pengaruhnya terhadap rakyat yang tak segan mengikuti setiap orang fanatik. Sekalipun tanpa bahaya besar kita dapat mengijinkan percobaan-percobaan untuk menjalankan pekabaran Injl di tengah-tengah orang Jawa biasa, tetapi para alim ulama pasti akan berusaha menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan. […] Penyebaran Alkitab dan selebaran-selebaranpun tak akan membawa hasil yang berarti oleh kecilnya jumlah orang-orang Jawa yang dapat membaca. Tanah mesti disiapkan dahulu, dan hal itu hanya Gubernemen yang dapat melakukannya, yakni melalui pendidikan dan pengajaran. Kitab-kitab yang berisi ajaran tentang kesusilaan dari Injil dan Quran harus diberikan kepada kaum muda Jawa. Ini adalah tugas Gubernemen.[28]

Percakapan salah seorang pejabat NZG, Ds.L.J. van Rhijn, dengan Gubernur Jenderal J.J Rochussen pada bulan Oktober 1847 menyingkapkan segi lain dari alasan pemerintah menghalangi pekabaran Injil kepada orang Jawa, yakni ketakutan pemerintah terhadap perubahan sosial:

Kami mengadakan pembicaraan yang penting dan bertukar pikiran sungguh-sungguh mengenai Jawa, yaitu mengenai pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Yang Mulia membentangkan pendapatnya terang-terangan dan secara jujur kepada saya. Ia terikat kepada perintah-perintah dari atasan-atasannya. Pekabaran Injil yang bebas niscaya akan membawa perubahan yang menyeluruh pada sistem pemerintahan kita yang sekarang.[29]

Pada periode yang dibicarakan ini sedang berlangsung usaha pemerintah mengorganisasikan gereja di Indonesia ke dalam Gereja Protestan, rakyat di Jawa sedang parahnya menanggung derita Cultuurstelsel setelah Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830) dan dalam bidang politik di Belanda politik liberal sedang naik daun. Pandangan yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pemerintah terlebih dahulu harus mempersiapkan rakyat Jawa melalui pendidikan untuk mampu menerima Injil, ternyata tidak berlaku. Pendidikan tidak mencapai sasarannya, tetapi Injil menemukan jalannya ke dalam masyarakat Jawa tanpa melalui badan pekabaran Injil atau menunggu persiapan pemerintah itu. Bruckner, yang sejak 1816 beralih dari NZG ke BMS (Baptist Missionary Society), mempelajari bahasa Jawa dengan mendalam. Ia menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa yang dicetak di Serampore (India) pada tahun 1831. Walaupun terjemahan itu disita pemerintah, ada sejumlah traktatnya yang lolos dan berhasil membawa sejumlah orang Jawa ke dalam kekristenan. Dalam hal ini juga penghargaan teralamatkan lagi pada keuletan penganut Pietisme: Johannes Emde (1774-1859), yang mengabarkan Injil melalui kegiatan kolportase di Surabaya, dan Coolen, sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang mempertemukakan Injil dengan tradisi budaya Jawa dan kebutuhan sosial ekonomi penduduk di Ngoro. Kelak pola pekabaran Injil oleh perorangan itu dijalankan di Jawa oleh beberapa orang secara pribadi dan sendiri-sendiri. Pekabar Injil NZG yang pertama baru dizinkan masuk Mojowarno pada tahun 1848, dua tahun sebelum pada akhirnya pemerintah membuka pulau Jawa bagi masuknya badan-badan Zending.

Di Tanah Batak pekabaran Injil dimulai mendahului masuknya kekuasaan pemerintah Belanda. Beberapa usaha awal gagal, juga karena alasan keamanan dan ketertiban pemerintah melarangnya sampai tahun 1860. Salah satu faktor yang menentukan sikap pemerintah dan jalannya penginjilan di Tanah Batak adalah Perang Paderi (1821-1837). Perang ini memperluas pengaruh Islam ke bagian Selatan Tanah Batak – yang diterima terutama sebagai penolakan terhadap pemerintah kolonial – sehingga bagian Utara terbuka bagi pekabaran Injil. H. Neubronner van der Tuuk (1824-1894), seorang ahli bahasa Batak, menasihatkan untuk bekerja di kalangan orang kafir sebelum mereka diislamkan. Kemenangan Belanda dalam Perang Paderi dilanjutkan dengan memperluas kekuasaan Belanda ke pedalaman Tanah Batak. Masuknya kekuasaan pemerintah Belanda itu menjadi dukungan penting bagi pekabaran Injil yang dikerjakan oleh RMG dari Jerman. Dukungan itu terutama dalam dua hal: keamanan dan komunikasi. Dukungan keamanan berhubungan dengan perang suku dalam lingkungan orang-orang Batak; sedangkan pembukaan Tanah Batak yang terisolasi dari perkembangan pesat dunia memungkinkan karya penginjilan berkembang bersama dengan usaha-usaha memajukakn masyarakat Batak. Kegagalan perlawanan Sisinga Mangaraja pada tahun 1883 terhadap pemerintah Belanda menandai akhir dari ketertutupan negeri itu, yang sekaligus memudahkan pekerjaan peginjilan. Pembangunan jalan raya pada tahun 1919, yang menghubungkan pantai Barat dan pantai Timur Sumatera yang melintas jantung Tanah Batak, melengkapkan proses itu. Sebab itu Hendrik Kraemer menyebutkan dua faktor utama yang menentukan kemajuan besar yang dicapai dalam pekabaran Injil ini di Tanah Batak:

Saya yakin penyebab rohaninya ialah iman yang teguh dari Nommensen dan para sejawatnya bahwa kemenangan akhir ada pada mereka. Kokohnya keyakinan Nommensen di tengah-tengah bahaya besar, kerelaannya untuk menderita dan kehilangan segalanya demi melapangkan jalan bagi pemerintah berdaulat Kristus, rencana-rencananya yang berjangkauan luas untuk mengkristenkan orang Batak dalam suatu kenyataan buas orang kafir, semua itu menunjukan suatu kualitas yang tak tergantikan dari suatu tatanan yang lebih tinggi. […]

Saya yakin bahwa penyebab luarnya adalah datangnya pemerintah Belanda. Kekafiran, yang telah terkalahkan secara rohani, menyaksikan ambruknya perlindungannya yang terakhir: keterasingan. Suatu zaman baru menyingsing tak terelakkan.[30]

Dari contoh-contoh hubungan kalangan Zending dengan pemerintah di atas terlihat bahwa tidak ada bentuk hubungan yang tetap. Pemerintah kolonial mendukung usaha-usaha pihak Zending untuk memajukan masyarakat yang terisolir , tetapi sangat berhati-hati jangan sampai timbul kerusuhan dari kalangan Islam. Maka dapat dikatakan bahwa sikap pemerintah terhadap pihak Zending ditentukan oleh politik pemerintah, khususnya terhadap Islam. Dalam hubungan itu, secara hukum ditetapkan dalam pasal 123 RR (pasal 177 IS)[31] kewenangan penuh pemerintah mengatur izin kerja bagi lembaga-lembaga pekabaran Injil. Pada sebaliknya pihak Zending menyadari perlunya peran pemerintah dalam membuka dan mengamankan wilayah kerja mereka, terutama dalam kewenangan mengakhiri kebiasaan-kebiasaan buruk dalam masyarakat tradisional, seperti perbudakan, perjudian atau pengayauan. Memang mereka tidak bersangkutan langsung dengan kepentingan kolonialisme, tetapi terikutnya kebudayaan Barat dalam pendekatan mereka memberitakan Injil turut menunjang imperialisme. Dan pandangan teologi mereka, yang rata-rata dipengaruhi Pietisme, mengarahkan mereka pada keselamatan rohani perorangan sehingga tidak berkembang kritik sosial terhadap kenyataan kolonialisme.[32] Selain tekanan dari pihak pemerintah dan sikap pietis itu, dapat dicatat dua faktor lain yang menyebabkan pihak Zending kurang kritis terhadap pemerintah kolonial: pertama, para pekabar Injil kemudian, yang lebih terpelajar, makin terbuka pada gagasan-gagasan pemerintah kolonial untuk memajukan pribumi. Hal ini berhubungan pula dengan perhatian terhadap unsur peradaban dalam pekabaran Injil. Yang kedua, kalangan Kristen di Indonesia tidak merupakan kekuatan sosial yang bermakna. Para pekabar Injil dan jemaat-jemaatnya terpencil di pedalaman, sedangkan orang-orang Kristen Eropa di kota-kota tidak mengindahkan kehidupan gereja dan hidup mereka sama sekali bertentangan dengan tuntutan Kristen.[33]

Jadi, terdapat variasi yang tidak dapat digeneralisasi dalam hubungan antara pekabaran Injil dengan kolonialisme di Indonesia. Yang tetap menonjol adalah kesadaran pihak pekabar Injil untuk tidak menyamakan kolonialisme dengan tujuan pekabaran Injil. Sikap mereka disimpulkan van den End dalam rumusan:

Bagi mereka Kerajaan Allah tidak sama dengan Kerajaan Belanda. Dan mereka tetap menyadari bahwa mereka bekerja demi perluasan Kerajaan Allah, bukan demi perluasan Kerajaan Belanda. Tetapi kadang-kadang perluasan Kerajaan Belanda itu mereka anggap perlu demi perluasan Kerajaan Allah.[34]

1.2.3. Politik etis Kolonial

Reaksi-reaksi terhadap kenyataan buruk kolonial pada akhir abad ke-19 dari kalangan intelektual dan politisi Belanda mencapai puncaknya dalam artikel C.Th. van Deventer (1857-1915) berjudul “Een Eereschuld” dalam majalah De Gids pada tahun 1899.[35] Ia mengungkapkan bahwa negeri Belanda berhutang kepada Hindia Belanda atas semua kekayaan yang dikeruk dari Hindia Belanda dan hutang itu harus dikembalikan dengan jalan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Hindia Belanda.[36] Pada tahun 1818 Mr. L.W.C. Keuchenius (1822-1893), yang bersikap pro zending, diangkat menjadi menteri tanah jajahan. Visi Kristen untuk penyebaran agama dan peradaban bertemu dengan visi kemanusiaan (peningkatan kesejahteraan dan pengembangan moral) dari golongan liberal sehingga memperkuat cita-cita politik kolonial baru yang dikenal sebagai politik etis (etische politiek).[37] Politik etis, dengan trisila irigasi, edukasi dan emigrasi ini, berhubungan pula dengan gagasan the white man’s burden, suatu ungkapan dari sastrawan Inggris, Rudyard Kipling (1865-1936), pada tahun 1899, mengenai falsafah kolonialisme Inggris. Ungkapan itu mengandung pengertian mengenai suatu kesadaran akan tugas dan kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, yang dibebankan di atas pundak penjajah oleh situasi sejarah, yakni to serve your captive’s need.[38] Pidato kerajaan Ratu Belanda pada tahun 1901 (awal diberlakukannya politik etis) mencanangkan Nederlands zedelijke roeping (panggilan etis Belanda). Gagasan dasarnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat jajahan dan asas politiknya adalah mengubah hubungan kolonial dari pemilikan menjadi hubungan perwalian. Dalam kerangka itu berbagai perubahan dan prioritas pembangunan dijalankan: desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintah, perbaikan kesehatan rakyat , emigrasi, perbaikan pertanian (antara lain pembangunan irigasi) dan peternakan serta peningkatan pendidikan.[39] Dan dalam rangka mematangkan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang dewasa bebas dari  perwalian – dengan menjadikan barat sebagai patokan – diusahakan memajukan peradaban rakyat jajahan melalui beberapa kemungkinan. Dalam politik etis dikenal konsep unifikasi, yakni usaha menyatukan keseluruhan masyarakat Hindia Belanda, mula-mula dalam sistem hukum dan perundang-undangan, kemudian meluas pada penghapusan diskriminasi sosial dalam tatanan masyarakat, antara lain melalui pendidikan. Ada yang mendukung gagasan asimilasi, yakni kesatuan yang mengarah pada atau ke dalam masyarakat Eropa: kebudayaan pribumi diganti dengan kebudayaan Barat. Tetapi segolongan lain menggagas ide asosiasi: kesatuan yang mengindahkan proses alami dan menghargai kebudayaan asli. Konsep unifikasi yang Barat-sentris ini berakar dalam keyakinan yang optimistik, bahkan angkuh, akan keunggulan peradaban Barat. Salah seorang penganjur gagasan asosiasi adalah C. Snouck Hurgronje (1857-1936), yang terkenal sebagai ahli Islam dan perumus kebijakan kolonial terhadap Islam dalam masa politik etis.

Walaupun dari segi jumlahnya hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang menerima pendidikan, namun peranannya sangat menentukan dalam pergerakan nasional.[40] Dari kalangan pribumi terpelajar itulah bangkit kesadaran nasional. Sartono Kartodirdjo mencatat mengenai peranan itu:

Sangat jelas di sini bahwa ada hubungan timbal balik antara perkembangan gerakan nasional dan ekspansi pendidikan modern yang pesat. Tegasnya, pendidikan dapat dipandang  sebagai sebuah dinamit bagi sistem kolonial. Pengaruh pendidikan terhadap masyarakat kolonial diakui sepenuhnya oleh penguasa-penguasa kolonial sendiri, dan menurut kata Colijn: “Merupakan tragedi politik kolonial, karena ia membentuk dan membangun kekuatan-kekuatan yang kemudian hari akan melawan pemerintah kolonial”.[41]

Pembentukan suatu dewan rakyat, yang sejak lama dicita-citakan oleh para penggagas dan pendukung politik etis, berkaitan dengan soal pertahanan Hindia Belanda (Indi Weerbaar). Gagasan pertahanan dengan mobilisasi pribumi telah ditolak pada tahun 1913-1914, namun muncul lagi dalam hubungan dengan Perang Dunia I. Budi Utomo mendukung, tetapi Sarekat Islam menuntut perwakilan pribumi dalam pemerintahan untuk dapat turut mempertahankan Hindia Belanda. Wakil-wakil berbagai organisasi pribumi (antara lain BU, SI, Persatuan Bupati, ke-4 keraton) pergi ke negeri Belanda memperjuangkan urusan perwakilan dan pertahanan itu. Walaupun para utusan itu mendapat sambutan meriah, tuntutan mereka akhirnya ditolak dalam Staten-Generaal, yang justru menyetujui pembentukan Volksraad pada bulan Desember 1916. Volksrad berbentuk badan tunggal dengan fungsi hanya untuk memberi nasihat dan untuk memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal dalam urusan-urusan anggaran. Kenyataan itu berbeda dengan pernyataan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada pembukaan Volksraad I, bulan Nopember 1918 (kemudian dikenal sebagai Novemberbeloften), bahwa Dewan ini berwenang menyalurkan suara hati nurani rakyat dan disamping itu mungkin kelak pusat titik berat politik akan dipindahkan dari Nederland ke Indonesia, dan bahwa status sebagai tanah jajahan yang dieksploitasi akan diganti dengan status sebagai bagian dari Kerajaan Belanda yang diberi otonomi dengan pemerintahan yang demokratis.[42]

Pada pertama kali terdapat 19 orang anggota Volksraad yang dipilih (10 orang Indonesia) dan 19 yang ditunjuk (5 orang Indonesia) dengan seorang ketua. Anggota Indonesia dalam Volksraad meningkat dari 39% (dari 39 anggota) ke 40% (49 anghota) pada tahun 1921, lalu 42% (60 anggota) pada tahun 1927. Akhirnya 50% ketika keseimbangan antara orang Eropa dengan orang Indonesia dan Timur lainnya (umumnya orang Cina) diubah pada tahun 1931, jumlah angota yang dipilih melebihi jumlah yang ditunjuk, tetapi pemilih keseluruhannya hanya 2.228 orang di seluruh Indonesia, yang pada waktu itu berpenduduk sekitar 70 juta jiwa.[43]

Meskipun mempunyai berbagai kelemahan, Volksraad diakui berhasil mendesakkan konstitusi baru pada tahun 1925, dimana Dewan Hindia diperkecil kewenangannya menjadi suatu badan penasihat, dan Volksraad sendiri diberi kekuasaan-kekuasaan terbatas. Hanya Staten-Generaal di Den Haag tetap menentukan anggaran kolonial, Van Niel merangkum penilaiannya atas fungsi Volksraad sebagai berikut:

Ia telah menjad pentas untuk melampiaskan kekesalan-kekesalan, yang barangkali dalam hal inilah ia mempunyai arti yang paling penting. Tentu saja badan ini juga merupakan lapangan tempat latihan kesadaran dan prosedur politik bagi orang Indonesia tertentu, tetapi yang nyatanya amat terbatas. Orang Indonesia umumnya, dan orang Eropa khususnya, terus menanggap Volksraad sebagai sesuatu yang harus menjadi wakil rakyat Indonesia, harus merupakan suatu forum tempat mereka menyuarakan keinginan akan mendapatkan kekuasaan perundang-undangan. Volksraad tak pernah memenuhi kebutuhan ini, sungguhpun dalam kenyataan padanya telah diberikan kekuasaan legislatif itu dan orang Indonesia telah mengisi satu setengah kali jumlah anggotanya, oleh karena dewan ini tetap terpisah dari arus utama kehidupan orang Indonesia dan hanya mewakili satu jenis pemikiran saja.[44]

Salah satu “akibat sampingan” politik etis – yang kemudian berkembang sebagai jawaban (negatif) bangsa Indonesia terhadap keseluruhan kenyataan kolonialisme – adalah munculnya faktor baru dalam masyarakat jajahan: nasionalisme Indonesia. Nasionalisme ini muncul sebagai gerakan sosial budaya, tetapi dengan cepat menjadi gerakan ideologis-politik. Corak ideologis politik nasionalisme Indonesia berkembang mula-mula dalam Indische Partij (1912), lalu membiak dengan cepat melalui sayap radikal yang kemudian menjadi golongan Komunis dalam Sarekat Islam, dan selanjutnya melalui Perhimpunan Indonesia, lalu kemudian oleh Partai Nasional Indonesia. Salah satu jawaban tegas pemerintah kolonial terhadap perkembangan itu adalah pelembagaan PID (Politieke Inlichtingendienst), yang secara efektif membayangi kehidupan kaum nasionalis: penangkapan, penahanan atau pengasingan pemuka-pemuka kaum nasionalis Indonesia yang bersikap non-koperasi dan menempuh cara-cara radikal.[45] Akibatnya para aktivis pergerakan bergerak secara rahasia atau mengubah isi dan cara pergerakan: bukan lagi tekanan pada Indonesia merdeka melainkan otonomi Indonesia yang diperjuangkan melalui jalur konstitusional, khususnya di dalam Volksraad. Kelompok terpelajar lainnya bergiat dalam bidang-bidang pendidikan dan kebudayaan.[46]

Kalangan Belanda sendiri terbagi-bagi dalam menanggap kenyataan politik kolonial. Pada tahun 1929 sebagian mendirikan Vaderlandsche Club (VC) sebagai reaksi kalangan Belanda totok terhadap sikap progresif yang ditunjukan pejabat tinggi kolonial yang berhaluan politik etis dan terhadap perkembangan pergerakan nasional Indonesia (pemberontakan tahun 1926 dan munculnya PNI). VC dengan tegas ingin mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia sedemikian supaya kepentingan ekonomi, sosial dan finansial Belanda terjamin. Cita-citanya membentuk suatu Nederland Raya dengan Indonesia sebagai bagian otonom di dalam Kerajaan Belanda. Pada sebelah lain ada Stuwgroep, yang terdiri atas tokoh-tokoh intelektual yang menyuarakan pandangan-pandangan progresifnya melalui majalah De Stuw. Kelompok ini mendukung cita-cita emansipasi, bahkan likuidasi: menghapus hubungan kolonial, membentuk persemakmuran Hindia sebagai negara merdeka namun tetap dalam ikatan negeri Belanda. Leidschegroep, kelompok yang sejajar dengan Stuwgroep, memelopori gerakan Indie los van Holland.[47] Karena kebanyakan anggotanya ahli mengenai Hindia (Indolog), maka kelompok ini memberi penghargaan besar terhadap nilai-nilai Timur dan menghendaki pengembangan masyarakat Hindia dalam kebudayaannya sendiri (berbeda dengan garis asosiasi politik etis). Jelaslah gagasan mereka ditentang oleh VC dan oleh kelompok konservatif lainnya, “golongan Utrecht”, yang terdiri atas kalangan pengusaha yang mengutamakan dukungan kolonialisme bagi eksploitasi ekonomi mereka di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa suatu emansipasi total bersifat prematur.

Demikianlah politik etis (khususnya politik asosiasi) digagalkan oleh reaksi dari pihak rakyat jajahan berupa pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia, dan dari pihak masyarakat konservatif Eropa di Indonesia, yang menghendaki pelestarian kekuasaan kolonial di Indonesia bagi kepentingan eksploitas ekonomi.[48]

 

1.2.4. Politik Kolonial terhadap Islam

Politik pemerintah kolonial terhadap pihak Islam di Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari politik etis yang berkaitan dengan nasionalisme Indonesia. Politik ini tak dapat dipisahkan dari tokoh ternama, Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).[49] Dapat dikatakan bahwa sampai tahun 1899 belum ada “politik Islam” selain suatu sikap netral terhadap semua agama berdasarkan pasal 119 RR 1854, yang ditempatkan dalam kerangka rust en orde pemerintah kolonial. Dalam hubungan itu Gubernur-Jenderal berwenang untuk campur tangan dalam soal agama bila dipandang perlu, sesuai keputusan Raja Belanda No. 78 tanggal 4 Februari 1858. Kenyataan di balik ketentuan itu adalah adanya ketakutan di kalangan pemerintah kolonial dan orang-orang Eropa di Indonesia terhadap umat Islam. Ketakutan itu berhubungan dengan seringnya muncul perlawanan bersenjata yang didorong oleh semangat Islam, baik berupa perang-perang besar (Jawa, Paderi, Aceh) maupun pemberontakan atau huru-hara di pedesaan. Ketakutan itu diperbesar oleh pemahaman yang keliru terhadap struktur persekutuan umat Islam sedunia dengan menyamakannya dengan hirarkhi Gereja Katolik Roma yang berpusat pada kekalifahan Turki, dan oleh anggapan bahwa para haji adalah orang-orang fanatik yang suka memberontak. Pada tahun 1899 Snouck Hurgronje, yang adalah seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam, memulai tugasnya sebagai penasehat pemerintah untuk masalah-masalah Arab dan Pribumi. Ia melakukan reorientasi politik berdasarkan pengetahuannya mengenai Islam dan sesuai dengan visinya mengenai masa depan hubungan kolonial. Pertama-tama ia mengoreksi pemahaman keliru yang menimbulkan ketakutan terhadap Islam. Menurut Snouck Hurgronje dalam kehidupan orang Indonesia yang beragama Islam peranan adat masih sangat kuat, sehingga dalam soal-soal duniawi , khususnya politik mereka tunduk pada penguasa-penguasa tradisional. Dia mengakui bahwa memang Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan politik  jangan dianggap remeh. Harapan untuk mengkristenkan penduduk pribumi secara besar-besaran supaya dapat mengimbangi Islam adalah harapan palsu karena sebaliknya, seiring dengan Pax Neerlandica, agama Islam akan bertambah meluas dan mendalam. Ia juga membedakan segi doktrin dan segi politik dalam Islam. Snouck Hurgronje menganjurkan toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral agama pada segi doktrin itu, sedangkan setiap gejala politik harus segera dibasmi secara tuntas. Maka politik kembar toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam mengarahkan pemerintah pada dukungan terhadap unsur-unsur yang kurang dipengaruhi Islam dalam masyarakat pribumi, seperti pemuka-pemuka adat dan penguasa-penguasa non-Islam, khususnya para priyayi di Jawa.

Reorientasi yang dicanangkan Snouck Hurgronje jelas bukan dukungan terhadap perkembangan Islam, bukan pula pengembangan masyarakat tradisional di bawah adat. Lembaga-lembaga adat merupakan rintangan bagi pendalaman Islam dan terbukti cukup kuat melawan Islam, lagi pula wakil-wakilnya merupakan sekutu yang baik bagi pemerintah kolonial. Namun karena dalam dirinya sistem adat mengandung konservatisme dan partikularisme lokal maka adat tidak dapat diharapkan untuk membendung pengaruh Islam yang semakin meluas. Di pihak lain, Islam tidak dapat menggerakkan dari dalam dirinya dinamika bagi pembinaan sebuah peradaban yang lebih tinggi dan modern, dan pemimpin-pemimpinnya sulit menerima pemerintahan non-Islam. Sebab itu masa depan Indonesia yang moderen dan tetap terikat dengan Belanda tidak dapat diandalkan pada adat atau pada Islam, melainkan pada pembaratan Indonesia (westernizing Indonesia). Politik kembar toleransi dan kewaspadaan terhadap Islam adalah prasyarat bagi pertumbuhan masyarakat Indonesia yang sehat. Di dalamnya, melalui politik asosiasi (di mana orang-orang Indonesia dibawa ke dalam kebudayaan Barat, yang dicapai melalui pendidikan Barat), jurang antara yang memerintah dan yang diperintah terjembatani. Langkah selanjutnya adalah memberi kepada mereka yang terdidik itu peran politik dan administrasi tanah jajahan.

Walaupun politik asosiasi gagal (antara lain karena munculnya nasionalisme Indonesia dan karena kurangnya dukungan dari kalangan Belanda di Indonesia dan di Belanda) pendekatan Snouck Hurgronje terhadap Islam cukup berhasil. Kemenangan Belanda dalam perang Aceh merupakan salah satu prestasinya, demikian pula huru-hara di pedesaan relatif dapat diredam. Kelunakan terhadap urusan naik haji, penetapan ordonasi perkawinan (1895) dan pengajaran agama Islam (1905), serta adanya dinas khusus masalah-masalah pribumi yang dianjurkannya mengundang simpati kalangan Islam. Sebaliknya tantangan datang dari pihak pendukung kristenisasi. Adanya kecenderungan pemerintah kolonial pada masa awal politik etis mendukung Kresteningspolitiek dan kemudian mendukung kalangan ningrat tradisional dalam rangka pemberlakuan hukum adat, merupakan kendala-kendala bagi upayanya memperoleh simpati pihak Islam.[50]

Periode pasca Snouck Hurgronje ditentukan beberapa faktor. Yang terpenting adalah reformasi Islam, munculnya pergerakan nasional, dan penemuan hukum adat. Reformasi Islam di Timur Tengah pada bagian kedua abad 19, baik gerakan Wahabi maupun gerakan modernis Mohammad Abduh, mempengaruhi kemunculan reformisme Islam di Indonesia, seperti di Minangkabau , di kalangan orang Arab di Jakarta dan di dalam Muhammadiyah. Reformisme Islam antara lain merupakan reaksi terhadap dominasi Barat, dan karena itu mendorong timbulnya gerakan Islam sebagai simbol nasionalisme dan anti kolonial. Kebangkitan Islam di Indonesia melalui Sarekat  Islam dan Muhammadiyah pada awal tahun belasan memperluas kesadaran akan kesatuan yang melampaui batas-batas suku dan daerah dan akan keadaan buruk kesejahteraan rakyat yang perlu dimajukan, mula-mula melalui kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial dan kebudayaan, dan kemudian melalui perjuangan politik. Peran pihak Islam Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan, baik secara Barat (khususnya oleh Muhammadiyah) maupun melalui pola-pola pendidikan Islam tradisional, sangat penting dalam mendukung perkembangan nasionalisme. Maka setiap campur tangan dari pihak pemerintah kolonial yang berusaha membatasi peran itu mendapat perlawanan.

 

1.2.5. Zending dan Politik Etis

Dalam hubungan dengan sikap Zending terhadap politik etis, pertama-tama perlu diketengahkan hubungan pemerintah dengan pekabaran Injil dalam kerangka politik etis. Studi Aqib Suminto mengungkapkan bahwa juga pada masa politik etis dukungan kepada kersteningspolitiek lebih besar dibandingkan dengan sikap netral  agama yang dianut pemerintah kolonial.[51] Tetapi politik pengkristenan tersebut bukanlah dukungan bagi perkembangan agama Kristen, melainkan merupakan bagian dari strategi pelestarian kekuasaan kolonial. Dengan kata lain, kekristenan dieksploitasi untuk kepentingan politik. Menghadapi kenyataan bahwa Islam merupakan tantangan utama bagi kekuasaan kolonial di Indonesia, maka berbagai upaya ditempuh pemerintah kolonial untuk menjinakkannya. “Politik Islam Hindia-Belanda” antara lain dikaitkan dengan perluasan agama Kristen, misalnya kepada suku-suku terpencil yang masih menganut agama sukunya. Tetapi di luar yang dikehendaki pemerintah, upaya membendung Islam justru berbalik menjadi dorongan yang kuat bagi kebangkitan Islam di Indonesia.[52]

Sebagaimana dicatat di atas, dukungan terpenting dari pihak pemerintah adalah pengamanan daerah pekabaran Injil, termasuk izin bekerja di daerah itu. Daerah-daerah yang secara mencolok penduduknya dikristenkan pada perempat pertama abad ini adalah wilayah Sulawesi Tengah, Tana Toraja, Tanah Batak, Kalimantan dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur. Daerah-daerah ini terutama berpenduduk pedesaan yang terisolir dan masih menganut agama sukunya, sehingga penginjilan sekaligus membuka suku-suku itu terhadap dunia modern. Lembaga pendidikan dasar dan menengah yang didirikan oleh badan-badan zending menjadi wahana penting bagi pengkristenan dan modernisasi itu.

Seperti pada masa sebelumnya, pada kurun masa ini juga sikap Zending terhadap politik kolonial adalah pasif. Selain pengaruh pietisme pada sebagian mereka, pihak yang lebih sadar menghubungkan panggilan kenabian gereja dengan kenyataan masyarakat melihat segi-segi positif asas-asas politik yang diperkembangkan pemerintah kolonial, seperti: jaminan kebebasan pribadi, peradilan yang tidak terikat, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat dan berapat, kebebasan membicarakan kepentingan umum di dewan-dewan perwakilan dsb. Di samping itu, mereka juga mengetahui kelemahan-kelemahan di dalam kehidupan masyarakat tradisional:

[…] betapa buruknya keadaan yang telah diakhiri oleh penjajahan Belanda dan betapa luasnya kesempatan untuk memperbaikinya yang telah dibuka oleh pemerintah penjajah itu.[53] 

Dengan kata lain, kalangan Zending menghargai gagasan-gagasan ideal dalam politik etis pemerintah kolonial. Tetapi tidak adil untuk secara umum menyamaratakan sikap atau peran pihak Zending menghadapi kenyataan-kenyataan pengaruh barat kepada masyarakat Indonesia. Gambaran yang dikemukakan oleh seorang misiolog dan sejarawan, yang meneliti hubungan pekabaran Injil dengan pengaruh kebudayaan (Barat), dapat diberlakukan di Indonesia:

Pernyataan semberono bahwa perembesan kekuasaan politik dan kebudayaan Barat ke seluruh dunia di mana-mana hanyalah menghasilkan kerusakan, dan bahwa pekabaran Injil Kristen tanpa perbedaan telah terlibat dalam kesalahan atas kerusakan itu, tidak akan tahan uji terhadap penelitian sejarah yang sederhanapun. Pada pihak lain, pandangan-pandangan yang mengidealkan, baik mengenai ekspansi kolonial sebagai pemikul beban kulit putih maupun tentang kemajuan pekabaran Injil yang baik tampil sebagai sahabat orang-orang Asia dan Afrika yang bersahaja, sangatlah dirusakkan oleh susupan mitologis. Setiap generalisasi harus diperbaiki dengan memperhitungkan pengecualian-pengecualian.[54]

1.3. Zending dan Pergerakan Nasional Indonesia

1.3.1.    Nasionalisme Indonesia

 Bangkitnya nasionalisme Indonesia dapat dihubungkan dengan dua faktor dasar, yakni pengaruh perkembangan internasional berupa kebangkitan bangsa-bangsa terjajah (khususnya di Asia) memperjuangkan kemerdekaan.[55] Salah satu peristiwa penting yang menunjang perkembangan ini adalah kemenangan Jepang (Asia) atas Rusia (Eropa) dalam perang pada tahun 1905. Faktor dasar lainnya adalah kebijakan kolonial yang baru, yakni politik etis pemerintah Belanda. Dalam hubungan dengan politik etis itu pentinglah menyebut dua hal: peningkatan pendidikan pribumi dan pembentukan Voolksraad.  Pendidikan pribumi bermakna terutama dalam ditingkatkannya jumlah dan jenjang pendidikan, yang pada gilirannya melahirkan kaum terpelajar Indonesia. Mereka inilah yang menjadi penggagas dan tulang punggung pergerakan nasional.

Pergerakan nasional Indonesia mula-mula merupakan gerakan sosial,  ekonomi, kebudayaan dan agama (Islam), yakni sebagai sambutan positif terhadap politik etis, tetapi kemudian, ketika ideal politik etis tidak terwujud, pergerakan berubah menjadi pergerakan politik-ideologis yang menentang seluruh sistem kolonial.[56] Proses perubahan itu juga disertai dinamika di dalam pergerakan, yang terjadi karena masing-masing kelompok berusaha berjuang dengan cara dan visi yang berbeda. Dalam dinamika tu menonjol dua kubu: Islam dan Kebangsaan. Golongan kebangsaan dan golongan Islam berbeda gagasan mengenai ideologi Indonesia merdeka. Pihak Kebangsaan memperjuangkan negara sekuler yang memberi tempat kepada agama dalam kehidupan nasional, sedangkan pihak Islam menghendaki suatu negara Islam.[57] Karena beberapa sebab, dari luar dan di dalam, pihak Islam tergeser dari posisi utama dan untuk sementara golongan nasionalis radikal mengambil alih kepeloporan pergerakan. Tetapi ketika pihak Komunis mencoba suatu perlawanan bersenjata (1926/1927), kelompok ini disingkirkan oleh penguasa kolonial. Maka pihak Kebangsaan (dengan berbagai perbedaan unsur-unsurnya)  memegang kendali dan pergerakan memasuki tahap yang secara politis lebih jelas arahnya.

Pergerakan pemuda dan mahasiswa menjadi suatu faktor tersendiri. Gagasan-gagasan kesatuan Indonesia yang mereka cetuskan dalam Sumpah Pemuda (1928) dan wujudkan antara lain dalam pembentukan Indonesia Muda (1930) merupakan sumbangan yang bermakna bagi pergerakan nasional.

Dalam proses perkembangannya, makin jelaslah arah pergerakan sebagai perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dan bersamaan dengan itu pula bertumbuh kesadaran menuju kesatuan sebagai satu bangsa yang meliputi semua penduduk dalam wilayah kesatuan administratif penjajahan Belanda. Kedua hal itu, kemerdekaan dan kesatuan bangsa Indonesia, menjadi acuan bersama para aktivis pergerakan.

Faktor secara bersama di bawah kekuasaan penjajah sangat menentukan lahirnya kebangsaan Indonesia. Disamping itu, sebagaimana dicatat oleh Kahin,[58] terdapat faktor-faktor lain yang turut menentukan, yakni kesadaran akan kebesaran politik masa lampau dalam sejarah kerajaan-kerajaan besar Nusantara (Majapahit, Sriwijaya),[59] kesamaan agama (sejumlah besar penduduk memeluk agama Islam, yang berkembang sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi bangsa asing), perkembangan bahasa Melayu pasar menjadi bahasa nasional, adanya Volksraad sejak tahun 1917, penyebaran gagasan oleh dukungan terbitan-terbitan berbahasa Melayu dan bahasa daerah, siaran radio serta meningkatnya mobilitas geografis penduduk akibat pola organisasi ekonomi abad ke-20 dengan berbagai kelengkapan transportasinya. Pada sisi yang lain Kahin juga mencatat segi-segi yang menghambat perkembangan nasionalisme Indonesia itu. Pola pemerintahan tak langsung (indirect rule), yakni dengan mengangkat pejabat tradisional pribumi sebagai pelaksana pemerintahan dan memberi kedudukan khusus kepada orang Cina di bidang ekonomi. Akibatnya, ketidakpuasan rakyat tertuju pada mereka, bukan kepada kekuasaan penjajah di atas mereka. Selanjutnya, kenyataan mayarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk: pemerintah kolonial memanfaatkan kemajemukan itu untuk memecah-belah, misalnya dengan menempatkan orang Cina dan Indo-Eropa pada kelas menengah, dan memberi hak-hak khusus kepada “suku-suku Kristen” (Ambon dan Manado).[60] Faktor penting  lainnya adalah kewenangan pemerintah kolonial, khususnya adanya hak-hak exorbitant Gubernur Jenderal, menindak tokoh-tokoh nasionalis. Masih dapat ditambahkan kenyataan perbedaan dan pertentangan antara aliran-aliran nasionalis sendiri, baik perbedaan ideologis maupun perbedaan taktik dan strategi. Perbedaan ideologis terutama menajam antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan, sedangkan perbedaan taktik dan strategi antara penganut coöperatie dan penganut non- coöperatie, yakni mereka yang percaya pada kerjasama dengan pemerintah kolonial untuk mencapai kemerdekaan, dan mereka yang tidak percaya dan berjuang di dalam sistem kolonial. Pada tahun 1930-an para penganjur pergerakan yang tidak diasingkan pemerintah kolonial, umumnya menempuh saluran resmi sistem kolonial.[61] Jalan yang ternyata buntu ini diakhiri oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, pihak penguasa Jepang berusaha mengalihkan kekuatan pegerakan nasional dari dominasi golongan Kebangsaan kepada pihak Islam. Tetapi walaupun pihak Islam mendapat kemajuan yang cukup berarti, dominasi atas pergerakan yang dilembagakan dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan), tetap di tangan pihak Kebangsaan dengan tokoh-tokoh utama Sukarno dan Hatta.[62]

Pada rapat-rapat pertama BPUPK tanggal 28 Mei  – 2 Juni 1945 dibicarakan usul-usul mengenai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni Sukarno mengucapkan usul-usulnya yang kemudian dikenal sebagai pidato “Lahirnya Pancasila”.[63] Suatu panitia bantu, Panitia Sembilan, berhasil dalam suatu gentlemen’s agreement mencapai rumusan konsep Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.[64]

Piagam ini memuat versi Pancasila yang memberi hak khusus kepada pihak pihak Islam: Sila Ketuhanan diikuti “tujuh kata”: dengan kewadjiban mendjalankan sjaria’t Islam bagi pemeluk-pemeluknja. Rumusan itu diterima untuk disahkan menjadi pembukaan UUD oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), badan pengganti BPUPK yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945.[65] Atas desakan para pemuda militan dan dengan dukungan Laksamana Maeda, proklamasi kemerdekaan Indonesia dicanangkan oleh Sukarno-Hatta di halaman rumah kediaman Sukarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Hari itu juga, Hatta dihubungi oleh seorang perwira Angkatan Laut Jepang untuk menyampaikan penolakan kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur terhadap bagian rumusan konsep Pembukaan UUD yang mengistimewakan golongan Islam. Dalam buku kenangannya Hatta mencatat peristiwa itu:

Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagi utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. “Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan mengenai itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan Diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.[66]

Hatta menanggapi secara serius soal itu, lalu pada keesokan paginya, sebelum sidang PPKI, Hatta menghubungi beberapa tokoh Islam (antara lain Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Mohammad Hasan, Wahid Hasjim) merundingkan hal iu demi mencegah perpeacahan nasional. Akhirnya disepakati mengganti “tujuh kata” itu menjadi “tiga kata”: Yang Maha Esa.[67] Selanjutnya sidang juga sepakat menghilangkan semua ketentuan dalam UUD yang mengandung hak khusus pihak Islam, misalnya ketentuan bahwa Presiden harus beragama Islam. Dalam rapat resmi PPKI itu juga diterima keberatan Latuharhary atas usul pembentukan Kementerian Agama secara tersendiri, sehingga pada waktu itu urusan agama digabungkan dengan Kementerian Pendidikan.[68]

 

1.3.2. Sikap Zending Terhadap Pergerakan Nasional

Ada berbagai perubahan yang berpengaruh dalam kekristenan pada bagian pertama abad ini dan turut menentukan sikap Zending terhadap pergerakan nasional. Pertama-tama, munculnya teologi etis yang menekankan segi etis dari kebenaran iman: kebenaran dan pernyataan Allah, bukanlah perkara otak saja melainkan menyatakan diri dalam seluruh kepribadian seseorang. Tekanan pada kepribadian (tapi bukan secara individualistis) menempatkan pekabaran Injil di luar pengorganisasian gereja. Yang utama adalah persekutuan yang hidup antara pribadi-pribadi yang beriman. Pengaruh aliran ini dalam kalangan Zending tampak pada kuatnya perhatian terhadap masalah-masalah dan kebudayaan pribumi dalam hubungan dengan tekanan pada pendidikan dan pengadaban sebagai bagian dari tugas penginjilan. Sudah dicatat di atas bahwa wawasan yang disebut terakhir menjadi alasan sikap positif Zending terhadap imperialisme. Kalangan etis juga kurang memberi perhatian pada pelembagaan gereja di medan pekabaran Injil sehingga kurang memajukan kedewasaan Kristen pribumi.[69]

Perkembangan lainnya adalah makin perlunya kerjasama antar badan-badan pekabar sedunia di Edinburgh pada tahun 1910 bergema juga di Indonesia. Kerjasama di Indonesia telah dirintis sejak pembentukan Nederlandsch Indische Zendingsbond (NIZB) pada tahun 1881, yang mengadakan konferensi tahunan membahas dan mempertukarkan pengalaman masing-masing. Dalam hubungan itu penting peran penunjang majalah De Opwekker sebagai media cetak dalam memperluas gagasan-gagasan yang dihasilkan konferensi tahunan NIZB atau yang diketengahkan tokoh-tokoh Zending.[70] Lembaga penting lainnya dalam kerjasama tersebut adalah Zendingconsulaat, yang dibentuk pada tahun 1906 sebagai badan penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Dalam pelayanannya Zendingconsulaat berhasil mengatasi sejumlah kasus dimana kepentingan pekabaran Injil terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah. M.C. Jongeling juga mencatat peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan terhalang oleh sikap atau peraturan pemerintah. M.C. Jongeling juga mencatat peran Zendingconsulaat dalam persoalan-persoalan antara Zending dan Missi (Katolik), bantuan finansial kepada MRG, reoganisasi GPI, perdebatan, mengenai pekabaran Injil di Bali dan kemandirian gereja Batak.[71]

Gejala penting lainnya dalam kekristenan Indonesia pada awal abad ini adalah urbanisasi. Pemuda-pemuda dari suku yang pada umumnya memeluk agama Kristen turut berpindah ke kota-kota besar dalam rangka pendidikan lanjut atau mengisi lowongan kerja pada berbagai lembaga pemerintah. Demikianlah maka dijumpai kelompok-kelompok orang Kristen Indonesia di kota-kota besar di Jawa, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya dan di Makasar, Manado, Ambon dan Kupang. Kebanyakan mereka di kota-kota itu menjadi warga Indische Kerk dalam jemaat berbahasa Belanda. Hanya di Batavia dan beberapa kota besar lainnya terdapat jemaat tersendiri untuk yang berbahasa Melayu dan daerah. Orang-orang Kristen dari suku atau daerah yang sama membentuk organisasi sosial.

Sikap lembaga-lembaga Kristen di Indonesia baik dalam kalangan Gereja Protestan maupun Zending, turut menentukan dalam membentuk sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional Indonesia. Jelas bahwa dalam golongan yang pertama, Gereja Protestan, sebagai gereja negeri, sulit diharapkan bertumbuh suatu sikap yang simpatik terhadap pergerakan nasional (baru kemudian ada perhatian dalam kalangan terbatas para pemimpinnya). Sedangkan di pihak Zending mula-mula timbul suatu kesangsian terhadap cita-cita nasionalisme Indonesia. Pandangan yang khas dikemukakan oleh D. Bakker (1865-1932) dan H.A. van Andel, keduanya pekabar Injil Gereformeerd di Jawa Tengah.[72] Bakker berpendapat bahwa bangsa Indonesia lebih baik berada di bawah bimbingan pemerintah Belanda ke arah kemajuan daripada ditindas tirani penguasa-penguasa tradisionalnya. H.A. van Andel, yang juga merupakan pemikir teologis bagi partai politik Kristen (CSP), tetap menghendaki langgengnya ikatan antara negeri Belanda dan Indonesia, yang menurut dia paling tepat merupakan ikatan kerohanian dalam agama Kristen.

Baru pada tahun 1920-an muncul dari kalangan Zending tokoh-tokoh yang lebih sadar pada aspirasi kaum pergerakan nasional dan berusaha mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat. Pendekatan yang lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia dan berusaha mengarahkan kekristenan menghadapi kenyataan itu secara tepat. Pendekatan yang lebih terbuka terhadap nasionalisme Indonesia diwakili tokoh-tokoh yang progresif, seperti B.M. Schuurman (1889-1945), C.L. van Doorn (1896-1975), J.M.J Scheeper (1888-1967) dan khususnya Hendrik Kraemer (1888-1965). Kraemer dapat dianggap sebagai pembawa wawasan baru Zending terhadap nasionalisme Indonesia.[73] Mengikuti pandangan A.C Kruyt (1870-1949) dan N.Adriani (1865-1926), Kraemer memandang tugasnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan kelompok-kelompok yang bereaksi terhadap penetrasi Barat, dengan tujuan: memperhadapkan penginjilan secara cerdas kepada mereka, mengarahkan penginjilan pada pemahaman yang lebih dalam pada masalah-masalah tanah rohani dimana benih Injil ditaburkan dan menampilkan keterlibatan Kristen dalam perjuangan melawan kekacauan rohani dan moral yang dialami bangsa-bangsa Timur sebagai dampak perhubungan dengan Barat. Kraemer yang secara resmi merupakan utusan Lembaga Alkitab Belanda di Indonesia melaksanakan panggilan itu dengan berbagai cara dan sarana, a.l. dengan menulis Kantteekeningen (=catatan pinggir) dalam majalah Zending De Opwekker antara tahun 1924-1927. Dalam “caping” dibawah rubrik Persoverzicht (=tinjauan pers) itu Kraemer menyambut gembira dan simpatik kebangkitan nasional, budaya dan politik di kalangan bangsa Indonesia dalam hubungan dengan masalah-masalah nasionalisme dan hubungan kolonial. Dengan catatan-catatannya Kraemer bertujuan mencerahkan rekan-rekannya, para pekabar Injil, mengenai kenyataan hidup dalam masyarakat supaya mereka dapat memberitakan Injil secaa tepat.[74] Penekanan Kraemer adalah mengajak kalangan Zending untuk mendorong orang Kristen Indonesia supaya terlibat secara aktif dalam perjuangan bangsanya di bidang sosial dan politik.[75] Di dalam kenyataan itu – dimana nasionalisme merupakan movement of self-expression – Zending mempunyai tempat yang khusus sehubungan dengan kewajiban moral untuk pendidikan (education) dan pembahasan batin (emancipation).

Dalam situasi umum ini, yang menyangkut kewajiban moral yang dijelaskan di atas, kegiatan-kegiatan pekabaran Injil merupakan ciri penting. Kegiatan-kegiatan tersebut membentuk salah satu faktor dan sebab-sebab yang sangat bermakna dalam pertemuan-pertemuan yang menentukan antara Timur dan Barat. Karena itu, bukan hanya dalam hakekatnya sebagai penugasan ilahi, melainkan juga dalam sifatnya sebagai suatu upaya manusia, pekabaran Injil jelas mempunyai sutu tugas dalam gerakan pengungkapan diri. Semuanya dapat dirangkum di bawah judul emansipasi dan peremajaan bangsa-bangsa, apa yang disebut peningkatan intelektual, kebudayaan, sosial, moral dan rohani, yang menentukan perhatian dan kerjasama yang tulus dan simpatik dari pekabaran Injil. […]

Pekabaran Injil mendukung gerakan pengungkapan diri dengan menyambut sebagai keprihatinan mereka sendiri semua perjuangan dan pergerakan yang sungguh-sungguh murni, dan tanpa keraguan memihak pandangan yang menginginkan bangsa yang kuat dan sehat daripada yang lemah dan patuh. Hal ini bertabrakan dengan pandangan imperialis yang secara naluriah berupaya mempertahankan keadaan lemah dan patuh dari mereka yang menjadi alat dan tujuannya.[76]

Pemikiran misiologis Kraemer bertolak dari pemahaman yang luas akan arti pemberitaan Injil dalam kalangan Dewan Pekabaran, dimana berhadapan kelompok “rohani” Eropa dengan dengan kelompok “sosial” Amerika-Inggris. Konferensi IMC kedua di Yerusalaem pada tahun 1928 mendukung pendekatan kelompok terakhir, yang sejalan dengan pandangan Kraemer bahwa pekabaran Injil meliputi usaha-usaha mewujudkaan keadilan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, sedang kelompok lawannya membatasinya hanya pada wilayah kerohanian. Kecuali van Andel, wakil-wakil dari Indonesia ke konferensi itu seperti Kraemer, Schuurman dan Moelia umumnya berpihak pada pemahaman yang lebih luas dan utuh itu. Diskusi-diskusi dan karangan-karangan mengenai pokok kajian Konferensi Yerusalem, khususnya mengenai masalah sosial, buruh dan ras, menjadi salah satu perhatian utama sejak itu.[77]

Pengaruh Kramer di dalam soal hubungan Zending dan pergerakan nasional ini tampak dalam dua hal: meningkatnya perhatian terhadap masalah-masalah sosial politik dalam Konferensi tahunan NIZB, dan munculnya tokoh-tokoh zendeling pro-nasionalisme juga dari kalangan Gereformeerd seperti H. van den Brink (1904-1982), J. Verkuyl (lahir 1908) dan tokoh-tokoh pro-Indonesia lainnya.[78]

Pengaruh pendekatan Kraemer terhadap sikap orang Kristen Indonesia terhadap pergerakan nasional akan dibicarakan secara khusus. Di sini dapat dikemukakan bahwa visi baru kalangan Zending tersebut kemudian memunculkan sekelompok orang Kristen terpelajar yang yang menghubungkan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia.

1.4. Rangkuman

Kekristenan tiba di Indonesia dalam hubungan dengan pelayaran niaga bangsa-bangsa Barat ke Asia dan pengkristenan penduduk di Indonesia berkaitan dengan kepentingan politik perdagangan itu. Dalam percaturan kekuatan memperebutkan hak monopoli memperebutkan rempah-rempah yang dihasilkan Indonesia, agama Kristen ditentukan oleh pemenang: sebagian besar jemaat-jemaat Kristen Katolik dari masa Portugis diprotestankan pada masa VOC Belanda dengan kedudukan sebagai jemaat-jemaat dari Gereja Protestan di Belanda. Dengan pengecualian di Maluku, kekristenan di Indonesia pada kedua masa itu berada diluar kehidupan masyarakat Indonesia atau menjadi kelompok-kelompok persekutuan yang tercerabut dari kenyataan masyarakat aslinya oleh pola kekristenan yang bercorak asing dan oleh pemukiman mereka di sekitar pusat kehidupan Eropa (benteng). Jadi berlangsung semacam proses alieanasi orang Kristen Indonesia. Di Maluku Tengah, kekristenan mempribumi, menjadi bentuk formal kepercayaan rakyat dan relatif berhasil mempertahankan wilayah itu dari pengislaman.

Ketika wilayah Indonesia dialihkan dari dominasi monopoli perdagangan VOC menjadi daerah jajahan pemerintah Belanda, kekristenan Protestan di Indonesia dipersatukan dalam Gereja Protestan Hindia Belanda, sebuah gereja yang menjadi bagian dari administrasi pemerintahan kolonial. Sementara itu kalangan pekabar Injil memperoleh jalannya ke dalam suku-suku bangsa Indonesia yang relatif terisolir di mana mereka melakukan pekabaran Injil yang berakibat ganda: pengkristenan dan pengadaban.

Tetapi baik Gereja Protestan maupun jemaat-jemaat hasil pekerjaan Zending sama tidak berkembang menjadi kekuatan sosial politik dalam tatanan kolonial. Gereja Protestan dan badan-badan Zending belum memberi perhatian pada masalah-masalah sosial-politik, misalnya penderitaan rakyat akibat eksploitasi ekonomi di Jawa dan Sumatera. Kalaupun di sana-sini ada perhatian kalangan Zending, mereka tidak berdaya menghadapi pemerintah kolonial.

Jadi, sampai permulaan abad ke-20 kekristenan di Indonesia tidak bersikap anti-kolonialisme, dalam arti tidak mengecam kenyataan-kenyataan buruk dalam praktek kolonial, bukan karena mendukungnya melainkan karena menganggap hal itu di luar urusan wilayah urusan agama. Hanya pada bidang-bidang tertentu dimana kedua lembaga bersilang peran terdapat jalinan hubungan sesuai dengan kebutuhan aktual. Di beberapa tempat dukungan pemerintah diperlukan bagi pekabaran Injil, tetapi di tempat-tempat lainnya pemerintah kolonial justru menjadi kendalanya.

Juga pada permulaan Politik Etis, ketika gagasan Kersteningspolitiek ditonjolkan, tidak ada usaha serius pemerintah  kolonial mendukung penyebaran agama Kristen. Dukungan yang berlaku adalah tanggung jawab finansial kepada Gereja Protestan, yang oleh faktor sejarahnya menjadi bagian dari administrasi kolonial.

Pada masa pergerakan nasionalime Indonesia, lembaga-lembaga gereja dan Zending mula-mula mengambil jarak, terutama karena pergerakan itu tampil sebagai gerakan dari golongan-golongan yang tidak sejalan dengan kekristenan: Islam ataupun Komunis. Tetapi lamban laun kalangan Zending memahami hakekat pergerakan itu sebagai ungkapan hak kemerdekaan suatu bangsa. Dari kalangan Zending yang pada masa itu banyak menentukan kehidupan Kristen di Indonesia muncul beberapa tokoh yang jeli membaca tanda-tanda zaman dan kemudian berusaha mengarahkan Zending dan gereja-gereja terhadap pergerakan nasional Indonesia. Tetapi bukan suatu dukungan tanpa sikap kritis. Tokoh-tokoh penting Zending dalam proses ini adalah B.M. Schuurman dan Hendrik Kraemer.

 

[1] Mengenai suatu usaha “membuktikan” bahwa kekristenan sudah masuk Indonesia pada abad ke-7, lihat antara lain Y. Bakker, “umat Katolik Perintis di Indonesia ± 645 – ± 1500” dalam: Sejarah Gereja Katolik Indonesia (Ende-Flores: Arnoldus, 1974), hlm. 19-40.

[2] Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966, hlm. 15-20. Mengenai perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds), Sejarah Nasional Indonesia, III, (Jakarta: Balai Pustaka 1990); Sartono Kartodiedjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium, 1, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 28-65.

[3] J.L. Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia, I, (Jakarta: persetia, 1978), hlm.32,28. Kekristenan di Maluku yang bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan pra-Kristen disebut agama Ambon. Untuk penilaian terhadap kenyataan ini, lihat a.l. F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), Bab IV; H. Kraemer, From Missionfield to Independent Church: Report on a Desicive Decade in the Growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘s-Gravenhage: Boekencentrum, 1958), hlm. 19 dst; P. Tanamal, Bentuk dan Latar-belakang Keagamaan di Maluku (Vught, Ned: Angkatan Muda GPM, 21968), hlm. 32-40.

[4] Pengalihan ini sering dikaitkan dengan suatu prinsip yang lazim di Barat, yakni “cuius regio euius religio” (=siapa empunya negara, menentukan agama). Lihat Van den End, Ragi Carita, 1, hlm. 66.

[5] Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 32 dyb.

[6] Cooley, Mimbar dan Takhta, hlm. 358 dyb.

[7] Butir-butir keputusan itu dicatat dalam C.W.Th. van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië: Haar otwikkeling van 1620-1939 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1947), hlm. 284 dyb.

[8] Dengan sengaja dipakai kata negeri, bukan negara. Tekanan pada yang pertama adalah gereja yang dikelola, dimiliki dan dibiayai negara; sedangkan gereja negara menunjuk pada kedudukan agama Kristen sebagai agama negara. Penetapan Raja Willem I terhadap Gereja Protestan di Indonesia adalah menjadikannya bagian dari struktur administrasi pemerintah, bukan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara.

[9] Terjemahan itu tidak diedarkan karena larangan pemerintah, tetapi bagian-bagiannya yang diterbitkan untuk kolportase menemukan jalannya ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. Lihat Philip van Akkeren, Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East Java (London: Lutterworth Press, 1970), hlm. 69 dst.

[10] Mengenai sikap hidup dan pekerjaan Joseph Kam, lihat I.H. Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980).

[11] Lihat J. van den Berg, Constrained by Jesus’ Love (Kampen: J.H. kok, 1956; mengenai pengaruh Pietisme di Eropa dan Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1974); Chris Hartono, “Monumen Hidup dari Pietisme – Suatu Kasus di Gereja Kristen Indonesia”, dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono, Theo-Doron, Pemberian Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 167-178. Lihat pula F. Ernst Stoeffler (ed), Continental Pietism and Early American Christianity (Grand Rapids, Mich.: Wlliam B. Eerdmands, 1976).

[12] Tetapi para pengikut Zinzendorf dalam karya penginjilan mereka ternyata tidak dapat hanya “memenangkan jiwa-jiwa”, tetapi juga menganggap perlu kegiatan-kegiatan menciptakan “kebudayaan Kristen” untuk dapat memenangkan perorangan. Lihat J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out (London: Scm Press, 1966), hlm. 15.

[13] Lihat I.H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-sakramen (Jakarta: PERSETIA, 1978).

[14] Salah seorang tokoh teologi di balik pembentukan gereja bangsa ini adalah Gustav Warneck (1834-1940). Lihat rangkuman pandangannya dalam Friodolin Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Djakarta: BPK Gunung Mulia,1971), hlm. 122-129 dan Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 111-123. Lihat pula Johannes Christiaan Hoekendijk, Kerk en Volk in de Duitse Zendingwetenschap (Diss. Rijkuniversteit Utrecht, 1948), hlm. 83 dst.

[15] Beberapa monografi penting mengenai perkembangan suku-suku itu antara lain Lother Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978); J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977 ); Terance W. Bigalke, A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965 (Ann Arbor: UMI, 1981); F. Ukur, Tantang-Djawab Suku Dajak (Jakarta: BPK, 1971).J. Garang, Dunia Kulawi: Masyarakat, Budaya dan Gereja di Sulawesi Tengah (diterbitkan dalam Peninjau X/2/1983). Di balik gerakan pengadaban dari Pihak Zending, terdapat pula segi negatif berupa pemusnahan tradisi budaya setempat. Pendekatan yang negatif terhadap tradisi suku – yang berarti kurangnya usaha mempertemukannya dengan Injil – menghambat proses kontekstualisasi Injil.

[16] Clapham Sect suatu kelompok evangelical yang memberi perhatian pada soal-soal agama dan kemasyarakatan. Tokoh-tokoh Clapham Sect a.l. William Wilberforce (seorang anggota perlemen), Henry Thornton (bankir), dan Zachary Macaulay (saudagar). Tahun 1833 perbudakan dilarang di seluruh wilayah kekuasaan Inggris. Lihat Ernest Marshall Howse, Saints in Politics: The ‘Clap Sect’ and the Growth of Freedom (London: George Allen & Unwin, 1976); lihat pula J.R.H. Moorman, A History of the Church in England (London: Adam & Charles Black, 1980), hlm. 318 dst.

[17] Stephen Neill, Colonialism and Christian Missons (London: Lutterworth, 1966), hlm. 187 dyb.

[18]Lihat Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in 19th and 20th Centuries (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973); Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984). Lihat pula Prisma, VI/1/1977.

[19]  A.B. Lapian, “Gerakan Kristen Revolusioner Sampai 1942”, dalam: Prisma, 11/1985, hlm. 88 dst; lihat juga Richard Z. Leirissa, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah FS-UI, 1975), hlm. 46 dyb.

[20] Hal ini dapat dibandingkan dengan corak Islam dalam perlawanan-perlawanan di Indonesia, seperti Perang Diponegoro (sinkretis), Perang Paderi (modernis) dan Perang Aceh (tradisionalis). Lihat Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 6 dst. Lemahnya corak Kristen dalam perlawanan di Saparua itu dapat menunjukan bahwa kalangan orang Kristen Pribumi belum mampu memberi pegangan teologis bagi kepedulian sosial gereja.

[21] Lihat Enklaar, Joseph Kam “Rasul Maluku”, hlm. 50-60. Ds. Lenting, pendeta Belanda yang menyertai pasukan pemerintah Belanda, memimpin kebaktian syukur resmi di Tiouw setelah perlawanan itu tuntas dipadamkan.

[22] Uraian mengenai Irian Jaya ini didasarkan pada F.C. Kamma, Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya (Jakarta: Persetia, 1981-1982), I, hlm. 170-185 dan II, hlm. 133 dyb.

[23] Kamma, Ajaib di Mata Kita, I, hlm. 134. Kamma juga mengutip pandangan kritis Hoornbeek terhadap hubungan Zending dan pemerintah: “Seringkali orang terlalu mengejar dukungan dari kekuasaan duniawi, seakan-akan gereja akan binasa kalau dukungan itu tidak ada. Tetapi apakah yang akan dilakukan oleh para pemberita Injil dahulu, yang telah memberitakan Injil selagi segala kekuasaan menentangnya, namun dengan mendapat hasil lebih besar dari kapanpun? Barangsiapa yang bersenjatakan Kristus, dia dipersenjatai untuk melawan segalanya.” (hlm. 135).

[24] Ibid., hlm. 134.

[25] Ibid., hlm.181.

[26] Ibid., hlm. 184

[27] C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju Kedewasaan dan Kemerdekaan ± 1835 – 1935 (Jakarta: Persetia, 1981), hlm. 38.

[28] Ibid., hlm. 38 dyb.

[29] Ibid., hlm. 43 dyb.

[30] Kraemer, From Missionfield to Independent Church: Report on a Decisive Decade in the growth of Indigenous Churches in Indonesia (‘S-Gravenhage: Boekencentrum, 1958), hlm. 47. Untuk pembahasan yang mendalam mengenai sejarah Tanah Batak pada zaman kolonial, lihat Lance Castles, The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940 (Diss. Yale University, 1972).

[31] Pasal 123 RR yang terkenal itu berbunyi: “1) Para Guru Kristen, imam-imam dan zendeling harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal untuk melakukan tugas dinasnya dalam salah satu daerah tertentu di Hindia Belanda. 2) Bilamana izin itu dianggap merugikan atau bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.”

[32] Walaupun harus dicatat pula bahwa sesuai ideal Pietisme, mereka bersikap kristis terhadap kenyataan masyarakat Eropa, khususnya moral para pejabat kolonial.

[33] Kehidupan orang Kristen Barat di Asia secara umum begitu buruk sehingga pada akhir abad ke-19 timbul sindiran: “In the east of Suez the Ten Commandements don’t apply”. Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 1988), hlm.41.

[34] Van den End, Ragi Carita, 1, hlm. 156. Lihat pula K.A. Schipper, Moderne Koloniale Staat en Moderne Zending. Een Onderzoek naar de Economische en Godsdienstige Emancipatie van het Oosten (Utrecht: Erven J. Bijleveld, 1938), khususnya Hfd. III (hlm. 67 dst).

[35]  [35]  Tulisan-tulisannya dan perhatiannya dalam jabatannya sebagai penasehat pemerintah dan anggota parlemen terhadap arah baru politik kolonial – politik etis – memberinya julukan “Bapak Pergerakan Etis”.

[36] Lihat Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 50 dst.

[37] Mengenai Politik Etis, lihat Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 30-95; Sartono Kartodirjo, Dari Emporium, hlm.20 dyb; dan J. Verkuyl, Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada Masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990).

[38] Lihat H. Baudet dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 6. Pada kenyataannya konsep Inggris tentang “the dual mandate” – kekuasaan kolonial berkewajiban baik untuk meningkatkan kemajuan penduduk pribumi, maupun untuk membuka tanah jajahannya bagi ekonomi dunia – banyak dipraktekkan para penjajah, dengan tekanan yang lebih pada mandat kedua.

[39] Pokok-pokok ini membenarkan ungkapan Mayer Ranneft, seorang tokoh kolonial Belanda, bahwa zaman ini ditandai dengan ethiek, economie en orde. Dikutip dalam Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 57.

[40] Pada tahun 1930 hanya terdapat 1.541.516 murid dari total 59.138.067 jiwa penduduk. Lihat Tabel statistik 3 dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, hlm. 39.

[41] Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20 (Jogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1972), hlm. 45.

[42] “Dewan ini tidak dapat disamakan dengan parlemen, karena Dewan ini hanya diberi kekuasaan sebagai penasehat. Ia tidak dapat merubah pemerintahan, karena tidak ada menteri-menteri yang bertanggungjawab kepadanya. Ia tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan anggaran belanja. Pada kenyataannya Mahkota tetap mempertahankan kekuasaan legislatifnya.”  Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme, hlm. 34. Dokumentasi Volksraad diterbitkan dalam S.L. van der Wal, De Volksraad en de Staatkundige ontwikkeling van Nederlands-Indi. Een Bronnenpublikatie, 2 delen, (Groningen: J.B. Wolters, 1964) 

[43] Ricklefs, A History of Modern Indonesia, hlm. 153 dyb.

[44] Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, hlm. 176. Bandingkan catatan Sartono Kartodirdjo: “Tetapi tidak dapat disangsikan Dewan rakyat ini telah melaksanakan tujuan yang sangat berfaedah. Ia telah memberi kepada birokrasi kolonial pertanggungjawab yang luas bagi masyarakat kolonial, karena ia harus bekerja secara terang-terangan dan dapat diminta setiap waktu untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan aktivitas-aktivitasnya. Seperti dikatakan oleh De Wilde: Indian matters were to be removed from musty offices into the fresh air of publicity”. Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme, hlm. 37.

[45] Lihat Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 54-63.

[46] Pada masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986); lihat pula Fachry Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”, Kompas, 20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober 1991: 3-21.

[47] Pada masa ini timbul “polemik kebudayaan” antara penganut kebudayaan tradisional dengan kebudayaan Barat Moderen. Lihat Achdiat K. Mihardja (ed), Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986); lihat pula Fachry Ali, “Soetatmo – Tjipto: Nasionalisme Kultural dan Nasionalisme Hindia”, Kompas, 20 Mei 1986 dan lanjutannya, “Akar Struktural Lahirnya Pemikiran Nasionalisme”, Kompas, 21 Mei 1986; bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, Prisma, 10/Oktober 1991: 3-21.

[48] Sejarah Nasional Indonesia, V, hlm. 61.

[49] Lihat Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 27-52; Idem, “Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia” dalam Continuity and Change in Southeast Asia. Collected Journal Articles of Harry J. Benda, Adrienne Suddard (ed), (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1972), hlm 83-92; lihat juga Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken (Jakarta: LP3ES, 1983).

[50] Pemberlakuan hukum adat merupakan dukungan terhadap kalangan ningrat tradisional, yang sejak lama merupakan rival pemuka Islam. Untuk penilaian kritis terhadap peran Snouck Hurgronjo, lihat P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam. Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1989).

[51] Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 37 dyb. Suminto terutama menilai sikap pro-Kristen pemerintah kolonial dari besarnya tunjangan pemerintah kepada gereja.

[52] Ibid., hlm. 24 dyb.

[53] S.C. van Randwijck, Oegstgeet: Kebijaksanaan “Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 149. Lihat juga J. Verkuyl Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan Zending pada masa Politik Kolonial Etis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 67-75.

[54] Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (London: Lutterworth, 1966), hlm. 412; bnd. Van Randwijck, Oegstfeest, hlm. 226-244.

[55] Untuk pembahasan pergerakan nasional Indonesia, lihat George McTurnan Kahin, Nasionalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1961); Sartono Kartodirdjo , Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, II, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1990); Idem, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad-19 dan Abad-20; J.Th. Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië (Foris, 1987); J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesi in de jaren 1930 tot 1942 (‘s Gravenhage-Bandung: W. van Hoeve, 1953); Sejarah Nasional Indonesia, V.

[56] Pergerakan Nasional Indonesia dapat dibagi atas tiga tahap: Tahap pertama adalah tahap pertumbuhan  (dengan corak kultural, etnis dan religius), yakni sampai dasawarsa kedua. Lalu tahap pergerakan radikal (corak ideologis politik) berlangsung sampai 1933. Selanjutnya tahap pendekatan konstitusional (corak ideologis politik) sampai 1942. Lihat periodisasi Sejarah Nasional Indonesia, V, bab III.

[57] Pandangan golongan Kebangsaan terugkap secara jelas dalam pidato Supomo (1945): “Oleh karena itu saja mengandjurkan dan saja mupakat dengan pendirian jang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti, totaliter seperti jang saja uraikan tadi, jaitu negara jang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan jang terbesar, akan tetapi jang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan , baik golongan jang besar maupun golongan jang ketjil. Dengan sendirinja dalam negeri nasional jang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinja  dalam negara nasional jang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama jang bersangkutan. Dan dengan sendirinja dalam negara sedemikian seseorang akan merdeka memeluk agama jang disukainja. Baik golongan agama jang besar, maupun golongan jang terketjil, tentu akan merasa bersatu dengan negara (dalam bahasa asing ‘zal zich thuis voelen’ dalam negaranja). “ [Supomo], “Pidato pada tanggal 31-5-1945 dalam Rapat Badan Penjelidikan untuk Persiapan Indonesia Merdeka, di gedung  Chuuoo Sangi-in di Djakarta” dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Djakarta: Prapantja, 1959), hlm.117. Dan sebagaimana dikutip Deliar Noer, pandangan yang khas dari pihak Islam dikemukakan oleh Natsir pada tahun 1931: “Tujuan kaum Muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan ummat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya. Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap ‘netral’ kepada agama , yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam.” Noer, Gerakan Moderen Islam, hlm. 281.

[58] Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, hlm. 37-41.

[59]  Dengan dipelopori Yamin, para pendiri Republik Indonesia pada tahun 1945 berusaha menetapkan batas geografis negara kesatuan Indonesia yang meliputi “Sumatera, Djawa-Madura, Sunda Ketjil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan Semenandjung Malaya, Timor dan Papua”, berdasarkan wilayah Nusantara menurut Prapantja dalam Negarakertagama. Lihat Muhammad Yamin, “Daerah Negara-Kebangsaan Indonesia”, dalam Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 136 dst.

[60] Kedua suku menjadi sumber utama dalam merekrut pegawai dalam jajaran administrasi pemerintahan kolonial dan militer (KNIL). Tetapi pada tahun 1920-an oleh makin banyaknya pendidikan, posisi mereka di bidang kemiliteran dan kepegawaian itu  mulia digeser oleh suku-suku lainnya, khususnya oleh orang Jawa.

[61] Pada masa itu timbul aksi-aksi konstitusional para nasionalis, seperti “Petisi Sutardjo”, “Aksi Indonesia Berparlemen “, dan sebagainya. Lihat Sejarah Nasional Indonesia, V Bab IIIC: mengenai “Petisi Sutardjo”, lihat Susun Abeyasekere, “The Sutardjo Petition”, dalam C. Fassur (ed), Geld en Geweten, hlm. 144-178.

[62] Lihat Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, hlm. 165 dst. Pada masa pendudukan Jepang ini pula bangkit generasi pergerakan yang baru – Angkatan 45 – suatu generasi yang lebih militan dan bersikap anti kolonial. Merekalah yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan bersenjata. Lihat T.B. Simatupang, “Pentingnya Revolusi 45 bagi Kita Dewasa ini”, dalam Prisma. 7/1976: 29 dst; mengenai peranan pemuda dalam Perang Kemerdekaan, lihat Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: sinar Harapan 1988).

[63] Lihat Sukarno, Lahirnya Pancasila (Jakarta: Pustaka Universitas, 1982).

[64] Panitia ini menggantikan “Panitia Ketjil Penjelidik Oesoel-Oesoel” yang beranggotakan 8 orang. Panitia sembilan beranggotakan: Sukarno, Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoelkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Moehammad Yamin. Lihat Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 153; lihat juga Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Jakarta dimuat sebagai Lampiran I dalam Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 709 dyb. Salah satu studi dengan kecenderungan “menghidupkan” Piagam Jakarta, adalah Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali, 2 1986).

[65] Dalam Rapat Panitia Perancang UUD I sub panitia BPUPK I tanggal 11 Juli 1945, Latuharhary menentang ketujuh kata tersebut, tetapi keberatannya ditolak. Lihat Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 259.

[66] Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1978), hlm. 458. Tidak diperoleh petunjuk mengenai orang-orang yang bertindak sebagai “wakil-wakil Protestan dan Katolik” tersebut, namun dapat diduga mempunyai hubungan dengan Latuharhary.

[67] Jadi, rumusan akhir, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan lagi rumusan kompromi antara golongan Kebangsaan dengan golongan Islam, sebagaimana halnya  rumusan Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja), melainkan kompromi antara pihak Kristen (yang didukung oleh Kebangsaan) dengan pihak Islam. Dan dengan rumusan itu tercapai gagasan golongan Kebangsaan untuk memberi tempat kepada agama-agama dalam negara Indonesia merdeka – tetapi bukan sebagai dasar negara.

[68] Penggabungan itu mengikuti model zaman kolonial. Juga usul I Gusti Ktut Pudja dari Bali diterima untuk mengubah kata “Allah” dalam alinea ketiga Pembukaan UUD menjadi “Tuhan”. Yamin, Naskah-Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, hlm. 406.

[69] Van Randwijck, Oegstgeest, hlm. 79 dyb. Kebanyakan tokoh zending Belanda di Indonesia beraliran etis (hlm. 83). Selengkapnya mengenai aliran teologi etis ini, lihat disertasi Chris Hartono, “Teologi Etis dan Pekabaran Injil: Suatu Studi tentang Pengaruh Teologi Etis Belanda atas Pekabaran Injil Belanda yang bekerja di Hindia Belanda pada 1900-1925” (Diss. SEAGST 1989).

[70] Lihat P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia (Ujungpandang: ISGIT, 1982), hlm. 8 dyb.

[71] Lihat M.C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands-Indië 1906-1942 (Arnhem: van Loghum Slaterus, 1966), khususnya hoofdstuk IV.

[72] Dibandingkan dengan pihak Hervormd, Gereformeerd jauh lebih terbuka dan progresif dalam soal-soal politik kemasyarakatan. Lihat Tiat Han Tan, The Attitude of Dutch Protestant Missions Toward Indonesian Nationalism, 1945-1949 (Diss. Princeton Theological Seminary, New Jersey, 1967), hlm 25-32. Dr. Tan membahas pandangan van Andel dalam bukunya yang terbit tahun 1921. Lihat juga J.A. Verdoorn, De Zending het Indonesisch National (Amsterdam: Vrij Nerderlad, 1945).

[73] Kraemer bekerja di Indonesia antara tahun 1922-1935 (dua periode kerja yang masing-masing enam tahun). Perhatian dan pengaruh Kraemer tampak dalam berbagai-bagai bidang. Selain pelayanan pemuda dan analisa politik, serta tugas pokoknya dalam hubungan dengan NBG, patut disebut pendalamannya pada agama-agama bukan Kristen (Kraemer salah seorang ahli Islam) dan kebudayaan (yang menjadikannya salah seorang misiolog terkemuka pada masanya) dan kepeloporannya dalam kemandirian gereja-gereja di Indonesia, termasuk reorganisasi Indische Kerk dan pendirian Hoogere Theologische School. Untuk biografi Hendrik Kraemer selengkapnya lihat A. Th. Van Leuwen, Hendrik Kraemer Dienaar der Wereldkerk (Amsterdam: Ten Have, 1959). Untuk rangkuman biografinya, lihat Klaas van Oosterzee, Hendrik Kraemer 1888-1965: Een Kerk voor de Wereld (Driebergen: Toerusting, 1988). Lihat pula karangan-karangan mengenai Hendrik Kraemer dalam Setia: Majalah Teologi Indonesia 3/1987/1988. Untuk penilaian yang kritis, lihat Th. Sumartanan, Mission at the Crossroads, hlm. 336 dst.

[74] Ternyata catatan-catatan Kraemer disambut baik juga oleh Gubernur Jenderal De Graeff. Tan Tiat Han mencatat keluhan orang nomor satu dalam tatanan kolonial di Indonesia waktu itu bahwa para bawahannya tidak mengetahui apa yang berkembang di dalam masyarakat; mereka tidak membaca tulisan Kraemer atau tidak tahu bahwa dia ada dan menulis. Tan, The Attitude, hlm. 73. Kraemer menolak tawaran CEP untuk dicalonkan menjadi anggota Volksraad.

[75] Van Randwijck merangkum pandangan Kraemer mengenai adanya tiga faktor yang menentukan kenyataan politik di Indonesia pada masa pergerakan itu: sikap superioritas orang Eropa, penolakan orang Timur terhadap penguasaan Barat (dimana faktor agama Islam berperan penting) dan adanya eksploitasi ekonomi tanah jajahan dalam hubungan kolonial. Mengenai peran kepeloporan Kraemer terhadap para zendeling SZC Van Randwijck mencatat “Ia telah membuka hati mereka sehingga merasakan simpati yang kritis terhadap nasionalisme” (hlm. 259). Van Randwijck, Oegstgeest, hlm.265 dyb.

[76] H. Kraemer, “Imperialism and Self-Expression”, The Student World 28/1935; 345-347.

[77] Lihat a.l. karangan-karangan S.G. Moelia, “Zending en Arbeidsvraagstukken”, De Opwekker 72/1928: 267-271; S.G. Moelia, “Zending en Industrie”, De Opwekker 72/1928: 518-537; H. Kreaemer, “Het rassenprobleem em de Zending”, De Opwekker 72/1928:271-276; H. van Andel, “De conferentie op de olijfberg”, De Macedoniër 33/1929: 65-75. Moelia juga menulis tentang masalah-masalah politik dan ekonomi secara bersambung dalam majalah Kristen berbahasa Melayu. Zaman Baroe.

[78] Mengenai kegiatan pro-kemerdekaan Indonesia kedua “zendeling pejuang” itu, lihat Tan, The Attitude, hlm. 186 dst. Lihat pula memoar J. Verkuyl, Gedenken en Verwchten. Memoires (Kampen: J.H. Kok, 1983), hlm. 82-237.

Bab II - Organisasi Politik Kristen Zaman Pergerakan

2.1. Organisasi-organisasi Masyarakat Kristen

Pergerakan nasional Indonesia seperti yang diuraikan dalam bagian terdahulu dilakukan sebagai kegiatan–kegiatan yang mengandalkan kekuatan organisasi modern. Sesuai perkembangan pergerakan itu, pada masa awalnya gerakan berciri sosial budaya dan keagamaan. Pengorganisasiannya terjadi menurut daerah asal, suku atau agama serta kemudian ideologi, dengan tujuan yang mula-mula lebih terkait pada soal sosial budaya dan ekonomi daripada politik praktis. Organisasi-organisasi “suku-suku Kristen”1 lebih merupakan organisasi kesukuan atau kedaerahan daripada keagamaan, walaupun dipimpin dan beranggotakan mayoritas orang Kristen. Tetapi organisasi-organisasi ini diuraikan di sini karena memperlihatkan latar belakang sosial dan politik orang Kristen Indonesia, serta sekaligus menjadi wadah alternatif mereka dalam pergerakan nasional. Memang organisasi-organisasi itu tidak dapat dianggap langsung menjalankan atau mewakili pihak Kristen dalam pergerakan nasional, kecuali yang jelas menegaskan diri sebagai organisasi Kristen. Haluan keagamaan suatu organisasi tidak dengan sendirinya dibentuk oleh agama yang dianut oleh pengurus atau anggotanya, melainkan harus jelas dari anggaran dasarnya.

Berikut akan diuraikan secara ringkas berbagai organisasi suku di kalangan suku-suku Maluku (Ambon), Minahasa, Timor dan Batak, baik yang didirikan di kota-kota besar di pulau Jawa, maupun di daerah masing-masing.

 

2.1.1. Ambon/Maluku

Orang Ambon dan orang Minahasa termasuk suku-suku yang banyak merantau ke pulau Jawa karena diterima dalam kemiliteran pemerintah kolonial (KNIL, Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger),2 bekerja pada berbagai  jawatan dalam administrasi kolonial atau swasta. Kemudian juga para pemuda-pemudi banyak yang melanjutkan pendidikannya di kota-kota besar di Jawa. Pada tanggal 1 September 1908 para anggota tentara di bawah pimipinan J.P. Risakotta mengorganisir suatu perkumpulan untuk “anak-anak Ambon-Menado”, dengan nama Wilhelmina, yang mendapat pengesahan pemerintah pada tanggal 18 Januari 1912. Dalam anggaran dasarnya dinyatakan organisasi bertujuan menyatukan suku-suku itu yang ada dalam “Amboineesche compagnie”: menghilangkan permusuhan, memperkuat ikatan kedua suku itu yang sudah berabad-abad dengan pemerintah Belanda, memajukan pendidikan a.l. dengan pengadaan beasiswa.

Untuk kepentingan orang-orang Ambon Kristen dr. W.K. Tehupeiory seorang lulusan STOVIA yang melanjutkan studinya ke Eropa dan mendapat diploma “dokter Eropa” mendirikan Ambonsch Studiefonds pada tanggal 24 September 1909 (pengakuan pemerintah 14 Januari 1911) dengan tujuan mencari bantuan beasiswa bagi pemuda-pemuda Kristen Ambon yang belajar di Hindia atau di Eropa. Organisasi yang berdiri sampai tahun 1942 ini menolong banyak pemuda Maluku membiayai pendidikannya. Tahun 1911 cabang Ambon berhasil mendirikan sekolah rakyat, kemudian disusul cabang-cabang lain. Organisasi beasiswa ini tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik sehingga mampu mempertemukan semua pihak Ambon yang berbeda pandangan politiknya selama zaman pergerakan.3 Pada waktu yang agak bersamaan dibentuk di Ambon suatu perkumpulan pegawai-pegawai pribumi bernama Ambon’s Bond, yang juga bertujuan mengumpulkan dana beasiswa, di samping berjuang untuk meningkatkan dan memperhatikan taraf hidup rakyat dan memberi bantuan kepada bantuan kepada keluarga terdekat anggota. Organisasi ini juga mendapat pengakuan pemerintah, pada tanggal 11 September 1911. Pada tahun 1913 orang-orang Ambon di Jawa Tengah mendirikan Mena Moeria dengan tujuan membela dan memajukan kepentingan-kepentingan jasmani dan rohani penduduk pribumi dari pulau Seram dan sekitarnya sampai seluruh kepulauan Maluku, membangunkan kekuatan rakyatnya untuk dipimpin pada perkembangan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Walaupun rumusan tujuannya sangat luas, organisasi ini agak khusus melayani keperluan beasiswa anak-anak militer di Pulau Jawa.

Suatu organisasi politik yang berdasarkan agama Kristen Christelijke Ambonsche Volksbond (CAV), didirikan pada tahun 1917 di Ambon dengan ketua W. Pattiasina, seorang pendeta pribumi (Indlandsch Leeraar). J.Soselisa dari CAV mewakili pihak Kristen Ambon dalam Volksraad atas dukungan CEP. Tujuan CAV adalah: (a) meningkatkan persatuan orang Kristen Ambon, (b) meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi anggotanya, dan (c) mendukung politik Christelijke Ethische Partij (CEP).

Beberapa tahun kemudian didirikan di Ambon Sou Maluku Ambon, juga dengan tujuan memajukan perkembangan sosial dan ekonomi penduduk Amboina. Tidak jelas apakah organisasi ini juga merupakan organisasi politik.

Dalam kerangka pergerakan nasional Indonesia, organisasi politik orang Maluku yang terpenting adalah Sarekat Ambon, yang didirikan di Semarang pada tanggal 9 Mei 1920 oleh A.J. Patty (1894-?), seorang wartawan. Inilah organisasi untuk mereka yang berjiwa progresif dan kritis terhadap kenyataan politik kolonial. Tujuannya untuk memajukan kepentingan jasmani dan rohani orang Ambon dan daerahnya. Untuk itu gagasan kesatuan rakyat Ambon dipropagandakan membentuk pemerintahan parlementer. 4Redaksi Mena Moeria, koran yang diterbitkan Sarekat Ambon pada tahun 1922, memuat pernyataan J. Kayadoe, salah seorang pemuka Sarekat Ambon, yang memperlihatkan suatu kesadaran baru mereka dalam memahami  hubungan mereka dengan pihak pemerintah Belanda pada satu pihak dan masa depan mereka dalam cita-cita nasionalismepada pihak lain:

Bagi bangsa Ambon, diantaranya, suatu petunjuk jelas bahwa di tempatnya adalah di sebelah orang-orang Jawa, Timor, Menado, Aceh; jadi di antara orang-orang Hindia lainnya yang secara alamiah mereka itu merupakan bagian daripadanya. 

Dengan orang Hindia tadi ini, orang Ambon mempunyai kepentingan bersama yang besar; dengan mereka ia mempunyai nasib yang sama, yaitu nasib  sebagai orang-orang terjajah. Sekarang ia telah membuka matanya lebar-lebar. Hendaknya ia menyadari ini sepenuhnya, jangan sampai terjerumus karena kata-kata palsu ataupun alasan-alasan yang menyesatkan. Hendaknya ia tidak menutup mata oleh  karena ia mempunyai keuntungan-keuntungan yang sebenarnya hanya sementara saja agar ia tetap waspada dan mempergunakan akal sehatnya. Sebaiknya ia bergabung menjadi satu dengan suku-suku bangsa lainnya dan kaum sesukunya untuk mengangkat Negara dan Bangsanya agar bila tiba saatnya, dapat mengajukan tuntutan kepada negeri Belanda agar diadakan persamaan dalam segala hal, yang menyangkut kewarga-negaraan penuh dari suatu bangsa besar di khatulistiwa. […] 

Suara kita, suara orang-orang Ambon, harus dapat didengar di dalam dewan perwakilan rakyat, dan bukan suara dari partai politik, walupun namanya kedengaran seolah-olah cenderung kepada urusan agama  Kristen ataupun etis. Pada azasnya partai-partai tersebut seharusnya membela kepentingan-kepentingan kaum kolonialis imperialis; bukan kepentingan kita melainkan kepentingan mereka.5 

Patty bekerja sama dengan Najoan, tokoh komunis asal Minahasa, dalam menerbitkaan surat kabar untuk  melakukan propaganda radikal di kalangan militer Ambon di Jawa, yang mengakibatkan timbulnya kekacauan-kekacauan lokal. Patty menekankan perlunya perjuangan bagi keamanan dalam militer (KNIL) dengan orang Belanda, khususnya perlunya sistem penggajian baru, sistem pendidikan, dsb. Tetapi gerakan itu melemah ketika pemerintah menindak mereka. Pada tahun 1922 Patty mendukung pembentukan fraksi Radicale concentratie dalam Volksraad, yang menyebabkan pertentangan di kalangan pengurus Sarekat Ambon antara yang mengikuti kecenderungan radikal oleh pengurus sosialis dan komunis dengan yang khusus memberi perhatian kepada kemajuan Ambon. Karena pertikaian itu Sarekat Ambon melemah dan pusat kegiatan dipindah ke Ambon pada tahun 1923 untuk “mengembangkan kesatuan dan persatuan orang Ambon”. 6 Tetapi dalam gerakannya Patty berhadapan dengan kekuatan yang memusuhi, yakni para pejabat dan pemuka Ambon. Kegiatan-kegiatan Patty mendapat dukungan luas di kalangan rakyat sehingga membahayakan kedudukan mereka. Sebab itu mereka mencari jalan untuk menghalangi gerakannya dan bahkan menyingkirkan dia. Pada tanggal 28 Nopember 1923 Ambonraad mengajukan mosi supaya residen mengusir Patty keluar dari Ambon, dan supaya Sarekat Ambon dinyatakan terlarang. Akhirnya pada bulan Oktober 1924 Patty ditangkap lalu dikirm ke Makasar, dan pada tanggal 9 Januari 1925 dia dibuang ke Bengkulu, 7 kemudian dipindahkan ke Flores (1930) dan akhirnya ke Dugul. Pemerintah menolak memberi pengakuan terhadap Sarekat Ambon karena tindakan-tindakan Patty di Ambon dan karena isi majalahnya Mena Moeria, dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Demikian juga perhimpunan wanitanya, Ina Toeni, ditolak pemerintah. Dengan pengasingan Patty, pergerakan yang radikal ini melemah, walaupun wakil Ambon di Volksraad, dr.H.D.J. Apituley, menyatakan bahwa keanggotan mereka masih banyak.

Pada tahun 1928 Sarekat Ambon diorganisasikan kembali oleh seorang tokoh Ambon, Mr. J. Latuharhary (1900-1959), ketua Pengadilan Negeri (Landraad) Surabaya.8 Pusat organisasi dialihkan dari Semarang ke Surabaya, dari pusat gerakan radikal ke yang lebih moderat. Organisasi ini netral terhadap agama anggota, menaruh simpati terhadap kegiatan Indonesische Studieclubnya Dr. Sutomo, tetapi menentang Sarekat Islam. Pada perayaan sembilan tahun Sarekat Ambon, tanggal 18 Mei 1929, pengurus menerbitkan majalah baru dengan nama Haloen. Di dalam media itu dinyatakan bahwa Sarekat Ambon menolak menjadi anggota PPKI (federasi yang didirikan atas inisiatif Sukarno pada tahun 1927 untuk menghimpun seluruh jajaran organisasi pergerakan nasiona) jika federasi itu tidak memegang prinsip netral terhadap agama lain dan tidak menolak keanggotaan organisasi yang berdasarkan keagamaan dalam pergerakan nasional.

Sarekat Ambon berkembang dengan baik; pengurusnya memberi perhatian pada bidang sosial, a.l. dengan mendirikan asrama wanita, dan sebuah sekolah tenun. Dalam rapat umumnya pada tanggal 16 Maret 1930 di Surabaya ditetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Pemerintah mensahkannya pada tanggal 16 Maret 1930. Tujuannya untuk, dengan cara yang sesuai, membela kepentingan jasmani dan rohani dan memajukan kesejahteraan penduduk pribumi Maluku, dan memperjuangkan penghapusan hal-hal yang tidak baik dan tidak sesuai hukum yang merintangi tujuan itu. Disebutkan pula cara-cara untuk mencapai tujuannya: a) menekankan gagasan kesatuan rakyat seluruh kepulauan Maluku; b) berusaha memperbaiki keadaan sosial ekonomi penduduk Maluku; c) memperluas dan memperdalam pendidikan; d) memberi bantuan kepada pemuda-pemuda Maluku yang berangkat sehingga mereka sempat berkembang; e) melawan pembedaan atau pengistimewaan ras dalam setiap bidang; f) keterlibatan dalam bela negara berdasarkan tanggung jawab umum; g) penggunaan cara-cara lainnya yang tidak melawan hukum; dan h) menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi lain yang sejalan.

Sementara itu, sejumlah anggota Sarekat di Jakarta memisahkan diri di bawah pimpinan pendiri organisasi warga Ambon yang pertama, dr. W.K. Tehupeory, dr. H.D.J. Apituley (anggota Volkraad) dan J. Toule Solehuway, mereka mendirikan Moluksch Politiek Verbond (MPV) pada tanggal 15 Juli 1929. Dalam anggaran dasarnya, yang diterima pemerintah pada tanggal 10 Desember 1929, tujuannya dinyatakan: a) meningkatkan emansipasi, dalam arti yang luas, dari warga Maluku berdasarkan kesetiaan kepada Pemerintah; b) menumbuhkan tanggung jawab dan ketaatan seluruh kelompok Maluku tanpa pembedaan ras dan agama, untuk mencapai pemerintahan sendiri dengan tetap dalam ikatan Belanda; c) mendukung usaha setiap kelompok suku Hindia Belanda untuk berpemerintah sendiri, menuju suatu ikatan federatif dari bagian-bagian otonomi Hindia Belanda; d) meningkatkan kegiatan mandiri rakyat Maluku.

MPV memperjuangkan perluasan Ambonraad melalui rapat terbuka, penerbitan berkala, dan cara-cara sah lainnya, serta berjuang untuk pembentukan dewan-dewan di kota-kota Maluku lainnya, pembentukan suatu dewan propinsi Maluku, perluasan dan pendalaman pendidikan, dan pembentukan milisi Maluku untuk menghapuskan wajib kerja (heerendiensten) di Maluku. Selanjutnya mereka mengajukan kepada pemerintah untuk menyelidiki daerah-daerah di Maluku yang bisa mulai digarap oleh swasta. Dengan segera MPV yang bersifat “Blanda Ambon” itu terlibat dalam persaingan tajam dengan SA. MPV mendapat dukungan dari partai politik Ambon pro kolonial lainnya, CAV. Salah seorang pimpinan CAV, C. Ririmase, menyatakan dukungan kepada Apituley menentang gagasan “Indonesia Raya” (Persatuan Nasional Indonesia) dari kaum nasionalis. Dia merangkum pemikiran politik Apituley mengenai hal itu dalam tujuh pokok:

  1. bahwa kerapkali seboetan “Indonesia” itoelah leuze dari volksleider sadja kepada persatoean rajat di kepoelauan ini bertentangan dengan Nederlandsche Regeering dan akan mempertiadakan nama Nederlandsch-Indië.
  2. bahwa persatoean Indonesia oemom itoe tak bisa didapati, disebabkan oleh pelbagai djenis perbedaan sendiri jang soedah menang, misalnja tentang adat istiadat, bahasa dan agama.
  3. bahwa beliau tidak pertjaja, bahwa kebadjikan dan kemadjoean Maloeka ini akan diperoleh persambatan dengan P.P.P.K.I itoe, melainkan sadja oleh Regeering.
  4. bahwa Sarekat-Ambon tjara officieel tidsak masoek P.P.P.K.I. tetapi tjara officieus ada berhoeboeng. S.A. beloem bisa merambat sekeliling Maloeka, sebab beloem mendapat rechtspersoon.
  5. bahwa betapa bohong soerat-soerat kabar, teristimewa Sinar Maloekoe, jang menerangkan bahwa roeh politiek rajat di Ambon itoelah roeh S.A. sekaliannja, jang mana ada pro sama P.P.P.K.I., sebab selainnja vakvereeniging seperti Regentenbond, Inl. Leraarsbond, Ambonsche Onderwijzersbond, Persekoetoean Setia dengan Pandji Nederland (ambonsche Oud Militairenbond), tetapi ada djoega perserikatan rajat “Christelijk Ambonsche Volksbond”, jang sekaliannja itoe berechtspersoon (ketjoeali A.O.B.) dan selaloe hidoep bekerdja semoenja itoe pro Regeering (djadilah setoedjoe dengan M.P.V).
  6. bahwa beliau harap rajat Maloeka akan memasoekkan dirinja dalam partij pro Reegering, jang sempat memberi pimpinan dan perbantoean kepada kemadjoean dan keselamatan tanah dan bangsa.
  7. oentok ini tiada patoet pemimpin rajat tjoema berteriak sadja setinggi langit, tetapi jang lebih perloe itoelah oesaha sendiri djoega, terlebih dalam economie”.9

Pada rapat Sarekat Ambon di Surabaya, tanggal 25 dan 26 September 1930, yang dihadiri 200-an wakil-wakil dari cabang-cabang Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Seram, Merauke, Makassar, Surabaya, Wonokromo dan perwakilan di Semarang dan Batavia, Mr. Latuharhary memaklumkan bahwa Sarekat Ambon juga turut memperjuangkan “kemerdekaan Indonesia”, namun oleh karena kesulitan praktis maka tidak dapat menyetujui semboyan-semboyan Indonesië los van Nederland atau Ambon los van Holland. Ketua yang baru terpilih itu menyatakan terimakasih kepada A.J. Patty, pendiri Sarekat Ambon, namun menambahkan bahwa Sarekat Ambon kini lain arahnya daripada di bawah Patty , dan bahwa Sarekat Ambon akan bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain di bidang politik, ekonomi dan sosial untuk mengakhiri politik verdeel en heersch (=pecah belah dan kuasai) yang mengancam persatuan. Dan supaya rintangan-rintangan diatasi, maka organisasi perlu mendapat pengakuan pemerintah; demikian juga perlu reorganisasi Ina Toeni untuk dapat mendirikan sekolah tenun di Ambon. Keinginan Sarekat Ambon dinyatakan dalam lima mosi: 1) mendirikan sekolah tenun di Maluku; 2) pengubahan cara pemilihan untuk Dewan Ambon dengan langsung mengisi pilihan tertulis; 3) supaya pembatasan pelaksanaan hak berkumpul dan berorganisasi tidak dipisahkan sesuai dengan hukum adat; 4) perlunya seorang ahli lepra ditempatkan di Ambon; 5) supaya jumlah anggota pribumi Ambonraad diperbanyak.

Pada kesempatan itu kaum wanita Ambon menyerahkan bendera tiga warna kepada pengurus pusat: merah (warna  pakaian leluhur orang Maluku), hijau (daun sagu, makanan pokok rakyat Maluku), dan biru (warna laut Ambon, yang menghasilkan ikan makanan rakyat).

Sebuah kelompok kecil dari Sarekat Ambon bernama Stem Ambonsche Club terbentuk dengan tujuan meningkatkan kesetiakawanan orang-orang Ambon di Jawa Timur. Di Surabaya SA juga menjalin kerjasama dengan organisasi nasionalis Soerabajasche Studieclub.

 

2.1.2    Minahasa

Mengikuti jejak orang Ambon di Semarang, orang-orang Minahasa di Magelang mendirikan Perserikatan Maesa di bawah pimpinan J.F. Tanod, seorang sersan KNIL.10 Tetapi yang  kemudian berkembang adalah Roekoen Minahasa (kemudian menjadi Perserikatan Minahasa) yang dibentuk pada bulan Agustus 1912 di Semarang. Keanggotaannya meliputi semua orang yang berasal dari Minahasa dan atau keturunannya. Ketuanya J.H. Pangemanan, redaktur kepala surat kabar Melayu Djawa Tengah. Dalam Anggaran Dasarnya, yang disahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Desember 1912, tercantum tujuannya: memberi bantuan untuk pengembangan untuk ekonomi daerah dan rakyat Minahasa.11 Cara-cara yang ditempuh untuk mencapai maksud ini adalah: a) melawan atau membatasi sebab-sebab kemunduran; b) menumbuhkan kekuatan-kekuatan jasmani dan rohani, terutama membangkitkan dan mempertahankan tabiat baik rakyat, seperti saling bantu dalam kebutuhan; c) menolong dalam kedukaan dsb; d) saling memperhatikan, khususnya pada mereka yang baru datang dari Minahasa untuk mencari pekerjaan; f) membantu pelajar yang membutuhkan uang; h) mengembangkan pertanian dan perkebunan, peternakan dan industri; g) cara-cara lain yang sah untuk menjamin keadaan rakyat yang pantas.12

Khusus untuk pendidikan dibentuk Studiefonds Vereeniging Minahasa dengan tujuan memajukan perkembangan rohani dan masyarakat orang Minahasa. F. Laoh dan W.J.M. Ratu Langie ditunjuk masing-masing sebagai ketua dan wakilnya. Rupanya wadah beasiswa ini tidak berjalan dengan baik sehingga Perserikatan Minahasa membentuk Onderling Ondersteuningsfonds Minahasa pada tahun 1912, dimana a.l. Dr. G.S.S.J. Ratu Langie duduk sebagai ketua dewan komisarisnya.13

Roekoen Minahasa mencapai keanggotaan sampai beberapa ribu jiwa, kebanyakan militer, dan di Minahasa seribuan orang menjadi anggota, diantaranya banyak kepala kampung (hoofden). Kemudian karena konflik antar golongan mliter dengan golongan sipil, organisasi terbagi atas bagian untuk rakyat umum dan bagian untuk rakyat militer. Atas inisiatif Pangemanan maka pada bulan April  1919 di dalam rapat di Yogya diperjuangkan kesetaraan (gelijkstelling) dengan orang-orang Eropa bagi semua orang Minahasa, dengan mengajukan petisi kepada pemerintah. Wakil-wakil Minahasa di dalam Volksraad, A.L. Waworoentoe (dipilih) dan F. Laoh (diangkat) menolak memperjuangkan petisi itu karena jelas tidak akan berhasil.

Sekelompok tokoh Minahasa mendapat pengaruh revolusioner dari ISDV, golongan sosialis yang kuat di Semarang. Pangemanan sendiri menjadi salah seorang pimpinan cabang ISDV di Magelang. Maka juga terjadi perpecahan antara kelompok radikal yang dipengaruhi sosialisme dengan yang moderat di kalangan orang Minahasa. Kelompok yang terakhir ini perlahan-lahan menang, khususnya setelah Wawoeroentoe, Laoh dan kemudian Mandagie terpilih sebagai anggota Volksraad. Kalangan Minahasa lebih memberi perhatian pada masalah-masalah sosial dan ekonomi daripada politik. Sementara itu perhatian dari para perantau di Jawa terhadap negerinya makin meningkat. Dalam beberapa  pertemuan anggota perserikatan, Dr. G.S.S.J. Ratu Langie menjelaskan mengenai sifat revolusioner dan hubungan Perserikatan Minahasa dengan pergerakan nasional. Sifat revolusioner hanyalah secara rohani, dalam arti ada perubahan mendasar dalam sikap orang Minahasa, yakni menjadi lebih sadar akan keminahasaannya:

Sesoenggoehnya di dalam orang-orang Minahasa soedah kedjadian revolutie rohani. Dia orang boekan sadja merasa dirinja anak bala (raiat) tetapi joega ia soedah merasa dirinja “orang Minahasa”. Dia oerang soedah merasa nasional. Kaloe tiada perasaan nasional ini tentoe tiada ada P.M. Lahirnja P.M. itoe mendjadi tanda bahwa perasaan nasional itoe soedah bangun.14

Perbedaan pandangan politik dalam Perserikatan Minahasa, khususnya antara kaum militer dan sipil ketika PNI mencanangkan progresif mendirikan Persatoean Minahassa di bawah pimpinan Dr. R. Tumbelaka dan Dr.G.S.S.J. Ratu Langie. Perserikatan Minahasa yang didominasi kaum militer itu berjalan sendiri dan sempat menerbitkan Soeara Militair Minahassa. Tetapi kemudian tidak ada beritanya lagi. Walaupun berhalauan lebih progresif daripada Perserikatan Minahassa, Persatoean Minahassa berhati-hati terhadap sepak terjang radikal kaum pergerakan. Ketika Sukarno memprakarsai pembentukan PPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada tahun 1927, yang dimaksudkan sebagai suatu “front persatuan Indonesia” dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara terpadu, Persatoean Minahassa menyatakan sikap politiknya yang moderat. Pengurus Persatoean Minahassa akhirnya memutuskan tidak bergabung dengan PPKI, walaupun sama menghendaki kemerdekaan tanah air. Pada kongres tanggal 27-28 Mei 1928 di Batavia (yang disebut “Cahebes Congres”) ketua Persatoean Minahasa Dr. G.S.S.J. Ratu Langie menyampaikan suatu penjelasan atas sikap yang ditempuh pengurus itu. Ratu Langie menyatakan bahwa alasan penolakan itu adalah karena PPKI tidak netral di bidang agama (menerima anggota yang tidak netral terhadap agama) dan tidak menghormati tujuan organisasi persatoean Minahasa.

Persatoean Minahasa memperoleh pengakuan pemerintah pada tanggal 6 Januari 1930. Sebagaimana dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya, tujuannya adalah: memperhatikan kepentingan kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik daerah Minahasa dan orang Minahasa. Untuk itu ditempuh kegiatan-kegiatan kumpulan berkala, penyebaran tulisan-tulisan, penerbitan surat kabar atau majalah (orgaan), mengajukan wakil pada badan-badan perwakilan, mengajukan surat-surat permohonan kepada pemerintah, dan cara-cara lainnya yang tidak melawan hukum dan etika.15

Rupanya perpecahan di kalangan orang Minahasa berkelanjutan dan mengakibatkan kemunduran, joega dalam persatuan orang Minahassa. Kelompok yang berorientasi pada Indonesia dihimpun oleh Pantouw dalam organisasi baru, Persatoean Perkoempoelan Celebes (juga dikenal sebagai Serikat Celebes)  pada bulan Juni 1930. Organisasi ini bersedia bekerjasama dengan pemerintah. Pada bulan Desember tahun itu di Surabaya dibentuk Celebes Instituut sebagai badan pensehat bagi rakyat dan bagi organisasi-organisasi sosial politik seluruh Sulawesi (berfungsi sebagai pusat organisasi bagi sejumlah perhimpunan Sulawesi dengan dasar nasionalisme Indonesia). Jelas bahwa pembentukan berbagai organisasi itu disebabkan oleh perbedaan visi. Sebuah koran Kristen berbahasa Melayu menyesalkan kenyataan di kalangan orang Minahasa (dan Ambon) yang umumnya beragama Kristen itu:

Dalam minggoe j.l. telah didirikan di Betawi Sarikat Selebes jang diandjoeri oleh toean-toean Lengkong dan Pantouw. Melihat gelagat dari pendirian perkoempoelan itoe, kira-kira sarekat ini nanti menjadi tentangan Persatuan Minahasa. Menurut kirakiraan kita, dengan berdirinja sarikat baroe ini, satoe dalam doea jang menjdadi hasilnja nanti pada P.M., jaitoe melemahkan perkoempoelan itu atau bikin bekerdja semakin keras. Ambon soedah lama ada pertandingan antara S.A. dan M.P.V. dan sekarang roepanja bakal ada pertandingan di pihak Minahasa, jaitoe antara Sarikat Selebes dan Persatoean Minahasa. Sebenarnja boekan tak ada hasil dari tiap-tiap pertentangan, jaoitoe masing-masing partij lebih mengoeatkan organisatienja, sehingga lebih banjak membawa hasil pada bangsa itoe seoemoemnja. Tetapi menoeroet perasaan kami, hasil ini ada lebih baik (moelia) bila diperoleh dengan jalan damai. Lebih koerang poelalah baiknja, bila satoe bangsa dan satoe agama saling bertjakar-tjakaran. Menoeroet tahoe kami, dengan mengetjoealikan satoe-satoe orang sadja, rata-rata bangsa Ambon dan Minahasa adalah memeloek agama Christen dan Christen jang tetoea poela di Indonesia ini. Dus ada baiknja kalau mereka memberi tjonto teladan jang baik pada adik-adiknja di Indonesia ini, seperti  pada Christen Djawa, Batak, dll.16

Perkembangan lain di kalangan orang Minahasa adalah usaha menyatukan seluruh penduduk asal Sulawesi. Pada tahun 1919 dibentuk perhimpunan Minahassa – Celebes dengan tujuan meningkatkan harkat dan nilai perkembangan rohani dan moral anggota, memajukan kesejahteraan mereka dan membantu keluarga anggota bila perlu. Pada tahun yang sama dibentuk di Minahasa Jong Minahasa (resminya Minahassische Studerenden Vereeniging), yang juga dalam Anggaran Dasarnya menyatakan tujuannya menyangkut soal perkembangan rohani, moral dan ekonomi. Pada tahun 1927 organisasi pemuda – pelajar ini pun dikembangkan meliputi seluruh pelajar asal Sulawesi, dengan nama Vereeniging van Studeerenden jong Celebes. Jong Celebes ikut dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan “Sumpah Pemuda”.17

Seperti di kalangan orang Ambon, orang Minahasa juga mendirikan organisasi wanita. Salah satu organisasi penting yang berperan membentuk citra wanita Minahasa modern adalah PIKAT (Pertjintaan Iboe kepada Anak Temoeroenja) yang didirikan oleh Ny. Maria Walanda-Maramis di Manado pada tahun 1917.18

Pada bulan Desember tahun 1919 di Tomohon dibentuk perhimpunan Pangkal Setia yang mendapat pengakuan pemerintah pada tanggal 12 Juli 1917. Tujuan organisasi para guru ini adalah: a) memperhatikan kepentingan anggota-anggotanya, b) meningkatkan pendidikan Kristen di Manado dan c) memperkuat ikatan antara Minahasa dan Belanda. Organisasi ini giat menyelenggarakan kumpulan rohani secara berkala, mendirikan sekolah-sekolah, menerbitkan surat kabar Pangkal Setia, memajukan pendidikan para guru dan mendirikan dana pertolongan.

Jadi organisasi ini bersifat sosial keagamaan, tetapi kemudian di dalamnya ada kelompok yang berorientasi politik.19

 

2.1.3. Timor

Organisasi di kalangan orang Timor baru dibentuk pada bulan September 1921 di Makassar, yakni Timorsch Verbond, dengan ketua J.W. Amalo. Statutanya, yang diakui pemerintah pada tahun 1923, menyatakan bahwa tujuan Timorsch Verbond adalah untuk meningkatkan moral dan kerohanian orang-orang Timor, memajukan kesejahteraan dan memberi bantuan bila diperlukan, serta membantu memajukan anak-anak anggota. Untuk mencapai tujuan itu diselenggarakan pertemuan-pertemuan, surat-menyurat dan kalau perlu memohon bantuan pemerintah, serta melalui usaha pengumpulan dana. Suatu cabang organisasi ini didirikan di Kupang.

Di Kupang dibentuk juga suatu organisasi lain bernama Perserikatan Timor, pada bulan Agustus 1924, di bawah pimpinan C. Frans. Statutanya, yang disahkan pemerintah (tanggal 27 Maret 1925), menyatakan bahwa organisasi ini bertujuan memperjuangkan kemandirian penduduk pribumi Timor dan sekitarnya di bidang ekonomi, rohani, kebudayaan dan politik dalam kerjasama dan tetap memperkokoh ikatan dengan Belanda. Tujuan itu diupayakan dengan banyak cara, a.l. dengan mengusahakan perwakilan dalam Volksraad. Keanggotaannya hanyalah warga negara Belanda, sedang anggota biasa meliputi semua pendudukan pribumi Timor dan sekitarnya yang tidak sama status dengan orang-orang Eropa (niet gelijkgesteld), orang-orang Belanda dan Indiërs yang kawin dengan keturunan mereka, dan Indiërs yang telah bermukim di daerah itu paling sedikit 10 tahun.20

Pada pertengahan tahun 1920-an ketika pihak komunis makin radikal, pengaruhnya juga terungkap di kalangan orang Timor dalam Timorsch Verbond di Makasar, demikian juga dalam suatu organisasi di Timor yang bernama Kerapatan Timor Evolutie di bawah pimpinan J.W. Toepe dan Ch. M. Pandy. Malahan Pandy mendirikan organisasi yang radikal, mula-mula dengan nama Sarekat Timor, lalu kemudian menjadi Sarekat Rakjat. Organisasi ini merupakan gerakan perlawanan yang militan terhadap pemerintah setempat dan ia memperoleh pengikut sampai 1200 anggota. Etika Pandi ditahan dan diadili maka sarekat itupun lenyap. Sementara itu Kerapatan Timor Evolutie dan Timorsch Vebond diam-diam mendukung Pandy. Timorsch Verbond mempunyai sekitar 100 anggota dan mendirikan HIS di dekat Kupang. Perserikatan Timor mempunyai anggota sekitar 850 orang, dan tetap mempertahankan tujuan semula.

 

2.1.4. Masyarakat Kristen lainnya

Selain Maluku, Minahasa dan Timor, terdapat pula kekristenan dengan jumlah yang cukup berarti di kalangan beberapa suku lainnya, seperti suku Batak dan Nias, yang mendiami wilayah Sumatera Utara. Demikian juga suku Dayak di Kalimantan. Tetapi para pemuda Batak bergabung dengan pemuda Minang dalam Jong Sumatranen Bond (berdiri 1917). Baru pada tahun 1925 dibentuk Jong Bataks Bond (JBB), yang merupakan reaksi terhadap melemahnya JSB. Salah seorang pemuda Batak pada masa itu adalah T.S.G. Moelia, yang juga realistis terhadap taraf persatuan suku-suku bangsa di Sumatera yang masih harus dibina pada lingkup sesuku. Perhatian terhadap masalah sosial dilakukan di Tanah Batak oleh suatu organisasi Kristen yang didirikan pada tahun 1917, Hatopan Kristen Batak (HKB).21 Walaupun bersifat organisasi rohani, pemimpin-pemimpinnya yang yang berorientasi sosial sempat melakukan gerakan protes terhadap penguasaan tanah oleh pihak perkebunan swasta. Pada bagian kedua tahun 1920-an HKB terlibat dalam upaya pengorganisasian Gereja Batak, yang secara tidak langsung melahirkan Huria Christen Batak (HChB) pada tahun 1927/1928.

Di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, dimana pergerakan nasional dari berbagai aliran muncul, orang-orang Jawa Kristen juga terbawa arus pergerakan. Pada tahun 1912 mengikuti Budi Utomo dan menghadapi pengaruh Sarekat Islam mereka membentuk organisasi sosial keagamaan Mardi Pratjojo.22

 

2.2. Partai Politik Kristen

Berbeda dengan organisasi-organisasi suku, yang lebih bersifat organisasi sosial dan dengan dasar kesukuan, yang akan dibicarakan berikut ini adalah organisasi-organisasi yang secara sadar menempatkan agama Kristen sebagai dasarnya dan memilih politik praktis sebagai bidang kegiatan utamanya. Uraian dimulai dengan Christelijke Etische Partij (CEP), suatu partai politik yang dibentuk dan didominasi oleh orang-orang Kristen Belanda di Indonesia. Peranannya penting sebagai patron bagi partai-partai politik Kristen Indonesia dalam gagasan maupun program. Di sini dikemukakan pemikiran teologi orang Kristen Indonesia anggota partai itu di bidang politik. A. Latumahina dan I. Siagian diketengahkan untuk pokok itu. Kemudian uraian mengenai Partai Kaum Christen (PKC) dan Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI). Dan dalam kaitan dengan keterlibatan orang Kristen dalam pergerakan nasional, dua orang tokoh nasionalis, G.S.S.J. Ratu Langie dan T.S.G. Moelia, dibahas untuk memperlihatkan bagaimana keterlibatan itu.

 

2.2.1. Christelijke Ethische Partij (CEP)

Pembentukan suatu partai politik Kristen di Indonesia baru muncul dalam rangka pelembagaan Volksraad, semacam badan perwakilan rakyat tetapi dengan kewenangan hanya sebagai penasehat pemerintah kolonial.23 Pada tanggal 25 September 1917 dibentuk Christelijk Ethische Partij (CEP, Partai Etik Kristen). Pada tahun 1929 bertepatan dengan hari partai (partijdag) ke-10, ketika citra politik etis memudar, namanya diganti menjadi Christelijk Staatkundige Partij (CSP, Partai Politik Kristen). Prakarsa kalangan Kristen membentuk partai untuk turut dalam wadah parlemen bayangan itu ada di tangan beberapa pemuka Kristen Belanda yang bermukim di Indonesia (golongan blijvers).24 Panitia persiapannya adalah: V.J. van Marle, P. Bergmeijer (kemudian menjadi ketua CSP yang pertama, M. Middelberg dan Mr. C.C.  van Helsdingen.25 Kalangan Kristen pribumi dilibatkan sejak semula dengan merangkul tokoh-tokoh suku-suku Kristen (F.Laoh dari Perserikatan Minahasa dan J.A. Soselisa dari CAV Maluku), kemudian Poertjaja Gadoen dari PKC (Partai Kaoem Christen, partai politik orang Jawa Kristen) dan T.S.G. Moelia dari kalangan Kristen Batak. Diharapkan bahwa keanggotaan akan terutama dari kalangan blijvers (CSP menolak dianggap sebagai partai kaum trekkers), Indo-Belanda dan orang Kristen Indonesia. Pada tahun 1926 dilembagakan bagian pribumi (Inheemse Afdeeling) dalam CEP.

Panitia persiapan bekerja sama dengan redaksi mingguan Kristen De Banier untuk menjelaskan dasar dan program bakal partai itu, didahului suatu uraian bersambung mengenai kewajiban orang Kristen untuk berpolitik. Rupanya uraian ini dianggap perlu untuk menyadarkan orang-orang Kristen yang umumnya enggan berpolitik, baik karena belum terbiasa (sebelunya pemerintah kolonial melarang pembentukan partai politik) maupun karena pengajaran Kristen yang diterima cenderung menjauhi atau memandang “kotor” dunia politik. Dalam sepuluh seri bersambung, De Banier memuat karangan “De Christen en de Politiek” yang menguraikan dasar-dasar Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dari keniscayaan orang Kristen berpolitik, dengan tekanan pada tugas kesaksian untuk memuliakan Tuhan. Salah satu bagian menyatakan:

Dan siapa yang bersaksi tentang Yesus di dunia ini tidak boleh membatasinya pada kehidupan rohani, melainkan harus berbicara tentang Dia sebagai Pembaharu seluruh kehidupan. Keseluruhan bagian daripada kehidupan itu juga dibaharui dan dikuduskan oleh kekristenan; hubungan antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak-anak, antara tuan dan hamba, antara pemerintah dan rakyat, antara manusia dan manusia, antar bangsa dan bangsa. Ilmu pengetahuan dan seni, hukum dan masyarakat, politik dan pekerjaan tidak ada bidang kehidupan yang besar dan luas yang boleh dilepaskan dari kuasa dan penguasaan Kristus, dan makna pengudusan Kristus atas semua bidang ini harus diteliti dan disaksikan oleh kekristenan.26

Selain Alkitab, dikemukakan pula dasar dalam sejarah Negeri Belanda sebagai sejarah penegakan panji-panji Kristen dengan menunjuk bait terakhir lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus (yang mengungkapkan kesetian kepada raja dan ketaatan kepada Allah) sebagai rencana kerja ringkas semua politik Kristen. Karangan-karangan selanjutnya menjelaskan berbagai segi perpolitikan Kristen, a.l. perbedaan dengan aliran-aliran politik lainnya.

Suatu siaran pers CEP dalam De Banier untuk menentang golongan liberal Nederlandsch Indische Vrijzinnigen Bond (NIVB) memuat juga penjelasan mengenai dasar dan tujuan CEP. Dasarnya berhubungan dengan nama Christelijk Ethisch yang dijelaskan sebagai berikut:

Partai Etis Kristen menyebut dirinya Kristen karena dia memberi makna sentral pada pandangan dunia dan kehidupan secara Kristen, menguasai segala bidang kehidupan manusia, sehingga manusia juga dalam kepentingan dan pemerintahan umum memperhitungkan dan membiarkan diri dipimpin oleh hukum Allah: “Hendaklah engkau mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap pengertianmu”. 

Dia menyebut diri etis, karena memahami secara etis petunjuk hukum: “Hendaklah engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri”; dan menamai dirinya Kristen-etis, karena menganggap kewajibannya mengawasi pemerintahan dan pemerintah Hindia Belanda mempraktekkan etik yang sesuai dengan pandangan dunia dan kehidupan Kristen.27

 Disamping dasar yang dianggapnya bersifat universal dan dapat berlaku di semua tempat dan masa itu, CEP mempunyai program-program partai yang lebih membumi pada kenyataan sejarahnya, Mr.C.C. van Helsdingen, salah seorang pendiri dan kemudian ketua CEP/CSP (sejak 1924) merumuskan keseluruhannya dalam enam pokok:

(1) hubungan kekristenan dan politik, (2) hubungan Belanda dan Hindia Belanda, (3) mengenai pemerintah: panggilan dan kewajibannya, (4) kebebasan rohani, yaitu kebebasan hati nurani dan agama, (5) otoritas dan mayoritas, (6) hubungan dengan partai-partai politik lainnya.28

CSP merumuskan hubungan antara Negeri Belanda dan Hindia Belanda sebagai suatu kehendak Tuhan dalan sejarah yang memberi tugas atau kewajiban kepada negeri Belanda untuk membimbing rakyat pribumi menuju kemandirian Hindia Belanda yang lebih besar dan pembinaan keinsyafan pada kesetiakawanan yang kokoh antara kedua negeri. Pandangan mengenai pemerintah didasarkan pada pemahaman Roma 13:1-7, bahwa pemerintah adalah hamba Allah.

Dalam hubungan dengan panggilan etis pemerintah terhadap rakyat Hindia Belanda, CSP menolak gagasan asimilasi:

Sebagaimana Kekristenan mengakui dan menghormati hak setiap manusia, demikian juga diakui makna dan hak masing-masing bangsa dan suku-suku bangsa, sifat mereka masing-masing, talenta mereka masing-masing. Tidak bisa dan tidak boleh suatu Pemerintah, setidaknya suatu Pemerintah Kristen, bertujuan membinasakan kekayaan kepelbagaian yang Allah tumbuhkan di dalam kehidupan umat manusia, melainkan menjadi tugasnya untuk mencari dengan cermat karunia-karunia dan kekuatan-kekuatan Allah pada bangsa-bangsa itu yang Dia letakkan di bawah pemerintahan kita untuk ditunjang sehingga mereka dapat berkembang seluas mungkin.*

Sikap partai ini terhadap pergerakan nasional Indonesia dirumuskan dalam tujuh dalil, yang dikemukakan sebagai pokok debat politik dalam suatu rapat terbuka di Solo pada tahun 1922. Keseluruhan dalil mengungkapkan sikap yang konservatif terhadap pergerakan nasional, yakni hanya mendukung aliran–aliran yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Dalil ketujuh berbunyi:

Sebagaimana nyata dari programnya, CEP mengakui sifat nasional dari bangsa yang berbeda-beda di Hindia Belanda, sehingga bersikap simpatik terhadap aliran-aliran nasional, yang berusaha mengungkapkan diri dengan cara yang sesuai hukum.*

 Tekanan penting CSP lainnya adalah kebebasan rohani, yakni kebebasan hati nurani dan kebebasan keyakinan keagamaan. Dalam hubungan itu CSP turut mendukung kemandirian gereja-gereja Protestan dari ikatan dengan pemerintah. Sebagai partai kecil, CSP lebih mengutamakan kekuatan prinsip partai (pemberlakuan otoritas Firman Tuhan) daripada kemenangan jumlah suara mayoritas.

Hubungan antara CSP dan partai-partai politik lainnya dinyatakan dalam tiga pokok, masing-masing mengenai:

(1) kemandirian CSP terutama menolak anggapan bahwa CSP bagian atau filial dari partai-partai Kristen di negeri Belanda (ARP atau CHU); (2) kerjasama dalam hubungan federatif dengan organisasi-organsasi Kristen pribumi, dan (3) kemungkinan kerjasama dengan partai-partai lain berdasar persetujuan tertulis.

Hubungan federatif yang dimaksudkan dalam ayat (2) adalah dengan CAV dan PKC. Dalam hubungan itu Rehatta dari CAV dan R.M. Notosoetoro dari PKC menjadi anggota-anggota pengurus pusat CSP.29 Pernah juga dirintis kerjasama dengan suatu partai Kristen di tanah Batak (HCB) tetapi tidak berlanjut karena partai itu melemah.

 

2.2.2. Perserikatan Kaoem Christen (PKC)

C.W. Nortier, yang bekerja di tengah-tengah orang Kristen di Jawa Timur pada tahun-tahun kebangkitan Nasional Indonesia (1916-1938), mencatat prakarsa-prakarsa orang Kristen Jawa di Surabaya dan di Mojowarno membentuk beberapa organisasi dari yang bersifat sosial keagamaan sampai organisasi politik sebagai gema dari perkembangan pergerakan nasional.30 Organisasi yang penting dari segi jangkauan keanggotaan dan tujuannya adalah Mardi Pratjojo, yang dibentuk pada tahun 1912 di Kertorejo (Ngoro), dan yang merupakan reorganisasi secara modern (meniru Boedi Oetomo) dari perkumpulan pembaca Alkitab Renjtono Boedijo (didirikan pada tahun 1898). Duduk dalam kepengurusannya J. Mattheus Nimpoeno. Nama Mardi Pratjojo kemudian dipakai untuk suatu organisasi yang lebih besar, yaitu yang menggabung semua jemaat, yang dipelopori oleh Poertjojo Gadroen dan Wirjodarmo. Organisasi itu bergiat dalam urusan agama dan sosial ekonomi dibawah pimpinan J. Mattheus Sr. (Ketua), Poertjojo Gadroen (panitera-bendahara), Wirjodarmo Moersalim dan Ertimin (komisaris). Mattheus mempunyai pengalaman sebagai anggota Jong Java dan sebagai redaktur harian Bintang Soerabaja. Tahun 1916 Mardi Pratjojo memperluas kegiatannya dalam bekerjasama dengan perkumpulan Goejoeban Siswo Kristen ing Djawi Tengah mengembangkan majalah Taman Sworo dari organisasi siswa itu. Dengan sarana itu gagasan-gagasan pergerakan menjangkau banyak warga jemaat dan menumbuhkan pemahaman politik. Akhirnya, Mardi Pratjojo dijadikan partai politik pada tanggal 20 Mei 1918 dengan nama baru Perserikatan Kaoem Christen (PKC). Keanggotan terutama di Jawa Timur dan di Jawa Tengah, dan kemudian terdapat cabangnya di Betawi. Pengakuan sebagai badan hukum diterima dari pemerintah pada tahun 1919. Nortier melaporkan bahwa organisasi politik ini tidak berkembang dengan baik, karena anggotanya rakyat desa sederhana, dan khusus di Jawa Timur, perkembangannya kurang maju ketimbang di Jawa Tengah, antara lain karena di Jawa Timur kurang pembinaan menyangkut masalah-masalah sosial politik dari pihak gereja.

Zending di Jawa Timur berpendirian bahwa ia seharusnya tidak memberi bimbingan dalam urusan-urusan politik; melainkan paling banyak dan sejauh keadaan mengizinkan, membantu orang-orang Kristen Jawa menentukan sikapnya terhadap cita-cita politik seperti yang terdapat dalam pergerakan orang-orang pribumi.31

 Suatu laporan dari kongres PKC pada tahun 1930 menyatakan bahwa kongres itu dihadiri utusan dari cabang-cabang: Poerbolinggo, Keboemen, Poerworedjo, Djogjakarta, Solo, Magelang, Ambarawa, Blora, Soerabaja, Modjowarno dan Malang. Kongres itu juga dihadiri utusan CSP dan PPKD (Katolik).32 Pada kongres itu dikemukakan perkembangan PKC bahwa tahun 1920-1924 tidoer poelas, jang dikira soedah mati; sehingga tidak kedengaran chabarnya lagi. Tahun 1925-1927 terlihat usaha-usaha mengaktifkannya, dan pada tahun 1928 soedah moelai ada soearanja. Pengurusnya adalah: R.O. Simeon (Ketua), Elias (Wakil Ketua), Siswowasono (Sekretaris), Simon Sr (Bendahara) dan Atmodimedjo (Komisaris). Kongres itu membicarakan penjelasan asas dan program kerja. Juga dipilih calon-calon untuk Volksraad (Simeo, Moestari, Poertjaja Gadroen) dan disepakati “berjalan bersama-sama” dengan CSP (dan dengan PPKD) dan bahwa anggota PKC dapat menjadi anggota CSP.

Dua dari keempat fasal Beginselverklaring yang ditetapkan pada kongres itu mengenai dasar iman PKC menyatakan: (1) keyakinan bahwa kemerdekaan tanah Hindia harus dengan kerja Roh Suci dalam hati rakyat, dan bahwa (2) PKC beralaskan Kitab Suci dalam berpolitik. Pasal keempat merupakan pernyataan bahwasanya Indonesia pada akhirnya akan merdeka juga. Berbeda dengan pemikiran-pemikiran politik Kristen yang telah dibicarakan di atas, PKC dalam pasal ketiga mengungkapkan keterbukaannya terhadap agama-agama lain:

P.K.C. pertjaja dan jakin, bahwa matjam-matjam agama itoe tida dianggap mendjadi halangan satoe sama lainnya, boeat djalan bersama-sama, goena mentjapai maksoed jang oetama dan tinggi, teristimewa poela doenia ini diadakan oleh kemoerahannja Toehan, tidak sadja oentoek kepada orang jang beragama semata-mata.33

 Werkprogramnya juga memperlihatkan hal-hal yang praktis tetapi cukup mendasar, antara lain supaya Volksraad menjadi parlemen penuh (menjadi tema penting dalam pergerakan nasional pada akhir tahun 1930-an), perhatian terhadap kaum buruh (penindasan buruh oleh majikan, kesejahteraan, kondisi lingkungan dan jam kerja, larangan bagi anak-anak memburuh, soal pemutusan hubungan kerja), pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, keuangan negara, peradilan dan hukum (antara lain mengusulkan supaya hukuman mati dihilangkan) dan pertahanan (mendukung perlunya wajib militer warga negara).34

Setelah kongres itu, berita lanjut PKC baru diperoleh lagi melalui majalahnya yang diterbitkan pada tahun 1938. Diberitakan bahwa PKC, yang saat itu diketuai R.M. Notosoetarso (yang juga anggota Volksraad), berkongres pada tanggal 25 Mei 1938 di Balai Pasamoean Kristen di Gondokusuman, Yogyakarta. Panitia pelaksana dibantu oleh kaum ibu dan kepanduan Tri-Darma. Kongres dihadiri pengurus pusat, utusan dari 9 cabang (utusan cabang Batavia dan Surabaya dilaporkan berhalangan) dan undangan-undangan seluruhnya berjumlah sekitar 300 orang. Ketua PKC melaporkan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemerintah (dan partai) karena malaise, duduknya ketua dalam Volksraad, dan persuratan dengan Minister-President Dr.H. Colijn dalam menjalin hubungan PKC dengan Anti-Revolutionnaire Partij (ARP) di Negeri Belanda.

Pada acara selanjutnya Ketua menjelaskan asas dan tujuan PKC, serta sikap PKC terhadap pergerakan nasional. Dinyatakan bahwa asas PKC, sebagaimana ditetapkan pada tanggal 30 April 1920, merupakan suatu asas yang berdasar Bijbel. Dalam hubungan dengan asas itu PKC menyatakan sikapnya melawan komunisme dan fasisme (pada masa itu kalangan nasionalis kebanyakan memilih kerjasama dengan pemerintah kolonial daripada dengan pihak fasisme). Terhadap pemerintah dinyatakan:

Sikap P.K.C. terhadap pemerintah selaloe loyaal, artinja soeka bekerdja dengan Pemerintah karena di dalam Romeinen XIII tertoelis bahwa orang Christen itoe haroes menghormat Pemerintahnja.*

Sikap PKC terhadap pergerakan nasional tidak berbeda dengan CSP dan PKMI atau partai-partai loyal lainnya, bahwa kemerdekaan akan dicapai di bawah asuhan pemerintah kolonial dan arahnya adalah tetap berada dalam ikatan dengan Negeri Belanda. Sebab itu gagasan Indïe los van Nederland juga ditolak PKC. Pandangan PKC terhadap beberapa isyu politik masa itu terungkap dalam menjawab beberapa pertanyaan peserta . PKC menolak penyiaran agama Kristen dengan cara memaksa (opdringen), bukan agama yang harus disiarkan dengan paksa. Di dalam Volksraad, Notosoetarso menolak Petisi Soetardjo walaupun setuju prinsipnya, karena menganggap jangka waktu yang diusulkan terlalu singkat: petisi itu menghendaki supaya dalam jangka waktu sepuluh tahun Indonesia sudah merdeka, padahal menurut dia Indonesia belum siap dalam jangka waktu secepat itu. PKC juga menolak pemakaian nama “Indonesia”35 karena pengertiannya kurang jelas dibanding dengan “Nederlandsch-Indïe (Hindia Belanda)”. Pertanyaan tentang apakah tujuan berpolitik Kristen, dijawab untuk memberi pengaruh prinsip-prinsip Kristen kepada kehidupan masyarakat, sehingga asas Kristen dapat masuk dalam hati sanubari masyarakat.

 

2.2.3. Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI)

PKMI merupakan partai politik Kristen Indonesia pada jaman pergerakan yang berusaha menjadi partai untuk seluruh orang Kristen Indonesia. Yang lainnya bersifat lokal, regional, atau etnis, sedangkan CEP/CSP merupakan partai orang Kristen Eropa (walaupun ada bagian pribuminya). Maka sungguhpun hari-hari hidup PKMI berakhir tak lama setelah lahir, gagasan-gagasan dalam proses kelahirannya menyingkap pemikiran “politik Kristen” setelah menyaksikan dinamika pergerakan nasional yang memuncak pada tahu 1920-an.

Pembentukan suatu partai tersendiri bagi orang Kristen Indonesia digagas sejak tahun 1926 oleh beberapa orang aktivis organisasi Kristen di beberapa daerah. Mula-mula J.U. Mangowal dari Tomohon menulis surat pembaca dalam Zaman Baroe mengenai pembentukan suatu organisasi Protestant Boemipoetera Indïe, yang mendapat dukungan dar H. Kraemer dan sambutan-sambutan hangat dari T.T Billi (Sumba), Justinian Hasibuan (Tapanuli) dan S. Wirjotenojo (Tegal), serta Ng. Ginting Djawak (Pematang Siantar), masing-masing dengan usul dan pemikirannya. Gagasan itu disambut oleh beberapa orang dalam lingkungan bagian pribumi CEP, seperti Moelia, Laoh, Harahap dan Pattipeilohy. Sambutan itu antara lain disebabkan oleh melemahnya politik asosiasi, adanya gerakan mencapai mayoritas pribumi (indlandsche meerderheid) dalam Volksraad, dan merupakan upaya untuk mempersatukan organisasi-organisasi sosial Kristen yang ada di seluruh Indonesia. Jelas bahwa kalangan pribumi dalam CEP tidak puas atas penolakan CEP terhadap gerakan Inlandsche meerderheid. Salah satu dorongan penting lainnya adalah kesadaran akan keterbelakangan pihak Kristen Indonesia dalam kemajuan. 36

Gagasan itu mulai dibicarakan dalam suatu rapat umum Inheemse Afdeeling CSP Batavia pada tahun 1928 di mana T.S.G. Moelia merupakan salah seorang penganjur. Tetapi diputuskan untuk menunda karena saatnya dianggap belum tepat. Baru pada tanggal 19 da 20 April 1930 bagian pribumi atau yang biasa disebut juga Maleische Afdeeling CSP Batavia secara lebih serius membicarakannya. Rapat yang berlangsung di gedung Fröbelschool Kwitang itu turut dihadiri utusan dari Semarang, Solo dan Meester Cornelis dan merupakan persiapan menyambut partijdag yang akan dilangsungkan pada bulan Juni di Malang. Ketua CSP Batavia Bagian Pribumi, F. Laoh, memimpin rapat dan bersama E. Harahap mengantar percakapan dengan suatu pokok pikiran. Antara lain Laoh menyatakan:

Adakah waktoenya sekarang ini kita kaoem Christen mengadakan organisatie sendiri atau soedahkah datang tempohnja jang kita sendiri mempoenjai satoe badan organisatie oentoek kita dalam medan politiek? Perkara associatie sekarang roepanja soedahlah laloe waktunja, dalam tahoen jang dahoeloe saja setoedjoe dengan toean Moelia tetapi kami berbeda hanja dalam satoe perkara, jaitoe saja kehendaki kalau diadakan organisatie itoe djangan kita sebagai melompat ke dalam djoerang  jang gelap […].37

Laoh juga menyinggung mengenai inlandsche meerderheid dalam Volksraad yang ditolak oleh banyak anggota dalam CSP, walaupun akhirnya mendapat dukungan dari Ketua CSP dan wakil CSP dalam Volksraad.

Setelah suatu ceramah pengantar dari Dolf Pattipeilohy mengenai masalah perlunya orang Kristen mempunyai utusan dalam Gemeenteraad, yang dinyatakannya merupakan keharusan dan karena itu perlu pembentukan partai tersendiri, pertemuan menyimpulkan bahwa soal pembentukan partai tersendiri terpisah dari CSP akan diajukan pada partijdag mendatang di Malang. Juga ditegaskan bahwa perceraian dari CSP “boekan artinja berbalik diri hanjalah dalam peri bekerdja kita mendjadi satoe toeboeh jang berdiri di samping C.S.P.”.38

Rapat serupa pada bulan Agustus 1930, yang dihadiri antara lain Ketua PKC (R.O. Simeon), menerima laporan Ketua mengenai hasil dari partijdag di Malang menyangkut gagasan pembentukan partai tersendiri bahwa “adalah pada oemoemnja sekalian jang hadir setoedjoe”. Laoh mengulangi alasan perlunya suatu partai tersendiri bagi orang Kristen Indonesia:

Dalam Volksraad telah ditoetoerkan bahasa associatie tidak lagi ada pada tempatnja di pergaoelan sekarang ini. Associatie boleh ada hanja di antara orang jang sama haknja dan sama ketjerdasannja. Tetapi sekarang ini moelai djuga jang satoe pihak mentjahari kerdjasama dengan partij jang lain dalam Volksraad, terlebih dalam waktoe mengambil soeara atau stemmen. Djadi orang Europa tidak bisa sama-sama sedjalan dengan orang Boemipoetra karena orang Europa mempoenjai lebih banjak hak dari pada Boemipoetra, sebab itoe haroes masing-masing mempoenjai organisatie.39

Rapat itu selanjutnya mematangkan rencana membentuk suatu partai bernama Partai Masehi Indonesia (P.M.I). Salah seorang peserta, Soewarso, mempersoalkan nama P.M.I. yang sama singkatan dengan suatu partai Islam (Persatoean Moeslimin Indonesia) dan mengusulkan nama Partai Kaoem Masehi Indonesia (P.K.M.I).40 Lebih lanjut rapat membahas dan menyetujui tiga ciri dasar PMI, yaitu beralaskan agama Kristen, bekerjasama dengan pemerintah dan bersifat federasi kebangsaan (dalam arti menerima keanggotan organisasi-organisasi Kristen dari seluruh Indonesia).

Dalam penjelasan menyertai pengumuman menyertai pembentukan PMI, E. Harahap menjelaskan ketiga ciri dasar PMI sebagai berikut:

Dalam azas jang pertama itoe maksoednja ialah P.M. itoe beralasan agama Masehi, ialah Protestant, jang mengakoei ketiga atau 12 pasal kalimatoessahadat, atau pengakoe kepertjajaan Masehi itoe, jang pertjaja akan Allah Bapa, Anak itoe Jezus Christus Djoeroeselamat manoesia dan Rohoe’l-koedoes.

 Azas kedua: P.M.I. beralasan federatie kebangsaan, artinja: sekalian Perkoempoelan Masehi Bangsa Indonesia jang beralasan agama Masehi sebagai pada azas pertama itoe boleh mendjadi anggotanja. Baik perkoempoelan goeroe-goeroe Masehi, baik perkoempoelan siapa djoega asalkan perkoempoelan Masehi jang mempoenjai alasan kebangsaan.

Azas jang ketiga: P.M.I. beralasan coperatie, artinja: P.M.I. soeka bekerdja dengan Pemeintah jang sah (wettig gezag) serta dengan lain perkoempoelan jang boekan Masehi djoega oentoek membimbing tanah Indonesia ini dan membawa dia kepada kemadjoean lahir dan batin.41

Pada akhirnya rapat menunjuk suatu : “Commissie oentoek mempeladjari dan mengadakan azas-azas statuten boeat P.M.I jang akan didirikan itoe”, jang terdiri atas: F. Laoh (anggota Volksraad) sebagai Ketua,, E.Soetan Harahap (bekas guru Zendings-Kweekschool di Depok dan Commies di Postpaarbank Weltevreden) sebagi Sekretaris II, dan anggota-anggota: D. Pattypeilohy (anggota Gemeenteraad di Meesteraad di Meester Cornelis), A. Siahaan (Commies Belastingkantoor di Batavia), Simion (Ketua Pengurus PKC di Cheribon), I. Siagian (Voorganger Gereformeerde Kerk di Batavia), J. Pasariboe (Guru HIS di Poerworedjo), Soeleman (koresponden harian De Locomotief  di Blora).42 Tidak lama kemudian Panitia berhasil melakukan tugasnya, dan 4 fasal “Rentjana Azas” dan 13 fasal “Statuten” ditetapkan oleh panitia pada tanggal 13 September 1930.43

Pada rapat pembentukan pada tanggal 13 Desember 1930, yang antara lain dihadiri Ketua CSP dan pengurus bagian Melayu CSP Meester Cornelis, Ketua Panitia menjelaskan pokok-pokok terpenting dalam asas dan statuen. Laoh merasa perlu menjelaskan secara singkat mengenai asas ke-2, yaitu pengakuan terhadap hak orang memeluk agamanya:

Djikalau kita berkata, kita menghormati berbagai-bagai kejakinan agama lain, maka kita melainkan bermaksoed bahwa P.M. mengakoe hak orang lain akan memegang agama apa djoega, asal agama itoe tiada berlawanan dengan adat sopan dan ketertiban’ oemoem dan kemerdekaan diri.44

Bagian kedua pasal ini mengungkapkan persamaan perlakuan pemerintah terhadap agama-agama, suatu pikiran yang cukup maju mengingat pada masa itu Gereja Protestan masih terikat secara administratif dan keuangan kepada pemerintah dan karena itu memperoleh tunjangan bagi penganut agama lain. Kedua pokok dalam fasal ini, kebebasan agama dan perlakuan yang sama dan perlakuan yang sama terhadap agama-agama merupakan gagasan penting dalam sikap politik Kristen di Indonesia.

Laoh juga merasa perlu asas ketiga dengan panjang lebar, khususnya menyangkut kemerdekaan. Penjelasan itu memperlihatkan sikap PMI terhadap pemerintah kolonial, atau posisi PMI dalam pergerakan nasional Indonesia. Dalam hal ini juga nyata PMO tetaplah suatu “Inheemse Afdeeling” dari CSP. Pertama-tama PMI memandang pemerintah kolonial sebagai wali yang membina Indonesia menuju kemerdekaan.

Karena sesoenggoehnya Commissie samakan kewadjiban pemerintah Nederland dengan kewadjiban iboe bapa oentoek mendidik anak-anaknja akan dapat berdiri sendiri, soepaja pada kemoedian hari dapat mengoeroes keperloeannja sendiri. […]

Demikianlah dalam politiek, anak-anak dari negeri ini, sekali, lekas atau lambat, akan akil balig dan sanggoep memegang sendiri oeroesan negeri Indonesia.45

Bertalian dengan itu maka kemerdekaan yang diperoleh melalui perwalian itu juga adalah kemerdekaan dalam ikatan dengan Kerajaan Belanda.46 Maka semboyan Indonesië los van Nederland, yang diserukan para nasionalis radikal juga tidak dapat diterima oleh PMI.

Akan tetapi dengan perkataan kaoem-kaoem Indonesia berdiri sendiri kami beloem bermaksoed kemerdekaan Indonesia lepas dari Nederland, karena boekan sadja moestahil hal itoe pada waktoe sekarang, malahan tiada tjotjok dengan keperloean “harmonische en rustidge” daripada bagian-bagian tanah bangsa Indonesia. […]

P.M.I. boekannja sebagai boeta memandang segala sifat wali Nederland. Tentoe sekali ia ini ada kesalahan-kesalahannja; tetapi wali itoe telah berboeat banjak kebadjikan djoega. Kebadjikan wali ini tiada diloepa oleh P.M.I. Sebab itoe P.M.I. mengakoe adanja moreele band antara Indonesia dan Nederland. Moreele band itoe ada djoega diantara seorang anak jang ‘akil balig dengan orang toeanja.47

Dalam rancangan Statuten keanggotaan terdiri atas perorangan bangsa Indonesia, dan orang bukan bangsa Indonesia (sebagai anggota luar biasa) yang menerima dasar dan tujuan partai. Tidak ada penjelasan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota yang berbeda itu, kecuali kewajiban organisasi-organisasi anggota untuk memberi bantuan keuangan. Mengenai organisasi-organisasi hanya dikatakan bahwa PMI khusus mewakili kepentingan politik organisasi-organisasi itu.48

Dalam masa singkat hidupnya setelah berubah nama dari PMI menjadi PKMI diperoleh laporan bahwa terjadi “debat yang hebat” dalam PKMI menyangkut soal asosiasi, federasi, los van nederland, keabsahan orang Kristen berpolitik, kegiatan-kegiatan non-poltik, perwakilan dan Volksraad dan seterusnya.49 Kenyataan itu menunjukan adanya perbedaan-perbedaan pandangan, dan bahwa pandangan resmi PKMI tidak menunjukkan pandangan umum anggotanya. Suatu jawaban terhadap pertanyaan melalui surat pembaca mengungkapkan bahwa ada pertentangan antara mereka yang menghendaki supaya supaya PKMI juga memprogramkan kegiatan-kegiatan sosial, a.l. mendirikan sekolah-sekolah, dengan kelompok yang membatasi PKMI, yaitu bagian-bagian politik, pengajaran dan ekonomi.50

Pembentukan PMI mendapat perhatian berbagai pihak. Zaman Baroe merekam sejumlah tanggapan, di antaranya dari redaksi Pangkal Setia dan Revue Politiek:

“Kita dari Pangkal-Setia menjamboet kelahirannja P.M.I. dengan bergirang dan setoedjoe.” Revue Politik: “Dalam kota ini sudah didirikan partai Masehi Indonesia. Namanja sadja telah menerangkan, bahwa partai itoe oentoek bangsa kita jang beragama Krosten.

Kelahiran P.M.I. itoe kita samboet dengan senang hati. Karena dengan berdirinja partai itoe, tampaklah boekti-boekti pada kita, bahwa bangsa kita jang beragama Kristen tidak maoe tinggal dibelakang dalam bekerdja oentoek iboe Indonesia. Dan lagi berdirinja P.M.I. itoe adalah satoe boekti, bahwa politik assosiasi soedah loentoer. Karena, P.M.I. memboeka pintoenja hanja oentoek bangsa Indonesia. Sampai sekarang oemoem berpendapatan, bahwa bangsa kita jang beragama Kristen itoe sengadja mendjaoehkan dirinja dalam perjoeangan nasional.

Sebab itoe dengan berdirinja P.M.I. itoe, mereka memboektikan pada oemeom, bahwa soenggoehpoen mereka beragama Kristen, tapi tidak maoe dipengaroehi oleh politik dominasi tjap V.C. atau politiek jang dianoet oleh setengah kaoem Geredja Kristen Belanda”.51

Tetapi selain sambutan positif seperti itu, ada pula yang kritis. Reaksi-reaksi yang dialamatkan terhadap kritik itu menunjukan bahwa penolakan terhadap adanya suatu partai Kristen datang dari golongan Kristen yang menganggap politik tidak pada tempatnya diperhubungkan dengan agama Kristen, atau yang lebih mengutamakan dasar nasional daripada dasar agama. Reaksi PMI terhadap mereka diungkapkan sebagai berikut:

Orang-orang Kristen tidak ketinggalan soedah moelai kelihatan maoe bersatoe dan hendak mengalahkan segala sesoeatoe jang mengalangi kemadjoeannja. Itoe kita tahoe betoel. Itoe sebabnja kita heran bahwa ada orang jang tak maoe melihat dengan kesoekaan bahwa Kristen Bumipoetra mentjampoerkan diri dalam politik. Terlebih mereka tak maoe melihat bahwa Kristen Boemipoetra meradjinkan dirinja maoe memadjoekan keadaan sociaal dan maoe mengadakan nationale zelfstandigheid, Orang-orang jang terseboet itoe roepanja menghendaki soepaja menarik orang Boemipoetra lain-lain boeat datang kepada Kristoes, dan membelakangkan perkara social-politiek. […] Tetapi djanganlah kita tempatkan kebangsaan di atas agama sehingga agama kehilangan koeatnja dalam kehidoepan bersama-bersama, satoe hal jang mengoeatirkan. Kita jang memandang Kekristenan sebagai poesat kehidoepan manoesia, pasti akan berlawanan dengan soeara angan-angan hati kita kalau azas-azas Kristen tidak ada pada kita sebagai cement kehidoepan kita, sebagai kompas pergerakan kita…52

Tidak disebut secara khusus pihak atau orang-orang yang menentang PKMI. Tetapi dari suatu karangannya ternyata G.S.S.J. Ratu Langie termasuk tokoh politik beragama Kristen yang memilih basis kebangsaan daripada basis agama Kristen dalam politik, walaupun menghormati lahirnya PKMI.53

 

2.2.4.  Teologi Politik: Latumahina dan Siagian

Pemikiran teologis yang menjadi pengesahan terhadap keterlibatan orang Kristen dalam politik jelas diwarisi dari kalangan politisi Kristen Belanda melalui CSP. Pokok-pokok terpenting dalam pemikiran itu adalah pembenaran keterlibatan Kristen dalam politik yang pada masa itu banyak ditolak, pandangan positif terhadap pemerintah dan hubungan subordinatif kekristenan dengan kebangsaan.

Salah seorang Indonesia yang dapat dianggap sebagai mewakili pemikiran teologi Kristen orang Indonesia mengenai politik adalah A. Latumahina. Dalam suatu artikelnya pada tahun 1928 berjudul “Igama Masehi dan Kebangsaan”, Latumahina menguraikan hubungan agama dan kebangsaan sebagai suatu kesatuan, dalam arti kebangsaan ditentukan oleh agama sebagaimana dalam Alkitab kebangsaan Israel ditentukan oleh agama. Kehancuran bangsa dan tanah Yahudi diakibatkan oleh penolakan mereka kepada Kristus, dalam hal ini berarti menolak kegenapan agama mereka.54 Dalam ceramahnya mengenai orang Kristen dan politik pada suatu konferensi Inlandsch Leeraren di Batavia pada tahun 1930 Latumahina masih menekankan pentingnya berpolitik berasas Kristen itu:

Ada orang bilang bahwa agama Christen tidak baiknja moesti mentjampoeri politiek. Agama Christen amat soetji, sedang politiek tidak boleh dikata soetji. Kita mengakoe, bahwa poltiek koerang soetji, tetapi moesti diketahui poela, bahwa politiek itoe semangkin tidak soetji poela, kalau agama mengeloearkan dirinja dari sitoe. Djadi kalau politiek itoe semangkin tak soetji, tentoe kita djuga jang sama menanggoengnja, sebab pekerjaan politiek tak boleh lepas dari kita. Tjoema dalam pergerakan politiek ini, kita mesti berhati-hati poela, jaitoe kita sebagai Christen, tak boleh bekrdja bersama-sama dengan orang-orang jang beragama lain, seperti Islam. Dari itoe kita tak setoedjoe dengan orang-orang jang seroekan sekarang, jaitoe maoe bersatoe dalam kebangsaan sadja, dengan mengeloearkan agama.55

Dalam suatu karangan bersambung mengenai kekristenan dan politik dengan banyak acuan pada pandangan Abraham Kuyper, teolog dan politikus Kristen Belanda pada akhir abad ke-19, pandangannya mengenai pemerintah dia uraikan dengan panjang lebar dengan mendasarkannya pada Roma 13:1-7 itu. Pertama-tama, politik dan kekristenan merupakan kesatuan, dalam arti politik dialaskan pada ajaran Kristen sehingga sinar kesentosaan dan kebenaran jang ada dalam agama moentjoel di dalam keprintahan.56 Pemahaman ini dia perhubungkan dengan penafsiran Kejadian 1:1. Dalam ayat permulaan Alkitab itu dijumpai pembedaan mendasar antara kekekalan dan waktu, antara Allah dan dunia, antara penciptaan Allah dan karya manusia, dan antara surga dan dunia. Perbedaan itu menjadi titik tolak untuk memahami staatkudig leven sebagai bagian kefanaan yang ada dalam batas awal dan akhir menuju kekekalan, sehingga berada dalam kerangka pemeliharaan Allah dan dalam keharusan menaati kehendak-Nya. Yang kedua pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah dan karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum dan undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Suhubungan dengan itu maka pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah. Prinsip penghukuman terhadap orang jahat (juga hukuman mati) tidak bertentangan dengan etika kristen mengenai pengampunan, karena pemerintah wajib menegakkan keadilan di tengah-tengah kehidupan manusia yang tabiatnya jahat adanya. Para hakimlah yang akan mempertimbangkan segi pengampunan dalam mengambil keputusannya.

Agak panjang lebar Latumahina membicarakan hak-hak pemerintah sebagai pelaksana kehendak Allah, khususnya dalam menjalankan hukuman terhadap orang yang jahat. Hal ini bisa dianggap sebagai pembenaran tindakan-tindakan keras pemerintah kolonial terhadap para nasionalis radikal yang ‘menggangu keamanan dan ketertiban” pada tahun 1920-an. Yang sama sekali tak disinggungnya adalah bagaimana rakyat harus bersikap terhadap pemerintah yang tidak menjalankan kehendak Allah, pemerintah yang korup dan menindas.

Pemikiran politik Kristen lainnya terungkap dalam suatu pertemuan PKMI di gedung sekolah standard Kwitang dimana I. Siagian, salah seorang anggota pengurus PKMI, dan kelak menjadi pendeta Indonesia yang pertama dalam Gereformeerd kerk di Indonesia57, membawakan ceramah berjudul “Kaoem Masehi dan Politiek”. Siagian menolak pandangan orang Kristen yang tidak mau berpolitik karena memisahkan urusan agama dengan urusan duniawi. Kematian Yesus adalah untuk menghancurkan kerajaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang Kristen dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam setiap bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus bumi menjadi pusaka orang yang rendah hati, sehingga orang Kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi, termasuk kebangsaan.

Kebangsaan itoe ada masoek perkara doeniawi. Kita sebagai orang Kristen haroes mengindahkan dan mempoenjai ketjintaan akan kebangsaan itoe. Kebangsaan itoe tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Toehan Allah. […] Ketjintaan kepada bangsa itoe tiada boleh dipisahkan dengan ketjintaan kepada tanah air kita. Bangsa dan tanah air ada mendjadi satoe boeah ketjintaan hati kita. Begitoelah menoeroet pengadjaran dari natuur dan pengadjaran Alkitab.58

Selanjutnya Siagian menekankan kewajiban Kristen untuk bekerja bagi keselamatan bangsa dan tanah airnya, yang dikerjakan antara lain dalam politik. Dan karena itu pembentukan PKMI sebagai partai politik orang Kristen Indonesia perlu sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan dan cita-cita politik bangsa Indonesia. Siagian mengakui bahwa ada orang-orang yang membuat politik bercitra buruk sebagai jalan untuk mencari kehormatan dan keuntungan diri sendiri. Tetapi hal itu tidak lantas menjadikan politik itu sendiri buruk. Politik itu suatu perkara yang baik dan indah, suatu ilmu untuk memimpin dan mengupayakan keselamatan bangsa.

Sebagaimana Tuhan Allah meminta bahwa di dalam hidoep kebangsaan moesti dilakoekan keadilan dan kebenaran, begitoe djoega Toehan minta dari kita akan toeroet bekerdja dalam perkara politek. Pemerintahan atas satoe bangsa tidak boleh menoeroet kemaoean manoesia dan orang doenia ini. Segala koeasa mesti beralasan dengan kehendak Toehan Allah. Sebab itoe maka orang Kristen mempoenyai kewadjiban jang lebih berat dalam perkara politiek daripada orang lain. Sebab didalam politek dan pemerintahan itoe boekan hanja keperloean dan keselamatan bangsa jang ditjari, tetapi jang teroetma jaitu kehormatan dan kemoeliaan nama Toehan jang mendjadikan segala sesoeatoe.59

Setelah menguraikan mengenai kewajiban orang Kristen berpolitik, secara ringkas Pendeta Siagian menerangkan cara orang Kristen berpolitik, yaitu berdasarkan firman Tuhan sebagaimana dikemukakan Raja Daud dalam Mazmur 119: 105.60

Pandangan Siagian mengenai agama Kristen dan agama-agama lain, walaupun dia tidak secara khusus memperhubungkannya dengan soal politik, mengandung unsur penting dalam politik. Sebagai seorang anggota pengurus PMI, pandangannya itu dapat diduga merupakan masukan penting bagi sikap terbuka PMI/PKMI terhadap agama-agama lain, sebagaimana tercantum dalam asasnya (pasal 2). Dalam suatu ceramah kepada Perhimpoenan Pemoeda Masehi, pada tanggal 2 Nopember 1929, mengenai agama Kristen dan agama-agama lain Siagian menolak kedua pandangan ekstrim masa itu terhadap agama-agama bukan Kristen: pandangan yang menganggapnya sebagai dusta belaka serta berasal dari Iblis dan pandangan yang oleh pengaruh ilmu agama dan teori evolusi berpendapat bahwa semoea agama itoelah djalan jang menoedjoe kepada Allah. Dengan menuju pada pandangan Calvin, Siagian menyatakan bahwa sesudah kejatuhan manusia tiap-tiap orang masih ada mempoenjai satoe bidji agama, dalam arti mempunyai sifat-sifat pengenalan Allah dalam diri manusia sebagai gambar Allah tidak terhilang seluruhnya oleh dosa.61 Dengan demikian agama-agama yang bukan Kristen itu masih mengandung kebenaran walaupun pada umumnya sudah  diubah oleh dosa. Dan kebenaran-kebenaran itu menjadi titik hubung dengan kebenaran Kristen dalam pemberitaan Injil.

Agama Kristen itoelah agama jang benar, sebab dalamnja kita dikaroeniai penjataan Allah, jang menerangi djalan menoedjoe kelepasan daripada koeasa dosa. Jang boekan Kristen dapat kita katakan agama jang palsoe, tetapi tidaklah kita memastikan bahwa agama-agama itoe sama sekali tidak mengandoeng kebenaran. Kebenaran itoe digelapi oleh dosa. […] Kebenaran2 jang ada didalam agama lain adalah berarti djoega bagi kita sebagai pertalian soepaja kita mengchabarkan Indjil kepada jang boekan Christen.62

 

2.2.5.  Nasionalis Kristen: Ratu Langie dan Moelia

Dalam bagian ini, dalam hubungan dengan organisasi Kristen zaman pergerakan nasional, secara khusus akan dikemukakan sikap atau pemikiran-pemikiran politik dua tokoh Indonesia beragama Kristen yang kemudian dianggap sebagai tokoh-tokoh Kristen dalam pergerakan nasional Indonesia. Ada beberapa  nama yang dapat disebut, tetapi di sini hanya akan dibicarakan Dr. G.S.S.J. Ratu Langie dan Dr.T.S.G Moelia. Beberapa tokoh lainnya, seperti Mr. Amir Sjarifoeddin dan Dr. J. Leimena, akan dikemukakan kemudian. Yang pertama menjadi perhatian dalam uraian ini adalah sikap atau pemikiran yang akan memperlihatkan substansi Kristen masing-masing sebagai tokoh nasionalis. Ketokohan nasional diartikan sebagai kepemimpinan formal atau informal dalam pergerakan yang bermakna dan diakui (tak harus berarti diterima) pihak-pihak yang terkait dalam pergerakan nasional. Dan dalam hubungan itu, ketokohan Kristen adalah kesadaran untuk memperhubungkan kepemimpinannya dengan aspirasi masyarakat Kristen.

Seperti yang dikemukakan dalam bab-bab yang terdahulu, pergerakan nasional Indonesia terdiri atas kelompok-kelompok yang berbeda tujuan maupun cara dan sarana perjuangannya. Pada umumnya kalangan Kristen, sebagaimana tampak dalam uraian di atas, bersifat konservatif dibandingkan dengan sifat progresif bahkan radikal kalangan-kalangan lainnya. Tokoh-tokoh yang muncul dari  kalangan Kristen, sejauh tetap berakar dalam kalangan itu, akan menampilkan citra konservatif, kecuali jika mereka secara sadar meninggalkan sikap politik kalangan Kristen. Kedua tokoh, Ratu Langie dan Moelia masing-msing menampilkan citra yang berbeda itu.

Gerungan Saul Samuel Jacob Ratu Langie, bisa disingkat Sam Ratu Langie, biasa disingkat Sam Ratu Langie , berasal dari daerah Minahasa: lahir di Tondano. Sulawesi Utara, pada tanggal 5 Nopember 1890. Sebagai putera kepala distrik Kasendukan, Ratu Langie dapat masuk ELS (Europees Lagere School) di Todano. Kemudian dia melanjutkan pada Hoofdenschool di Tomohon. Mengikuti keinginan ayahnya supaya  dia menjadi “Dokter Jawa”, Ratu Langie berangkat ke pulau Jawa untuk masuk STOVIA, tetapi kemudian ia memilih masuk Koningin Wilhelmina School (KWS), sebuah sekolah menengah tehnik di Batavia, pada tahun 1904-1908. Setelah tamat, dia bekerja pada perusahaan kereta api dimana dia mengalami diskriminasi rasial antara orang Eropa dan pribumi. Setelah ayahnya meninggal dan ibunya juga beberapa tahun kemudian, Ratu Langie memakai harta warisannya untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa. Mula-mula di Vrije Universiteit di Amsterdam (1913-1915), tetapi kemudian, karena ijasah KWS-nya ditolak, dia pindah ke Zürich atas saran J.H. Abendanon. Tahun 1919 Ratu Langie memperoleh gelar doktor dalam bidang matematika dan fisika. Ketika di Eropa, Ratu Langie aktif dalam organisasi kemahasiswaan.63 Sekembalinya ke Indonesia, beberapa lamanya Ratu Langie mengajar di Princes Juliana School dan MS, tetapi pindah ke Bandung mendirikan perusahaan Asuransi Indonesia pada tahun 1922. Di Bandung dia berkenalan dengan Soekarno, yang ketika itu mulai kuliah di THS.

Tahun 1924-1927 Ratu Langie pindah ke Manado menjadi sekretaris Minahasa Raad dan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Minahasa sampai tahun 1936. Sementara itu ia menjadi salah seorang pengurus Perserikatan Minahassa dan kemudian mendirikan Persatoean Minahassa. Dalam Volksraad Ratu Langie ikut menandatangani petisi Soetardjo dan menjadi anggota Fraksi Nasional. Karena suatu kesalahan, Ratu Langie tersisih dari Volksraad.64 Setelah berada di luar Volksraad dia tetap melanjutkan kegiatan politik dengan menerbitkan kegiatan mingguan Nationale Commentaren (1938-1942) yang bervisi nasionalis dan menulis buku Indonesië in den Pasific, yang meramalkan mendekatnya perang Pasifik.65

Pada awal zaman Jepang Ratu Langie sempat mengorganisir pelayanan sosial kepada keluarga-keluarga KNIL asal Minahasa di Jakarta yang menjadi korban pendudukan Jepang. Kemudian dia pindah ke Makassar karena diangkat menjadi penasehat Angkatan Laut Jepang yang berkuasa di wilayah Indonesia bagian Timur. Atas perintah Jepang, bersama pemuka-pemuka lokal ia mendirikan SOEDARA (Soember Darah Rakjat), untuk memobilisasi pemuda-pemuda membantu Jepang melawan Sekutu, tetapi juga menjadi rintisan bagi organisasi perjuangan mempertahankan Republik Indonesia kemudian. Ratu Langie bersama dua orang tokoh Sulawesi ditunjuk menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan, tetapi rupanya tidak sempat menghadiri rapat-rapat panitia itu.66 Setelah proklamasi Ratu Langie ditunjuk menjadi Gubernur Sulawesi di Makassar. Pada tanggal 5 April 1946 Ratu Langie ditangkap NICA lalu diasingkan ke Serui sampai tahun 1948. Setelah dibebaskan dia bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta lalu ditahan lagi bersama pemimpin-pemimpin lainnya pada aksi militer II Belanda. Kesehatan Ratu Langie memburuk dan dia meninggal pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta. Pada tahun 1961 dia mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.67

Seperti dikemukakan di atas, pada tahun 1929 Ratu Langie sebagai pimpinan Persatuan Minahasa menolak menggabung dalam PPPKI karena perhimpunan itu menerima SI yang tidak netral agama.

Pandangan politik Ratu Langie yang beberapa kali dikemukakannya adalah mengenai suatu Indonesia merdeka dalam bentuk federasi. Pada tahun 1931 berlangsung suatu pertemuan Pagoejoeban Pasoendan di Bogor di mana Mr. Sartono mengemukakan pandangannya mengenai masa depan Indonesia sebagai satu bangsa (pandangan unifikasi), sedangkan Ratu Langie menekankan pandangan federasi:

Djadi di tanah Indonesia ada satoe persekoetoean bangsa-bangsa, ada jang mempoenjai, ada jang tidak mempoenjai tanah tempat poesat ethnischnja, dan saban bangsa itoe masing-masing beroesaha memeliharakan keboedajaannja sendiri. Tadi diseboet ethnisch nationalisme. […]

Djadilah selakoe azas Indonesisch nationalisme mesti mengakoe adanja hak ethnishe nationaliteit jang memeliharakan poesaka kebangsaan. Ini mesti diakoei dan ditetapkan dengan memastikan bahwa etnische nationaliteit mempoenjai waarborg. Ini membawa kepada pengakoean azas jang diseboet federalisme, jang artinja boeat Indonesia: persatoean Indonesia diroepakan oleh pertalian politiek antara daerah-daerah.68

Berdasarkan pandangan federasi itu, Ratu Langie memperhubungkan ke-Minahasa-an dengan ke-Indonesia-an, dalam arti menjadikan orang atau tanah Minahasa (melalui Persatoean Minahassa) sebagai basis politiknya dalam pergerakan nasional Indonesia. Tidak jelas apakah kemudian, dalam mempertahankan Indonesia merdeka, Ratu Langie meninggalkan pandangan itu dalam menentang federalisme ciptaan van Mook. Dalam seruannya, bersama pemuka daerah, melaui RRI Yogya pada tahun 1948, untuk persatuan seluruh Indonesia, Ratu Langie antara lain menyatakan menolak sekeras-kerasnya apa yang dikatakan pertentangan antara kaum Republikein dan kaum Federalis.69

Dengan sadar Ratu Langie menempatkan kedaerahan atau kesukuan di atas agama dalam pergerakan nasional. Pada suatu konferensi VIO-NCSV Ratu Langie berceramah mengenai hubungan orang Kristen pribumi dan pergerakan nasional dengan menekankan perlunya konsolidasi masing-masing daerah. Dengan tegas dia menolak pembentukan suatu kelompok Kristen dalam lingkungan politik, karena hanya akan menimbulkan reaksi besar dari kalangan lain, dan karena perlu diperhitungkan perbedaan-perbedaan aliran dalam kalangan Kristen sendiri. Jadi agama (Kristen) tidak perlu sebagai basis dalam politik pergerakan:

Agama seyogyanya ditempatkan pada latar belakang sehingga tidak ada perbedaan antara kelompok Kristen dan kelompok-kelompok bercap keagamaan lainnya. Reaksi pertikaian politik adalah menuju suatu kebersamaan; akan tetapi kelompok Kristen tidak melebur dalam gabungan kelompok besar, [melainkan tetap] mempertahankan kemandiriannya.70

Pertemuan itu dihadiri sejumlah tokoh politikus Kristen Indonesia yang jelas tidak sepakat dengan dia menempatkan bangsa (ras) di atas agama.

Pandangan itu juga tampak dalam keterlibatan Ratu Langie mendukung usaha mendirikan suatu gereja pribumi di Minahasa, yang terlepas dari Indische Kerk. Perjuangan itu lebih untuk suatu gereja Minahasa yang otonom di Minahasa. Dalam kedudukan sebagai pemuka Persatuan Minahassa dan wakil Minahasa dalam Volksraad, Ratu Langie turut mengarahkan perjuangan yang dipelopori oleh Pangkal Setia, sebuah organisasi guru-guru Kristen di Minahasa, walaupun dia sendiri tidak begitu aktif dalam kehidupan gereja. Kunjungannya ke Minahasa pada bulan Maret tahun 1933 antara lain membuahkan pembentukan panitia bagi gerakan itu, yang tak lama kemudian berhasil membentuk gereja otonom, Kerapatan Geredja Protestan Minahasa (KGPM).71

Todung Gelar Sutan Gunung Moelia mempunyai beberapa kesamaan dengan Ratu Langie: sama cendekiawan didikan Barat, aktif dalam pergerakan melalui organisasi sukunya pada jalur coöperatie, wartawan dan anggota Volksraad. Moelia berasal dari suku Batak, dilahirkan di Padang Sidempuan pada tanggal 21 Januari 1896 dan wafat di Amsterdam pada tanggal 11 Nopember 1966. Berbeda dengan Ratu Langie, Moelia lebih akrab dengan lingkungan gereja dan kalangan Zending. Tahun 1928 dia satu-satunya orang Kristen Indonesia dalam utusan menghadiri Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem. Di bidang keahlian, Ratu Langie seorang sarjana matematik sedangkan Moelia seorang antropolog budaya dan ahli hukum. Setelah berkecimpung di dunia politik, dia memperoleh beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan studinya di Belanda. Dalam masa studinya selama empat tahun (1930-1934) itu Moelia mencapai gelar Meester in de Rechten di Leiden  dan mempertahankan disertasi pada Vrije Universiteit di Amsterdam di bidang Antropologi budaya. Dalam alam Indonesia merdeka Moelia sempat menjadi Menteri Muda Pengajaran (1946-1947) dan kemudian aktif di bidang pendidikan dan gereja. Dia menjadi ketua Dewan Geredja-Geredja di Indonesia yang pertama (1950-1960), pendiri Universitas Kristen Indonesia dan memimpin sejumlah lembaga Kristen lainnya. Sempat menulis buku mengenai sejarah pergerakan nasional di India dan bersama K.A.H. Hiding (mahaguru di Leiden) mnyusun Ensiklopedia Indonesia.72 Pada tahun 1966, tak lama sebelum meninggal, Moelia dianugrahi Doktor Kehormatan di bidang teologi oleh almamaternya, Vrije Universiteit.73

Lingkungan kristennya itu menempatkan Moelia dalam arus politik Kristen pada zaman pergerakan. Moelia menjadi anggota Volksraad pada tahun 1922- 1927 dan 1935-1942 mewakili orang (Kristen) Batak di bawah payung CEP/CSP. Memang Moelia tidak dapat digolongkan sebagai nasioanlis progresif, tetapi pemikiran politiknya cukup kritis sbagaimana terungkap dalam tulisan-tulisannya dalam majalah Zaman Baroe, yang dipimpinnya pada tahun 1928-1930. Dalam suatu tulisan bersambung, “Dari Doenia Politiek”, Moelia menguraikan mengenai Volksraad, termasuk soal inlandsche meerderheid. Mulia mengecam partainya (CEP), yang mengikuti partai Eropa lainya menolak gagasan pelebihan jumlah anggota pribumi dengan dewan itu:

Pemandangan mereka itoe bagi kita pihak Boemi Poetra tidak menaroeh keheranan, djikalau kita perhatikan bahwa sebahagian jang besar dari bangsa Eropah masih menganggap Hindia ini sebagai kepoenjaan sadja dan mempergoenakannja oentoek mengisi kantoengnja, dengan tidak mengambil poesing apa kelak kedjadian bangsa Hindia pada achirnja. Akan tetapi djikalau pemandangan jang semacam ini datang dari pihak jang mengakoe kewadjibannja tentang bangsa kita semata-mata akan memimpin bangsa kita kekemerdekaan dan meninggikan ketjintaan, keloeroesan, ke’adilan dan kemanoesiaan, terutama dari pihak C.E.P (Christelijke Ethische Partij), kita amat heran mendengarnja dan sesoenggoehnja menjedihkan hati kita.74

Moelia menyambut baik usaha pemerintah memperbesar jumlah orang Indonesia dalam Volksraad itu sebagai tanda kepercayaan dan keinginan kerjasama pemerintah dengan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan Indonesia. Mengenai agama dan pergerakan kemerdekaan nasional, Moelia dengan tegas menyatakan bahwa kekristenan tidak menjadikan orang Indonesia “perkakas” bangsa Eropa:

Maksoed pemerintah ini tentoe menjenagkan hati kita sekalian kaoem Christen bangsa Indonesia. […] Akan tetapi anak-anak Boemi Poetra kaoem Christen djoega terhitoeng sebagai nationalist, artinja tjinta pada bangsa, tjinta pada tanah air. Agama kita boekan maksoednja menjamakan kita bangsa Eropah; walaupoen kita beragama Christen kita tetap bangsa kita sendiri. Salah benar pikiran orang asing, mengatakan bahasa orang jang memeloek agama Christen tidak bangsa Hindia lagi, melainkan penolong atau perkakas bangsa Eropah sadja. Sekali-kali tidak! Agama Christen itoe mengadjarkan ke’adilan, keloeroesan, ketjintan dan kesetiaan bagi kita. Kita akoe dengan toeloes, bahasa pemimpinan bangsa Eropah masih perloe bagi kita. Akan tetapi pemimpinan itoe bermaksoed akan mengadjar kita berdiri sendiri, baik digolongan agama dan geredja, baik di golongan kehidoepan dan politiek.75

Moelia kurang setuju dengan pembentukan Inlandsche Afdeeling dalam CEP, dan karena itu menganjurkan pembentukan partai politik Kristen Indonesia tersendiri:

Djikalau sekiranja timboel diantara bangsa Boemi Poetra Christen kamaoean mendirikan soeatoe serikat, saja tidak mengerti mengapa kita menempelkan diri kita pada partij lain dan kita mendapat tjap Inlandsch, jaitoe artinja, sebagai lawan “Europeesh’, kwaliteit nommer 2. Alangkah baiknya jikalau kita dirikan partij sendiri […].76

Dalam tulisannya mengenai hubungan CSP dan orang Kristen pribumi setelah partai itu 20 tahun berdiri, Moelia menegaskan bahwa kenyataan hubungan itu tidak dapat tidak bernada minor. CSP tidak bersungguh-sungguh mengutamakan kepentingan orang Indonesia sesuai keyakinannya pada “tugas etis” bangsa Belanda membimbing bangsa Indonesia. Menurut penilaiannya, generasi muda Kristen Indonesia terpelajar tidak tertarik pada CSP karena partai ini menjauh dari persoalan nasionalisme, yang justu merupakan kebutuhan politik terpenting bagi mereka.77 Tetapi Moelia sendiri tidak memberi alasan mengapa dia mau bergiat dalam lingkungan partai itu, khususnya menjadi wakilnya (dan sekutunya) di dalam Volksraad. Dan pandangannya terhadap kegiatan kalangan pemuda nasionalis tidak begitu positif. Dia mencela Kongres pemuda II tahun 1928, yang menghasilkan “Sumpah Pemuda”, sebagai salah kaprah :

Jang dibitjarakan dalam congres itoe hampir segala perkara tentang kemerdekaan, nationalisme, nationaal onderwijs enz., sehingga politie haroes tjampoer beberapa kali. Jang tidak dibitjarakan jaitoe perkara “jeugd”. Perkara ini jang sebetoelnja pokok dari segala pergerakan pemoeda-pemoeda dimana roepanja mereka tidak perloe bijtarakan. Djikalaoe kita selidiki bagaimana kedjadiannja moderne jeugd-beweging di Eropah, maka njatalah bahwa pergerakan itoe mendapat alasan dan pembenaran dari ilmoe pendidikan. Dan haroeslah dibedakan dengan studenten-organisaties jang lain toedjoeannja daripada Jeugdbeweging sedjati. Di negeri kita ini roepanja lain djalannja. Jang memimpin Jeugdbewegingen ini boekan seperti seharoesnja ahli pendidik, melainkan leider-leider politiek sadja. Dengan hal demikian kami pertjaja, djikalaoe tidak datang perobahan jang sehat dalam badan-badan vereeniging pemoeda-pemoeda ini, tidak lama akan datang soeatoe waktoe, bahwa jeugdvereenigingen akan menjadi “jeugdedities” (perkoempoelan sengadja oentoek anak-anak) dari politieke vereenigingen. Artinja meroesakkan pokok pergerakan ini. Orang toea anak-anak haroeslah memperhatikan keadaan ini.78

Kutipan di atas memperlihatkan pemahaman Moelia bahwa berbeda dengan organisasi mahasiswa, gerakan pemuda berada di luar kerangka pergerakan politik. Moelia tidak memahami aspirasi nasionalisme kaum muda masa itu. Dengan kecaman itu Moelia menunjukkan sikap kritisnya, juga terhadap kenyataan bangsanya sendiri. Sikap kritis menurut Moelia, khususnya terhadap kekurangan-kekurangan bangsa sendiri, lebih bermakna nasionalistis daripada hanya mengungkapkan hal-hal yang baik-baik saja. Sebab dengan melihat kekurangan-kekurangan itu kita menyadari apa yang masih harus diperjuangkan. Dia mengeluhkan bahwa jika kritik dikemukakan maka pengeritik memperoleh cap kaoem sana.79 Di Volksraad Moelia diakui sebagai seorang nationalist jang sabar, jang hanja soeka berkata kalau ia soedah peladjari dalam-dalam apa jang akan dikatakannja.

2.3    Rangkuman

Catatan-catatan mengenai organisasi-organisasi masyarakat Kristen pada bagian pertama di atas menunjukkan adanya suatu kesamaan tertentu, yakni kegelisahan sosial-ekonomis: muncul kesadaran untuk memperjuangkan kemajuan warga suku/daerah, baik yang di rantau maupun yang di daerah asal, dengan tekanan utama pada masalah pendidikan (ada yang secara khusus membentuk lembaga beasiswa, studiefonds), ekonomi, dan pelayanan rohani dengan wawasan yang terbatas dalam kalangan sendiri dan kegiatan-kegiatan yang umumnya masih dalam bingkai politik etis kolonial. Tetapi lambat laun nasionalisme Indonesia tumbuh pula di dalamnya. Ketika pengaruh pergerakan nasional yang bersifat ideologis-politik merembesi, maka mulai timbul perbedaan sikap politik terhadap pemerintah kolonial dan terhadap pergerakan nasional, yang menjadi penyebab perpecahan antara golongan yang moderat dengan yang progresif. Dalam kalangan orang Ambon dan Minahasa, jelas bahwa perbedaan sikap politik ditentukan oleh hubungan kerja dengan pemerintah kolonial. Para serdadu KNIL dan pegawai administrasi kolonial mempertahankan sikap memihak pemerintah.

Jadi, sesuai hakikatnya, organisasi-organisasi suku lebih mengutamakan kepentingan suku atau daerahnya dari pada pengembangan kesadaran nasional, dan rata-rata bersifat loyal kepada pemerintah kolonial serta menolak kerjasama dengan organisasi Islam. Kedua hal ini tetap menonjol dalam kalangan “politisi Kristen Indonesia” masa itu. Dengan kata lain, organisasi-organisasi masyarakat Kristen yang bersifat kesukuan atau kedaerahan itu (dengan perkecualian tertentu) memunculkan tokoh-tokoh politik moderat, yang dalam peristilahan pergerakan radikal tergolong pada pihak sana. Mereka yang menganut sikap politik yang berbeda, seperti A.J. Patty mendapat pengaruh dari kalangan nasionalis radikal (kiri), yang mendominasi pergerakan pada parohan pertama tahun 1920-an. Sedangkan pada diri tokoh-tokoh seperti Ratu Langie (Minahasa), Latuharhary (Ambon) atau Mulia (Batak) ditemukan sikap tengahan. Dari kalangan inilah tampil orang-orang Kristen ke gelanggang politik pergerakan, baik yang membawa aspirasi sukunya, maupun yang mencoba menemukan suatu dasar dan wawasan yang lebih luas.

Dari segi agama, hanya Sarekat Ambon dan serikat Celebes yang secara jelas bersifat netral dan menerima keanggotaan tanpa perbedaan agama. Ketika kesatuan kalangan pergerakan akan diwujjudkan melalui federasi semua organisasi politik pribumi maka tekanan pada netralitas agama ditonjolkan. Persatoean Minahasa dan Sarekat Ambon menolak menjadi anggota PPKI karena perhimpunan itu menerima organisasi-organisasi Islam yang tidak netral agama.

Organisasi-organisasi wanita mempunyai arti yang penting, terutama sebagai organsisasi sosial. Baik kalangan orang Ambon maupun Minahasa mempunyai organisasi-organisasi wanitanya. Namun tidak diperoleh informasi adanya tokoh-tokoh wanita yang menonjol, kecuali Ny. Maria Walanda-Maramis dari Minahasa. Wakil-wakil kaum wanita masyarakat Kristen itu rupanya tidak turut hadir dalam konggres organisasi-organsiasi wanita pertama pada tahun 1929.80

Pemikiran dan kegiatan-kegiatan partai politik Kristen yang diuraikan dalam bagian kedua di atas, jelas menunjukkan warna yang sama: memahami hubungan kolonial dalam kerangka tugas etis Belanda untuk membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan menghormati pemerintah sebagai pemegang mandat ilahi. Jelas bahwa dalam kerangka pemahaman seperti itu tidak dapat berkembang sikap nasionalisme yang progresif. Semboyan indië los van Nederland, yang mengungkapkan sikap yang lebih progresif, ditolak. Maka kemerdekaan Indonesia yang mereka perjuangkan adalah kemerdekaan dalam ikatan dengan Negeri Belanda. Selain pemahaman yang kurang progresif tu, kendala lain adalah lemahnya golongan Kristen Indonesia akibat penolakan banyak orang Kristen berpolitik, sesuai kecenderungan pemikiran teologi Kristen di Indonesia masa itu. Samentara itu, wakil-wakil Kristen di dalam Volksraad (Soselisa, Moelia, Laoh, Noto Soetarso dll) dipilih atau ditunjuk dalam hubungan dengan sukunya, bukan sebagai wakil partai Kristen (kecuali Moelia sebagai wakil CSP pada tahun 1935-1942). Kepentingan suku atau daerah dengan sendirinya menjadi perhatian utama, apalagi karena pada masa itu wawasan kesatuan sebangsa dan persatuan Kristen belum mengatasi wawasan kesukuan. Lemahnya cabang-cabang Melayu CSP dan kemudian gagalnya PKMI menunjukkan bahwa pihak Kristen belum siap untuk suatu organisasi politik yang berwawasan nasional. PKC dengan susah payah bisa bertahan karena mempertemukan agama dan kesukuan. Singkatnya, dalam kalangan politisi Kristen wawasan kemerdekaan dan kesatuan nasional diganjal oleh pemikiran politik dan teologis yang sempit, serta oleh wawasan kesukuan.

Salah satu pengalaman penting para politisi Kristen masa itu berhubungan dengan inlandsche meerderheid dalam Volksraad. Sikap CEP menyadarkan mereka bahwa kepentingan kelompok bangsa mendahului prinsip politik, walaupun prinsip itu didasarkan atas agama Kristen. Kasus itu agak membuka cakrawala nasional bagi mereka, bahwa kepentingan pribumi tidak dapat diharapkan akan diperjuangkan pihak lain dan bahwa diperlukan kesatuan Kristen dalam perjuangan itu. Tetapi kesadaran itu belum cukup kuat untuk merambah arah baru.

Jadi, partai politik Kristen masa itu telah memunculkan kesadaran politik dalam kalangan Kristen, sekalipun masih terbatas. Pemikiran “teologi politik” seperti yang diperkembangkan Latumahina dan Siagian mengubah wawasan lama yang anti politik atau yang masa bodoh terhadap keterlibatan orang Kristen dalam bidang politik. Dan lagi penyelenggaraan suatu partai politik Kristen merupakan salah satu penerobosan terhadap batas-batas kesukuan, yang masih amat kental pada masa itu.

Ratu Langie dan Moelia mewakili pendekatan-pendekatan berbeda dari kalangan Kristen terhadap pergerakan nasional Indonesia. Ratu Langie berpijak pada kesukuan sedangkan Moelia pada kekristenan. Perbedaan yang cukup mendasar itu dapat secara skematis dirumuskan: Moelia berpolitik dengan berpegang pada prinsip-prinsip Kristen (sebagaimana pemahaman yang lazim pada masa itu), sedangkan Ratu Langie memperhitungkan kekristenan (sebagaimana ia mendukung KGPM ) sejauh dapat bermanfaat dalam perjuangannya. Kegiatan politik kedua tokoh ini mengungkapkan model-model keterlibatan orang Kristen dalam pergerakan nasional.

 

1 Penanaman “suku-suku Kristen” tidak mengabaikan kenyataan bahwa suku-suku yang dimaksud tidak 100% masuk Kristen. Selain yang tetap menganut agama sukunya, terdapat pula yang menganut agama lain.

2 Suatu telaah yang menarik mengenai kemiliteran orang Maluku dilakukan oleh I.O. Nanulaitta, Timbulnya Militerisme Ambon sebagai Suatu Persoalan Politk, Sosial-Ekonomis (Djakarta: Bhratara 1966).

3 Richard Z. Leirissa, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga Sejarah FS – UI, 1975) , hlm. 53 dyb.

4 Leirissa mencatat pentingnya propaganda kesatuan penduduk Ambon-Lease sbb:  “Ini disebabkan karena keadaan masyarakat di kepulauan itu memang tidak mengarah ke suatu kesatuan. Pertama-tama sejak semula kepulauan itu tidak  mengenal adanya suatu kerajaan yang menyatukan penduduknya. Sejak semula masing-masing Uli, atau kumpulan desa, berdiri sendiri-sendiri. Keadaan ini lebih baik di jazirah itu daripada di tempat-tempat lainnya. Kesatuan antara kepulauan itu hanya karena ada pemerintahan Belanda, […].” Richard Z. Leirissa, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia, hlm. 60.

5 Redaksi mena Moeri, “Saatnya bagi AMBON”, dalam Soeharto dan Ihsan (eds), Maju Setapak, hlm. 214 dyb; alinea terakhir kutipan di atas jelas menunjuk pada CEP.

6 Mengenai kegiatan Patty di Ambon, lihat Leirissa, Maluku dalam perjuangan Nasional Indonesia, hlm. 65-72; lihat juga Richard Chauvel, Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950 (Leiden: KITLV, 1990), Ch. VI; Chauvel mencatat sikap keagamaan Patty yang berakar dalam agama Kristen, tetapi bermusuhan dengan kalangan gereja resmi karena perbedaan ideologi (hlm, 123 dyb).

7 Diberitahukan bahwa pada masa pembuangan itu Patty masuk Islam. Lihat: “Babad Indonesia: Toean Patty” Zaman Baroe, 1929:395.

8 Menjelang kemerdekaan Indonesia, Latuharhary diangkat sebagai anggota BPUPK (kemudian menjadi PPKI) dan kemudian ditunjuk menjadi Gubernur Maluku yang pertama pada tahun 1945. Lihat Yetty Latuharhary-Pattiradjawane, “Pendamping Perjuangan Suami dan Mengabdi Perjuangan dalam Yasmiah Hardi (ed). Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran, Buku III (Jakarta: Sinar Harapan,1983), hlm. 81-98.

9  Lihat Loyalist, “Haslinja Dr. Apituley ke Ambon” Zaman Baroe, 25/1929:307.

10 Lihat A.J.A Lasut – M. Kalangie, “Perhimpunan Minahasa”, dalam: Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan (eds), Maju Setapak, (Jakarta: Aksara Jayasakti, 1987)

11 Ibid., hlm. 164.

12 Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging,  (Dodrecht, Holland/Providence, USA: Foris 21987), hlm. 49.

13 Lihat “Verslag” dalam Tjahaja Minahasa, Orgaan Kaum Minahasa, 31 Maart 1922, hlm. 35 dyb.

14 Pidato Toean G.S.S.J. Ratu Langie, Algemeene-Vertegenwoordiger Pers: Minahasa koetika vergadering di Tjimahi 3-2-’22 dan di Bandung 4-3-1922”, Tjahaja Minahasa, Orgaan Kaum Minahasa, hlm. 39.

15 Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging, hlm. 306. Dari cara-cara kerja ini jelas tidak cocok dengan prinsip non-coöperatie PPPKI.

16 “Babad Indonesia”, Zaman Baroe, 18/1929:225.

17 R.C.L. Senduk, salah seorang pengurus Jong Celebes mencatat: “Saya ingin sekali mencatat di sini sekali lagi, bahwa Perhimpunan Pelajar kami ini pada hakekatnya merupakan PERHIMPUNAN PELAJAR dan tidak bertoleransi dengan gerakan politik dalam bentuk apapun. Kami ingin mencapai suatu Sulawesi yang bersatu, dan ingin mempropagandakan gagasan kami ini dengan segala jalan yang tersedia bagi kami. Kami ingin agar orang berkata tentang orang Sulawesi, dan tidak lagi seperti sekarang, yaitu orang Menado, Orang Makasar, orang Gorontalo, orang Songir, dsb. Kami ingin mencapainya dengan mempersatukan seluruh pelajar asal Sulawesi dalam satu ikatan yang besar; suatu lapangan kerja yang maha luas dan subur akan tetapi hampir seluruhnya belum diolah manusia terbuka untuk kami.” R.C.L. Senduk, “Sepuluh tahun perkembangan 1918-1927”, dalam: Soeharto dan Ihsan (eds), Maju Setapak, hlm. 149 dyb.

18 Mengenai tokoh wanita Minahasa ini, lihat A.P. Matuli-Walanda, Ibu Walanda-Maramis, Pejuang Wanita Minahasa (Jakarta: Sinar Harapan 1983); Maria Walanda Maramis” dalam Maria Muharram Wiranatakusuma, Z. Sutopo dan Gaoes Noordien (red.), Peranan Wanita Indonesia dalam Pembangunan (Jakarta: Norindo Pratama dan IPPTI, 1975), hlm. 99-104. Maria mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan SK Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969. Lihat Album 90 Pahlawan Nasional (Bahtera Jaya, 2 1986), hlm. 29.

19 Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging, hlm. 51; lihat juga Ch. De Jonge, “Gereja Masehi Injili Minahasa 1934-1942 Berdiri Sendiri Di Bawah Perwalian”, dalam: Sularso Sopater, Apostolé, Pengutusan (Jakarta: STT Jakarta, 1987), hlm. 124-154. Pangkal Setia akan dibahas dalam hubungan dengan gerakan kemandirian gereja di Minahasa.

20 Petrus Blumberger, De Nationalistische Beweging, hlm. 52.

21 Tentang HKB, lihat J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja. Penelitian historis-sistematis tentang Gerakan kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam kancah Pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 84 dst.

22 Organisasi ini merupakan pendahulu PKC yang akan dibahas dalam bagian berikut. Beberapa pemuda Toraja, Sulawesi Selatan, yang pernah bersekolah  di Solo (HIK) pada tahun 1930-an, sempat mendirikan PCT (Persatoean Christen Toradja) sebelum Perang Dunia II. Lihat Terance Willian Bigalke, A Social History of Tana Toraja” 1870-1965 (Madison: UMI, 1981), hlm. 299 dst.

23 Mengenai Volksraad, lihat: R. Koentjoro Poerbopranoto, Dewan Rakjat (Volksraad) (Batavia: Balai Poestaka, 1938); Encyclopedie van Nederlandsch-Indië, 1919-1937, s.v. “Volsraad”.

24 Istilah “blijvers” menunjuk pada orang-orang Belanda yang datang menetap sebagai penduduk Hindia Belanda yang datang menetap sebagai penduduk Hindia Belanda; sedangkan lawannya, “trakkers”, adalah mereka yang datang hanya untuk bekerja atau berusaha. Istilah-istilah ini cocok diterjemahkan masing-masing dengan “pemukim” dan “perantau”.

25 Ds.W.F. Breijer satu-satunya pendeta dalam daftar para pendiri; dalam kepengurusan pusat sampai tahun 1937 terdapat nama Ds. A. Pos. Lihat: Gedenkboek: Uitgeven ter gelegenheid van het 20-jarig bestaan der Christelijk Staatkundige Partij [Batavia: Gruno, 1937), hlm. 111-112. (Selajnutnya diringkas Gedenkboek CSP 1937]. Tetapi salah seorang pekabar Injil yang juga berpengaruh dalam pemikiran CSP adalah teolog Gereformeerd, Dr. H.A. van Andel. Lihat karangannya, “Christendomen Politiek” dalam Gedenkboek CSP 1937, hlm. 19-26; bnd. Tan Tiat Han, The Attitude of Dutch Protestant Missions, hlm. 28-32.

26 A.B. [Alg. Bestuur?, “De Christen en de Politiek”, De Banier: Christelijk Weekblad voor Nederlandsch-Indie. 1917:166.

27 “De Christelijk-Ethische Partij”, De Banier, 1917-216. Dalam halaman awal buku peringatan 20 tahun CSP, terdapat lukisan dan keterangan panji CSP. Seorang satria Romawi dengan tulisan kecil IN HOC SIGNO; di bagian bawah sebuah pita besar meliuk-liuk dengan tulisan besar: Capesse Signum Petrae (C, S dan P dengan huruf besar). Keterangan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: Satria Romawi berpakaian perang : kesiagaan Kristen (Ef. 6: 13-17). Salib di langit: kisah Kaisar Constantinus dalam perang menghadapi Maxentius (Oct. 311) melihat salib di langit dengan tulisan IN HOC SIGNO VINCES (=dalam lambang ini engkau akan menang). Capesse Signum Petrae (=peganglah lambang pengakuan iman, yaitu salib), mengacu pada Mat. 16: 15-18.

28 Lihat C.C. van Helsdingen, “De Beginselverklaring der C.S.P.”, dalam Gedenkboek CSP 1937, hlm. 52-83

* Ibid, hlm. 72.

* De Barnier XIV/XV/1922-1923:313.

29 Menurut Mededeelingen can de Christelijk Staatkundige Partij pengurus pusat CSP pada tahun 1935 terdiri atas 12 orang, tetapi hanya Notosoeroto orang Indonesia (hlm. 11). Bersama Moelia dan F.A. Lokollo dia usulkan untuk ditunjuk pemerintah menjadi anggota Volksraad mewakili masing-masing orang Kristen dari suku Jawa, Batak dan Ambon, tetapi yang tertunjuk dari Ambon adalah Rehatta (hlm. 17). Di dalam Volksraad keanggotaan CSP hanya –3 orang, termasuk yang ditunjuk pemerintah. Bersama wakil-wakil “suku Kristen” mereka membentuk suatu fraksi Kristen Protestan. Pada tahun 1937 anggota Prot. Chr. Volksraad-fractie adalah:

Mr. C.C van Helsdingen (CSP)

G.J. van Lonkhuyzen (CSP)

M. Notosoetarso (CSP dari PKC)

Dr. T.S.G. Moelia (wakil Kristen Batak)

Rehatta (wakil CAV).

30 lihat C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 143-147. Lihat juga Th. Sumartanan, Mission at the Crossroads, hlm. 125-140.

31 Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 146. Lihat pula Th. Van den End , Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2: 1860-an – sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 237 dyb.

32 Lihat A.K. Donoatmodjo, “Bangoen Kembali.” Zaman Baroe, 1930: 354 dyb.

33 Zaman Baroe, 47/1930: 367.

34 Zaman Baroe, 47/1930: 367; lihat juga Encyclopaedia van Nederlandsch-Indië, 1919-1935, s.v. “Perserikatan Kaoem Christen (P.K.C.)”.

* Perserikatan Kaoem Christen (P.K.C. 1/1/September 1938: 11.

35 Nama “Indonesia” pertama kali dipakai oleh ahli etnologi Inggris J.R. Logan pada tahun 1850 dalam arti geografis murni menunjuk pada kepulauan Nusantara. Pemakaiannnya secara politik dipelopori oleh organisasi mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda, Perhimpoenan Indonesia, di bawah pimpinan Mohammad Hatta, Nama Indonesia (Penemuan Komunis?) (Jakarta: Idayu, 1980). Sampai runtuhnya kekuasaan kolonial nama “Indonesia”, yang diusulkan para nasionalis di Volksraad, ditolak mejadi pengganti “Hindia Belanda” dalam ketatanegaraan.

36 “Organisatie mereka itoe [Islam] koeat dan kokoh lagi tertib, […] Bagaimana kita kaoem Christen? Djanganlah pandang Christelijke Scholen jang dipimpin oleh kaoem Masehi Belanda itu; dimanakah organisatie kita Masehi Boemi Poetera? Sejogianja kita jang biasa dalam pimpinan kaoem Masehi Belanda soedah lebih dahoeloe mempoenjai organisatie itoe! Tetapi bagaimanakah sebetoelnja? Kita tinggal dibelakang amat jaoeh, orang soedah beladjar lari kita masih bisa tengkoeroep. Apa sebabnja? Organisatie tidak ada, sepakat? Tiada mengharga teman? Tiada maoe menghilangkan kebanggaan bangsanja? Apakah tjatjat kita dan kekoerangan kita kaoem Masehi sekarang ini, pada masa kemadjoean ini? Tiadakah tjoekoep jang pandai? Semoeanja itoe ada, tetapi masih beloem bangoen, masih tidoer njenjak, masih maoe digendong lagi, roepanja lebih enak digendong, tiada pajah berdjalan sendiri; lebih enak dimanakah, tak oesah lagi mengoenjah makanan! Bangoenlah hai, roh orang Masehi, tiliklah dimoeka dan dibelakang semoea daerahmoe soedah mendoesin, hendaklah engkaoe merasa maloe.” H.[E. Harahap?], “Angan-angan” Zaman Baroe, 53/1927: 802D03.

37 “Algemeene Vergadering C.S.P. Inh. Afdeeling Batavia.” Zaman Baroe, 17/1930:210. Tidak ada penjelasan lanjut mengenai perbedaan pandangan antara Laoh dengan Moelia dalam rencana pembentukan partai politik Kristen Indonesia itu.

38 Ibid., hlm. 210.

39 “Algemenee Vergadering P.M.I.” Zaman Baroe, 1930:392.

40 Usul yang tidak dibicarakan dengan serius itu, rupanya menjadi masukan saja bagi panitia persiapan. Nama PMI diterima resmi tetapi tak lama kemudian diganti menjadi PKMI. Dalam rapat pmbentukan PMI kemudian juga Pattipeilohy mempersoalkan nama PMI.

41 Lihat. E. Harahap, “Sedikit Keterangan”, Zaman Baroe, 1930, hlm. 402 dyb. Secara khusus seruan untuk memberi usul-usul kepada panitia itu ditujukan kepada organisasi-organisasi Kristen di/dari 8 daerah, yaitu: (1) Ambon, (2) Menado-Sangihe-Talode, (3) Timor, (4) Selebesi Tengah –Makale-Poso, (5) Dajak, (6) Djawa (Timoer Sampai Barat), (7) Nias, (8) Tanah Batak – Soematera Timoer – Karo – Simaoengoen dll.

42 Ibid., hlm. 402.

43 Dimuat dalam Zaman Baroe, 1930: 548 dyb; 559-561 dalam 2 bahasa (Belanda dan Indonesia). Bentuk akhir yang disahkan tidak diperoleh.

44 Zaman Baroe, 2/1931:46.

45 Zaman Baroe, 2/1931: 55.

46 Gagasan-gagasan, khususnya dalam kalangan politisi dan kaum intelektual Belanda, mengenai ikatan Hindia Belanda yang merdeka dan Negeri Belanda dihimpun dalam W.H. van Helsdingen, De Plaats va Nederlandsch-Indië in het Koninkrijk: Stemmen van Overzee (Leiden: E.J. Brill, 1946).

47 Zaman Baroe, 5/1931: 55. Lihat juga Encyclopaedie can Nederlandsch-Indië, 1919-1935, s.v. “Partai Kaoem Masehi Indonesia”. Pandangan yang dioper dari CSP itu adalah pula pandangan umum partai-partai “kanan” (Kristen) di Belanda seperti yang dikemukakan salah seorang tokoh  Kristen Belanda: “Pikiran jang seoemoemnja dari partij kanan di Nederland, ialah hendak memberikan kemerdikaan jang seloeas-loeasnja kepada Hindia, dengan ta’ ada koerangnja, meskipoen tetap ada perhoboengan dengan Nederland”. “Politiek Christen.” Zaman Baroe, 32/1930: 392 [pidato Dr.C.W.Th. van Boetzelaer van  dubbeldam pada pertemuan CSP di Weltervreden]. Bandingkan dengan pidato Colijn pada Tweede Kamer: “Kami berharap, perhoeboengan antara Hindia dan Nederland akan bisa dipeliharakan sehingga Nederland dan Hindia ada di dalam satoe keradjaan, dan kami kehendaki djoega soepaja ada politik didjalankan oentoek maksoed itoe sebanjak jang bisa.” Lihat “Soal Tanah Djadjahan” Zaman Baroe, 14/1930: 174.

48 Disebutkan bahwa PKMI mempunyai anggota lebih 10.000 orang, kebanyakan dari anggota-anggota organisasi seperti Serikat Goeroe Honiteto di Ceram, Perserikatan Orang Masehi di Sangir.

49 Zaman Baroe, 12/1931: 136.

50 Zaman Baroe, 14-15/1931:136.

51 “Setuju PMI”, Zaman Baroe, 52/1930:638 dyb.

52 “Kristen Boemipoetera dan Politiek”, Zaman Baroe, 47/1930: 570.

53 Associatie Politiek dan Indonesisch Christendom”, Zaman Baroe, 1931: 254 dyb.

54 A. Latumahina, “Igama Masehi dan Kebangsaan (Christendom dan Nationalisme)”, Zaman Baroe, 1928: 569.

55 “Conferentie dari Inl. Leeraren di Betawi”, Zaman Baroe, 17/1929:219.

56 A. Latumahina, “Staatkunde dan Christendom”, Zaman Baroe, 8/1930:103.

57 Diurapi pada tanggal 2 November 1930, lihat Zaman Baroe, 1931: 558 dyb.

58 I. Siagian, “Kaoem Masehi dan Politiek”, Zaman Baroe, 1931 : 327.

59 Ibid.

60 “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”, Alkitab, Mazmur 119: 105, (Jakarta: LAI, 1990). Perbedaan Latumahina dan Siagian dalam pemikiran “teologi politik” adalah penekanan Latumahina pada peran pemerintah, sedangkan Siagian pada peran politik rakyat (Kristen). Juga bahwa Latumahina menempatkan politik dalam rangka kekuasaan Allah sebagai Sang Pencipta, sedangkan Siagian bertolak dari tindakan penebusan Kristus.

61 Berhubungan dengan pengembangan Calvin atas ajaran dari Abad Pertengahan tentang scintilla boni, yaitu bunga api kebaikan yang hampir terpadam oleh dosa, tetapi dinyalakan kembali oleh anugerah Allah. Lihat Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 55 dst.

62 [I. Siagian], “Pertentangan Agama Kristen dan Agama lain-lain”, dalam Zaman Baroe, 1929:987.

63 Pondang menyebut bahwa Ratu Langie “dipilih sebagai ketua dari perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Amsterdam (Indische Vereniging [sic]”. W.S.T. Pondaag, Pahlawan Kemerdekaan Nasional Mahaputra Dr. G.S.S.J. Ratu Langie (Surabaya, n.d.), hlm. 37. Mungkin yang dimaksud perhimpunan sekota Amsterdam; dalam daftar Sudiyo, nama Ratu Langie tidak tercantum sebagai pengurus organisasi mahasiswa itu, yang kemudian menjadi salah satu organisasi pergerakan nasional Indonesia terpenting. Lihat Sudiyo, Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (Jakarta: Bina Aksara; 1989), hlm. 39-41.

64 Pada tahun 1936 Sam Ratu Langie diadili dan dijatuhi hukuman penjara beberapa bulan karena penggelapan uang, sehingga gugur keanggotannya di Volksraad. Lihat Pondaag, Pahlawan Kemerdekaan Nasional Mahaputera Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, hlm. 64-68.

65 G.S.S.J. Ratu Langie, Indonesia in den PacificKernproblemen van den Aziatischn Pacific (Batavia: 1937). S.I. Poeradisastra yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (diterbitkan pada tahun 1982) menyebut buku ini sebagai salah satu dari empat serangkai buku-buku politik “klassik” Pergerakan Nasional Indonesia bersama Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka; Moh. Hatta, Kearah Indonesia Merdeka; dan H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Karena tulisan-tulisannya yang agak pro-Jepang, Ratu Langie sempat ditahan polisi Belanda pada awal tahun 1941 bersama beberapa tokoh yang dicurigai lainnya, sepert M.H. Thamrin dan Douwes Dekker. Lihat Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 36, 152 dyb. Pada tahun 1913 diterbitkan di Negeri Belanda sebuah buku berbahasa Belanda mengenai Sarekat Islam; penulisnya tercantum Gerungan S.S.J. Ratu Langie. Buku tipis (34 halaman) itu merupakan suatu analisa sosial politik yang padat mengenai Serikat Islam. ; Dengan kapasitas seorang Indolog dan dengan sikap yang sangat simpatik terhadap gerakan itu, penulis menempatkan SI dalam kenyataan sosial ekonomi pribumi yang buruk di bawah pemerintahan kolonial dan memandangnya sebagai pengungkapan perasaan nasionalisme dengan agama, bukan kecenderungan nasionalis di dalam agama. Lihat Gerungan S.S.J. Ratu Langie, Serikat Islam (Baarn: Hollandia, 1913). Karangan ini tidak pernah disebut-sebut dalam hubungan dengan Sam Ratu Langie pada masa kemudian.

66 Dalam notulen rapat-rapat PPKI yang diterbitkan Yamin, Ratu Langie tercatat hadir pada rapat-rapat tanggal 18 dan 19 Agustus 1945, yang membicarakan UUD dan pembentukan Kementerian. Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (djakarta: Prapantja, 1959), hlm. 3999-473. Tetapi ada kesangsian terhadap kebenaran hal itu. Luhukay, sejarawan di Universitas Hasnudin, mencatat a.l.: “Menurut hasil penelitian saya […] Delegasi Sulawesi itu yang dipimpin atau diketuai Doktor Ratulangi [dengan anggota: Andi Pangerang Petta Rani dan Sultan Daeng Raja] tidak pernah menghadiri Proklamasi 17 Agustus 1945 dan sidang-sidang dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka benar berangkat ke Jakarta pada tgl 8 Agustus 1945 dan dijemput pada tgl. 7, sehari sebelumnya, oleh Nishisima sebagai utusan Laksamada Maeda, tetapi tgl. 14 Agustus 1945 Delegasi itu sudah kembali dan diterbangkan ke Makassar.” Hanoch Luhukay, “Delegasi Sulawesi Tidak Hadir pada Sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, Pedoman Rakyat, 22 Agustus 1981.

67 Sk Presiden RI No. 590/1961 tanggal 9 Nopember 1961. Lihat Album 90 Pahlawan Nasional (Bahtera Jaya, 1986), hlm. 41. Aditjondro mencatat tiga benang merah “jang menjelujuri seluruh lembaran hidupnya: intellectual curiosity, nasionalismenya yang tidak gegap gempita tapi penuh perhitungan matang dan sikapnya yang rendah hati dan selalu siap bekerja dengan tangannya”. Adicondro, “Sam Ratulangie: Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik”, Prisma, 3/1985: 188 dyb.

68 “Kaok-kaok di Bogor”, Zaman Baroe, 1931:183, 184.

69 Adicondro, “Sam Ratulangie: Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik”, Prisma 3/1985: 93. Kedua blok politik itu bertarung dalam Negara Indonesia Timur (NIT).

70 Mededcelingen, VIO-NCSV, 7/10/1929:12.

71 Mengenai peran Ratu Langie dalam pembentukan KGPM , lihat E.W. Parengkuan , “Suatu Tindjauan Sedjarah tentang Peranan K.G.P.M. dalam Sedjarah Pergerakan Nasional di Minahasa” (Skripsi Sardjana Muda, Fak. Sastra UNSRAT, 1971), hlm. 25-27; B. Suak, “Sejarah Kerapatan Gereja Protestan Minahasa” (Tesis SEAGST, 1991).

72 T.S.G. Mulia dan K.A.H. Hidding (eds), Ensiklopedia Indonesia (Bandung/’s Gravenhage: W. van Hoeve, n.d.), 3 jilid.

73 Bahan biografi Moelia secara singkat terdapat dalam Ensiklopedi Indonesia 1980-1984, s.v. “Mulia, Todung Gelar Sutan Gunung”; dan dalam T.B. Simatupang, Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila: Dari Butut dalam GBHN 1983 menjadi Jantung dalam GBHN 1988 (Jakarta : Unversitas Kristen Indonesia, 1987), hlm. 3-5. Penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di bidang teologi itu berkaitan dengan peringatan 150 tahun Nederlands Bijbel Genootschap dan didasarkan pada “djasa-djasa jang luar biasa dari Prof. Mulia jang dalam djabatan-djabatan tinggi telah banjak memberi sumbangsihnja jang merangsang masjarakat Kristen di Indonesia.” Lihat [Victor Matondang,] “Almarhum Prof. T.S.G. Mulia S.H.: Tokoh Ekumene dan Negarawan Indonesia”, Ragi Buana, 35/17 Desember 1966: 17-23.

74 “Dari doenia Politiek V” Zaman Baroe, 1927:52. Pada bagian lain Moelia menyatakan: “Sebab tidak oesah dirahasiakan disini, selamanja daripada bagian bangsa Belanda jang beroesaha dalam zending dan golonga jang bersamboeng dengan zending, djaranglah terdapat diantara orang Belanda jang beragama jang berperasaan pro-inlander. Beda mereka itoe dengan bagian lainnja diantaranja jang tidak memoeliakan agama, tidak lain daripada kejakinan mereka itoe beragama dan pergi kegeredja sadja.” (hlm. 54).

75 Ibid, hlm. 53.

76 Ibid.

77 Lihat T.S.G Moelia, “De C.S.P. en de Inlandsche Christenen”, dalam Gedenkboek CSP 1937 (Batavia: Gruno, 1937), hlm. 87-94.

78 Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”, Zaman Baroe, 12/1928: 135 dyb.

79 “Tjinta Bangsa”, Zaman Baroe, 1928:267.

80 Seorang pengamat mencatat “Adakah boleh djadi bangsa-bangsa jang terseboet diatas merasa tak perloe bergandeng tangan dengan saudara-saudaranja perempoean bangsa Djawa? Atau boleh djadi, karena bangsa2 jang terseboet diatas (Ambon, Minahasa, Batak, dll.) Kebanjakan beragama Christen, sedang bangsa Djawa kebanjakan beragama Islam? Ataoe barangkali, bahwa dipihak Protestan Boemipoetera, beloem ada organisatie boeat kaoem Ibu?”. “Congres pertama dari Perikatan Perempoean Indonesia”, Zaman Baroe, 1/1929: 14-16. Dalam seri kesaksian wanita-wanita pejuang Indonesia terdapat beberapa wanita Kristen. Lihat Lasmiah Hardi, Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran (Jakarta: Sinar Harapan, 1981-1985) Buku I – V.

Bab III - Generasi Muda Kristen: Nasionalisme dan Oikumene

Sementara pergerakan nasional Indonesia berlangsung dengan berbagai dinamikanya menghadapi rezim kolonial, dari tengah-tengah kalangan Kristen yang kecenderungan konservatif tampil sekelompok kecil generasi muda terpelajar dengan wawasan yang baru. Mereka merupakan hasil binaan para mantan anggota gerakan mahasiswa Kristen Belanda dalam wadah-wadah pemuda dan mahasiswa Kristen. Perkembangan pembinaan ini berkaitan erat dengan gerakan mahasiswa sedunia dan dengan gerakan oikumene yang sama memberi perhatian pada masalah-masalah sosial-politik dalam lingkup nasional dan internasional.

3.1. Indsche Oud-leden der NCSV 

3.1.1. Pembentukan VIO-NCSV 

Karena lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi masih terbatas di kota-kota tertentu di Pulau Jawa, maka pemuda-pemuda Indonesia datang dari daerah-daerah luar Jawa untuk menempuh pendidikan lanjutan di Batavia, Bandung, Bogor (Buitenzorg), Yogyakarta, Solo atau Surabaya. Demikian juga pemuda-pemuda beragama Kristen dari Maluku, Minahasa dan Tanah Batak berdatangan ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan. Di rantau mereka menghadapi berbagai tantangan, juga secara rohani. Mereka terputus dari wadah persekutuan rohani yagn menuntun hidup mereka sebelumnya. Di tempat yang baru mereka berada dalam lingkungan yang asing serta sering tidak memperhubungkan diri dengan persekutuan Kristen setempat. Mereka berhadapan dengan penganut agama-agama lain, berkenalan dengan gagasan-gagasan ideologi yang belum mereka kenal dan masuk dalam pola-pola hidup yang asing. Selain itu, ada kesulitan keuangan, pemondokan dan sebagainya. Sudah sejak tahun 1912 dipikirkan oleh pemuka-pemuka gereja di Belanda dan di Indonesia suatu usaha untuk melayani para pelajar di perantauan itu melalui pengadaan asrama-asrama pelajar-mahasiswa Kristen (Christeljke internaten). Maka dibentuk suatu panitia bernama Comité voor de Huisvesting van de Studeerende Inlanders, yang dalam dua tahun mengumpulkan sekitar 30 ribu gulden. Pada tahun 1916 sejumlah 20-an siswa di Batavia dan di Surabaya dapat dibantu oleh panitia ini. Juga di Sukabumi didirikan sebuah asrama, tetapi hanya berjalan beberapa tahun karena tidak ada yang dapat memimpin asrama dengan baik.

Dr. G. Roijer, salah seorang mantan anggota Perhimpunan Mahasiswa Kristen Belanda (Nederlandsch Christen Studentenveteeniging, NCSV), mengirim surat edaran kepada rekan-rekannya sesama mantan anggota NCSV supaya dikirim tenaga khusus dari Belanda untuk bekerja di kalangan pemuda-mahasiswa menuju pembentukan perhimpunan mahasiswa Kristen. Gagasan itu mendapat  sambutan yang positif dengan pertama-tama menghimpun sesama mantan anggota NCSV yang berada di Indonesia dalam suatu wadah pertemuan. Pada tanggal 17 Pebruari 1920 dibentuk Vereenigde Indische Oud-leden der nederlandsche Christen Studentenvereeniging (=VIO-NCSV) dalam konferensi yang diselenggarkan di Sukabumi  pada tanggal 14-18 Pebruari 1920. Tujuannya adalah membentuk persatuan mahasiswa Kristen Hindia, menjalin hubungan dengan pengurus NCSV di Belanda dan mengurus kepentingan anggota dalam mendapatkan pekerjaan.

Dalam upaya mencapai tujuan-tujuannya VIO-NCSV menggalang persatuan dan kesadaran antar para anggota dengan tentara lain menyelenggarakan konferensi tahunan dan menerbitkan majalah bulanan Mededeelingen van de Vereenigde Indische Oud-leden der Nederlandsche Christen Studentenvereeniging, sejak bulan Maret tahun 1920. Mereka juga menghimpun dana untuk membiayai pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa C.P. Cohen Stuart menunjuk pada Auxiliary Movement di kalangan persatuan mantan anggota gerakan mahasiswa Kristen di Inggris sebagai model bagi kegiatan VIO-NCSV:

Perlahan-lahan kami kini memperoleh juga suatu gambaran yang lebih benar mengenai ke arah mana kami harus menuju, dengan mencontoh “Auxiliary Movement” di Inggris dan di tempat-tempat lain yang sudah jauh lebih maju dari kami. […] yang membuang sama sekali sifat eksklusifnya dan “berusaha membawa orang ke dalam kelompok-kelompok persekutuan tanpa sesuatu pembatasan atau kekhususan, untuk mencari kerajaan Allah”; dan mereka menghidupkan kelompok-kelompok itu dengan “semangat idealisme dan iman Kristen yang tak kenal kompromi, semangat kerinduan yang menyala-menyala akan suatu gereja yang dipersatukan dan akan suatu tatanan politik Kristen”.1

Pada kunjungannya ke Indonesia bersama John R. Mott pada tahun 1926, Sekretaris Jenderal NCSV, H.C. Rutgers, dapat menilai bahwa VIO-NCSV bukan sekedar sebagai suatu wadah nostalgia para mantan anggota NCSV, melainkan hidup dan kerja mereka dalam masyarakat tidak lain daripada suatu kelanjutan langsung dari gagasan-gagasan yang telah diperkembangkan dalam NCSV.

3.1.2. Orientasi Nasioanalistis VIO-NCSV

Ceramah-ceramah pada konferensi pembentukan VIO-NCSV memberi tekanan pada usaha menjalin hubungan dengan berbagai kelompok penduduk Indonesia. C.P. Cohen Stuaart menyajikan pokok “Contact met Hollandsch-sperekende inlanders” (Kontak dengan penduduk pribumi yang berbahasa Belanda) berdasarkan pengalamannya dengan isterinya memberi kursus tentang partai-partai politik di Negeri Belanda kepada para siswa sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Diantara dalil-dalil yang diajukannya Cohen Stuart mengemukakan bahwa kegiatan politik kalangan terpelajar Indonesia tidak terelakkan, bahwa rakyat Hindia harus merdeka, dan bahwa kita perlu membangunkan para pemimpinnya pada pemahaman dan perwujudan politik itu, mengarahkan mereka pada sikap kedewasaan rohani, kesadaran sosialisme, idealisme, gairah hidup dan kesederhanaan, serta mengakarkan mereka dalam kenyataan zaman dan situasi mereka; bahwa metode induktif lebih tepat untuk pengenalan pandangan hidup Kristen, dan bahwa para pemimpin perlu menganut ortodoksi Kristen; bahwa perlu disediakan asrama mahasiswa; perlu mendidik mereka untuk tidak bersikap polemis terhadap Islam; perlu menjalin hubungan dengan federasi mahasiswa sedunia; dan bahwa perlu didirikan suatu Indische Hoogeschool dengan fakultas teologi umum; serta penting menjelaskan kepada mereka hubungan antara revolusi dan iman.2

Selanjutnya, D. Crommelin dalam ceramahnya yang berjudul “Contact me eigen taal sprekende Inlanders” (Kontak dengan penduduk pribumi yang memakai bahasanya sendiri) mengemukakan adanya tiga sudut pandang dalam menilai hubungan Eropa dengan pribumi, yakni:

(1) memandang orang Barat sebagai yang baik sedangkan sifat-sifat buruk orang Timur ditonjolkan; (2) bahwa pribumi dengan orang Eropa sebenarnya sama dan karena itu seorang pribumi dapat dan harus diperlakukan seperti orang Eropa, tetapi dalam kenyataannya selalu timbul salah pengertian; dan (3) orang Eropa dan pribumi setara tetapi berbeda orientasi, sebagaimana ada kutub positif dan kutub negatif dalam fisika.

Jelas kedua sudut pandang pertama tidak dapat membuka hubungan yang baik, maka kesadaran pada perbedaan adanya orientasi mengisyaratkan perlunya mengikuti prinsip Paulus: bagi orang pribumi menjadi seperti seorang pribumi sehingga kita dapat memahami mereka.3 Sangat penting di sini adalah bahasa sebagai pengungkapan jiwa suatu bangsa (volksziel). Maka bukan hanya pribumi yang perlu belajar bahasa Belanda untuk mendekatkan mereka kepada orang Eropa, melainkan juga sebaliknya orang Eropa perlu belajar bahasa pribumi supaya dapat memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan menghormati mereka. Injil dapat menjadi jelas dalam sikap penghargaan terhadap pribumi.4

Pada konferensi VIO-NCSV ketiga , yang dilangsungkan di Bandung pada tanggal 1-4 Juni 1923 , B.M. Schuurman (1889-1942)5 membahas sikap terhadap pergerakan nasional dalam makalah yang berjudul “Onze houding tegenover de Indlandsche Beweging” (Hubungan kita terhadap Pergerakan Pribumi). Ia mulai enggan mengutip hasil konferensi VIO-NCSV kedua di Solo yang menyimpulkan sikap Kristen terhadap pergerakan nasional Indonesia:

(1) Bahwa sebagai orang Kristen di Hindia kita berkewajiban memperoleh pengertian yang jelas tentang perjuangan nasionalistis dan politik dunia pribumi dan berusaha mengambil sikap yang jelas terhadapnya; (2) Bahwa dunia pribumi berhak untuk disambut secara bersungguh-sugguh dalam keinginan-keinginan politik dan berhak untuk mengetahui apa sikap kita di dalamnya.6

Schuurman memahami pergerakan pribumi bukan semata-mata sebagai pergerakan politik, melainkan berkaitan dengan pengungkapan jati diri yang mewujud dalam suasana kolonial. Dia juga menunjuk pada perkembangan dalam gereja di Mojowarno menuju kemandirian (1923) sebagai wujud gerejawi dari pergerakan nasional. Dia menilai perkembangan pergerakan pada awal tahun 20-an dalam kalangan Islam (SI), PEB (Politiek Economische Bond) dan Komunis sebagai pengungkapan pertarungan politik yang berskala internasional antara kekuatan kapitalisme Barat dengan fanatisme Islam. Jadi sikap Kristen tidak ditentukan oleh kenyataan permukaannya melainkan oleh pengertian yang jelas terhadap hakikat pergerakan nasional sebagai kesadaran memperjuangkan masa depan suatu bangsa. Schuurman menangkap hakikat pergerakan nasional Indonesia dalam definisinya:

Pergerakan pribumi adalah dorongan hidup yang mendasar, yang perlahan-lahan bangkit dari kedalaman ketidaksadaran rakjat, yang diperkuat oleh kesadaran hukum yang sedang bertumbuh, kepada kehidupan suatu bangsa yang kuat, penuh, sarat tindakan dan yang menciptakan masa depan yang indah.7

Definisi ini mengungkapkan nasionalisme sebagai suatu keniscayaan yang alami dan tak tergoyahkan; kemunculannya lambat dan tidak terencana, tetapi didukung oleh kesadaran hukum (hak asasi manusia) dan terarah pada suatu cita-cita nasional. Dengan kata lain, pergerakan nasional Indonesia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari dan sudah jelas arahnya, tetapi dapat diberi bentuk atau saluran-saluran yang tepat. Schuurman menyadari bahwa cita-cita nasional dalam pergerakan pribumi itu tidak dapt diabaikan dan terarah pada suatu kemandirian politik dengan mengenyahkan kekuasaan Belanda. Dalam pada itu perhadapan kedua belah pihak menyangkut pula perjuangan Islam untuk lepas dari cengkeraman Barat. Jika Islam tampil dalam sejarah pergerakan nasional sebagai pembebas dari Timur maka akan terus mempertajam pertentangan Timur dan Barat. Dan bersamanya kekristenan dan Zending akan seakan-akan memperjuangkan suatu cita-cita yang gagal atau mengemban suatu kewajiban yang dasarnya lemah. Bertolak dari pemahaman itu dia menempatkan Zending dalam kerangka sejarah pergerakan nasional Indonesia dengan peran yang bermakna. Menurut Schuurman, masih kurang disadari bahwa kendala besar usaha penginjilan adalah karena kekristenan diwakili dan dibawa oleh golongan (ras) penjajah. Maka, hanya kalau kekristenan terlibat dalam pemandirian dan pembebasan ras terjajah komunikasi iman dapat terjalin, dan ini sangat menentukan.8 Dalam keyakinan itu Schuurman melihat bahwa pergerakan nasional bukan hanya suatu jalan kemajuan bagi kekristenan bagi rakyat pribumi: sejarah Hindia, yang dibuka pintunya oleh pergerakan nasional bukan hanya suatu jalan kemajuan bagi kekristenan. Dengan kata lain, menjadi kesempatan bagi agama Kristen untuk turut mendukung dan mengarahkan “dorongan hidup yang mendasar” bagi tercapainya cita-cita nasionalisme Indonesia. Dan dengan itu agama Kristen membuktikan diri sebagai bukan bagian dari dominasi Barat atas dunia Timur.

Selain kewajiban terhadap Hindia secara keseluruhan itu, Schuurman menunjuk panggilan secara khusus bagi kelompok-kelompok besar dan kecil orang Kristen pribumi yang tersebar di berbagai bagian Hindia, yang pada umumnya masih terhubung dengan orang-orang Belanda Kristen. Dan karena hubungan masih baik, Schuurman menganjurkan supaya dijaga agar pergerakan nasional tidak tersisih dari jemaat-jemaat Kristen. Kewajiban Zending dan orang-orang Kristen Eropah untuk memelihara hubungan baik itu, walaupun itu harus berkorban.9 Dengan menunjuk pada masyarakat Jawa dimana ia bekerja, Schuurman mengemukakan juga adanya struktur yang menindas dalam sistem kemasyarakatan pribumi. Sebab itu pergerakan nasional harus pula merupakan pembebasan dari kenyataan itu, di samping dari penjajah Belanda. Pada akhirnya Schuurman menekankan keniscayaan keterjalinan yang rohani dengan yang alami – manusiawi dalam sejarah, yakni untuk kalangan Kristen pentingnya keterikatan pada Injil untuk kemerdekaan politik.

Schuurman menutup ceramahnya dengan suatu seruan bagi orang Kristen di Hindia, khususnya kalangan Zending untuk berkorban bagi kemajuan pergerakan nasional demi pertumbuhan kekristenan dalam kehidupan pribumi.10 Dia menyimpulkan ceramahnya dengan menegaskan pemihakan pada pergerakan nasional Indonesia:

Sikap kita terhadap pergerakan nasional? Bukan suatu sikap terhadap, melainkan bersikap di dalamnya. Baiklah saya menyebut kata yang tepat, bukan dalam arti tragisnya melainkan artinya yang sungguh kegembiraan: pengorbanan.11

Diskusi setelah presentasi itu memperlihatkan pandangan yang berbeda terhadap pergerakan nasional dari beberapa hadirin yang adalah tokoh-tokohnya CEP. Ds. Breijer menyatakan bahwa pemuka-pemuka pribumi tidak dapat dipercaya sebagaimana nyata dalam aksi-aksi pemogokan dan, dengan menunjuk pada perbedaan pandangan nasionalis suku-suku yang berbeda, dia menekankan masih sangat perlunya perwalian. Ds. H.A. van Andel menuduh NCSV takut politik (politiek-schuw) dan mengajak VIO-NCSV bergabung dengan CEPO. Tetapi Svhuurman menyatakan CEP te veel een Hollandsche bewegign, te weining georiënteerd aan de belangen van het iIndsch natonalisme (terlalu bersifat pergerakan orang Belanda, kurang diarahkan pada kepentingan nasionalisme Hindia). Reaksi CEP terhadap ceramah  Ds. Schuurman dilanjutkan kemudian dalam suatu karangan khusus oleh C.C. van Helsdingen, sekretaris pengurus CEP (kelak lama menjadi ketuanya), berjudul “Nogmaals: Onze houding togenover de Inlandsche Beweging” (Sekali lagi: Sikap kita terhadap Pergerakan Pribumi) menyanggah atau mempertanyakan beberapa hal. Dalam salah sastu point Van Helsdingen menyatakan persetujuannya terhadap gagasan kemerdekaan Hindia, tetapi yakni bahwa belum tiba waktunya:

[…] dan inilah keyakinan dasar saya: bahwa Belanda, terlebih orang-orang Kristen, melakukan kejahatan kepada negeri ini, jika kita kini sedia memberikan kemerdekaan itu kepada Hindia.

Kemudian dengan panjang lebar Van Helsdingen menguraikan mengenai CEP, khususnya untuk menentang pernyataan Ds. Schuurman bahwa CEP tidak mendukung kepentingan pergerakan nasional. Akhirnya dia mengajak warga VIO-NCSV mendukung CEP.13

Perhatian VIO-NCSV terhadap pergerakan nasional terus berlanjut ketika pergerakan memasuki puncak radikalnya di bawah pengaruh PNI. Perhatian itu jelas sangat perlu untuk memahami kenyataan yang menentukan masa depan para pemuda Kristen Pribumi yang berada dalam binaan VIO-NCSV. Munculnya tokoh-tokoh muda Kristen berwawasan nasionalis dari kalangan CSV merupakan salah satu hasil dari pendekatan VIO-NCSV itu. Salah seorang tokoh VIO-NCSV , J.MJ. Schepper (1888-1967), yang adalah guru besar Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta,menulis suatu brosur sebagai reaksi terhadap vonis Landraad (pengadilan negeri) Bandung terhadap Sukarno dan kawan-kawannya, para pemuka PNI.14 Selain Schuurman dan Schepper, tokoh-tokoh pembina dalam pelayanan pemuda seperti Hendrik Kraemer, dan terutama C.L. van Doorn secara sadar dan terencana mengarahkan para pemuda dan mahasiswa Kristen pada nasionalisme Indonesia.

Dalam rangka perhatian terhadap pergerakan nasional itu maka Konferensi VIO-NCSV kedelapan, tanggal 2-4 Agustus 1929, yang dihadiri sejumlah pemuka Kristen Indonesia, membahas khusus pokok orang-orang Kristen pribumi dan pergerakan-pergerakan nasional (“De Inlandsche Christenen en de nationalistische bewegingen”), dengan pembicara Dr. G.S.S.J. Ratu Langie (menggantikan Dr. T.S.g. Moelia yang berhalangan). Pada kesempatan itu Ratu Langie, yang adalah anggota Volksraad  mewakili Persatoean Minahassa, menyatakan penolakannyya membentuk suatu kelompok Kristen dalam pergerakan politik, karena hanya akan menimbulkan reaksi negatif dari kalangan penganut agama lain dan karena perlu pula diperhitungkan perbedaan-perbedaan aliran dalam kalangan Kristen sendiri. Agama Kristen tidak perlu dijadikan basis dalam politik pergerakan. Pada pandangannya, lebih baik memikirkan konsolidasi pada pusat-pusat wilayah masing-masing dimana organisasi kemasyarakatan (kesukuan) diperkuat.15

 

 

3.1.3. Dimensi Oikumenis VIO-NCSV

Selain kenyataan pergerakan nasional Indonesia, VIO-NCSV juga memberi perhatian pada perkembangan gerakan mahasiswa Kristen sedunia, khususnya di Asia, sebagai acuan penting dalam pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia. Dalam hal ini pentinglah peranan WSCF (World’s Student Christian Federation). M. Cohen Stuart-Franken memperkenalkan WSCF dalam suatu artikel “De Federatie van Christen-Studenten”.16 WSCF didirikan pada tahun 1895 di Vadstena (Swedia) oleh wakil-wakil organisasi gerakan mahasiswa Kristen (SCM, Student’s Christian Movement) dari Amerika Utara dan Kanada, Inggris, Jerman, Skandinavia dan dari daerah-daerah pekabaran Injil. Dibalik pembentukan ini berperan tokoh-tokoh mahasiswa: J. Reynolds, dari Universitas Yale, yang mempelopori pembentukan SCM di kampus-kampus universitas di Eropa dan L.D. Wishard, sekretaris SCM Amerika Utara, di berbagai tempat di Asia, serta John R. Mott yang memelopori pembentukan federasi sedunia organisasi-organisasi mahasisw itu. Pada tahun 1922 anggota WSCF sudah berjumlah 260.184 mahasiswa (pada tahun 1895 baru 35 mahasiswa). Tujuan WSCF adalah mempersatukan dan mempererat hubungan antar gerakan mahasiswa sedunia; menghimpun dan menyebarkan informasi mengenai kenyataan hidup para mahasiswa di seluruh dunia dan mengenai agama-agama. Selain itu WSCF secara khusus berusaha untuk menuntun mahasiswa iman Kristen, memperdalam kerohanian mahasiswa melalui penelaahan Alkitab, mendorong para mahasiswa untuk berbakti bagi kelebaran Kerajaan Allah, untuk saling memahami dan mnghargai, dan memperkembangkan kesehatan jasmani, rohani dan moral sesuai tujuan kekristenan. Manfaat perkunjungan-perkunjungan para sekretaris sangat besar dalam pewujudan cita-cita WSCF.

M. Cohen Stuart-Fraken menekankan secara khusus segi keesaan dalam WSCF dimana kesatuan dalam Kristus secara praktis diwujudkan meliputi semua denominasi Kristen (termasuk Roma Katolik dan Ortodoks); ciri nasional dimana SCM harus menjaga karakter nasional yang murni dan kuat dan perhatian yang mendalam pada masalah-masalah internasional dan ras. Hal yang sama ditunjukkan Kraemer dalam karangannya menyambut kedatangan Mott ke Indonesia. Kraemer menyebutkan tiga ciri penting WSCF yang diperkembangkan Mott:

(1) suatu federasi (bukan serikat yang sentralis) dari gerakan-gerakan nasional yamg mandiri, yang organisasi dan arahnya seluruhnya dipimpin dengan semangat yang seirama dengan sejarah dan karakter bangsanya; (2) sifat interkonfesional federasi itu, sehingga menjadi ajang perjuangan mewujudkan kesatuan di atas kepelbagaian; dan (3) dalam setiap upayanya Federasi memberi perhatian pada seluruh dunia.17

Sifat interkonfesional khususnya, menurut Kraemer, sangat bermakna dalam menjadikan WSCF suatu alat penting dalam memperkuat dan memperkaya dunia kemahasiswaan dan Gereja Kristen dalam kepelbagaiannya, dan menjadi wujud konkret katolisitas Gereja.18

Walaupun WSCF tidak berpolitik praktis, tetapi melalui pengkajian dan melalui kegiatan para mantan anggotanya sumbangan WSCF di bidang itu, khususnya di negara-negara Asia (Cina, Jepang, India, Filipina, Korea) cukup nyata.

Kegiatan-kegiatan WSCF a.l. yaitu melayani para mahasiswa asing, yaitu yang menuntut ilmu di luar negeri, menyelenggarakan Hari Doa (Prayer Day) dan Minggu Persaudaraan Mahasiswa Sedunia (World Student Friendship Week) serta Hari Federasi (Federation Day). Penelaahan Alkitab dan doa merupakan dasar utama dalam pembentukan sikap moral dan kerohanian para anggota SCM. Disamping itu WSCF juga mempunyai kelompok-kelompok studi mengenai pekabaran Injil, yang antara lain membuahkan Student Volunteers Movement for Foreign Missions (gerakan relawan mahasiswa untuk pekabaran Injil). Sesudah Perang Dunia I WSCF mengembangkan gagasannya tentang new social order (tatanan masyarakat baru) melalui kesaksian yang bersemangat bahwa Injil juga harus dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dan khususnya pada sistem industri, dan bahwa hanya dengan mengikuti semangat Kristus mengasihi sesama maka berbagai kendala sosial masa kini dapat diatasi. Di beberapa tempat para mahasiswa menunjukan solidaritas dan pelayanan konkret kepada kaum buruh dan memperjuangkan hak-hak narapidana. Ruth Rouse, aktivis dan sejarawati gerakan oikumene, mengungkapkan peran WSCF dalam gerakan oikumene:

Inilah gerakan yang ditakdirkan menghasilkan jumlah terbesar pemimpin gerakan oikumene modern, laki-laki dan perempuan, yang kelak akan melahirkan perkembangan-perkembangannya yang palilng khas – gerakan-gerakan Dewan Pekabaran Injil Sedunia, Iman dan Tata Gereja, dan Hidup dan Karya.19

WSCF juga memberi perhatian pada para pelajar sekolah menengah dengan menyelenggarakan kegiatan khusus dengan mereka, misalnya camping bersama. Ada beberapa SCM yang mempunyai bagian pelajar dengan sekretaris khusus untuk itu.

Salah satu perkembangan penting di kalangan mahasiswa Kristen Asia adalah Konferensi WSCF ke-11 di Tsinghua College, dekat Peking, pada bulan April 1922, yang dihadiri 127 utusan dari 34 negara (selain Cina sendiri yang diwakili 800 orang). Konferensi ini sungguh-sungguh bersifat internasional dengan peserta Asia yang menonjol, dan dengan tema dari falsafah Confusian Cina “Under Heaven One Family” konferensi membahas berbagai masalah internasional. Alinea pertama resolusi konferensi, yang keseluruhannya diwarnai semangat persaudaraan antar bangsa-bangsa sedunia itu, berbunyi:

Kami, wakil-wakil mahasiswa Kristen dari semua bagian dunia, percaya pada kesamaan hakiki semua ras dan bangsa, dan menganggap sebagai bagian dari panggilan Kristen kami untuk mewujudkan kenyataan itu dalam semua hubungan kami.20

Konferensi memilih John R. Mott (Amerika Serikat) sebagai Ketua, didampingi Dr. H.C. Rutgers (Belanda) sebagai Bendahara, Maya Das (India-Inggris) dan T. Tatlow (Inggris) sebagai Wakil Ketua serta T.Z. Koo (Cina), sebagai orang Asia pertama yang menjadi salah seorang Sekretaris keliling. Perkunjungan tokoh-tokoh WSCF, khususnya Mott dan Rutgers pada tahun 1926, dan kemudian juga Koo (1930) ke Indonesia, serta penyelenggaraan Konferensi Asia dan Australia WSCF di Indonesia (1933) menentukan perkembangan baru kebangkitan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia.

Beberapa bulan kemudian, pasangan suami isteri van Doorn Snijders, mencatat dampak Konferensi Peking di berbagai bagian dunia. Pengamatan mereka, berdasarkan pemberitaan majalah-majalah Kristen, menunjukkan kuatnya pengaruh Konferensi Peking di kalangan mahasiswa Kristen, khususnya mengenai perbaikan hubungan internasional.21 Salah satu laporan dari India (ketika itu masih jajahan Inggris) menyatakan kesadaran bersama kalangan Kristen dari berbagai latar belakang terhadap seriusnya pasang naik perlawanan kulit berwarna melawan kulit putih, dan sadar bahwa harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki kenyataan itu. Para mahasiswa Kristen dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat yang menyelenggarakan suatu konferensi yang antara lain menghimbau dewan mahasiswa nasional:

Yakin bahwa para mahasiswa mempunyai suatu tanggung jawab nyata untuk menghadapi masalah-masalah pada zaman mereka, dan bahwa mereka harus menolong membentuk suatu gagasan bagi hubungan-hubungan dunia, kami merekomendasikan kepada Gerakan-gerakan Mahasiswa Kristen Amerika Serikat untuk memusatkan seluruh kegiatan mereka di tahun-tahun mendatang pada suatu penelitian yang jujur dan berani, dalam terang ajaran dan semangat Yesus: (1) mengenai keseluruhan permasalahan peperangan dalam dimensi-dimensi militer, rasial, industrial dan komersialnya; dan (2) mengenai usul-usul konstruktif untuk mewujudkan dunia yang adil-damai.22

Konferensi lainnya juga di Amerika Serikat, diselenggarakan oleh para mahasiswa Asia (Jepang, Cina, Korea, Filipina, India) di Amerika mengenai “Christian Fellowship and International Problems”. Pokok itu mulai dibahas dengan kesepakatan menjawab positif pertanyaan : Apakah kesetiaan kepada Kristus pernah akan mengharuskan kita untuk menentang politik dalam dan luar negeri masing-masing pemerintah kita? Di Eropa para pemuka gerakan mahasiswa dari beberapa negara menyelenggarakan konferensi mengenai European Student Reliefwork. Salah seorang wakil dari Perancis menyatakan:

Tembok-tembok terentang antara bangsa-bangsa yang berbeda. Tetapi di balik itu saya sekarang melihat lagi para pemuda yang menghendaki perdamaian dan persahabatan. Para orang tua sudah gagal. Mereka tidak dapat mengembalikan perdamaian, biarlah kita pemuda-pemuda mengusahakannya, berani melakukannya.23

Pada bagian akhir suami isteri van Doorn Snijders memperhubungkan gerakan itu dengan kenyataan hubungan kolonial di Indonesia. Mereka menghimbau adanya suatu dialog antara Belanda dan Hindia dalam suatu open forum, di mana masalah-masalah khusus kedua pihak dihubungkan juga dengan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan bangsa-bangsa lain. Usul itu secara praktis diuraikan atas empat pokok:

(1) supaya kalangan pekabar Injil dapat menjadi penghubung antara Zending dan gereja pribumi di negeri ini, dengan menjalin hubungan erat dengan ketua masing-masing lembaga; (2) supaya pendeta-pendeta kita mencari ikatan dengan rekan sejabatan dari Timur (India) yang dengannya mungkin suatu pandangan yang lebih mendalam tentang kedudukan Indische Kerk dapat diperoleh; (3) supaya VIO mengusahakan membawa para mantan anggota organisasi gerakan mahasiswa lain ke dalam lingkungannya; (4) supaya inti-inti kecil bagi suatu persatuan mahasiswa Kristen di Hindia dipersentuhkan dengan kehidupan federasi.24

Jadi, VIO-NCSF sebagaimana NCSF sendiri menempatkan dirinya dalam kerangka pergerakan mahasiswa sedunia, dan dengan itu memperhubungkan mahasiswa Kristen Indonesia dalam arus penting pergerakan oikumene.

 

3.1.3. Kunjungan Mott dan Rutgers (1926)

Mata oikumenis pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia tersebut dikonkretkan oleh dua peristiwa penting: perkunjungan Dr. John Mott (Ketua WSCF) dan Dr. H. Rutgers (Bendahara WSCF, Sekretaris NCSF) ke Indonesia pada tahun 1926, dan konferensi Asia dan Australia WSCF di Citeureup pada tahun 1933.

Perkunjungan kedua tokoh Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia itu berlangsung tanggal 20 Januari s/d 4 Maret 1926 dalam kaitan dengan WSCF dan juga dengan Zending (John Mott ketua IMC, International Missionary Council).25 Dalam suatu karangan menyambut rencana perkunjungan itu van Doorn mencatat tiga bidang pengaruh Mott: Zending dan gereja, pelayanaan pemuda, dan pelayanan sosial. Di bidang Zending dan gereja diharapkan terjadi pendewasaan kepemimpinan dan organisasi Kristen pribumi sebagaimana sudah nyata di Jepang dan di Cina. Di bidang pelayanan pemuda, perkunjungan itu dikatkan dengan penyelenggaraan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi itu diharapkan akan membahas pokok-pokok:

a) Posisi pemuda Kristen dalam pergerakan pribumi, b) upaya-upaya membentuk pemimpin pemuda (antara lain dengan penerbitan Leidersblad), c) makna kerjasama, dan d) organisasi dan pembiayaan organisasi pemuda (Jeugdbond).26

Harapan-harapan khusus dari perkunjungan itu bagi pelayanan pemuda adalah memperdalam pelayanan pemuda di Batavia, adanya kesatuan langkah dalam urusan asrama dan pelayanan pemuda dan ditemukannya pola-pola pembinaan para kader pemuda (jeugdleiders). Pada bidang yang ketiga, pelayanan sosial (maatschappelijke arbeid), menjadi nyata di Batavia sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan, dan di Surabaya yang berkembang sebagai bandar perdagangan.

Pokok-pokok pembicaraan Mott dalam pertemuan dengan kalangan pemuda dan mahasiswa pada berbagai kesempatan di kota-kota di pulau Jawa meliputi soal-soal budi pekerti Kristen dan pembinaan rohani serta makna kekristenan di Asia.

Keseluruhannya ceramahnya menekankan penghayatan Injil dalam kehidupan sehari-hari. Hasil-hasil nyata dari perkunjungan itu adalah dorongan ke arah kesatuan dalam pekerjaan Zending di berbagai bidang. Khusus di bidang pelayanan pemuda dan mahasiswa, dampak utama kunjungan Mott adalah timbulnya keinsyafan yang lebih mendalam akan hakikat bidang pelayanan itu. Kalangan Zending, guru-guru dan pendeta mulai memberi perhatian yang lebih serius, dan terdapat peningkatan jumlah kegiatan pemuda dan mahasiswa di pulau Jawa, Tanah Batak dan Minahasa. Perkembangan lainnya adalah jenis pelayanan baru, yakni pembentukan suatu cabang YMCA, yang merupakan terobosan di mana orang Eropa dan orang Cina sama dilayani kebutuhannya yang berbeda. Melihat seluruh perkembangan itu, diusulkan dua langkah menuju kemantaban pelayanan pemuda, yakni memperhubungkan kelompok-kelompok pemuda dan para pemimpinnya dengan WSCF:

Kita harus membuat saluran yang melaluinya semangat WSCF mengalir ke dalam masyarakat ini. Dengan kesatuan pelayanan pemuda dapat ditingkatkan dengan sebaik-baiknya.27

Langkah kedua adalah mengarahkan suatu kelompok kader inti yang matang untuk menjadi pemimpin-pemimpin pribumi. Dengan langkah-langkah ini dapat dicapai suatu kegiatan kekeluargaan yang kuat di seluruh Hindia.

 

 

3.2. Pemuda dan Mahasiswa Kristen

3.2.1. Kebon Sirih 44: Dr. Van Doorn

Bagaimanakah kenyataan pelayanan pemuda selama itu? Konferesi VIO-NCSF yang kedua di Cigombong pada tahun 1921 antara lain membicarakan kemungkinan pembentukan suatu Indische Christen Studenten Vereeniging (ICSV) dan penjagaan hubungan dengan anggota-anggota VCSB (Vrijzinnige Christen Studenten Bond) di Indonesia. Mengenai pembentukan ICSV, ada rencana pengurus NCSV mengutus seorang “Indischen Secretaris” untuk merintis pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa. Sedangkan dengan VCSB dicapai kesepakatan untuk saling membantu tetapi tidak untuk menjadi federasi. Ancang-ancang mengenai tingkat pendidikan sasaran layanannya adalah para mahasiswa Technische Hoogeschool (THS) di Bandung (umumnya orang Eropa),28 kelas-kelas tinggi kedua sekolah kedokteran (kebanyakan orang Indonesia) dan Rechtsschool voor Inlanders. Tetapi pada akhir Juli tahun 1921 itu VIO-NCSV agak dikejutkan oleh berita pembentukan Bandoengsche Christen Studenten Vereeniging (BCSV). Yang dikembangkan dari Bijbelkring asuhan lima tokoh Bandung: P.F. Binkhorst, J. Mijer, R.E. Ungerer, De Berghes dan A. Nobbe. Walupun dianggap prematur (CSV cabang Bandung baru mantap pada tahun 1935), pembentukan itu mendorong VIO-NCSV bekerja sama dengan Prof. J. Clay membentuk suatu organisasi mahasiswa di Batavia. Percakapan antara C.W. Nortier dan J.M.J. Schepper dengan mahaguru tersebut membuahkan pembentukan suatu  persatuan mahasiswa dengan nama T.A.O. (Tot Algemeene Ontwikkeling), yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan pada tanggal 8 dan 9  Oktober 1921 di mana Prof. Clay berceramah mengenai “Vrijheid” dan Schepper tentang “Wetenschap, wijsbegeerte en religie” dan W.J.L. Dake mengenai “De Wereld Federatie van Christen Studenten”. BCSV dan TAO menjadi bendera organisasi-organisasi mahasiswa Kristen di Indonesia.29

Keadaan pembinaan pemuda Kristen di Hindia, sebagaimana yang diungkapkan dalam laporan M.A.J. Kelling pada tahun 1925, tidak begitu baik.30 Utusan anggota komisi Belanda untuk pelayanan YMCA di Hindia itu menyatakan persekutun pemuda Kristen di Hindia lesu dan mandek, karena dibentuk secara Eropa. Kelling menganjurkan untuk mengadakan penyesuaian dalam arti keluar dari batasan sempit organisasi pemuda Kristen dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menarik mereka. Kelling menunjukkan bahwa isi panggilan pelayanan pemuda adalah pembinaan untuk mencegah pengaruh-pengaruh buruk ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat, yaitu dengan melakukan pencerahan pribadi para pemuda pada kehidupan yang berdasarkan Firman Allah. Dia mengusulkan supaya organisasi yang menangani pelayanan pemuda merupakan perkumpulan untuk pembinaan, perluasan wawasan dan keterampilan melalui penyelenggaraan perpustakaan dan penyediaan bahan-bahan bacaan bermutu yang gratis atau murah, menyelenggarakan kursus-kursus (bahasa, teknik, dsb), melakukan kegiatan-kegiatan sosial, mengadakan suatu pusat kegiatan pemuda (jeugdcentrum, clubhuis), serta mengatur kegiatan liburan, misalnya kegiatan camping. Dan yang menurut Kelling sangat menentukan adalah adanya seorang sekretaris YMCA untuk Hindia. Dalam hubungan itu, atas permintaan VIO-NCSV, pengurus NCSV di Belanda mengutus pasangan Dr. C.L. van Doorn dan isterinya untuk bekerja bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Van Doorn dan isteri mengabdikan hidup mereka bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa, sedemikian bersungguh-sungguh sehingga dalam kalangannya jeugdwerk in disebut sebagai het werk van de Van Doorns.

C.L. van Doorn (1896-1975), doktor di bidang kehutanan tropis. Isterinya seorang aktivis NCSV. Van Doorn pertama kali ke Indonesia pada tahun 1920 dan bekerja di Jawa Tengah membantu Dr. Boeke melakukan penelitian mengenai kredit kepada rakyat desa. Tahun 1922 dia pindah ke Batavia pada Centrale Kas van het Volkscredietwezen (Pusat Perbendaharaan Perkreditan Rakyat) dan juga bekerja dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa secara paruh waktu. Kemudian, atas biaya NCSV, van Doorn memberi perhatian penuh pada jeugdwerk sementara isterinya menjadi guru. Pada tahun 1936 mereka menjadi utusan Zending di Jawa Barat setelah Dr. van Doorn menempuh suatu pendidikan teologi pada Zendingsschool di Oegstgeest dan ditempatkan pada tugas pekabaran Injil di Kampung Sawah sambil mengajar di HTS.

Pelayanan pemuda menurut visi van Doorn berkaitan erat dengan pekabaran Injil, yakni pembinaan watak Kristiani bagi para remaja (12-17 tahun) menuju terbentuknya suatu kelompok Kristen terpelajar bagi masa depan gereja setempat. Dalam pembinaan remaja atau pemuda itu, van Doorn menekankan pentingnya pembinaan watak dalam ketaatan kepada Kristus. Rupanya van Doorn menimba inspirasi dari falsafah kegiatan kepanduan Bapak Pramuka dunia, Sir Robert Baden Powell (1857-1941), bahwa latihan para remaja untuk menemukan jalan di padang dan di rimba adalah pula untuk “menemukan jalan kehidupan”  (membina watak). Dan karena itu van Doorn sangat mementingkan ketaatan dalam kebebasan, yaitu ketaatan oleh dorongan pengertian yang diperoleh dari keteladanan pembina, bukan oleh disiplin yang kaku atau oleh perintah.

Dalam rangka mempersiapkan diri untuk memenuhi harapan NCSV, pasangan ini sempat meninjau kegiatan YMCA di Cina dalam perjalanan dari Eropa pada tahun 1922. Dalam kesan-kesannya van Doorn melihat tiga segi penting dari YMCA di Cina yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu pentingnya pelayanan pemuda dan gerakan pemuda, perlunya mengorganisasikan mereka secara interkonfesional dan berusaha memperlengkapi mereka untuk berkarya bagi Kerajaan Allah.31

Pekerjaan van Doorn dalam pelayanan pemuda dan mahasiswa dipayungi oleh dua pihak, Seksi Pemuda NIZB dan Komisi Pemuda VIO-NCSV. Konferensi NIZB pada tanggal 4-7 Juni 1923 membentuk Centraal Bureau voor Jeugdwerk dengan tugas-tugas antara lain: menyebarluaskan semua penjelasan pada pengurus-pengurus setempat mengenai pekerjaan dan mengenai alamat para lulusan HIS dan HCS, memberi penyuluhan, menghimpun dan menyebarluaskan pengalaman-pengalaman dalam pelayanan pemuda dan mengelola suatu majalah para alumnus (oud-leerlingen-blad).

Karena perhatian VIO-NCSV terarah juga pada pelayanan pemuda yang belum atau bukan mahasiswa, maka pada konferensinya yang ke-5 tahun 1924 di Purworejo VIO-NCSV membentuk suatu komisi pemuda yang beranggotakan Henry van Helsdingen, Kraemer, Dake dan Bavink. Komisi ini mulai dengan menyewa sebuah pavilyun di Vioslaan 25, Weltevreden, dimana diselenggarakan tiga kegiatan pokok: persuratan dengan kelompok-kelompok pemuda, menyediakan dan menyebarkan majalah-majalah dan melakukan kumpulan dan konferensi.

Laporan van Doorn mengenai pelayanan pemuda di seluruh Indonesia pada parohan pertama tahun 1927 memperlihatkan bahwa pelayanan dan organisasi pemuda masih terbatas pada kota-kota besar: Surabaya, Batavia, Solo, Yogya dan Bandung, serta juga di Mojowarno. Kegiatan-kegiatan meliputi pelayanan pemudi (meisjeswerk), pertemuan, penerbitan (antara lain Leidersblad), schoolarbeid, asrama siswa,  jongenskamp. Tantangan yang cukup alot dihadapi adalah perbedaan ras, gereja dan tingkat pendidikan.32

Kemajuan pelayanan pemuda di Batavia sesudah kunjungan Mott dan Rutgers adalah tersedianya dua clubhuis, masing-msing di Kwitang 10 (kegiatan Komisi Pemuda NIZB) dan di Kebon Sirih 44 (oleh VIO-NCSV). Mula Veereniging voor Christelijk Jeugdwerk, yang dipimpin De Groot dan van Doorn, memperoleh tempat yang baru sebagai ganti Vioslaan 25,  yakni di Kwitang 10, yang dibuka pada atanggal 10 Oktober 1926. Di clubhuis ini diselenggarakan kursus-kursus yang dihadiri ratusan pemuda. Perkumpulan-perkumpulan yang bertemu secara teratur adalah: de Christen Jongeliedenbond, de Bataviasche Kring van Studerenden dan sebuah perkumpulan wanita. Di gedung itu pula disediakan sebuah perpustakaan. Ketika gedung itu dianggap tidak lagi memadai bagi seluruh kegiatan, maka diusahakan memperoleh tempat yang baru. Dengan dukungan finansial warga VIO-NCSV (dalam lima tahun berkembang dari delapan menjadi 170 orang anggota) melalui komisi pelayanan pemudanya, dan dalam kerjasama dengan persatuan pelayanan pemuda Batavia, diperoleh biaya bagi pembelian rumah dan paviliunnya di Kebun Sirih 44. Clubhuis Kebon Sirih 44 inilah yang dapat dikatakan menjadi pusat pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen Indonesia sebelum Perang Dunia II.33 Kegiatan di Clubhhuis dihadiri pemuda-pemuda Kristen Indonesia, khususnya yang berasal dari Minahasa, Ambon, Jawa dan Batak. Sementara itu Vereeniging van Christen Studenten di Batavia baru mencatat jumlah 18 anggota dari para mahasiswa STOVIA, BS, RS, RHS. Kegiatan masih terbanyak di kalangan para siswa Kweek- dan Normaalscholen dan dengan menggabungkan pelayanan mahasiswa dengan pelayanan pemuda. Bijbelkring diasuh oleh van Doorn, Schepper, dan seorang Jawa.34 Ceramah-ceramah yang diadakan meliputi soal-soal kekristenan dan pengetahuan umum, khususnya mengenai Indonesia. Selain kelompok studi siswa, terdapat pula persekutuan gadis-gadis (Clubhuismeisjesvereeniging) dengan pengurusnya sendiri. Dan diantara anggotanya terdapat pemudi-pemudi Jawa.

Pada tahun 1929 terbentuk organisasi tersendiri bagi pelayanan wanita (dan pemudi) dalam kerjasama dengan pelayanan pemuda. Pelayanan wanita bermula dari suatu hasil angket oleh Onderzoek-commissie voor Arbeid onder Vrouwen en Meisjes pada tahun 1926-27 di kalangan para pelayan Injil yang menunujukan bahwa di seluruh Hindia terdapat kebutuhan besar bagi tenaga-tenaga penginjil wanita, sehingga pendidikan dan pembinaan pemuda-pemudi harus diselenggarakan. Dengan itu dicapai tujuan ganda: perluasan pendidikan umum (yang menunjang upaya mempertinggi usia kawin) dan diperoleh tenaga-tenaga sejawat sebgai guru-guru Taman Kanak-Kanak (Fröbelonderwijzeres) dan guru pribadi anak-anak di rumah (huisonderwijzeres), perawat, pendidik dan pengatur rumahtangga. Dari pertimbangan ini lahirlah de Vereeniging voor Christelijke Jonge-Vrouwen-Scholen di Weltevreden. Kemudian dibentuk de Christen Jonge Vrouwen Federatie in Indië pada bulan November 1929 dengan Zr. Gunning sebagai sekretarisnya (yang diutus untuk tugas itu oleh Federatie van Christelijk Vereenigingen van en voor Meisjes in Nederland). Pada tahun 1933, setamatnya dari Sekolah Tinggi Hukum, Mr. A.L. Fransz menggabung dengan Zr. Gunning dan Ny. Van Doorn dalam pelayanan wanita ini.35 Sebagaimana pelayanan pemuda, pelayanan wanita Kristen Hindia ini berusaha menghidupkan organisasi-organisasi wanita setempat untuk diperhubungkan menjadi suatu “national YWCA”. Kegiatan-kegiatannya meliputi penyelenggaraan kelompok Penelaahan Alkitab, camping, kerajinan, driehoekswerk (pengorganisasian wanita dalam tripelayanan rumah tangga, gereja dan masyarakat) dan sebagainya. Sejak tahun 1926 di wilayah zending Jawa Timur wanita Kristen secara teratur menyelenggarakan konferensi tahunan. Pada tahun 1926 konferensinya membentuk perhimpunan Wanita Roekoen Sentosa, dengan tujuan membentuk persatuan semua organisasi wanita Kristen setempat, dan secara khusus membagi informasi antar para pemimpinnya menyangkut kemajuan pelayanan wanita. Seorang pengamat menyatakan bahwa salah satu kemajuan yang dicapai, adalah bahwa pada konferensinya yang ke-5 sisa satu orang Eropa menjadi pembicara, selebihnya semua wanita Jawa.

Jelas kegiatan jeugdwerk terbanyak di Batavia, tetapi van Doorn ingin menggalang pelayanan yang lebih luas pada skala nasional. Sekembalinya dari cuti di Negeri Belanda pada tahun 1930, van Doorn memusatkan perhatiannya pada biro pusat untuk menjalin kontak antara organisasi-organisasi pemuda Kristen, sedangkan tanggung jawab kegiatan clubhuis diserahkan pada keluarga Haatjes.

Pelayanan pemuda dan mahasiswa di luar Batavia terdapat a.l. di Surabaya, dimana terbentuk perkumpulan Jong-Indië di lingkungan siswa sekolah kedokteran (NIAS). Dengan kegiatan berupa penyediaan perpustakaan kecil, pertemuan berkala dan Bijbelkringen. Di sekat Mojowarno terdapat tempat perkemahan dengan gubuk (pondok) bambu berdaya tampung kurang lebih 300 orang, yang menjadi ajang kegiatan kelompok-kelompok pemuda Kristen di Jawa Timur. Pentinglah peran C.W. Nortier dan B.M. Schuurman dalam pelayanan pemuda di Jawa Timur. Biro pemuda NIZB menerbitkan majalah pemuda Opgang di Yogya. Di Bandung ada suatu perkumpulan pemuda bernama Dageraad (=fajar) yang menerbitkan de Christelijke Jongelingsbode. Pelayanan pemuda di Yogya dan di Solo diisi dengan kegiatan camping di luar kota. Perhimpunan pemuda di Solo, de Algemeene Bond van Chrsiten Jongelieden, terutama beranggotakan siswa Kweekshool dengan Saroinsong sebagai ketuanya.36 Di kalangan organisasi pemuda di berbagai kota menonjol jumlah siswa asal Minahasa, Ambon dan Batak.37 Di luar Jawa, terdapat pelayanan pemuda di Tanah Batak (di bawah asuhan Dr. E. Verwiebe) dan di Minahasa.

Dalam ceramahnya pada Konferensi Pemuda Kristen tahun 1926 di Bandung yang juga dihadiri Mott dan Rutgers, Hendrik Kraemer mencanangankan “dwisila Bandung” bagi pelayanan pemuda dan mahasiswa, yakni memperhubungkan secara sistematis semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan mengupayakan pembentukan suatu perhimpunan pemuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani negeri dan bangsanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri. Dwisila tersebut merupakan kristalisasi pemikiran kalangan pembina pemuda (van Doorn dan VIO-NCSV, NIZB) sejak awal. Sila pertama mengikuti prinsip interconfessional gerakan oikumene, sedangkan yang kedua adalah dukungan kepada pergerakan nasional. Sesuai pendekatan kalangan VIO-NCSV, para pemuda diarahkan untuk memahami pergerakan nasional secara kritis. W. Schmidt, salah seorang pembina pemuda dari Solo, dalam suatu pembinaan guru-guru menyatakan pentingnya memperhubungkan pelayanan pemuda dengan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi dalam masyarakatnya, khususnya pergerakan nasional:

Barangsiapa ingin mempengaruhi massa, haruslah mengenal massa itu: penderitaannya, kebutuhannya, prinsip-prinsip yang menguasai keberadaannya. Barangsiapa ingin mempengaruhi pemuda, haruslah mengenal pemuda itu, haruslah mengenal apa yang pemuda prihatinkan, menjadi pokok perhatiannya, yang menggugahnya, yang mengilhaminya. Menguasai pengetahuan psikologi pemuda mutlak ada! […] Nasionalisme mempuyai banyak pembela dan penganutnya yang antusias di kalangan pemuda. Juga di kalangan pemuda Kristen. Karena itu kita harus memperhatikannya dengan baik. Sangat perlu pelayanan pemuda memperhitungkan hal itu. Kita harus berusaha memahami nasionalisme, juga jika kita sama sekali tidak menyetujuinya. Nasionalisme itu seringkali merosot menjadi suatu naluri nasionalistis, sehingga hanya mencari kemuliaan diri dan bangsa sendiri dan menghancurkan yang lain. Kita harus berusaha memperhadapkannya dengan supra nasionalisme kekristenan.38

Mengenai konsolidasi oikumenis Schmidt mengajukan beberapa usul:  a) supaya di kota besar dibentuk suatu majelis pemuda (jeugdraad) yang beranggotakan juga orang pribumi, b) di setiap sekolah ada komisi yang menjalin kontak dengan orang tua dan para alumnus, c) ada gedung pertemuan (clubhuis) d) pembentukan kelompok-kelompok olah raga, kesenian, dsb, e) menyelenggarakan kursus yang gratis atau yang murah mengenai pokok yang dibutuhkan para pemuda, f) ada acara-acara camping bersama, dan g) ada usaha-usaha pendekatan pribadi.

Ideal seperti ini menjadi acuan dalam penyelenggaraan tahunan jeugdleidersconferentie (JLC) di berbagai tempat sejak 1926, yang merupakan kerjasama antara Komisi Pemuda NIZB dengan organisasi-organisasi pemuda. JLC pertama dilangsungkan di Chr. Kweekschool Solo pada tahun 1926 dan baru merupakan orientasi awal dan perkenalan antara para peserta. Salah satu dukungan bagi kegiatan ini adalah penerbitan Leidersblad.39 Konferensi kedua tahun 1927 di Padalarang juga dihadiri wakil-wakil pemuda dari berbagai kota. Konferensi yang diketuai oleh J. Nababan dari Solo itu berhasil membentuk suatu Komite Pusat bagi pelayanan pemuda, dengan tujuan mempersatukan pemuda Kristen Indonesia bagi kemajuan Indonesia:

Conferentie pengandjoer2 anak-anak moeda di-Padalarang dihadiri 30 pemoeda-pemoeda Hindia Kristen, telah mendirikan soeatoe Comite pertengahan (Centraal Comite) bagi Oesaha Kemoedaan. Maksoed dan golongan pekerdjaannja jaitoe:

1e. Beroesaha akan datang kepada peratoeran dan persatoean sedjati antara perkoempoelan pemoeda di-Hindia. 2e. Tolong mengatoer soeatoe soerat chabar, jang mendjadi pemimpin bagi perkoempoelan, sertapoen pembawa soeara doenia anak dan pemoeda. 3e. Mengatoer sama-sama akan Jeugdleiders conferentie tiap-tiap tahun. 4e. Mengoempoelkan dan menjiarkan pembatjaan kristen goena perkoempoelan-perkoempoelan. […] Centraal Comite dan Bond van Christen Jongeren bekerja sama-sama goena Oesaha Kemoedaan Hindia. Kedoeanja satoe kerindoean. Satoe maksoed. Jaitoe kemadjoean anak Hindia Kristen menoeroet roh dan tubuh, olehnja kemadjoean Kristen Hindia, karenanja inipoen kemadjoean Hindia sedjati kepada hormat Allah”.40

3.2.2. Nasionalisme Kristen Indonesia: Tiendas dan Leimena 

Organisasi yang disebut pada akhir kutipan di atas, Bond van Christen Jongeren (BCJ) merupakan salah satu organisasi pemuda Kristen yang terpenting masa itu. BCJ mula-mula merupakan suatu perhimpunan organisasi-organisasi pemuda dan siswa Kristen di Solo, tetapi kemudian juga mencatat anggota dari kota-kota lain termasuk dari luar Jawa. Salah seorang pemukanya adalah P.A. Tiendas, yang berasal dari Minahasa, dan karena ayahnya seorang “Penoeloeng Indjil” di pulau-pulau Sangir dia dapat diterima oleh suku-suku Minahasa dan Sangir dengan baik. Apalagi Tiendas mudah bergaul dan periang. Mula-mula Tiendas mendirikan organisasi de Groote Oost di Solo untuk siswa-siswa asal Minahasa, Sangir dan Ambon, yang menerbitkan majalah pemuda Kristen Rindoe Dendam. Dalam perjalanan pulang dari perlawatan ke negeri Belanda pada tahun 1931, Tiendas mengunjungi Tanah Batak untuk meninjau pelayanan pemuda Kristen Batak oleh Dr. E. Verwiebe, sebagai orientasi bagi pekerjaannya dalam pelayanan pemuda Kristen di Minahasa. Tugas pelayanan pemuda di Minahasa itu mendapat dukungan pembiayaan dari pihak Nederlandsch Jongelingsverbond (N.J.V).

Sesuai pendekatan pelayanan pemuda, P.A. Tiendas juga berusaha memperhubungkan gerakan pemuda Kristen dengan faham kebangsaan, sebagaimana terungkap dalam beberapa tulisannya. Dari lima catatannya atas keadaan pergerakan pemuda Kristen pada tahun 1930 Tiendas antara lain menulis:

[..] bahwa Oesaha Kemoedaan Masehi Indonesia beralas agama Kristen dan bersendi nasional, berhaloean Masehi dalam aksi kebangsaan dan kekristenannja. Ia pentingkan agama dan tanah air, karena Toehan. Ia menoedjoe doenia dan soerga, kepada hormat Allah.41

Beberapa tahun sebelumnya, dalam melaporkan penyelenggaraan suatu JLC, Tiendas menyatakan:

Soeatoe persatoean Indonesia Masehi, jang memang koekoeh karena, sebab persatoean itoe beralas pertjaja kasih dan pengharapan, kita lihat dan rasa dalam conferentie ini. Kami pertjaja dan jakin bahwa perhoeboengan rohani ini boekan ketjil manfaatnja bagi persatoean pikiran, maksoed dan tjita-tjita goena Agama dan Bangsa.42

Pemikiran Tiendas (yang sayang tidak secara lebih tegas menggambarkan wawasan dan sikapnya terhadap pergerakan nasional pada zamannya) merupakan gema dari sikap yang relatif positif terhadap nasionalisme Indonesia dari kalangan para pemuda Kristen (dan pembina-pembina mereka).

Contoh yang lain dari kuatnya wawasan kebangkitan di kalangan gerakan pemuda Kristen adalah Johanes Leimena.43 Dalam suatu karangannya yang diterbitkan bersama dalam Zaman Baroe pada tahun 1928 Leimena membicarakan hubungan antara gerakan pemuda Kristen dengan nasionalisme.44 Jalan pemikiran Leimena sebagai berikut: Nasionalisme bersumber pada keadilan yang sama diperjuangkan bangsa-bangsa. Perkembangan pada bangsa-bangsa Asia seperti Cina, Jepang, India menunjukkan pentingnya pengaruh Kristen. Diantara tokoh-tokoh nasional mereka terdapat orang-orang Kristen. Itu suatu petunjuk supaya juga di Indonesia orang-orang Kristen mengambil bahagian dalam memajukan bangsa:

Kita misti tjari djoega kebesaran Kristus dalam woedjoed kita, keadaan kita di Hindia ini. Djoega Hindia misti akan minginsjafkan kedirian, jang tegoeh berdiri atas roekoennja dan jang maoe diperhamba negerinja sepanjang kepandaiannja. Kita misti berdiri di tengah kesoenggoehan. Kita misti tjari daja oepaja akan mengadon kedirian; adakah oentoeng sebagai di tanah lain akan mendidik kedirian itoe. […] Kelakoeannja inilah, bahwa dia akoe Isa Almasih sebagai pemimpinnja pada segala tempat kehidoepan. Pergerakan pemoeda Kristen maoe mengadon kedirian jang tegoeh berdiri atas jakinnja, tetapi jang sedia djoega akan mengoesahakan dirinja oentoek bangsanja. Menurut pengetahoeannja.45

Leimena mencatat sejumlah tantangan bagi perwujudan suatu gerakan pemuda dalam ideal itu. Salah satu hambatan yang cukup berat adalah yang disebutnya naluri kebangsaan (nationaal instinct) yaitu sikap nasionalisme yang sempit dan tertutup bagi bangsa sendiri sehubungan dengan kenyataan bahwa dalam pergerakan pemuda Kristen bergabung juga orang-orang asing:

Karena kita ada pada pangkal pengatoeran baroe, tak dapat tidak kita haroes tolong menolong pada soeatoe tempat dengan orang bangsa asing. Djadi pergerakan Pemoeda Kristen misti terima Anak Negeri dan Orang Asing: Eropah, Tiong Hoa, Hindoe d.l.l. Pada waktoe ini perloe pemimpin Eropah, jang akan memimpin pemoeda itoe akan kerdja sendiri kelak. Ini misti dipandang biasa. Tetapi rasa kebangsaan saban bertambah, merantjah dia, merawan tiap anak jang memikir dia lazat, merampas boedi dan perasaannja belaka. Kebangsaan itoe beroesaha sama dan atas tjita. Dan boekannja kebangsaan toelen semuanja jang berlindoeng di bawah tiap anak; boekan, sekarang kebangsaan itoe terlaloe; ada bahajanja perasaan itoe mendjadi “instinkt kebangsaan” (national instinct).46

Demikianlah Leimena membedakan antara kebangsaan yang berwawasan sempit itu dengan kebangsaan tulen, yang adalah karunia Allah. Kebangsaan tulen mengarahkan pemuda Kristen pada pengabdian, sedangkan naluri kebangsaan membingungkan orang:

Perasaan kebangsaan toelen pegang harganja, meskipoen terpoekoel dia oleh sembojan baroe. Itoe tiada berobah. Itoe moelia. […] Tentang itoelah instinkt [sic] kebangsaan, jang tak ada periksa sendiri tapi berobah-robah. Ia maoe tjoba memoengoet angan-angan filsafi, akan menerangkan lakoe pekerdjaannja; pada hari ini pengiring sembahjang ini, akan melepaskannja besok. Dalam ini hoeroe-hara itoe. Dia dari roemah Kristen, tapi dia maoe djoega nationalis. Ini lagi satoe soesahnja: Sebab ia Kristen orang maoe pandang dia sebagai orang Barat, sebab agama Masehi, biar berasal dari Timoer, orang Barat jang memasoekkannja dalam negeri ini.47

Lebih lanjut Leimena menekankan pentingnya agama bagi pembentukan moral dan budi pekerti, sebab perjuangan bangsa tidak hanya memerlukan orang yang berkepandaian, melainkan juga orang yang beragama dan bersopan santun. Suatu bangsa yang tinggi kemjuan teknologinya tetapi tidak memiliki orang-orang yang berbudi maka tergolong bangsa yang miskin. Leimena menempatkan agama di atas kebangsaan dalam arti kesungguhan beriman akan memperbesar pengabdian:

Tiap orang misti nasionalis, tjelaka besar kalau orang tidak nasionalis. Kalau kamoe bertjampoer dengan bangsa lain, dengan kemadjoean lain, tjampoerkanlah kemadjoeanmu dengan jang lain itoe, koetip baiknja; Tetapi djangan lepaskan milikmoe, pegang, didik dengan baik. Tinggikan kebangsaanmu, rasa harga dirimoe dan rasa bahwa kamoe dapat. Tetapi djanganlah itoe mendjadi agamamoe. Kalaoe agama Masehi telah masoek dalam hatimoe, telah berakar dalam djiwamoe dan boekan lagi sebagai pakaian sadja, tetapi seperti ditanamkan, agama jang dirasai benar-benar, jang mengingat sabdanja Isa Almasih; kalaoe agama Masehi telah menyediakan oentoek peperangan akan keadilan, maka nasionalisme, jakni sama-sama itoe, sekali-kali tak hilang harganja. Agama Masehi dan kebangsaan: agama Masehi di atas kebangsaan dan kebangsaan djoega. Berkebangsaan, sebab pengadjaran dan hidoepnja Kristoes lain dirasa kalau lain negerinja. Ini diboektikan riwayat Masehi dibeberapa benoea; tetapi di atas kebangsaan, sebab agama Masehi artinja Kristoes sendiri, jang selamanja satoe oentoek segala bangsa dan segala zaman.48

Pada bagian akhir karangannya Leimena mengungkapka perhubungan yang lebih dalam antara agama Kristen dan kebangsaan (sifat kontekstual), baik dalam pengungkapannya, maupun dalam keprihatinannya pada masalah-masalah yang dihadapi orang Kristen Indonesia:

Agama Masehi di-Hindia ini pada kemoedian hari djanganlah Masehi di Timoer, dimasoeki oensoer kemadjoean Timoer. Soeatoe agama jang masoek pada pikiran bangsa itoe. Dengan demikian sadja ia dapat tinggal dan bertambah kaja. Stanley Jones mengatakan: Kristoes pada djalan raja Hindia (Ingeris); begitoelah di negeri ini haroes dikatakan; Kristoes pada djalan raja Indonesia. Agama Masehi misti menerangkan pada pendoedoek negeri tentang perlawanan hak. Tetapi misti diketahoeinja djoega bahwa bukan hak sadja jang ada, tetapi djoega kewadjiban, boekan dalam tempat diam sadja, djoega tentang persekoetoean doenia. Kalaoe diakoei bangsa-bangsa dan soekoe-soekoe dipoelau-poelau kita ini, maka njatalah bahwa agama itoe ada kewadjibannja jang besar.49

Dalam suatu laporan, beberapa tahun kemudian, dengan lebih tegas Leimena menyatakan:

Kekristenan ditempatkan orang Indonesia sejajar dengan Eropaisme dan Kapitalisme; pada pihak lain, nasionalisme dianggap sebagai Komunisme dan pengungkapan dari suatu rasa rendah diri oleh banyak orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus ditolak. Para mahasiswa Kristen tidak boleh memerlihatkan bahwa karena mereka Kristen maka mereka juga termasuk pada “kaum sana” (Kelompok Eropa), melainkan bahwa panggilan mereka dan dan kewajiban Kristen adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalam membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya mereka juga terhisab, dan bahwa mereka juga harus menyadari bahwa karena mereka telah memiliki pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan istimewa. […] Pengaruh nasional terus berkembang, dan tidak ada fasal hukum yang dapat merintanginya; dan nasionalisme yang menginginkan suatu Kesatuan melawan pemerintah-pemerintah asing, dan menginginkan suatu negara Kesatuan, memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-masing, yang menghendaki suatu bahasa kesatuan, bahasa Melayu yang akan menjadi jembatan di atas banyak bahasa yang kaya, nasionalisme ini juga menuntut dari orang Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan nasional.50

Pemikiran Tiendas dan Leimena  dapat menunjukan bahwa dalam kalangan aktivis gerakan pemuda (dan mahasiswa) Kristen masa itu telah dimulai suatu pendekatan baru dari pihak Kristen terhadap pergerakan nasionalisme. Tetapi dalam hal itu tetaplah dijaga suatu batas supaya pergerakan pemuda Kristen tidak menjadi kegiatan politik, walaupun masalah-masalah yang berkembang di dalam masyarakat tidak bisa diabaikan dan bahwa bagi pihak Kristen, nasionalisme harus dihadapi secara kritis, yakni ditempatkan di bawah terang Injil. Dalam menjawab suatu pertanyaan, pada tahun 1932, mengenai apakah ada kecenderungan politik di kalangan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa Kristen yang dibinanya, van Doorn menyatakan:

Secara umum tidak. Tetapi para anggota secara pribadi sangat tertarik. Masalah-masalah nasional harus dibicarakan, kalau tidak perhatian manusia seutuhnya tidak tersentuh. Hanya pemuda-pemuda yang ingin sekaligus menjadi seorang Kristen dan seorang nasionalis dapat membawa pemecahan. Bagi banyak orang konflik ini begitu sulit sehingga mereka tidak bisa menanggung ketegangan itu.51

 

3.2.3. CSV op Java

Setelah satu dekade, pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen mulai mendapat bentuknya yang lebih jelas. Terdapat bagian-bagian pelayanan pemuda setempat (plaatselijk jeugdwerk), pelayanan gabungan (federatie werk) di bawah koordinasi van Doorn, dan pelayanan wanita (meisjes werk) yang secara khusus digeluti oleh Zr. Gunning. Dari segi penddikan, pelayanan itu meliputi empat tingkat dalam kelompok studenten: mahasiswa ketiga sekolah tinggi (MHS dan RHS di Batavia, dan THS di Bandung), siswa Kweekscholen, siswa BS, NIAS, MLS, VAS, MOSVIA, dan murid-murid sekolah menengah. Anggota CSV Batavia hanya 25 orang mahasiswa dari kedua sekolah tinggi dan alumnus STOVIA. Mahasiswa Cina Kristen di Batavia membentuk organisasi sendiri bernama TaTung dengan 12 orang anggota. Sedangkan ketiga Kweekschool Kristen masing-masing di Solo dan Malang (pribumi) dan Weltevreden (Eropa), merupakan pusat-pusat pergerakan pemuda Kristen. Batavia (dengan pemuda Clubhuisnya di Kebon Sirih 44 ) tetap merupakan pusat yang terpenting. Khusus untuk tingkat mahasiswa, Leimena mencatata tiga pusat utama dimana organisasi mahasiswa Kristen dapat dibentuk, yakni Batavia, Surabaya dan Bandung. De Bataviasche  C.S.V. dibentuk pada tahun 1926 (dalam semangat kunjungan Mott dan Rutgers) dari hanya belasan mahasiswa RHS dan siswa STOVIA dan Bestuursschool. Tahun berikutnya masuk beberapa mahasiswa MLS. Setelah para siswa STOVIA angkatan terakhir tamat Bataviasche CSV menjadi perhimpunan yang hanya terdiri atas para mahasiswa, sedangkan para siswa Bestuursschool diorganisasikan tersendiri. Di Surabaya, para mahasiswa NIAS baru kemudian dapat membentuk suatu cabang CSV, walaupun sudah sejak tahun 1915 ada kelompok mahasiswa Kristen (tetapi beranggota penganut agama lain juga) bernama Jong-Indië. THS di Bandung didirikan pada tahun 1912, dan sejak itu ada upaya membentuk suatu kelompok mahasiswa Kristen, tetapi juga baru pada tahun 1932 suatu kelompok inti dapat dibentuk.

Pada masa liburan Natal tahun 1932 dilangsungkan JLC ke-7 di Kaliurang. Konferensi itu dihadiri 50 peserta dari berbagai kota di Jawa. Sejumlah mahasiswa yang hadir (mewakili CSV Batavia, CSV Surabaya dan kelompok siswa Hoof dactecursus serta beberapa mahasiswa Bandung) melakukan percakapan khusus dalam usaha membentuk suatu CSV nasional.52 Akhirnya, pada tanggal 28 Desember 1932 dicapai kesepakatan membentuk Christen Studenten Vereeniging op Java (disingkat C.S.V op Java) dengan badan pengurus: J. Leimena sebagai Ketua , Sekretaris Dr. C.L.van Doorn dan Bendahara Tan Tjoan Soei.53 Tujuannya secara jelas memperlihatkan sifatnya sebagai organisasi pembinaan rohani yang mengarahkan anggotanya pada kegiatan gereja, mendukung persatuan nasional dan terbuka terhadap persaudaraan dengan bangsa lain (CSV tidak khusus untuk mahasiswa Kristen Indonesia), ikut mendukung usaha-usaha mengatasi masalah-masalah sedunia, dan turut berupaya menghidupkan kesadaran oikumenis. Tujuan itu dirumuskan:

Persatuan menghimpunkan mahasiswa, yang mengakui Allah selaku Tuhan atas kehidupannya, dan yang menginginkan Yesus Kristus sebagai Pandunya.

Persatuan menetapkan tujuannya: pertama, pembinaan kehidupan rohani anggotanya untuk ikut aktif dalam kehidupan gereja dan bangsanya; kedua, mewujudkan kerjasama dan hidup bersama yang seerat mungkin antara anggota dari berbagai persekutuan bangsa yang berbeda; ketiga, menggugah perhatian bagi masalah-masalah kehidupan internasional, sebagaimana yang hidup dalam federasi mahasiswa Kristen sedunia; keempat, menghidupkan kesadaran untuk mengambil bagian dalam “suatu Gereja Kristen yang Am”.54

Disepakati pula bahwa para keanggotan CSV op Java terbuka bagi yang telah masuk pendidikan di atas AMS atau Kweekschool.

Leimena menyebut pembentukan CSV op Java sebagai suatu “tindakan bersejarah” dalam rangka keinginan untuk turut berperan dalam dunia kemahasiswaan pada masa depan, bukan karena menginginkan “hormat” dan “kuasa”, melainkan oleh dorongan profetis untuk membentuk mahasiswa yang bertanggung jawab, menjadi sosok pribadi yang tegak di tengah-tengah kehidupan, memahami kenyataan keadaannya sendiri dan keadaan bangsanya dalam titik keluasan dan kedalamannya, dalam kelemahan dan kekuatannya; membentuk kepribadian yang menjunjung kesederhanaan, kerendahan dan menahan diri di hadapan Tuhan, sang Bapa dalam Yesus Kristus. Juga dengannya menjadikan mahasiswa, dalam keilmuwannya, seorang murid Yesus dan olehnya menjadi guru dan pelayan sejati bagi bangsanya.55 Leimena memperhubungkan pembentukan CSV op Java dengan kenyataan sejarah masanya, yakni nasionalisme Indonesia. Dalam hal itu mahasiswa berperan penting di dalam pertarungan ideologi menuju kemerdekaan melalui kesatuan semua kelompok penduduk. Pada penilaiannya titik kelemahan di dalam soal ini adalah bahwa nasionalisme belum murni dan lebih merupakan suatu reaksi dari kompleks rendah diri. Kelompok terbesar masa belum yakin benar pada panggilannya dan karena itu juga tidak yakin pada para pemimpinnya.

Pada hakikatnya kegiatan mahasiswa Kristen berada di luar kerangka arus politik, namun pasti, bahwa dia tidak ingin memperkuat sesuatu “nafsu gerombolan”, membentuk manusia yang hidup dan berpikir mandiri, yang hanya mau bergantung pada Allah. Manusia yang tidak hanya membutuhkan suatu kesadaran abadi humanistis, melainkan juga hidup dari kenyataan dan di dalam kesadaran bahwa “Kekekalan” sudah datang ke dalam “Sejarah”. Dari kenyataan sejarah dan dengan pengetahuan ini CSV telah memulai dan akan melanjutkan karyanya.56

Dalam tulisannya yang lain, Leimena menyebut pembentukan CSV op Java sebagai suatu tindakan yang berani, mengingat siswa dan mahasiswa berasal dari berbagai ras dan tingkatan, dan dalam situasi yang dianggap tidak tepat karena para mahasiswa Indonesia mempunyai tolak ukur dan tuntutan sendiri. Suatu asas yang berlaku umum dan pemikiran yang supranasional ditolak orang karena alasan nasional. Tetapi Leimena justru melihat bahwa dalam asas umum itu pemuda yang sedang studi dapat saling memahami dan menghargai. Jelas bahwa bukan suatu aliran politik yang dipegangnya, melainkan bersama berusaha menebus kesalahan-kesalahannya berdasarkan suatu falsafah hidup alkitabiah.57 Dengan kata lain terhadap suatu wawasan nasionalisme yang sempit, yang memisah atau mempertentangkan golongan dengan golongan, CSV ditampilkan sebagai pilihan yang merangkul dan sekaligus memberi dimensi transenden bagi kesatuan umat manusia. Leimena menunjuk pada kesatuan di dalam Kristus, sebagaimana yang dinyatakan dalam doa Tuhan Yesus (Yo. 17:21) – yang adalah juga motto gerakan mahasiswa Kristen – sebagai dambaan, tugas dan tanggung jawab Kristen, juga di Indonesia. Kesatuan itu tidak bersandar pada kesatuan yang didasarkan atas penyamaan ras, kebudayaan atau agama.

Dr. T.S.G. Moelia, sebagai salah seorang tokoh pembina CSV, juga memberi tekanan yang lebih rohani, memelihara para mahasiswa untuk tetap dalam kekristenan selama mereka berada di rantau, dan menjadi wadah pembentukan pemimpin-pemmpin rohani. Moelia membela sikap nasionalisme di kalangan para mahasiswa Indonesia terhadap kecaman orang Eropa:

Tentu saja banyak mahasiswa Kristen pengikut gerakan nasionalis. Namun sekalipun sentimen nasional mereka kuat, mereka tidak memutlakannya, melainkan menaklukannya pada keyakinan keagamaan mereka. Memang sangat disesalkan jika orang-orang Eropa tertentu salah paham terhadap nasionalisme ini dan menentangnya, atau bahkan memaklumkan bahwa nasionalisme itu tidak sesuai dengan semangat kekristenan, karena sikap semacam itu sering menciptakan kecurigaan terhadap kekristenan dan dapat mengarahkan orang pada pengunduran diri dari semua gerakan Kristen.58

Sesuai pandangan politiknya yang tergolong nasionalistik koperatif, Moelia melihat dalam federasi mahasiswa Kristen bahwa kerjasama adalah kemungkinan dan kebutuhan bahkan satu-satunya jalan Kristen:

Percayakah kita orang Kristen pada kebenaran kerjasama ataukah kita harus secara sadar menuju pada pemisahan penuh antara Barat dengan orang Timur dalam bidang kerohanian? Dalam hal ini federasi sedunia [WSCF] ada untuk membuktikan bahwa kerjasama tidak hanya mungkin melainkan juga perlu, karena merupakan satu-satunya jalan yang dikenal kekristenan. Dari Federasi Sedunia-lah kita harus menimba kekuatan kita untuk tetap percaya pada kerja sama. Pengalaman langsung kita kadang-kadang membuat kita bimbang, karena kerja sama tidak jarang berarti menyesuaikan diri pada pimpinan pihak Eropa dan mengingkari kepribadian dan kemandirian pihak lain. Memang kerja sama tidak dapat datang dari satu pihak; tidak dapat dilakukan hanya atas perintah, dan berarti bahwa pada semua pihak harus dikorbankan sesuatu.59

Pada tahun 1933 jumlah anggota CSV op Java kurang lebih 80 orang dari berbagai golongan: Indonesia, Cina dan Eropa (kebanyakan peranakan). Diantara anggota CSV op Java terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pemuka Kristen, seperti: Amir Sjarifuddin, J.Leimena, A.M. Tambunan, A.L. Fransz, S.C. Nainggolan dan G. Siwabessy.60

 

 

3.2.4. WSCF Citeureup 1933

Konferensi Citereup untuk Asia dan Australia, yang dikenal pula sebagai Java Conference, mula-mula digagas oleh T.Z. Koo, tokoh mahasiswa Kristen Cina, yang mengunjungi Indonesia (sebagai sekretaris regional WSCF) pada tahun 1931. Gagasan itu dikemukakan dan disambut hangat pada rapat pengurus WSCF pada tahun 1932 di Woudschouten (Zeist, Negeri Belanda).

Dalam mengulas rencana konferensi itu, Augustine Ralla Ram, salah seorang tokoh Asia WSCF dari India, menekankan bahwa WSCF dapat bermakna dalam hubungan Barat dan Timur dimana pihak Timur dapat berperan serta dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pergerakan seluruhnya, tetapi untuk itu pentinglah bahwa pihak Timur menjalin persekutuan yang hidup dan erat antar berbagai kelompok gerakan di wilayahnya. Dalam kerangka itu ia mengajukan empat pokok pemikiran. Pertama-tama konferensi perlu meneliti pekerjaan federasi di Timur. Bagian Timur federasi dunia ini dibaginya atas lima wilayah: Timur Dekat; Timur Tengah; Kelompok Birma-Sailan-Siam-Hindia-Filipina; Cina-Jepang-Korea; dan Australasia. Kedua dalam rangka tugas federasi untuk mengkaji Pemberitaan Kristen dalam hubungan dengan masalah-masalah modern, gerakan di Timur harus dibebani tanggung jawab yang serius. Agama-agama, kemiskinan (yang menunjang perluasan komunisme!), dan nasionalisme menonjol di belahan Timur ini. Menyangkut nasionalisme itu, Ralla Ram  menekankan:

Pada saat yang sama catatlah bahwa nasionalisme dari jenis yang keras menegakkan kepalanya di Timur, suatu hal yang belum pernah sebelumnya. Kita tidak akan dapat menekankan dan seharusnya tidak pernah mencoba berbuat demikian. Namun pemurniannya dalam terang cita-cita internasional merupakan tugas mendesak. Tidak hanya itu, bahkan dalam menentang kemunafikan-kemunafikan yang tersembunyi dari negara-negara yang berperang kita perlu belajar dari gerakan-gerakan seperti yang di India, yang memakai cara-cara anti kekerasan untuk mencapai tujuannya.61

Pokok pikirannya yang ketiga menyangkut pelayanan kepada ribuan mahasiswa dari Timur yang belajar di Barat atau berkunjung ke Barat, supaya mereka dapat tetap mengenal masalah-masalah negerinya. Pokok yang terakhir adalah mengenai kenyataan kekristenan sebagai agama di negara-negara Barat yang imperialistik dan yang mengeksploitasi ekonomi ekonomi negara-negara lemah di Timur. Untuk itu, perlu diatur perkunjungan-perkunjungan timbal balik antara mahasiswa Timur Jauh, Timur Dekat dan Timur Tengah, supaya pengalaman mereka menjadi pemberitaan bahwa agama Kristen bukan kultus khas dari bangsa-bangsa Barat yang imperialistis.62

Konferensi diselenggarakan pada tanggal 9-14 September 1933 di Citeureup, di sebuah rumah perkebunan (landhuis), dengan tugas federasi dalam pewartaan dan panggilan persekutuan Kristen di Asia dan Australasia (Australia dan Selandia Baru). Selain beberapa pengurus WSCF, Konferensi dihadiri utusan dan undangan dari Australia (3), Birma (7), Salilan (1), Cina (6), Indonesia (38), Selat [Malaya & Singapura] (6), India (6), Jepang (4), Selandia Baru (3) dan Filipina (3), Amerika Serikat (2), Jerman (4) Perancis (1), Negeri Belanda (1), serta sejumlah undangan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Francis P. Militer, Ketua WSCF, konferensi ini bermakna penting dalam kehidupan federasi, khususnya dalam sumbangan dari dan bagi kehidupan gerakan mahasiswa Kristen, dan dengan itu dari dan bagi keseluruhan gereja di Timur. Makna itu terfokus pada dua pokok: penegasan Injili mengenai amanat iman Kristen kepada dunia, dan pemantapan peran aktif gerakan mahasiswa Kristen di Timur:

Maknanya bagi gereja adalah bahwa ia memberi kesaksian yang paling jelas yang dapat diberikan mengenai keunikan dan kegenapan Yesus Kristus sebagai Berita Pekabaran Injil Kristen kepada dunia. Baik melalui sambutan-sambutan maupun melalui diskusi mengalir perbedaan yang menentukan antara semua agama dan etika buatan manusia dengan karunia dari kasih Allah, dan dari pemerintahan-Nya kepada kita dalam Yesus Kristus. Karena itu konferensi ini dapat dianggap suatu jawaban konkret yang positif, yang dibuat oleh Gerakan Mahasiswa Kristen di Timur terhadap penjelasan Pekabaran Injil Kristen yang agak terlampau diilmiahkan dan tidak mengilhami yang diberikan dalam Report of the American Laymen’s Commission.

Makna khusus konferensi bagi Federasi (Mahasiswa Kristen Sedunia) adalah bahwa sebagai suatu hasilnya Gerakan Mahasiswa Kristen Nasional di Timur akan menerima suatu peningkatan tanggung jawab untuk berprakarsa atas nama Federasi, dan untuk mengembangkan karya antar gerakan dari Federasi di Asia dan Australasia.63

Kedua pokok ini dibahas dalam rangkaian laporan-laporan dan ceramah-ceramah. Laporan-laporan gerakan mahasiswa nasional disampaikan oleh wakil-wakil Australia, Cina, India-Birma-Sailan, Jepang, Indonesia, Selandia Baru, dan Filipina. Di samping ceramah-ceramah mengenai gerakan mahasiswa dan federasi, terdapat empat pokok ceramah yang bersifat dogmatis: makna Yesus Kristus (T.Z. Koo, W.A. Visser’t hooft); pewartaan Kristen dalam hubungan dengan agama-agama lain (Hendrik Kraemer); Kekristenan dan Masyarakat (Francis P. Miller, Soichi Sato); dan Kekristenan dan Bangsa (E.Verwiebe, Sara Chakko).

Laporan-laporan nasional menyoroti masalah-masalah konkret dalam kehidupan masyarakat dan bangsa masing-masing. Laporan-laporan tersebut jelas memperlihatkan perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia terhadap masalah-masalah sosial politik nasional dan internasional, khususnya di Asia.64 Delegasi Cina antara lain mengemukakan pergumulan mahasiswa Kristen dalam masalah rekonstruksi sosial dan soal invasi Jepang ke negerinya. Laporan mengenai India, Birma dan Sailan mengungkapkan masalah-masalah konflik antar ras, sosial dan agama, dan khususnya perjuangan kemerdekaan rakyat India. Di Jepang, para mahasiswa Kristen terpilah antara kecenderungan beralih ke Komunisme dan yang makin bersifat Injili, sementara yang lainnya tetap berusaha mempertahankan prinsip-prinsip social christianity. Pada umumnya semua mahasiswa Kristen Jepang menentang Fasisme, sedangkan dalam menentang Kapitalisme para intelektual Kristen Jepang umumnya mendukung Komunisme dan Sosialisme sebagai sistem ekonomi.

Laporan dari Filipina mengungkapkan tantangan-tantangan dari Islam, kekafiran dan atheisme terhadap agama Kristen, dan usaha-usaha bangsa Filipina memajukan kehidupan nasionalnya; sedangkan laporan dari Australian dan Selandia Baru masing-masing mengungkapkan masalah-masalah yang khas di Barat, yakni perhadapan kekristenan dengan masalah-masalah masyarakat moderen.

Mengenai orang Kristen dan masyarakat, Miller membicarakan masyarakat kapitalis dengan mencatatkan sikap Kristen yang meliputi penolakan membela kapitalisme dan penentangan terhadap setiap bentuk kekerasan. Dia menganjurkan untuk  bersikap realistis, yakni terjun ke dalam masyarakat untuk bekerja sepenuh hati, dan memulai langkah awal dan berusaha memikirkan suatu perubahan yang mendasar secara Kristiani. Untuk tindakan pertama adalah memahami kenyataan sosial, supaya dapat mempengaruhinya secara bernalar, realistik, dan efektif.65

Secara khusus Soichi Saito dari Jepang memberi kesaksian singkat mengenai pengaruh Komunisme dan berkembangnya Fasisme di negerinya. Dia mengutip suatu seruan kepada mahasiswa dan pemuda Kristen Jepang untuk tetap setia pada dasar Kristen, yang antara lain berbunyi:

Menghadapi kegelisahan masa kini, kita yang hidup oleh Kristus mempunyai suatu tugas penting untuk menjadikan ajaran-Nya suatu kekuatan yang hidup dalam masyarakat; karena kita diyakinkan bahwa tanpa menunaikan panggilan itu kritis dewasa ini tidak dapat diatasi. Sebagai mahasiswa dan pemuda Kristen kita harus menguduskan hidup kita dan melakukan suatu penelitian yang mendalam akan kebenaran dasariah kekristenan, sebagaimana dikemukakan dalam Alkitab. Selanjutnya, kita harus mengarah pada suatu pemahaman yang utuh akan dasar-dasar yang ada kini bagi suatu kebudayaan yang baru dan hubungan kemanusiaan yang baru.

Lagipula kita harus tak henti-hentinya berjuang untuk moralitas yang benar; berupaya melalui penelitian-penelitian tentang dan pewujudan dari hubungan-hubungan ekonomik yang benar di bawah prinsip-prinsip Kristen; dan berusaha dengan suatu kesadaran akan panggilan khusus menuju kerja sama untuk perdamaian dunia. Dengan ini kita berharap melakukan suatu upaya langsung menemukan suatu pemecahan terhadap krisis dewasa ini.66

Laporan Leimena, selaku ketua CSV op Java, mengenai Indonesia mengungkapkan serba kepelbagaian dalam masyarakat Indonesia yang sekaligus menjadi peluang dan tantangan bagi kekristenan. Sambil menunjuk pada kenyataan bahwa hanya 2% penduduk Indonesia beragama Kristen Protestan, Leimena menekankan tiga hal: bahwa kecuali Korea, tidak ada negara di Asia Timur dengan jumlah Kristen yang relatif banyak seperti di Indonesia; bahwa sekitar 8% dari keseluruhan jumlah mahasiswa fakultas dan sekolah tinggi adalah anggota CSV; dan bahwa separuh dari jumlah anggota CSV adalah orang Indonesia.67 Leimena juga mengemukakan bahwa pusat-pusat pendidikan tinggi terdapat di kota-kota (Batavia, Surabaya, Bandung) di mana arus politik utama bersumber, juga menyebut usaha-usaha perluasan pendidikan dan pembinaan pemuda dan mahasiswa Kristen, serta tempatnya yang positif dalam nasionalisme Indonesia.68

Pokok gereja dan bangsa dibahas dengan ceramah pengantar dari Dr. E. Verwiebe. Dalam ceramahnya Dr. Verwiebe, pekabar Injil dan pembina pemuda Kristen di Tanah Batak, mengemukakan empat pokok pemikiran mengenai “The Christian and the Nation”. Pertama-tama, bangsa ada karena kehendak Allah. Adalah kehendak Allah bahwa seseorang dilahirkan dan hidup dalam suatu bangsa tertentu; maka bahasanya, tradisinya, hukum-hukum, kebiasaan dan moralnya harus dihormati. Orang harus mencintai bangsanya dan memenuhi kewajibannya terhadap bangsanya. Suatu internasionalisme yang mengabaikan kewajiban ini bertentangan dengan kehendak Allah. Kedua, karena dosa, bangsa-bangsa bukan lagi pengungkapan Kehendak Allah:

Sebagaimana dalam kehidupan pribadi dosa merintangi dan menaklukkan kita serta menghalangi pengungkapan yang benar dari kehendak Allah, demikian juga yang dosa lakukan dalam kehidupan nasional dan dalam hubungan antar bangsa. Kehidupan bangsa-bangsa dewasa ini diracuni dosa. Kadang-kadang hukum suatu bangsa merosot menjadi penyembahan berhala ketika bangsa itu menuntut kata akhir dan kendali atas semua yang warganya katakan atau lakukan. Suatu bangsa yang menuntut ketaatan mutlak warganya menyangkal kemahakuasaan Allah dan menentang kehendak-Nya, serta menggantinya dengan penyembahan berhala.69

Ketiga, bangsa tidak pernah boleh menjadi subyek kesetiaan mutlak kita, sebab sebagai orang Kristen kita adalah warga satu Gereja yang Kudus di mana terjadi kesatuan kekal antara orang-orang percaya dengan Kristus, sedangkan bangsa-bangsa terhisab pada dunia dan kehidupan ini, tidak kekal. Ketiga hal di atas berlaku baik bagi ras dan negara manapun bagi bangsa.

Ras-ras dikehendaki Allah, namun telah kehilangan kemurniannya oleh kesalahan manusia. Oleh karena kejahatan dalam kehidupan bangsa-bangsa kita, Allah menganggap perlu untuk melembagakan negara untuk membatasi pengaruh dosa, dan karena alasan itu kita harus menaati negara. Tetapi ras dan negara hanyalah nilai-nilai yang nisbi. Bagi orang Kristen nilai-nilai itu tidak dapat menjadi ketaatan mutlak. Ketaatan mutlak kita adalah Kerajaan Allah, dan tugas kita akan berakhir hanya ketika Kerajaan Allah menjadi suatu kenyataan di dalam dunia ini.70

Butir terakhir dari ceramah Verwiebe menyangkut tugas khusus orang Kristen bagi bangsanya, yang  meliputi tiga hal: kewajiban memberitakan Injil kepada bangsanya, memerangi dosa bangsanya dan menentang pemutlakan bangsanya.

Sarah Chakko dari India, sebagai pembicara kedua dalam pokok “The Christian and Nation” ini, lebih banyak mengemukakan mengenai kasus-kasus pertentangan, atau kesulitan menentukan sikap, dalam kesetiaan orang Kristen terhadap kehendak Allah dan pemahaman bangsa adalah kehendak Allah. Untuk itu ia mengajukan dua prinsip: mutlak menempuh jalan anti kekerasan (non-violence) dan dalam melawan kejahatan keharusan menghadapinya dengan kasih bukannya dengan kebencian.71

Diskusi mengenai pokok ini, sebagaimana dilaporkan oleh Ralla Ram, menyetujui tiga segi panggilan Kristen terhadap bangsanya, yakni menyaksikan kuasa pembaruan Injil Kristus secara terus menerus dalam kata dan kehidupan, memerangi dosa bangsa dan masyarakat tanpa kebencian, dan memperkuat keyakinan bahwa pelayanan kepada bangsa adalah juga pelayanan kepada Allah. Dalam terang pemahaman itu disoroti beberapa masalah dalam kenyataan hubungan bangsa-bangsa. Pertama-tama mengenai kelompok minoritas di mana dianjurkan apa yang kini disebut pembaruan:

Persoalan  pertama yang dimunculkan adalah menyangkut warga negara asing yang hidup di sebuah negara sebagai suatu kelompok minoritas, misalnya seperti orang Cina di Indonesia. Jelas dirasakan bahwa jika orang tinggal di suatu negeri asing, mereka wajib menyamakan diri dengan penduduk negeri itu dan kepentingan-kepentingan mereka, dan pada pihak lain mereka harus diberi hak penuh sebagai warga negara dari negeri itu.72

Selanjutnya dibicarakan mengenai gerakan anti-kekerasan dan non koperasi dalam semangat ahimsa Gandhi dan tentang hubungan Barat dan Timur. Dengan menunjuk India dan Indonesia sebagai contoh di mana Barat mendominasi, diserukan kepada Barat:

Timur telah menjadi begitu peka sehingga hubungan ini terasa menakutkan. Itu harus diubah. Pada pihak kita haruslah ada prakarsa dan pengendalian, sementara kita menyambut kerja sama dari pihak Barat.73

Pembahasan mengenai sikap Kristen dalam keadaan damai dan keadaan perang mencapai penegasan bahwa orang Kristen harus menyerahkan diri sepenuhnya bagi tugas penegakan perdamaian dan bahkan rela menderita dalam menyaksikan kenyataan persekutuan Kristen yang mengungkapkan kehendak Allah bagi dunia dan bangsa-bangsa.74

Suatu acara khusus disediakan Konferensi untuk menyambut CSV op Java ke dalam WSCF sebagai “corresponding member” (keanggotaan penuh bersyarat jumlah anggota di atas 150 orang), di mana diungkapkan jasa NCSV dan khususnya suami isteri van Doorn dalam merintis dan membina terbentuknya CSV op Java. Mewakili CSV op Java Leimena menyatakan terimakasih, harapan dan tekad:

Kami tidak hanya ingin menerima, melainkan juga memberi; dan kenyataan memberi yang dibebankan kepada kami sebagai suatu warga baru dalam keluarga merupakan suatu tanggung jawab besar. Kami menerima tanggung jawab ini dalam kesadaran bahwa Allah, dan hanya Allah saja, akan mewujudkan kekuatannya dalam kelemahan kami, dan bahwa kami akan bertumbuh oleh doa warga lain dari keluarga WSCF. […] Saya ingin menekankan keopada para utusan dari Jawa untuk tidak melupakan peristiwa khusus konferensi ini demi menjadi sumber ilham yang abadi; […].75

Pada akhir Konferensi yang dialaminya sebagai peristiwa yang amat menggugah CSV op Java itu, salah seorang delegasi CSV op Java, S. Pelenkahu, mengemukakan suatu pernyataan kegembiraan atas penerimaan CSV op Java ke dalam keanggotaaan WSCF. Dia juga secara pribadi mengungkapkan perasaan yang dialaminya dalam Konferensi itu, khususnya perluasan wawasan oikumenisnya:

… pemikiran egosentris saya telah dipatahkan sehingga saya melihat dan bersimpati pada kesulitan-kesulitan yang orang hadapi di negeri-negeri lain, dan tidak dapat lagi memandang diri saya sendiri saja.76

Catatan-catatan di atas menunjukan bahwa bagi gerakan mahasiswa Kristen di Indonesia Konferensi Timur WSCF ini memberi arti yang sangat penting. Pertama, persiapannya mendorong pembentukan CSV op Java sebagai organisasi gerakan mahasiswa Kristen Nasional di Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu, perguruan tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa dari seluruh bagian Indonesia. Sesuai kenyataan sejarah masa itu, perguruan tinggi yang ada hanya terdapat di tiga kota di Jawa dengan mahasiswa dari seluruh bagian Indonesia, sehingga nama op Java dapat diartikan in Indonesië. Selama Konferensi dipergunakan nama Indonesia.77 Pembentukan CSV op Java adalah pula pemisahan dari pelayanan pemuda namun tetap dalam ikatan kerjasama yang erat. P.A. Tiendas dari Tomohon hadir dalam konferensi sebagai wakil gerakan pemuda (YMCA), dan sempat memberi sambutan pada awal konferensi.78

Kedua, konferensi mempertegas wawasan oikumenis gerakan mahasiswa Kristen Indonesia, baik dalam arti geografis maupun konfesi. Selain keanggotan dalam WSCF, persekutuan dengan para delegasi dari berbagai negara (dan aliran kegerejaan) bermakna bagi pendalaman wawasan itu. Sangat penting dalam hal ini perkenalan dengan para mahasiswa dari “gereja-gereja muda” di Asia. Van Doorn yang merupakan tokoh sentral dibalik pembentukan CSV op Java dan penyelenggaraan Konferensi menyatakan bahwa peristiwa itu bukan hanya konferensi mahasiswa, melainkan juga merupakan Konferensi Kekristenan Timur (conferentie van Oostersche Christenen).79 Dalam kerangka WSCF sendiri, Citeureup dianggap membulatkan gerakan ini sebagai gerakan sedunia, baik dalam arti makna WSCF bagi Asia, maupun sebaliknya, sumbangsih mahasiswa Kristen Asia bagi gerakan mahasiswa sedunia itu.

Makna yang ketiga, menyangkut wawasan teologi yang eksklusif. Melalui Kraemer dan Visser ‘t Hooft pengaruh teologi dialektis sangat menonjol dalam pemikiran teologis selama Konferensi. Dengannya gerakan mahasiswa Kristen di Indonesia diperkuat dalam suatu wawasan kekristenan yang eksklusif dan konfrontatif terhadap agama-agama lain. Pendekatan dari India, yang lebih terbuka dan mulai mencari makna positif kehadiran agama-agama lain serta menyadari pentingnya kebersamaan damai antar umat berbeda agama, belum mendapat dukungan dari para peserta.

Yang keempat adalah perhatian yang serius terhadap masalah-masalah sosial politik. Sudah sepantasnya suatu Konferensi dunia yang dilakukan di Asia memberi perhatian pada kenyataan sosial politik di negara-egara Asia, yang masa itu (dengan perkecualian Jepang) masih berada di bawah dominasi penguasa Barat. Maka tema rekonstruksi sosial dan nasionalisme tidak luput dari pembahasan dari sudut pandang Kristen. Dalam hubungan ini Kraemer menilai Konferensi berhasil dan menggugah:

Terharu, karena di sini tiba-tiba terhimpun orang-orang dari ras dan kebangsaan yang berbeda-beda, yang berada di tengah-tengah kobaran masalah-masalah rohani, sosial dan politik yang besar dari bangsa mereka, dan yang setiap hari harus menentukan sikap dan memberi jawaban apa pun yang menjadi akibatnya bagi mereka secara pribadi. Dalam waktu beberapa hari, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang besar dalam cara berpikir dan latar belakang, dapat tercipta suatu suasana kesatuan dan kesungguhan dalam pencarian oleh penyadaran yang semakin jernih tentang pusat agamawi bersama.80

Visser ‘t Hooft mengenang bagaimana para mahasiswa dari India, Cina, Jepang, Birma, Filipina, Srilanka dan Jawa (Indonesia) asik berdiskusi menyangkut dua pokok yang sangat penting bagi mereka: kemerdekaan nasional dan hubungan iman Kristen dengan agama-agama lain. Sebagai orang Kristen mereka harus mengambil bahagian dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya, tetapi mereka tidak anti Barat. Mereka menghendaki pengalihan peran utama dari pihak penguasa Barat, lalu dapat dijalin suatu kerjasama.81

Seperti dikemukakan di atas, tekanan utama adalah usaha memberlakukan prinsip Kristen dalam menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan, juga menyangkut pergerakan nasional. Sudut pandang dalam hal ini adalah kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah yang menuntut kesetiaan utama melampaui kesetiaan terhadap bangsa, khususnya jika kedua hal itu bersilang jalan. Artinya, bhakti terhadap masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Pendekatan yang bersifat teokratis ini membawa pergerakan mahasiswa Kristen di Indonesia pada jalan tengah antara nasionalisme radikal dan nasionalisme konservatif: kritis terhadap kenyataan kolonial, tetapi menolak nasionalisme yang sempit dan dimutlakkan, serta menolak cara-cara perjuangan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Kristen.                          

3.3. Pendidikan Teologi : HTS 

Salah satu tindakan yang bermakna penting dalam kerangka bangkitnya suatu generasi muda Kristen Indonesia yang berwawasan baru adalah pembukaan sekolah-sekolah teologi untuk mendidik pemuda-pemuda Kristen Indonesia menjadi pelayan Gereja. Dalam hubungan dengan pokok bab ini, dua sekolah teologi dapat disebut, Balewijoto di Malang, dan Hoogere Theologische School (HTS) di Bogor (kemudian dipindahkan ke Batavia).

Sebagaimana dirangkum van den End, pendidikan tenaga-tenaga pribumi untuk membantu pekerjaan para pekabar Injil dilakukan dalam berbagai pola. Mula-mula berupa pendidikan di rumah pekabar Injil: beberapa orang yang dianggap berbakat dibina menjadi tenaga pembantu. Kemudian, ketika sekolah-sekolah (dasar) menjadi bagian penting dari sarana dan panggilan penginjlan, dibuka sekolah-sekolah guru sederhana (Kweekschool, ormaalschool atau Normaalleergang). Dalam sekolah-sekolah itu ditekankan kecakapan membaca, menulis, menghitung, dan pengetahuan Alkitab. Tingkat yang lebih tinggi adalah pembukaan sekolah-sekolah yang lebih khusus untuk mendidik pelayan gereja. Pada tahun 1878, atas dukungan suatu lembaga bernama Centraal Comite Depok di Negeri Belanda, dibuka sebuah seminari di Depok (Seminarie van nlandsche zendelingen) sebagai pendidikan guru selama dua tahun yang dilanjutkan dengan pendidikan pengantar jemaat, juga selama dua tahun.82 Seminari Depok ditutup pada tahun 1926  setelah dibuka sekolah-sekolah sejenis di berbagai tempat. Antara tahun 1868-1879 diselenggarakan pendidikan untuk penolong Injil di Tomohon, yang dibuka kembali pada tahun 1886 sebagai STOVIL (School tot Opleiding van Inlandsche Leeraars); sejak tahun 1884 diselenggarakan Kursus Pandita Pansurnapitu (di Tanah Batak) dan tahun 1885 dibuka STOVIL di Ambon. Kemudian di beberapa daerah, sesuai perkembangan kebutuhan penginjilan, dibuka sekolah-sekolah pengantar jemaat: Nias (1901), Kupang (1902), Yogya (1906), Karuni (Sumba, 1924), Rantepao (1930), Banjarmasin (1932) dan Pendolo (Poso, 1940), serta kemudian di Irian Barat (1954). Lama pendidikan berkisar dua sampai lima tahun dan dengan kurikulum yang berbeda namun dengan tekanan yang kuat pada hubungan guru – murid pada segi ketrampilan praktis (lulusannya siap pakai dalam pelayanan). Van den End mencatat bahwa tingkat pendidikan yang rendah itu cocok dengan pandangan para zendeling untuk dapat mempertahankan kedudukannya sebagai wali gereja bagi orang Kristen Indonesia; dan karena suatu pendidikan yang lebih tinggi memang belum dapat diselenggarakan berhubung pendidikan menengah di Indonesia belum secara luas dibuka. Karena dukungan kepustakaan teologi dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah masih sangat langka, sedangkan para siswa tidak dilengkapi pengetahuan bahasa asing, maka majalah-majalah Kristen seperti Bentara Hindia, Pelita, Zaman Baroe, Immanuel, Sinalsal, Mari Rahardja, Soelo, berperan penting mengisi kekurangan kepustakaan itu sampai menjadi media pengungkapan pemikiran Kristen masa itu.83

Pada kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1926 John Mott mencela tiadanya usaha mempersiapkan pemimpin-pemimpin pribumi. Teguran itu mendapat perhatian kalangan Zending.84 Sementara itu suatu pendekatan baru dimulai di Jawa Timur, yakni untuk mendukung “pendewasaan” jemaat-jemaat sebagai milik Kristus yang bertanggung jawab menjalankan panggilannya di tengah-tengah dunia ini. Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1923. dan dalam hubungan dengan pendekatan baru itu dibuka suatu pendidikan teologi pada tahun 1925 di Kediri, berupa kursus teologi bagi 20 orang guru jemaat, diasuh bersama oleh B. M. Schuurman dan C.W. Nortier. Pada tahun 1926 diputuskan untuk menjadikan kota Malang sebagai pusat kegiatan Zending (NZG) di Jawa Timur, di mana antara lain dibangun sekolah teologi dan rumah sakit. Demikianlah maka sebuah sekolah teologi dengan nama “Bale Wijata” (=serambi pengetahuan) dibuka pada tanggal 6 Januari 1927 di Malang.85

Nortier menjelaskan sifat pendidikan yang mereka selenggarakan di Malang itu sebagai kehidupan bersama Kristus:

Hidup dan bekerja di “Bale Wiyata” seharusnya mengandung arti: selama empat tahun menyerahkan diri kepada suatu kehidupan bersama dan tujuan utama di situ ialah belajar hidup bersama Kristus agar dengan perantaraanNya dapat menangkap makna Firman Allah kepada manusia. Demikian “Bale Wiyata” sebenarnya lebih tepat digambarkan sebagai sekolah intuk atau yang menuju kepada tercapainya kehidupan rohaniah dan pertobatan yang lebih mendalam, suatu sekolah yang menanamkan sifat-sifat seperti yang dimiliki para rasul, daripada sebagai sekolah memberi wewenang guna memberitakan Injil berdasarkan pengetahuan mengenai ilmu theologia belaka. Pembangunan gedung sekolah dan pengaturan gedung-gedung di kampus dicoba diatur sedemikian rupa , hingga dapat dilancarkan pergaulan yang erat antara murid-murid dan para dosen.86

Dari sudut lain Schuurman menyebutkan Bale Wiyata sebagai een school voor Oostersche Christenen, dalam arti bukan hanya batu-batu fondasinya yang diletakkan dalam bumi Jawa, melainkan terlebih dasar-dasar rohaninya akan dipatok dalam dasar jiwa orang Jawa. Selanjutnya Schuurman mengandaikan kekristenan sebagai benih yang membutuhkan tanah untuk menanamnya:

Itu berarti: baru kalau pengenalan Alkitab dan sejarah kekristenan digabungkan dengan pengenalan akan orang Jawa, pengenalan akan sastra dan sejarahnya, dan kehidupan dan perjuangannya, maka ada harapan untuk memperoleh suatu pemahaman hidup dalam kekuatan Injil bagi orang Jawa. Karena itu, sesuai kekuatan kami, kami banyak mencurahkan perhatian pada berbagai ragam kehidupan rohani di kalangan orang Jawa, dan berusaha mengetahui hal-hal itu terutama dari kekayaan kesusasteraan Jawa dan sejarah Jawa yang menarik. Kami juga mendorong para murid kami untuk belajar mengenal bangsanya melalui banyak percakapan. Kekristenan baru dapat bertumbuh dalam tanah kehidupan yang utuh.87

Dalam penelitiannya, Schuurman menemukan dua titik api kehidupan orang Jawa, yakni kraton (pusat kerajaan Jawa) dan ilmu (ajaran rahasia kehidupan). Kraton memerintah dan mengasuh kehidupan jasmani, sedangkan yang kedua menyangkut kehidupan rohani. Maka dalam memberitakan Injil dapat ditunjuk kenyataan bahwa Yesus Kristus memenuhi kedua fungsi itu dengan lebih baik.88

Schuurman hanya memperhubungkan Bale Wiyata dengan kontekstualisasi teologi dalam rangka kedewasaan Gereja; tidak diperoleh catatannya mengenai hubungan sekolah teologi ini dengan nasionalisme Indonesia. Tetapi telah dicatat pada bagian awal bab ini mengenai dukungan Schuurman terhadap nasionalisme Indonesia di kalangan VIO-NCSV. Ketika masih di Kediri, tahun 1923, Schuurman mengemukakan pikiran-pikirannya mengenai pergerakan nasional Indonesia dalam suatu surat kepada NZG, lembaga pekabaran Injil yang mengutusnya. Schuurman menghendaki keterlibatan pihak Zending dalam mengarahkan orang Kristen dalam dunia politik dan mendukung kemerdekaan Indonesia yang pada gilirannya menentukan kedewasaan Gereja. Semakin maju kemerdekaan di bidang gerejani dan politik, dengan sendirinya semakin maju pulalah kehidupan Kristen. Antara lain dia menyatakan:

Proses kebangkitan nasional ini, yang berarti juga perlawanan nasional, sedang berlangsung dan kami tidak dapat menduga apa akibatnya bagi kami nanti. Yang pasti ialah bahwa dari pihak nasionalisme, hampir setiap orang Eropah dipandang dengan rasa curiga, tidak terkecuali orang Kristen dan Zending. Apa yang akan terjadi dengan yang terakhir ini sama sekali tergantung dari garis kebijaksanaannya sendiri. […] Tugas Zending dalam kancah politik, pada hemat saya, ialah tertutama memelihara dan membina hubungan kepercayaan, dan membawanya memancar keluar ke dalam dunia politik, di mana suasana semakin mendingin. Akan tetapi, barang yang mahal ini tidak dapat dibeli dengan harga yang rendah. Dan kitalah yang harus membayar harga itu. […] Tetapi kebalikannya adalah: dalam perjuangan demi otonomi dan kemerdekaan, saya tanpa reserve memihak kapada nasionalisme Indonesia. Tetapi bagi saya adalah sama pentingnya alasan yang menyangkut pedagogi bangsa ini, yaitu bahwa penggarapan sendiri terhadap anugerah-anugerah Injil yang bersifat rohani itu, barulah dapat diharapkan apabila ada lingkungan jasmani, di mana kesadaran Jawa yang berdiri sendiri dapat melatih diri dan berkembang. Karena hukumnya ialah: yang jasmani dulu barulah yang rohani. Desakan ke arah kemerdekaan politis dapat memberi kesempatan kepada Injil untuk meresap lebih dalam. Dan sudah barang tentu kemerdekaan Gereja yang tidak ditunda lagi itu akan memberi kesempatan yang demikian.89

Kebutuhan akan suatu pendidikan teologi yang lebih tinggi dan melayani seluruh Indonesia menjadi perhatian beberapa tokoh Gereja Protestan di Indonesia.90 Percakapan antara Kraemer dan Schuurman dengan tokoh-tokoh GPI: van Oosteom Soede (Ambon), de Vreede (Minahasa) dan De Bruijn (Kupang), pada bulan Mei 1930, meyakinkan GPI akan perlunya mendirikan sebuah sekolah teologi. Hal yang sama telah pula dibicarakan Kraemer dengan Dr. Warneck dari pihak RMG, pada kunjungannya ke Tanah Batak pada tahun 1929. Mula-mula pihak pimpinan Zending di Belanda keberatan karena pertimbangan kebutuhan dan keuangan: wilayah-wilayah yang dilayani kalangan Zending belum membutuhkan tamatan pendidikan tinggi dengan gaji yang besar. Tetapi mereka dapat diyakinkan (oleh Crommelin) sehingga akhirnya suatu panitia dibentuk terdiri dari wakil-wakil GPI, SCZ dan RMG untuk mempersiapkan usaha mendirikan suatu sekolah tinggi teologi.91 Panitia menunjuk komisi Depok (Centraal Comité Depok) di Negeri Belanda (badan yang menyelenggarakan Seminari Depok yang telah ditutup pada tahun 1926) sebagai pendiri sekolah teologi itu. Untuk itu Komisi Depok membentuk suatu Dewan Kurator dan Pengurus. Dewan Kurator terdiri atas: Prof. J.M.J. Schepper (Ketua), Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Sekretaris), Dr. R. Tumbelaka dan Dr. H. Kraemer; sedang pengurus adalah: Mr. S.C. Graaf van Randwijk (Ketua), Mr. C.C. van Helsdingan dan Mr. J.E. van Hoogstraten.92

Setelah beberapa tahun persiapan, akhirnya Hoogere Theologische School (disingkat H.Th.S., di sini dipakai HTS) secara resmi dibuka pada tanggal 9 Agustus 1934 di Bogor dengan dihadiri antara lain Gubernur Jenderal De Jonge dan para pejabat tinggi pemerintah kolonial lainnya. Tahun 1936 HTS dipindahkan ke Jakarta. Mula-mula hanya ada dua orang tenaga dosen tetap, Dr. Th. Müler-Krüger (bidang teologi dan merangkap Rektor)93 dan J.H. de Groot (bidang umum). Kemudian masuk Dr. M.C. Slotemaker de Bruïne (sebagai Rektor tahun 1937)94 dan Dr. A.J. Rasker (di bidang teologi, masuk tahun 1939). Mahasiswa yang diterima haruslah sekurang-kurangnya lulusan atau sederajat MULO (setingkat SMP).95 Kuliah diberikan dalam bahasa Belanda; bahasa Inggris dan bahasa Melayu merupakan mata kuliah wajib, sedangkan bahasa Jerman pilihan. Pendidikan ditempuh selama enam tahun, dengan rincian dua tahun pertama sebagai masa persiapan umum (propaedeuse), lalu tiga tahun pendidikan teologi dan satu tahun terakhir untuk praktek di lapangan di bawah bimbingan seorang pendeta. Pendidikan diselenggarakan dengan tekanan pada penyediaan calon-calon pelayan bagi gereja. Sebab itu setiap calon haruslah utusan dari gereja atau badan zending bakal gereja.96 Sebelum Perang Dunia II diterima tiga angkatan, masing-masing (dengan jumlah mahasiswa: 1934 (18), 1936 (11) dan 1939 (9, seorang mahasiswi). Selama Perang Dunia HTS ditutup, baru dibuka kembali pada tahun 1946. Pada tahun 1954, dengan kepengurusan yang baru di tangan orang-orang Indonesia, HTS ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT).97

Dalam pidato peresmian HTS di Bogor, Hendrik Kraemer mengemukakan bahwa HTS mempunyai makna lahiriah dan makna rohaniah. Dalam hal yang pertama Kraemer menunjuk HTS sebagai buah kerjasama antara GPI dan badan-badan Zending dan menjadi pusat kerjasama antara gereja-gereja di Indonesia.98 Menyangkut makna rohani, Kraemer menekankan pentingnya pembinaan rohani dalam Protestantisme, yaitu bahwa jemaat selaku umat Allah dikumpulkan sekeliling Kristus dan Firman Allah, dan untuk itu perlu pendidikan yang baik bagi para pemimpin jemaat. Dalam hubungan itu, Kraemer menilai pendidikan pribumi sebelumnya semata-mata untuk memperoleh pembantu-pembantu bagi pekabar Injil dari Eropa. Maka HTS merupakan perwujudan dari pemikiran untuk mewujudkan peningkatan dari kerjasama ke kepemimpinan bersama:

Akan tetapi dilihat dari pendirian bahwa kekristenan adalah tanah rohani, dari mana kehidupan rohani dan persekutuan dari kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa yang dimenangkan akan bertumbuh, haruslah ditegaskan bahwa kerjasama dengan pribumi hanya boleh menjadi suatu tahap awal dan sementara, tetapi haruslah secepat mungkin menjadi kepemimpinan bersama oleh orang pribumi di atas dasar suatu pendidikan yang sama seperti yang diterima pekerja-pekerja Eropa.99

Di balik pemikiran ini ada desakan untuk secepatnnya mengusahakan kemandirian gereja-gereja di kalangan pribumi. Selanjutnya Kraemer mengemukakan fungsi HTS sebagai tempat studi dan persekutuan hidup dan kerja para dosen dan siswanya, tempat di mana gereja dan Zending, pendidikan dan kesaksian, kemuridan dan kerasulan menjadi suatu kesatuan.

Pidato singkat pada pembukaan itu oleh rektor HTS, Dr. Müller-Krüger, menekankan dua hal: memandang HTS sebagai seminarium ecclesiae (persemaian gereja), dalam arti melakukan pembibitan bagi tumbuhnya suatu gereja yang berciri Indonesia untuk menggantikan bibit-bibit Barat yang di tanam di Timur (Indonesia); dan kegiatan berteologi (yang bertolak dari kedalaman hati) sebagai pemuliaan nama Tuhan.100

Kebutuhan gereja di Indonesia berupa kemandirian gereja, keesaan gereja, kontekstualisasi teologi dan pendalaman kerohanian bagi panggilan pelayanan menjadi ideal penyelenggaraan HTS pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.101 Keterarahan HTS kepada kebutuhan itu diwujudkan dalam isi dan metode pendidikan. Untuk itu ditempuh jalan berteologi dari yang khusus ke yang umum:

Yang terakhir inilah jalan melalui mana kami belajar memahami dan merumuskan masalah-masalah khusus dalam Gereja-gereja di negeri ini, dan melalui jalan mana kami belajar menemukan jawaban-jawaban dalam bentuk yang paling baik dimengerti di sini.102

Pendekatan yang kontekstual ini diharapkan kelak menghasilkan Indische Theologie:

Apa yang pada masa depan pada Teologi Hindia menjadi yang khas Hindia itu, yang dengannya Gereja-gereja di Hindia sendiri akan perdengarkan suaranya yang sendiri, yang barangkali polifon di dalam Kekristenan Oikumensis, harus ditemukan bukanlah oleh kita melainkan oleh penduduk-penduduk negeri ini sendiri.103

Dalam rangka tujuan itu pula diberi makna penting pada asrama mahasiswa (schoolinternaat) yang menunjang suasana belajar dan suasana rohani, sehingga tercipta suasana persaudaraan rohani. Dia mengingat HTS mendidik calon pelayan dari berbagai gereja maka diharapkan persekutuan hidup dan belajar itu menjadikan HTS suatu unsur penting dalam keesaan Gereja di Indonesia:

Lagipula, sejak penutupan Seminari Depok, dan di sana hal itu berdasarkan keadaan gerejawi pada masa itu dan jenjang Sekolah itu sendiri kurang penting, untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja di Hindia terjadi bahwa suatu persekutuan pendidikan pendeta bagi Gereja-Gereja di Indonesia yang berbeda-beda dan Zending diwujudkan karena hal ini kiranya kita boleh menganggap Sekolah Theologia Tinggi sebagai suatu unsur penting bagi pembentukan dari suatu Keesaan Gerejawi Hindia.104

Prof. Latuihamallo menilai tujuan-tujuan HTS umumnya tercapai, kecuali dalam hal kontekstualisasi teologi. Beliau menyebut dua alasan untuk itu: pertama, orang tidak bersungguh-sungguh dengan lingkungan sosio-kultural dan religius. Tradisionalisme dipertahankan, juga karena takut perubahan teologi akan memancing kritik dan propaganda anti-Kristen dari pihak Islam. Kedua, karena “kepribadian Indonesia”. Mengikuti Soedarmo, Latuihamallo memberi ciri-ciri umum watak identitas itu: religiositas, toleransi dan musyawarah. Kepribadian ini menekankan dinamika Injil dan dengan demikian mendukung konservatisme atau tradisionalisme.105

Berdirinya HTS mempunyai arti khusus bagi kalangan mahasiswa Kristen di Jakarta, yakni hadirnya para mahasiswa teologi dalam CSV op Java. Dengan demikian wawasan nasionalisme dan wawasan oikumenisme saling memberi masukan dengan pemikiran teologi. Latuihamallo, sebagai mahasiswa HTS angkatan ke-3 (1939-1948), memberi kesaksian bahwa nasionalisme Indonesia terasa pengaruhnya dalam pemikiran mahasiswa HTS sebagaimana tampak dalam diskusi-diskusi jika diselenggarakan debating avonden yang wajib dihadiri semua mahasiswa dan para dosen.106

3.4. Rangkuman 

Pelayanan rohani di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen yang sedang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan menengah dan tinggi di kota-kota besar di pulau Jawa membuahkan suatu generasi muda berwawasan yang baru, yaitu dengan memperhubungkan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia. Pelayanan ini tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan persatuan para anggota VIO-NCSV dan juga dengan Komisi Pemuda NZB, dengan tokoh-tokoh penggeraknya seperti suami-isteri van Doorn-Snijders, Schuurman, Schepper, Kraemer dll. Kelompok “ekstra-gereja” dari latar belakang gerakan mahasiswa Kristen (SCM,WSCF) ini memperkembangkan kepekaan Kristen terhadap masalah-masalah sosial politik, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, serta keterbukaan terhadap aliran Kristen yang berbeda di dalam pergerakan oikumene.

Pelayanan pemuda Kristen dilembagakan dalam kegiatan-kegiatan rutin penelaahan Alkitab dan pembinaan rohani dalam hubungan dengan kenyataan-kenyataan sosial dan politik, disamping kursus keterampilan, acara rekreasi dan camping, yang dipusatkan pada clubhuis. Dalam hal ini pembinaan diarahkan untuk memperluas cakrawala kekristenan para pemuda dan mahasiswa, baik menyangkut masalah-masalah gereja (segi oikumene), maupun soal-soal masyarakat dan bangsa (segi nasionalisme). Wawasan oikumene dan nasionalisme para pemuda terungkap melalui pemikiran P.A. Tiendas dan J. Leimena, yang sama memperhubungkan iman Kristen dengan pergerakan nasional.

Kunjungan tokoh-tokoh oikumenis, John. R. Mott dan H. Rutgers, ke Indonesia (Sumatera dan Jawa) pada tahun 1926 menambahkan perkembangan baru dalam pelayanan ini, yakni dilembagakannya konferensi tahunan para pemimpin pemuda, jeugdleidersconferentie, dan pemantaban organisasi-organisasi untuk pelayanan  pemuda, pelajar dan mahasiswa Kristen di beberapa kota besar.

Kemudian, Konferensi Asia – Australia WSCF di Citeureup pada tahun 1933 menjadi peristiwa yang menentukan, khususnya bagi pergerakan mahasiswa Kristen di Indonesia. Konferensi itu sendiri menjadi ajang pendalaman wawasan oikumene dan nasionalisme dari sudut pandang Injili, yang sebelumnya telah menjadi acuan pelayanan di kalangan pemuda dan mahasiswa. Sudut pandang tersebut melahirkan wawasan nasionalisme yang kritis partisipatif; menyambut dan melibatkan diri dalam masalah-masalah nasional tetapi dengan cermat menarik batas antara nasionalisme yang baik dengan yang buruk berdasarkan prinsip-prinsip Kristen.

Pada bidang pengkaderan pelayanan gereja, wawasan oikumenis mendapat salah satu pusat pengembangannya dalam pembukaan HTS pada tahun 1934. Bagian tak terpisahkan dari hubungan gerakan oikumene dan pergerakan nasional di lembaga ini adalah pengembangan pemikiran teologi yang berakar dalam kenyataan Indonesia. Dalam bidang ini B.M. Schuurman dengan Sekolah Teologinya di Malang, “Bale Wiyata”, dan Th. Müller-Krüger di Batavia, HTS, patut dicatat sebagai perintis ke arah teologi kontekstual itu.

 

 

1 C.P. Cohen Stuart, Een Weg om te Dienen (n.d.), hlm. 21.

2 Naskah ceramah dalam Mededeelingen VIO-NCSV, 1/2/ April 1920: 24-35.

3 Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang Yahudi. Bagi orang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.” (1 Kor. 9:20).

4 Mededeelingen VIO-NCSV, 1/2/April 1920: 37 dyb.

5 Dr. B.M. Schuurman studi teologi di VU, 1922-1945 zedeling NZG di Jawa Timur, 1922-1942 dosen Sekolah Theologia “Bale Wiyata” di Malang. Lihat H. Kraemer, “Dr. B.M. Schuurman, Orangnya dan Karyanya” dalam H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-Karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta: Persetia, 1977), hlm. 10-40.

6 B.M. Schuurman, “Onze houding tegenover de nlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/3/Juli 1923:68.

7 Ibid., hlm. 72.

8 Ibid., hlm. 79 dyb.

9 Ibid., hlm. 81.

10 Ibid.

11 van Helsdingen, “Nogmaals: Onze houding tegenover de Inlandsche Beweging”, Mededeelingen VIO-NCXV 4/4/Agustus 1923: 158.

13 Dalam perkembangan CEP/CSP selanjutnya VIO-NCSV tidak mendukung seruan itu, walaupun beberapa anggotanya aktif pada partai politik Kristen yang konservatif itu.

14 J.M.J. Schepper, Het vonnis in de P.N.I. –zaak(Batavia: De Unie, n.d.). Setelah proklamasi, Prof. Schepper memberi perhatian pada soal kebebasan beragama dan hubungan agama dan negara. Lihat J.M.J. Schepper, Vrijheid van Goldsdienst en de Verhouding Kerk en Staat (‘s-Gravenhage:Boekencentrum, 1948).

15 Ratu Langie, “De Inlandsche Christenen en de nationalistische beweging”, Mededeelingen VIO-NCSV, 10/7/September-October 1929: 12.

16 Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923:195-210. Uraian berikut merupakan rangkuman karangan ini yang memperlihatkan idealisme pelayanan pemuda dan mahasiswa Kristen dalam kalangan VIO-NCSV.

17 H. Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926: 4-5.

18 H. Kraemer, “De komst van Dr. Mott”, De Opwekker, 71/1926:4-5.

19 Ruth Rouse, “Voluntary Movements and the Changing Ecumenical Climate”, dalam Ruth Rouse dan Stephen Charles Neill (eds), A History of the Ecumenical Movement 1517-1948, hlm. 341. Ruth Rouse juga melihat seluruh karir John R. Mott sebagai pengejawantahan makna gerakan mahasiswa  Kristen terhadap gerakan oikumene (hlm. 342). Untuk biografi John Mott, lihat A.L. Fransz, Dr. John Mott, Pelopor Pekabaran Indjil dan Kesatuan Kristen (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959); dan F.L. Cross and E.A. Livingstone (eds), The Oxford Dictionary of the Christian Church (London, New York, Toronto: Oxford University Press, 1974), hlm. 945.

20 Terjemahan bahasa Belanda resolusi ini, selengkapnya dimuat dalam  “De conferentie van Peking”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923:213-216.

21 C.L. en W.S.F. van Doorn-Snijders, “De Doorwerking van Peking”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/5/October 1923: 217-227. Beberapa bagian mereka kutip untuk memperlihatkan bagaimana atau apa pokok perhatian kalangan mahasiswa Kristen sedunia yang mempengaruhi kalangan pembina pemuda dan mahasiswa Kristen di Indonesia masa itu.

22 Ibid., hlm. 224.

23 Ibid., hlm. 225 dyb.

24 Ibid., hlm. 227.

25 Rangkaian acara perkunjungan disusun sebagai berikut: Dr. Rutgers tiba di Medan pada tangal 20 Januari dan seminggu kemudian Dr. Mott menyusul. Keduanya mengunjungi dan berceramah pada berbagai pos PI di Tanah Batak. Rabu 1 Pebruari bertolak dari Padang dan tiba di Jakarta tanggal 10 Pebruari: berceramah pada berbagai kelompok dan mengunjungi beberapa pos PI di Bogor dan sekitarnya. Tanggal 17 Pebruari ke Bandung berceramah pada THS dan konferensi pemuda tanggal 18 dan 19 Pebruari. Sabtu, 20 Pebruari ke Jogyakarta: mengikuti pertemuan NIZB dan mengunjungi pos-pos PI. Minggu 28 Pebruari ke Surabaya berceramah pada beberapa kelompok. Kamis 4 Maret berangkat ke Australia. “Programaa voor de reis van dr. Mot en Rutgers”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Januari 1926: 8.

26 C. L. van Doorn, “Wat mogen wij van het bezoek van Dr.ott verwachten?”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Jan 1926: 8.

27 De resultaten van het bezoek van Dr. Mott”, Mededeelingen VIO-VNCSV, 7/1/Januari 1926: 102.

28 Sukarno salah seorang lulusan THS Bandung. Putuhena, salah seorang pemuka Kristen dalam pemerintahan pada awal Republik dan  tokoh Parkindo, tamat dari THS pada tahun 1927. Lihat Putuwati, Ir. Martinus Putuhena: Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi (Jakarta: SinarHarapan, 1985), hlm. 33-34.

29 Cohen Stuart, Een Weg om te Dienen, hlm. 17 dyb.

30 Kelling, “Eind-nota aangaande het Y.M.C.A. – werk in Indië” Mededeelingen VIO-VNCSV, 6/5/October 1925: 225-235.

31 C.L. van Doorn dan W.S.F van Doorn-Snijders, “De Y.M.C.A. in Chinaen wat ze ons in Indië leeren kan”, Mededeelingen VIO-NCSV, 4/1/April 1923:  9-14.

32 C.L. van Doorn, “Verslag van den C.S.V. arbeid in Ned-Indië over het tejdva December 1926 to Juni 1927” Mededeelingen VIO-NCSV, 8/6/Juli 1927: 37- 41.

33 Di sini tinggal van Doorn sekeluarga dan beberapa mahasiswa. Setelah seluruh kegiatan dialihkan, clubhuis di Kwitang 10 menjadi pusat lektur (penyediaan bahan bacaan) NIZB. Gedung Kebon Sirih 44 ini kemudian dihibahkan kepada GMKI, tetapi pada tahun 1950-an dipakai pemerintah dan sampai kini GMKI belum berhasil memperolehnya kembali.

34 Salah seorang mahasiswa fakultas hukum (RHS) yang aktif dalam kelompok Schepper adalah Amir Sjarifuddin. Lihat kesaksian Mr. A.L. Fransz dalam Christiaan de Jonge, “Riwayat Hidup Mr. Augustine Leonore Fransz”, dalam J. Garang (ed), Pelaku Wacana: Peringatan Asta Dasa Warsa Mr. Augustine Leonore Fransz, 20 Agustus 1987 (Jakarta: Balitbang PGI, 1987), hlm. 15 dyb.

35 Ibid., hlm. 22 dyb. Keterlibatan wanita dalam kegiatan-kegiatan organisasi Kristen masa itu merupakan dukungan gerakan oikumene bagi gerakan emansipasi wanita.

36 Di antara para aktivis pemuda Kristen Solo terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pemuka kalangan Kristen Indonesia, seperti Ds. Basoeki Probowinoto dan Melanchton Siregar.

37 “De stand vna het Jeugdwerk”, Mededeelingen VIO-NCSV, 8/1/Februari 1927: 5-10; “Kebon Sirih 44”, Mededeelingen VIO-NCSV, 8/11/December 1927: 3-6. P.A. Tiendas dalam “Pergerakan Pemoeda Kristen Hindia” Zaman Baru, 1928: 293-94 memberi daftar sebagai berikut: Organisasi Pemuda berbahasa Boemi Poetera: Moeda Kristen Djawi (Solo), Per. Pemoeda Prot. Timor (Kupang), Mal. Jong Makassar (Makassar), Concordia Sangi (Tamako), Hehe, Pematang Siantar. Yang berbahasa Belanda: Bond van Vereenigingen van Christen Jongeren dengan anggota-anggota: Monika (Perkumpulan Gadis Hindia Kristen), Mardiwatjana, Christen Jongeren Celebes, Tole, Advendo, Pasoendan Haju, Chr. Jongeren. Lain-lain: Chr. Jongelingsclub (Djokja), Jong Indië (Bandoeng), Bataviasche Kring van Chr. Jongeren (p/a J. Leimena, Batoe Toelis 57 Weltevreden); Ambonsche Bond van Chr. Jongeren (Ambon), Menadosche Chr. Jongeren (Manado)

38 W.Schmidt, “Jengdwerk”, De Opwekker, 74/1929: 168 dyb.

39 Peranan penerbitan di kalangan organisasi sangat penting sehingga juga organisasi pemuda Kristen mengusahakannya. Beberapa terbitan untuk pemuda Kristen tercatat sebagai berikut: “S.s.ch. Christen boeat pemoeda-pemoeda; Moeda Kristen Djawi (Jogja, maand. Org. Jav. Chr. Jongel.); Rindoe Dendam (Solo, Maand. Bond. Van Ver. V. Chr. Jongeren); Soeloeh Pemoeda (Manado, maand. Chr. Jeugdevereeningingen); Omhoog (Menado, tweem. Org. Jeugdraad [Prot.]); Tuwokona (Tahoena, maad. Prot. Jeugd organisatie Tahoena); Soerat Persaoran (Taroetoeng, maand. Hoeria Kristen Batak). “Soerat Chabar Kristen Haroes Lebih Madjoe” (Pers Boemie Poetera di Indonesia) Zaman Baroe, 1930:339.

40 “P.A. Tiendas, “Soerat Terboeka”, Zaman Baru, 20/1928:233-235.

41 P.A. Tiendas, “Pemandangan Ringkas Pergerakan Pemoeda Masehi di Indonesia”, Zaman Baroe, 7/1920: 97-98; 8/1930:108-109.

42 P.A. Tiendas, “Rentjana Ringkas dari pada Conferentie Pemimpin Pemoeda jang keempat di Koepang”, Zaman Baroe, 67:1024. Bahkan Tiendas memberikan ceramah mengenai kekristenan dan nasionalisme pada suatu JLC; lihat H. Meyerink, “Jeugdleidersconferetie in Hotel Merbaboe van 21-27 September j.l.”, De Opwekker, 74/1929: 398.

43 Johannes Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri, Ambon, dari keluarga guru Leimena-Sulilatu. Leimena mengikuti pamannya ke Jawa, dan kemudian tinggal di Batavia. Setelah menamatkan sekolahnya pada MULO Kristen di Gang Menjangan (kini SMA-PSKD Jl. Kwini), Leimena melanjutkan ke STOVIA. Selama masa mahasiswanya, Leimena aktif dalam organisasi mahasiswa Maluku, Jong Ambon (didirikan tahun 1917) dan Vereeniging Ambonsche Studenten (VAS, 1924). Kegiatan organisasi itu menyangkut juga politik di bawah kedua organisasi politik Ambon yang berlawanan paham, SA dan CAV. Wawasan politik pergerakan diperolehnya dalam organisasi kedaerahan itu. Seperti telah dikemukakan di atas, dia menghadiri Kongres Pemuda II tahun 1928 mewakili Jong Ambon. Pada masa yang sama juga Leimena aktif dalam lingkungan pemuda Kristen berwawasan oikumenis, yang diasuh van Doorn, yang kemudian membawanya ke pucuk pimpinan CSV op Java. Leimena menikah pada tahun 1933 dengan Wijarsih Prawiradilaga, seorang wanita Kristen asal Pasundan. Data biografi J. Leimena didasarkan terutama pada karya R.Z. Leirissa, “Biografi Dr. J. Leimena”, dalam P.D. Latuihamallo dkk (pan.), Kewarganegaraan Yang Bertanggungjawab: Mengenang Dr. J. Leimena (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 1-103.

44 J. Leimena, “Keloekoe dan Oentoeng oleh Pergerakan Pemoeda Masehi”, Zaman Baru, 1918: 485 dst [4 seri].

45 Ibid., hlm. 487. Dalam kutipan ini terdapat dua kata yang tidak dijumpai dalam beberapa kamus: mengadon (=mengusahakan, atau membentuk dalam hubungan dengan mencampur adonan?) dan keloekoe (=dasar?).

46 Ibid., hlm 497. Sebagaimana di kutip di atas, A. Schmidt menyebut pula bahaya nationalistisch instinct atau supra-nationalisme.

47 Ibid., hlm. 497.

48 Ibid., hlm. 510.

49 Ibid.

50 J. Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East: The Report of Java Conference of the World’s Student Christian Federation, Tjiteureup, Java, September 6-14, 1933 (Shanghai, 1933) hlm. 63, 64. Tampak dalam kutipan ini bahwa Leimena dipengaruhi gagasan-gagasan “Soempah Pemoeda” yang berkembang di kalangan pemuda nasionalis masa itu. Dia sendiri hadir mewakili Jong Ambon dalam Kongres Pemuda II 1928 ketika gagasan itu dirumuskan.

51 C.L. van Doorn “lets over het Federatie Werk”, Mededeelingen VIO-NCSV, 13/1/1932: 96.

52 Mengenai pembentukan CSV op Java, lihat pula R.Z. Leirissa, GMKI mengemban Oikumene dan kesadaran Nasional”, Bagian III dalam W. Bonar Sidjabat, Tarianto dan R.Z. Leirissa, Benang Biru Dimensi Ke-esaan dan Kebangsaan, Manuscrip Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, (Jakarta: Pengurus PusatGMKI, 1990), hlm. 105-119.

53 Dalam pernyataan pembentukannya antara lain dikemukakan: “Dengan pembentukan CSV ini kami bermaksud mengambil bagian dalam barisan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa Kristen sedunia, yang tergabung dalam the World’s Students Christian Federation (WSCF), dengan tujuan untuk bersama-sama menyaksikan Yesus Kristus dalam dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan luhur kami supaya juga dalam perhimpunan kami motto WSCF, “Ut omnes unum sint”, dapat terwujud dalam mengumpulkan para mahasiswa dari semua kelompok bangsa yang terdapat di negeri ini. Kami yakin bahwa permulaan ini kecil dan lemah, tetapi kami ingin mengawali pekerjaan ini dalam keyakinan teguh bahwa Allah di dalam kelemahan kami mau mewujudkan Kuasa-Nya.” De Christen Studentenvereeniging op Java”, dalam Wat wil de ChristenStudentenvereeniging op Java?, hlm. 3-4.

54 “Christen Studenten Vereeniging op Java. Statuten,” Arsip van Doorn, (ketikan 3 hlm., t.t.), hlm.1.

55 J. Leimena, “De Ontwikkeling van de C.S.V op Java”, Eltheto, 88/8/1934:299 dyb.

56 Ibid., hlm. 301.

57 Leimena, “Bij de oprichting van de Christen Studenten Vereeniging op Java.” Wat wil de Chrsiten-Studentenvereeniging op Java?, hlm. 4-5.

58 T.S.G. Moelia, “The Student Christian Movement of Java”, The Student World, XXVI/3/1933:255.

59 T.S.G. Moelia, “De crisis in de samenwerkingsgedachte”, Eltheto, 88/8/1934: 295.

60 Daftar anggota CSV op Java tahun 1933 (tanda * adalah pengurus pusat): Batavia: J. Leimena*, C.L. van Doorn*, Amir Sjarifoeddin, Auw Yang Sien, Nn. A.L. Franz, Nn. E. Gabeler, Hario Koosman, Nn. P.F. Hengkelare, M. Ismangil, E. Kal*, J.W. Kal, Khouw Eng Soei, M. Lawalata, Liem Bo Sing, Liem Hian Bo, Liem Jang Kiok, W.J. Maengkom, Nn. A. Manoppo, J. Nanlohy, Oey Biau Hok, S. Pelenkahu, J.O. Picauly, Poedijo, D.W. Siwy, Nn. R.A. Soemiati, Nn. A.J. Stam, A.M. Tamboenan, Tan Oen Siang, Tan Tjoen Soei*, Tio Ban Hin, Tio Kee Tiong, E.P.S.L. Tobing, N.H.L. Tobing, Wirjanoe, Wuller, Poedjio Jonathan*, A. Sinaga; Bandung: V.Th. Kolmus, J.A. Manusama, M. Sitompoel, J.R. de Vries, Surabaya: Nn. J.A. Geroengan; Han Soen Hoo, L. Hoeliselan, P. Hutagalung, W.F.Jacob, Kaiden, Kasmolo, Sj. Latupeirissa, Lie Thing Sioe, J. Mangindaan, S.C. Nainggolan, J.P. Napitoepoelo, G. Rambitan, M.E.O. Rononuwu, Nn. A. Sakoul, Sambijono, H. Sinaga, G. Siwabessy, Soenoesno, R.E.M. Suling, K.A. Staa*, S. Supit, Tamboenan, Tio Biauw Sing, J. Toemengkol, Mesach, Guan Sioe, H. Wantassen. Jumlah anggota dalam daftar di atas (dari brosur pada pembentukan CSV op Java) sebanyak 69 orang. Lihat wat wil de Christen – Studentenvereeninging op Java?, hlm. 11-13. Dalam percakapan dengan penulis (April 1991), Prof. Latuihamallo, mengingat beberapa anggota aktif CSV pada tahun-tahun terakhir sebelum perang menurut suku sebagai berikut, Ambon: Leimena, Putuhena, dr. Lukas Luhulima, Pattiasina, Tahahele, Siwabessy, Engelen, dr. Hein Hattalabessy; Minahasa: Makaliwe, Makaliwy, Mr. Henkelare (dari Sangir); Jawa dan Sunda: Sutjipto, Mr. Suwidji, dr. Elia, Abednego; Batak: Amir Sjarifuddin, A.M. Tambunan, L. Sitorus; Timor:Fransz, Dr. Johannes.

61 Augustine Ralla Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World, XXVI/1/1933: 42.

62 Ibid., hlm. 37-43.

63 Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. iii-iv.

64 Laporan diskusi kelompok mengenai “The Christian and Society” ini mengungkapkan kesadaran bahwa panggilan orang Kristen dalam masyarakat berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Tetapi khusus dalam situasi kepitalistis, pilihan bukanlah fasisme melainkan gerakan koperasi. K.F. Newman, “Report of Group Discussion on the Christian and Society”, dalam Ibid., hlm. 106 dst.

65 Francis P. Miller, “The Christian Message n Relation to Society”, dalam Ibid., hlm. 94-95.

66 Soichi Saito,The Christian and Society (as illustrated in the present crisis in Japan)*, Ibid., dalam hlm. 97. Kesaksian ini memperlihatkan bahwa gereja (dalam hal ini mahasiswa Kristen) di Jepang sejak awal cukup tanggap dan kritis terhadap perkembangan buruk yang kemudian membawa Jepang ke dalam Perang Dunia II.

67 Agaknya Leimena membatasi pada pihak Protestan, sehingga mengabaikan Filipina sebagai negara Asia berpenduduk Kristen terbanyak. Jumlah mahasiswa pada ketiga sekolah tinggi di Jawa 675 orang: THS 125, RHS 250 dan GHS 300 mahasiswa; dan dari segi ras: Indonesia 350, Cina 150, dan Eropa 200 orang (kebanyakan Indo). Mahasiswa Indonesia umumnya tergabung dalam PPPI, sedangkan mahasiswa Cina terkumpul dalam organisasi tersendiri. “Ta Hsioh”. C.L. van Doorn, “De Indische Studentengemeenschap” Eltheto,87/1932-33: 139 dyb. Prof. Latuihamallo menyebut adanya USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis) yang bersifat nasionalistis, di mana menjadi anggota a.l. Max Maramis dan Soedjatmoko; sedangkan mahasiswa Eropa terhimpun dalam suatu organisasi mahasiswa elitis, Batavia Studenten Corps.

68 J. Leimena, “Report of Java Student Christian Movement”, Christ and Student of the East, hlm. 63.

69 E. Verwiebe, “The Christian and the Nation” dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 99. Cukup beralasan untuk melihat dalam ceramahnya terungkap sikap yang sangat kritis dari pekabar Injil Jerman ini terhadap kecenderungan yang justru terjadi di negerinya di bawah Hitler yang berkuasa ketka itu.

70 Ibid., hlm. 99.

71 Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 100 dst.

72 A. Ralla Ram, “Report of Group Discussion on the Christian Message in Relation to Race and Nation”, dalam Ibid., hlm. 104.

73 Ibid., hlm. 105.

74 Ibid., hlm. 105 dyb. Keseluruhan ceramah dan pembahasan pokok “The Christian and the Nation” menggemakan pemikiran-pemikiran teologis yang terungkap dalam majalah WSCF,  The Student World, XXVI/2/1933 yang khusus membahas pokok itu.

75 The reception of the S.C.M. of Java into the Federation”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 93.

76 “Statement by S. Palenkahu”, dalam Ibid., hlm. 129.

77 Nama resmi Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda, “Nederlands Indië” (The Dutch East Indië), disebut Ralla Ram “a horrid name”. Lihat Augustine Ralla Ram, “The Task of the Federation in the East”, The Student World, XXVI/1/1933: 38.

78 Tiendas adalah seorang dari tiga peserta yang mennyampaikan sambutan atas nama masyarakat Kristen Indonesia. Dia mewakili wilayah de Groote Oost, Sindhoepramana mewakili Jawa, dan A. Sinaga mewakili Batak. Pada kesempatan itu Tiendas menyatakan kritiknya kepada pemuka-pemuka Kristen di Indonesia (bagian Timur): “While in some parts the result of strong mission-action was the Christianizing of the whole population, the difficulties are now that some of the leaders of the church is too much concerned with itself  and is loosing the missionary-spirit, and that the cooperation between students and the churches is not all that it should be.” Lihat “Opening Session”, dalam Francis P. Miller (ed), Christ and Student of the East, hlm. 2.

79 C.L. van Doorn, “De Javaconferentie va de Wereldfederatie”, Eltheto, 88/3/1933:101.

80 H. Kraemer dalam De Stuw 4/19/1933 sebagaimana dikutip oleh S.A. van Hoogstraaten, “World’s Student Christian Federation Conferentie in Tjiteureup 6-14 September 1933”, De opwekker, 78/1933:564.

81 W.A. Visser ‘t Hooft, Memoires: Een leven in de oecumene (Brussel/Amsterdam: Elsevier-Kampen: J.H. Kok, 1971), hlm. 51.

82 Pada masa VOC, diselenggarakan Seminarium Theologicum di Batavia (1745-1755) yang merupakan pendahuluan bagi pendidikan teologi di Barat. Lihat Liem Khiem Yang, “Sekolah Tinggi Theologia Jakarta dan Studi Theologia di Indonesia” dalam S. Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 28 dyb.

83 Lihat van den End, Ragi Carita 2, hlm. 348-354.

84 Salah satu ukuran pada bertambahnya kepemimpinan Kristen pribumi di Indonesia adalah perutusan ke Sidang Dewan Pekabaran Injil Sedunia. Pada Sidang II di Yerusalem(1928) hanya T.S.G. Moelia wakil pribumi dari Indonesia, sedangkan pada Sidang III di Tambaram (1937) sudah dapat hadir beberapa orang: dr. J. Leimena, Mr. Soetjipta, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Pdt. Mas Mardjo Sir, Pdt. B. Moendoeng dan isteri, P. Sitompoel, Pdt. W.H. Tutuarima, dan dr. Wardojo bersama beberapa utusan lainnya. Lihat P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia: Sejarah Madjelis Keristen Indonesia bahagian Timur 1947-1956 (Ujung Pandang:ISGIT, 1982), hlm. 11.

85 C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan +/1835-1935 (Jakarta: Persetia, 1980), hlm. 166. Lihat pula “De Theologische School Balewijata”, Mededeelingen VIO-NCSV, 9/1/1928: 24-27. Karangan ini (rupanya ditulis oleh Ny. Nortier) menguraikan pendidikan khusus bagi para isteri siswa berupa keterampilan menjahit dan pekerjaan tangan lainnya.

86 Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 166 dyb.

87 B.M. Schuurman, “Bale Wiyata”, Mededeelingen VIO-=NCSV, 9/2/1928:15.

88 Schuurman, “Bale Wijata”, Mededeelingen VIO-ncsv, 9/2/1928: 15. Kedalaman pengenalan Schuurman atas manusia dan kebudayaan Jawa memampukan dia menulis dua jilid dogmatika dalam bahasa Jawa dan dengan cara berpikir orang Jawa, Pambijake Kekeraning Ngaurip (1939, 1951). Untuk riwayat hidup dan pemikiran Schuurman mengenai teologi dan pendidikan teologi , lihat H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan: Riwayat Hidup dan Karangan-karangan Dr. B.M. Schuurman (Jakarta: Persetia, 1977). Dalam pengantar terjemahan ini Dr. J.A.B. Jongencel menulis: “Schuurman memberikan kepada kita suatu contoh yang patut ditiru tentang cara bagaimana dosen dari Barat harus membimbing kepada bertheologia secara berdikari dalam konteks Indonesia. Dan tentu saja itulah juga panggilan dan tugas dosen Indonesia.” (hlm. 9).

89 H. Kraemer dkk (eds), Penyingkapan Rahasia Kehidupan, hlm. 54 dyb.

90 Sejak tahun 1921 GPI mulai mengutus putra-putra Indonesia untuk belajar pada sekolah teologi (di Zendingschool) di Negeri Belanda: A.Z.R. Wenas (1921), B. Moendoeng (1929), F.W. Lumanauw (1931), W.H. Tutuarima (1931) dan A. Rotti (1935). Lihat S.C. van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil Yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hlm. 386.

91 Komisi terdiri atas: Ds. W.F. Breyer dan K. van Dijk dari Indische Kerk, Dr.H. Kraemer dan Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne dari Samenwerkende Zendingscorporaties, dan Dr. J. Warneck dari RMG. Lihat H. Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter gelegenheid van de officile opening der hoogere theologische school te Buitenzorg”, De Opwekker, 79/1934: 447. Terjemahan naskah ini terdapat dalam Tabah Melangkah, hlm. 13-27.

92 Lihat S.C. van Randwijk, “Enkele Mededeelingen over de Hoogere Theologische School”, De Opwekker, 80/1935: 462. Daftar ini berbeda dengan yang dicatat F. Ukur, “Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S 50 Tahun Lamoau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 60 dyb.

93 Rupanya biografi Th. Muller-Krüger dilalaikan dalam buku penghormatan kepadanya; lihat M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono (eds), Theo-Dóron, Pemberian Allah: Kumpulan Karangan dalam rangka menghormati usia 75 tahun Prof. D.Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979).

94 Tetapi tidak lama, dia kembali ke Negeri Belanda dan diganti oleh Dr. A.J. Rasker. Dr. Th. Mueller-Krueger, sebagai seorang Jerman dan dari badan Zending Jerman (RMG), rupanya tidak diterima kalangan Zending Belanda sebagai pimpinan.

95 Semula ada pemikiran untuk mendidik pada tingkat sekolah tinggi atau fakultas sehingga penerimaan dari lulusan AMS atau yang sederajat, tetapi dianggap tidak realistis dalam hubungan dengan kurangnya lulusan setingkat itu dan karena kehadiran sarjana teologi dalam jajaran pelayanan gereja akan menyulitkan dari segi keuangan (gaji yang besar). Sebab itu tingkat pendidikan diturunkan, bukannya suatu “Theologische Hoogeschool” melainkan suatu “Hoogere Theologische School”. Lihat “Rectoraatsoverdracht Hoogere Theologische School”, De Opwekker 82/1937: 435 dyb.

96 Prof. Dr. Ihromi mencatat beratnya beban studi: “Ada kemungkinan dalam penelitian sedjarah STT tokoh Dr. Müller-Krüger akan mendapat sorotan istimewa: dengan sistim seminarnja beliau se-olah mau mengedjar segala kekurangan, memburu waktu, dan mahasiswa setjara indirect dilatih berfikir dan bertindak sendiri. Debating-club seminggu sekali berdasarkan masalah penting dalam surat perlu ditjatat, disamping itu pemakaian waktu untuk pelajanan terhadap pemuda dan sekolah minggu (di geredjanja masing-masing) dan untuk mengedjar dan menghapal bahan-bahan kuliah, dirasakan selaku kesibukan jang sangat berat.” Ihromi, “Geredja dalam Revolusi Indonesia (sebelum 1942)”, dalam W.B. Sidjabat, (ed), Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, (Karya Research “Study Project” Fadjar) (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 90.

97 Peralihan tersebut sangat penting bagi perkembangan STT JAKARTA sehingga tanggal pembukaan tahun ajaran, 27 September 1954, dirayakan sebagai Dies Natalis STT JAKARTA.

98 Bandingkan dengan evaluasi Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia didalam Sedjarah Geredja di Indonesia”, E. Katoppo (ed), Djedjak-Langkah Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia (Djakarta: Pengurus Lembaga Perguruan Tinggi Theologia, 1960), hlm. 51-64.

99 H. Kraemer, “Openingsrede, gehouden ter gelegenheid van de officile opening der hoogere theologische school te Buitenzorg”, De Opwekker 79/1934: 454.

100 Th. Müller-Krüger, “Openingsrede Hoogere Theologische School te Buitenzorg”, De Opwekker, 79/1934; 457-458. Terjemahan pidato ini terdapat dalam Tabah Melangkah, hlm. 25-27. Untuk pokok yang kedua itu Müller dan Krüger mengutip ucapan Vitringa, teolog Groningen (Belanda), yang mengatakan: “Theologus est qui de Deo secundum veritatem ad gloriam Dei loquitur” (=Seorang teolog adalah orang yang berbicara tentang Allah sesuai kebenaran untuk kemuliaan Allah).

101 F. Ukur merangkum tujuan pokok HTS, berdasarkan berbagai pernyataan sejak masa persiapan sampai tahun 1942, dalam lima pokok: penyamaan kedudukan pelayan Indonesia dengan rekan sejabat dari Eropa; mendidik pemikir-pemikir teologi secara mandiri dan kontekstual; menjadikan HTS pusat pegembangan teologi bagi masyarakat Kristen di Indonesia; pusat persekutuan rohani dan intelektual; dan menjadikan HTS persekutuan studi dan poembinaan pelayan. Lihat F. Ukur, “Tapak-tapak Sejarah (Menyingkap Latar Belakang Historis Lahirnya H.T.S. 50 Tahun Lampau)”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 61 dyb.

102 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De Opwekker, 86/1941: 62. Karangan kedua dosen HTS ini juga memberi penjelasan atas tahap-tahap pendidikan dalam enam tahun itu (vooropleiding, theologische opleiding en practische opleiding), serta mata kuliah teologi yang diajarkan (Sejarah Agama, Teologi Biblika, Sejarah Gereja, Teologi Sistematik, Teologi Praktis).

103 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker , “Zes jaren theologische school te Batavia”, De Opweker, 86/1941: 63. Dalam evaluasinya kemudian, Dr. Müller-Krüger menyatakan “di dalam satu hal sadja pengharapan STT belum dipenuhi, ialah lapangan usaha theologia pada chususnja.” Th. Müller-Krüger, “Peranan Sekolah Tinggi Theologia didalam Sedjarah Geredja di Indonesia”, E.Katopo (ed), Djedjak-Langkah Pertama: 25 Tahun Perguruan Tinggi Theologia, hlm. 63.

104 Th. Müller-Krüger dan A.J. Rasker, “Zes jaren theologische school te Batavia”, De opwekker, 86/1941: 80.

105 P.D. Latuihamallo, “Perkembangan dan Posisi STT di Jakarta”, dalam Tabah Melangkah hlm. 76-78 [merupakan terjemahan dari karangannya menyambut masa pensiun Prof. Dr. A.J. Rasker dari jabatan mahaguru di Rijksuniversiteit Leiden pada tahun 1974]. Pak Latui (demikian sapaan kalangan mahasiswanya) lahir di Mamasa, Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Agustus 1918, kini menjadi mahaguru etika di almamaternya serta pernah memimpinnya sebagai Rektor. Pernah menjadi Ketua Umum DGI. Dikenal sebagai penganjur kontekstualisasi teologi. Biografi (dan Bibliografinya) ditulis oleh Farsijana Risakotta dalam Eka Darmaputera (ed), Konteks Berteologi di Indonesia (Buku Penghormatan untuk HUT ke-70 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 377-390.

106 P.D. Latuihamallo, “Teologi dan Nasionalisme”, dalam Tabah Melangkah, hlm. 82. Mereka juga membahas disertasi Dr. De Vreede (pendeta di Minahasa) mengenai nasionalisme: E.A.A. de Vrede, Het Nationalisme als Zedelijk Vraagstuk (Amsterdam: H.J. Paris, 1932: 388-400. Pengaruh nasionalisme Indonesia di kalangan mahasiswa HTS diperlihatkan secara nyata oleh beberapa orang mahasiswa yang berdiam di asrama HTS pada tahun 1945/1946 (a.l.Th. P. Pattiasina, J.L. Ch. Abineno dan P.D. Latuihamallo) yang dengan setia dan berani menjaga supaya bendera “merah-putih” tetap berkibar di sana, walaupun ada larangan dari pihak NICA.

Bab IV: Pemikiran Politik Kristen Indonesia

4.1. Karang Pandan 1941: Amir Sjarifuddin

Dalam kalangan orang Kristen di Indonesia, juga dalam kalangan Zending, terdapat kalangan yang mendukung pergerakan nasional Indonesia. Telah disebutkan peran ZB.M. H. Kraemer sebagai pelopor dalam usaha pihak Zending untuk memahami dan menghadapi pergerakan nasonal Indonesia secara tepat. Juga telah diuraikan bangkitnya generasi muda Kristen Indonesia terpelajar yang memperhubungkan kekristenan dengan nasionalisme. Pada latar belakang inilah dapat ditempatkan konferensi-konferensi NIZB sejak tahun 1930-an, yang menghimpun para pekabar Injil dari berbagai lembaga dan daerah penginjilan di Indonesia dan tokoh-tokoh dari lembaga yang terkait, seperti Zendingconsulaat dan NBG, dan orang-orang Kristen Indonesia yang aktif dalam kegiatan gereja dan zending (seperti Moelia dan Leimena). Puncaknya adalah konferensi NIZB terakhir, yang berlangsung di Karang Pandan, dekat Solo.  

Konferensi NIZB tersebut, yang berlangsung pada tanggal 21-24 Oktober 1941, bermakna khusus dalam kaitan dengan sikap orang kristen terhadap politik pada umumnya dan pergerakan nasional Indonesia pada khususnya. Pada konferensi itu dibicarakan panggilan Gereja di bidang poltik, dengan pengantar yang disampaikan oleh Mr. Soewidji. Pada kesempatan itu hadir antara lain Mr. Amir Sjarifuddin dan J. Verkuyl.  

Soewidji, seorang ahli hukum dari gereja Jawa Tengah lulusan Vrije Universiteit Amsterdam, menyampaikan ceramahnya dengan judul “De roeping der Kerken op politiek terrein” (=panggilan Gereja-Gereja di bidang politik).1 Ceramah Soewidji mengungkapkan hal-hal berikut:  

(1) Zending terlalu sedikit membangkitkan kesadaran politik dalam kalangan Kristen pribumi, dan hal itu disesali para nasionalis. (2) Makin bertambahnya kebutuhan prinsipil dan praktis gereja-gereja Indonesia membuktikan bahwa gereja harus memberikan suatu pedoman orang-orang Kristen Indonesia dalam kegitan berpolitik. (3) Terutama perlu kesadaran mengenai hubungan Belanda-Hindia, yang bukan lagi hubungan wali dan murid, melainkan kini terasa seperti hubungan kawin paksa. Dalam kaitan itu diperlukan prinsip-prinsip dasar kesetaraan dan kesamaan hak bagi Hindia dalam keseluruhan Kerajaan Belanda. (4) Politik Kristen juga sadar akan hubungan internasional dan akan kedudukan hukum berbagai kelompok penduduk di Nusantara. (5) Munculnya partai-partai Kristen Indonesia dalam pergerakan nasional adalah keliru, mengingat dalam banyak hal tidak ada kesepakatan, dan karena dalam banyak bidang terbuka kemungkinan kerjasama dengan pergerakan-pergerakan nasionalistis. 

Diskusi setelah penyajian makalah, yang dilaporkan sebagai een zeer interesante discussie (suatu diskusi yang sangat menarik), dimulai oleh Amir Sjarifuddin (1905-1948), salah seorang tokoh muda terkemuka dalam pergerakan nasional, lulusan Sekolah Tinggi Hukum (RHS) dan anggota CSV op Java.2 Amir mengajukan lima pokok pikiran dan permasalahan:  

(1) Dalam pertabrakan Timur dan Barat ternyata Timur tidak hancur, melainkan semakin kuat dengan munculnya gerakan-gerakan yang megungkapkan kekuatan-kekuatan sekuler. Bagaimana memberi suatu latar belakang transenden (‘n eeuwig heidsachtergrond) terhadap gerakan-gerakan itu. (2) Pentingnya suatu peran Kristen dalam pergerakan nasional yang mengandung berbagai pertanyaan yang jawabannya tidak diberikan oleh Gereja:

Dalam tujuan politiknya orang-orang Kristen harus berdiri di samping orang-orang Islam dan para nasionalis lainnya. Mereka harus hidup dari visi dan ideologinya sendiri. Sebagai orang Kristen kita tidak boleh berdiam diri, kita harus menuntut tempat kita yang sah. Bagaimana ideologi kita ini dirumuskan? Bagaimana tempat kita ini ditentukan? Di mana letak kekhasan visi kristen?3  

Seruan kepada oudere Kerken untuk bekerjasama memecahkan masalah-masalah yang ada dan yang akan muncul dalam kehidupan di Indonesia sehingga dari pengalaman Gereja Kristen petunjuk diberikan menyangkut soal-soal seperti kebebasan hati nurani, demokrasi yang murni dan yang semu, masalah-masalah sosial seperti pelayanan anak-anak. (4) Seruan kepada gereja-gereja muda yang juga harus bekerja di dalam kenyataan dunia Timur. (5) Menyangkut pilihan apakah akan membentuk partai Kristen tersendiri ataukah dengan berusaha memberi pengaruh dalam pergerakan nasional yang ada, pembicara belum mempunyai jawaban, namun bersedia membantu jika dibutuhkan.4  

Pembicara-pembicara selanjutnya, yang semuanya orang Belanda, memberi perhatian utama dan dorongan pada pembentukan partai politik Kristen Indonesia itu. Dalam catatan-catatan penutup diskusi Ds. Verkuyl mengemukakan beberapa pandangan dan himbauan:  

(1) bahwa politik bagi orang-orang Kristen Indonesia pada masa kini bukanlah hobby, bukan kemewahan, bukan keasyikan yang aneh, melainkan suatu tuntutan ketaatan bagi Kepala Gereja. Karena itu dia mendukung seruan Amir Sjarifuddin kepada gereja-gereja tua dan yang muda. (2) Memohon supaya pendeta-pendeta yang senior memberi penjelasan prinsipil berdasarkan Alkitab dan sejarah mengenai masalah-masalah politik. (3) Menilai penjelasan-penjelasan CSP terlalu sepihak menekankan soal-soal hubungan pemerintah dan rakyat. Menurut pertimbangan Verkuyl, perlu juga penekanan pada masalah ekonomi dan sosial, yang dalam kenyataannya lebih penting daripada soal kekuasaan. (4) Verkuyl menjawab Amir, mengenai partai politik Kristen, bahwa dalam semua pembentukan kelompok Kristen ada bahaya oleh ketertutupan yang memencilkan, yaitu bahaya terputusnya ikatan dengan masyarakat. Tetapi juga pemimpin-pemimpin besar Kristen mengatasi bahaya itu melalui pembentukan partai Kristen karena desakan keadaan pada waktunya. Para pemimpin itu adalah orang-orang yang melihat Allah muka dengan muka, yang tahu apa yang mereka harus lakukan pada saat penentuan.5  

Pemikiran-pemikiran yang dikemukakan dalam ceramah dan diskusi pada tanggal 23 Oktober 1941 ini dapat ditempatkan dalam hubungan dengan tiga kenyatan. Pertama, konferensi berlangsung ketika negeri Belanda sudah diduduki Jerman dan pemerintah Belanda berada dalam pengungsian di London. Pengungsian itu menandai suatu perubahan dalam politik internasional, yang diharapkan membawa perubahan terhadap hubungan kolonial  di Indonesia, yakni terwujudnya suatu masa depan baru bagi Indonesia. Kedua, dalam hubungan itu pihak Kristen Indonesia berusaha untuk turut menentukan dan mempunyai tempat yang sah dalam masa depan baru Indonesia. Dan untuk itu pihak Kristen Indonesia berusaha untuk turut menentukan dan mempunyai tempatnya yang sah dalam masa depan baru Indonesia. Dan untuk itu pihak Kristen Indonesia harus mempunyai wawasan politik yang kokoh dibangun di atas pemahaman teologis, yang memerlukan tuntunan dari pihak gereja. CSP dan kelompok-kelompok politik pribumi pendukungnya (CAV, PKC, PKMI) tidak memberi pemahaman “teologi politik” sebagaimana yang diharapkan, bahkan disesali oleh sejumlah nasionalis Kristen bahwa Gereja (dan Zending) juga kurang peduli terhadap kebutuhan itu. Ketiga, kebangkitan kalangan intelektual muda Kristen Indonesia, seperti Amir Sjarifuddin dan Leimena, yang lebih siap secara Kristen mengambil bagian dalam pergerakan nasional mewakili pihak Kristen Indonesia.  

Kehadiran Amir Sjarifuddin dalam kalangan Zending pada konferensi itu bukanlah suatu kejutan, mengingat dia masuk Kristen dalam lingkungan CSV, murid Schepper dan kawan Leimena. Tetapi kesediaannya mendukung suatu partai politik Kristen dapat ditempatkan dalam perkembangan kegiatan-kegiatan politiknya. Amir berasal dari kalangan pemuda nasionalis yang mencetuskan Soempah Pemoeda pada tahun 1928 dan membentuk organisasi pemuda nasional, Indonesia Muda dan PPPI, kemudian masuk ke dalam lingkungan nasionalis radikal dan menjadi pimpinan Partindo bersama Sukarno, Hatta dan Sjahrir diasingkan dan partai-partai non koperasi dibubarkan, Amir dan kawan-kawan membentuk Gerindo (Gerakan Rakjat Indonesia), suatu partai yang progresif dalam masa coöperasi, pada tahun 1937. Lalu bersama Thamrin (Parindra) dan Abikusno (PSII), Amir (Gerindo) memimpin Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang mereka bentuk pada tahun 1939 sebagai gabungan semua kekuatan nasionalis. Tanggal 10 Juni 1940 Amir ditangkap dengan tuduhan bergiat bagi golongan Komunis, tetapi segera dilepaskan. Kemudian ditangkap lagi pada tanggal 20 Juni dan ditahan sampai tanggal 27 Juni. Pilihan untuk dibuang ke Digul atau bekerja sama dengan pemerintah Belanda memaksa Amir bekerja dalam Departemen Ekonomi di bawah H.J.van Mook, di mana juga bekerja Dr. T.S.G. Moelia, pamannya, sejak bulan Oktober 1940.6 Posisinya dalam GAPI dan Gerindo melorot. Dalam keadaan itulah Amir lebih aktif memikirkan kegiatan politik Kristen. Setelah perang pasifik meletus (bulan Desember 1941) Amir menerima tawaran (dan dana) dari pemerintah Belanda untuk membentuk jaringan perlawanan anti Jepang bila terjadi penyerbuan. Amir sempat menjalankan tugas itu sambil menjalin hubungan dengan Sukarno, Hatta dan tokoh-tokoh lainnya, yang atas dorongan Jepang membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Jaringan perlawanan bawah tanah itu dibongkar Jepang; Amir ditangkap Jepang; Amir ditangkap pada bulan Januari 1943 dan dipenjarakan sampai bulan Oktober 1945 di Malang.7  

Selain mengorganisasikan jaringan anti Jepang (yang berpusat di Surabaya), Amir meneruskan hubungannya dengan beberapa pemuka Kristen di Jakarta dalam rangka membetuk suatu organisasi umat Kristen sesuai dengan perintah Jepang. Ketika Rufinus Lumban Tobing ditugaskan Jepang untuk “menghimpun pendeta-pendeta Kristen di Jakarta” Amir mendorongnya untuk bersama-sama membentuk Gerakan Persatoean Kaoem Keristen (GPKK). Amir menjadi Ketua dan Tobing sebagai wakilnya (Ketua Muda).8 GPKK (yang kemudian menjadi BPPKK, Badan Persiapan Persatoean Kaoem Keristen) dapat menghimpun berbagai aliran Gereja (selain Indische Kerk dan Gereja Katolik) untuk bergabung sambil melakukan pelayanan sosial terhadap korban-korban perang. Badan ini memperoleh pusat kegiatan di sebuah gedung di jalan Kramat No.65, atas bantuan Ir. Mananti Siregar dari Dinas Pekerjaan Umum. Amir memimpin perayaan natal “oikumene” PPKK tahun 1942, yang diselenggarakan di Garden Hall Cikini Raya, dengan memakai pohon pisang sebagai pohon Natal. Amir menyampaikan suatu renungan Natal, yang menurut kesaksian Rufinus Tobing, memang sungguh menggugah perasaan nasionalisme para pendengar, dan oleh renungannya itu Amir ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Kempetai.9  

Peran penting Amir dalam kalangan Kristen Indonesia di Jakarta pada masa itu adalah menggalang kalangan Kristen untuk aktif dalam pergerakan nasional di bidang politik, yang kelak mengambil bentuk dalam pembentukan partai politik Kristen.10  

 

4.2. Partai Politik Kristen Indonesia  

4.2.1. PKN (Partai Kristen Nasional)  

Gedung pusat kegiatan Kristen di Jalan Kramat No.65, yang kemudian disebut Balai Pertemuan Kristen,11 menjadi tempat bersejarah dalam rangka sambutan pihak Kristen terhadap persiapan dan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sesuai keinginan Jepang, BPPKK berfungsi menghimpun wakil-wakil umat Kristen di Jakarta. Ketika berlangsung pembicaraan di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) antara bulan Mei-Agustus 1945, Mr.A.A. Maramis dan Sartono memperkenalkan rancangan UUD itu kepada kelompok Kristen di Kramat 65.12 Pemuka-pemuka Kristen waktu itu berkeberatan terhadap pasal 6 bagian pertama rancangan UUD itu yang menyatakan bahwa presiden harus orang Indonesia asli dan bergama Islam:  

Dinyatakan oleh hadirin, bahwa walaupun dalam prakteknya presiden itu mungkin selalu akan seorang (orang) Indonesia yang beragama Islam, tetapi hal itu tidak perlu disebut dalam Undang-Undang Dasar, sebab apriori mendiskriminasikan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Siapa saja harus dianggap dapat memangku jabatan presiden, tidak tergantung dari agama yang dipeluknya, asalkan ia mampu membawakan negara dan bangsa kepada kebahagiaan yang dicita-citakan.13  

Di Kramat 65 ini pula para pemuka Kristen (Protestan dan Katolik) melangsungkan pertemuan yang dihadiri antara lain Dr. T.S.G. Moelia, F. Laoh, Ds. B. Probowinoto, Dr. W.Z. Johannes, J.K. Panggabean, Marjoto dan Abednego serta Suradi dan Hadi dari kalangan Katolik untuk untuk membicarakan Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk membentuk partai politik, dengan harapan Pemilihan Umum dapat dilangsungkan pada bulan Januari 1946.14 Rencana mendirikan suatu partai politik Kristen tampaknya tidak mendapat dukungan luas kalangan pemuka Kristen Protestan, sedangkan pihak Katolik yang hadir tidak dapat mengambil bahagian tanpa petunjuk dari pimpinan gerejanya. Probowinoto menyebutkan tiga jenis penolakan: lebih baik berpoliltik melalui partai-partai umum, kurangnya kader-kader Kristen, dan karena politik dianggap sesuatu yang kotor. Mereka yang sepaham, yaitu “kira-kira 25 orang yang sebagian besar terdiri atas orang-orang kecil yang belum mempunyai pengalaman politik sama sekali”, mendirikan Partij Keristen Nasional (PKN, kemudian dieja Partai Keristen Nasional) dengan meminta Dr. W.Z. Johannes menjadi Ketua. Pada salah satu pertemuan pembentukan itu Pengurus PKN menulis suatu surat terbuka “memprotes sekeras-kerasnya” penyerbuan Inggris atas kota Surabaya (peristiwa tanggal 10 Nopember 1945)15  

Beberapa minggu kemudian, pada Kongres I (6-7 Desember 1945), nama Partai Kristen Nasional diubah menjadi Partai Kristen Indonesia (disingkat PARKINDO). Dan pada tahun 1947 bergabung suatu partai Kristen dari Sumatera Utara, PARKI.  

 

4.2.2. PARKI (Partai Kristen Indonesia) 

Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pembentukan PKN, orang-orang Kristen di Tapanuli membentuk suatu wadah politik bernama Partai Politik Kaum Kristen, dipimpin Dr. Jasmen Saragih bersama Melancthon Siregar (1912-1975), seorang Siregar yang lain, Doran Damanik, A.M.S. Siahaan dan Turman Siahaan. Sementara itu di Medan didirikan Partai Politik Masehi Indonesia, yang menghidupkan kembali Perserikatan Christen Indonesia (PERCHI), suatu partai yang kurang berkembang pada masa kolonial. Kedua partai politik itu dipersatukan menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKI) dalam kongres yang berlangsung pada tanggal 6-8 September 1946 di Pematang Siantar.16 PARKI bertujuan “mempertahankan NRI (Negara Republik Indonesia), membantu pemerintah mencapai perdamaian dunia dan mengusahakan keadilan”. Partai ini terdiri atas tiga bagian, yakni Badan Pemuda PARKI, Badan Wanita PARKI dan Badan Perjuangan Kelaskaran PARKI Divisi Panah (dengan Melancthon Siregar sebagai Panglimanya, 1945-1949). Ketika Dr. Jasmen Saragih terbunuh dalam Revolusi Sosial, tanggal 3 Maret 1946, kepemimpinan partai dipegang oleh Melancthon Siregar.17  

Kongres tahun 1946 tersebut merumuskan beberapa butir pendirian sebagai berikut:  

  1. PARKI jang berdasarkan kepada faham ke-Kristenan menentang segala pendjadjahan;
  2. PARKI berpendirian, bahwa N.R.I adalah rachmat Tuhan kepada bangsa Indonesia dan karena itu tetap mempertahankan N.R.I jang merdeka 100 persen;
  3. PARKI mendesak kepada umat Kristen seluruh dunia untuk menjokong tuntutan bangsa Indonesia atas pengakuan kemerdekaannja, selaras dengan kodrat alam dan kehendak Tuhan;
  4. PARKI mendesak, supaja Pemerintah mendjalankan kewadjibannja dengan tepat dan tjepat untuk membanteras segala aliran jang meng-halang2-i pemerintahan jang stable;
  5. PARKI mendesak kepada pemerintah supaja didjalankan dengan segera maklumat2 Pemerintah untuk Propinsi Sumatera.18  

Kongres PARKI di Parapat tanggal 19-20 April 2947 menyetujui peleburan PARKI ke dalam PARKINDO, sesuai kesepakatan pengurus PARKINDO dengan wakil PARKI yang menghadiri rapat Komite Nasional Pusat di Malang (yang berlangsung pada tanggal 25 Pebruari – 3 Maret 1947). Persetujuan peleburan itu disahkan dalam Kongres ke-2 PARKINDO pada bulan April 1947 di Surakarta.   

 

4.2.3. PARKINDO (Partai Kristen Indonesia)  

Kongres PKN, tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Surakarta (kemudian dikenal dengan Kongres ke-1 PARKINDO) “mendapat sambutan hangat dari umat Kristen, Pemerintah dan masjarakat umum jang menghadapi kekuatan kolonial Belanda dari negeri jang warganja kebanjakan beragama Kristen”.19 Pada kongres ini nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia, disingkat PARKINDO. Kongres dihadiri 60 wakil dari 31 daerah di Jawa, dan sejumlah peninjau (hari kedua peserta semuanya 154 orang). Tujuan kongres, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Pengurus Besar Sementara Dr. W.Z. Johannes, adalah:  

[…] membitjarakan djalan-djalan jang haroes ditempoeh oentoek mempertahankan mentjapai tjita-tjita itoe [kemerdekaan Indonesia], agar dari perbedaan-perbedaan dan matjam-matjam pikiran itoe dapat ditangkap satoe aliran, jang dapat dipergoenakan sebagai sjarat oentoek mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dengan lahir dan batin.20  

Acara pada hari pertama merupakan upacara pembukaan, yang berlangsung di SMT Pangreh Pradja, dihadiri 160 orang, dengan sejumlah pejabat tiggi pemerintah Republik Indonesia.21 Pada hari kedua berlangsung di gedung gereja Margoyudan, dimulai dengan pemilihan pengurus baru, di mana terpilih Ds. B. Probowinoto sebagai Ketua. Setelah serah terima dengan Dr.W.Z.Johannes, Ketua yang baru melengkapi kepengurusannya (rupanya ditempuh sistem Ketua merangkap formatur tunggal) sehingga akhirnya Pengurus Besar terbentuk sebagai berikut:  

Ketua                          : Ds. B. Probowinoto 

Wakil Ketua I             : Dr. W.Z. Johannes 

Wakil Ketua II            : Dr. R. Soemardi 

Penulis I                      : Mr. M. Tamboenan 

Pemulis II                    : Marjoto S. 

Bendahara I                 : J.K. Panggabean 

Bendahara II                : Mr.S.S. Palengkahu 

Acara selanjutnya adalah penjelasan mengenai tujuan partai oleh Ketua terpilh, Ds. Probowinoto, kemudian ceramah-ceramah (prae-advies) mengenai ekonomi (J.K. Panggabean), sosial (Ds. Probowinoto) dan kemasyarakatan (Abednego). Ketiga ceramah mengungkapkan dorongan dan dukungan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan konkret bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Dari diskusi atas ceramah-ceramah itu dirumuskan program politik PARKINDO:  

Oesaha politik loear negeri. 

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di Repoeblik Indonesia Merdeka bekerdja bersama-sama dengan partai-partai lain dan pergerakan-pergerakan rakjat seloeroehnja dengan djalan segala djenis siaran jang tidak bertentangan dengan azas partai oentoek menoentoet pengakoean kemerdekaan Indonesia oleh doenia Internasional dan berdjoeang oentoek menolak segala oesaha dari loear dan dalam jang bermaksoed merobohkan Repoeblik Indonesia jang telah merdeka.  

Oesaha politik dalam negeri.  

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di Repoeblik Indonesia Merdeka: 

  1. berdaja oepaja dengan perboeatan-perboeatan jang njata mempertebalkan rasa kebangsaan dan memperkokoh rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan;
  2. meresapkan arti kedaulatan rakjat jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja dengan berbagai-bagai penjiaran jang tidak bertentangan dengan azas partai;
  3. mengandjoerkan, soepaja Pemerintah beroesaha, soepaja tindakan-tindakannja dapat dirasakan dengan njata oleh Rakjat, bahwa negara Repoeblik Indonesia soenggoeh berdasarkan Kedaoelatan Rakjat.22  

Sidang berlangsung semalaman sampai jam enam pagi dan berhasil pula merumuskan dua pokok mosi dan menetapkan Anggaran Dasar, sedangkan Anggaran Rumah Tangga dipercayakan perumusannya kepada Pengurus Besar. Kedua pokok mosi masing-masing megenai dukungan terhadap Presiden serta Kabinet Sjahrir dan protes keras atas pemboman tentara pendudukan Inggris  di Surabaya, Semarang, Magelang, Bandung, dll.23 Perbedaan Anggaran Dasar yang dihasilkan dengan konsep yang disediakan oleh Pengurus Sementara secara substansial tidak begitu menonjol, yakni hanya penggantian nama dari Partai Keristen Nasional (PKN) menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), penyempurnaan perumusan dasar partai dan tujuan partai, serta susunan badan pengurus partai. Dalam Anggaran Dasar baru dasar partai dicantumkan secara singkat saja (pasal 2): “Dasar Partai ini ialah: KITAB SOETJI jaitoe Firman Toehan”. Mengenai tujuan partai, Anggaran Dasar Baru (pasal 3) memberi rumusan yang konkret:  

  1. Mempertahankan Negara Repoeblik Indonesia keloear dan ke dalam.
  2. Membantu Pemerintah Repoeblik mentjapai perdamaian doenia.
  3. Mengoesahakan keadilan 

4.2.4. Pemikiran Politik PARKINDO  

Pemikiran yang mendukung lahirnya Partai Kristen Indonesia dapat diungkapkan melalui karangan-karangan beberapa tokoh Partai yang dimuat dalam majalah partai Kristen ini, Pedoman: Soeara Oemmat Kristen di Indonesia, yang diterbitkan secara dwimingguan sejak bulan Desember 1945 oleh Badan Penerbit Kristen di Jakarta. 

Dr. W.Z. Johannes, Ketua Pengurus Besar Sementara, dalam sambutan mewakili redaksi atas terbitnya Pedoman menekankan pentingnya dukungan tenaga untuk pembangunan Indonesia yang baru merdeka:

Indonesia memerloekan tenaga-tenaga oentoek pembangoenan disegala lapangan. Djoega Kaoem Keristen dapat mengichtiarkan jang perloe-perloe oentoek Negara Indonesia kita bersama ialah Indonesia Merdeka.24 

J.L.L. Wenas turut menyambut terbitnya Pedoman dengan mengingatkan perjuangan Kristen sebagai upaya persatuan untuk melawan penjajahan dan kapitalisme, dengan belajar dari bencana perang yang baru lewat (Perang Dunia II),25 dan dalam karangannya yang lain Wenas berbicara tentang ”hasrat darah Indonesia asli”, yaitu hasrat merdeka. Dengan hasrat itu Wenas memperingatkan orang-orang Menado dan Ambon yang belum mendukung kemerdekaan: 

Oentoek orang Indonesia Keristen asal Menado dan Ambon jang sampai kini tidak dapat mengatasi pengaroeh itoe dan jang soedah sampai menjangkal darahnja sendiri dengan menentang atau menghalangi kemerdekaan bangsanja Indonesia. Dikemoedian hari, meskipoen toeboeh dan djiwanja telah lenjap dari moeka boemi, pasti darahnja akan teroes mengalir dalam toeboeh anak toeroen temoeroennja dan satoe kali soeara darahnja akan mendjerit didalam toeboeh anak toeroen-temoeroennja, jang akan menghoekoem perboeatan-perboeatan penentang kemerdekaan bangsanja sendiri itoe.26 

Sambutan dari J.K. Panggabean, salah seorang pengurus PKN, mengibaratkan Pedoman sebagai benih yang tumbuh setelah dihempas badai dan banjir, yang akan menjadi pohon besar yang “memberikan tempat tedoeh kepada mereka jang seia-sekata singgah di bawahnja”.27 Dalam karangannya yang lain, Panggabean menghubungkan penjajahan dengan dosa, lalu menyebut kewajiban Kristen untuk memberantas dosa dan akibat-akibatnya termasuk panjajahan itu. Walaupun perjuangan itu berat dan menelan banyak korban jiwa, dia yakin bahwa pada waktunya “Tuhan akan membenarkan perjuangan kita”.28 

M.K. Tjakraatmadja, juga salah seorang anggota pengurus PKN, memberi dukungan pada keterlibatan pemuda-pemuda Kristen dalam laskar-laskar perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan. Bertolak dari keyakinan bahwa kewargaan Indonesia adalah berkat Tuhan untuk bertanggung jawab bagi bangsa dan dunia, Tjakraatmadja memperhubungkan patriotisme dengan keyakinan iman:

Berdasarkan kepertjajaan bahwa Toehan mendjadikan kita sebagai anggauta dari warga Indonesia, jang dikaroeniai hak oentoek bertanggoeng-djawab atas deradjat Tanah-air dan mempertahankan kemerdekaanja sambil menolong doenia dengan kekajaanja, tiap-tiap pemoeda Keristen Indonesia haroeslah menegoehkan rasa kebangsaanja. […]

Bagi kita patriotisme itoe berdasarkan kehendak Toehan. Ta’ segan kita mengakoei, bahwa patriotisme itoe adalah perasaan humaniteit. Perasaan inilah jang mempertinggi dan menjoetjikan hasrat berbakti kepada negara dan bangsa, serta menjatakan peri kemanoesiaan dalam doenia internasional.29 

Probowinoto lebih langsung menulis mengenai alasan pembentukan PKN.30 Dia mencatat pentingnya persatuan dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Menurut dia, pembentukan PKN merupakan bagian dari usaha semua golongan yang berbeda untuk masing-masing menyumbangkan tenaga dan pikiran menegakkan negara Indonesia merdeka. Dalam hal itu, politik Kristen berdasar pada Alkitab, Firman Tuhan, dengan tujuan memuliakan Nama Tuhan:  

Ketinggian Nama Toehan itoelah toedjoean jang terachir dari segala machloek dan segala oesaha manoesia, djoega didalam lapangan politiek. Politiek Keristen tidak semata-mata ditoedjoekan pada keoentoengan doeniawi, bagi politiek Keristen jang mendjadi oekoeran kebesarannja boekanlah hasil doeniawi jang diperoleh, akan tetapi apakah didalam segala oesahanja itoe partij mengandjoerkan, mempertahankan dan mendjalankan azas2 dari Firman Toehan.31  

Pada bagian lain Probowinoto menjelaskan corak nasional dan asas Kristen PKN sebagai perpaduan yang mendukung nasionalisme yang luas, yang mengusahakan kebaikan semua golongan bangsa sendiri ke dalam dan seluruh bangsa-bangsa ke luar:  

National jang menoeroet azas Keristen itoe begini: kita menghendaki soepaja semoea bangsa di doenia ini bisa hidup dengan bahagia dan makmoer; tiap-tiap bangsa berkewadjiban beroesaha agar bisa mendapat kebahagian dalam kemakmoeran itoe; kita berkewadjiban beroesaha bagi bangsa kita. Kalau kita orang Keristen tidak beroesaha bagi bangsa kita, itoe kita menjalai azas Keristen jang, menghendaki soepaja semoea bangsa berbahagia.

Di dalam beroesaha bagi bangsa sendiri itoe kita tidak oesah meroegikan bangsa lain, malahan azas Keristen membilang jang kita haroes mentjintai satoe sama lain, kita haroes bekerdja bersama-sama, soepaja en bangsa kita en bangsa lain itoe mendapat bahagia.

National sifat partij kita, karena kita tidak mentjari perbaikan bagi satoe golongan ataoe satoe lapisan bangsa sadja, melainkan bagi seloeroeh bangsa.32  

Dalam karangannya menyambut tahun baru 1946, Probowinoto menjelaskan sikap kalangan Kristen Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah juga cita-cita Kristen:  

Kami kaoem Kristen Indonesia memang menjetoedjoei dan memperdjoeangkan kemerdekaan Indonesia, karena kami berpendapat, bahwa kemerdekaan itoe djoega soeatoe tjita-tjita Kristen. Tidak ada seorangpoen, terlebih-lebih orang Kristen, jang akan menjangkal, bahwa menoentoet kebebasan oentoek tanah air dan bangasa itoe soeatoe tindakan jang benar. […] Azas Keristen itoelah jang sekarang mendjadi azas pendirian politiek Kristen Indonesia.33  

Selanjutnya Probowinoto menegaskan kesatuan alami orang Kristen Indonesia dengan bangsa Indonesia, yang mengandung arti turut menanggung dan berusaha memperbaiki keburukan bangsanya:  

Saja mengetahoei bahwa banyak kritik (tjelaan) jang benar dan jang tidak benar terhadap tjaranja bangsa Indonesia membela pendiriannja politik. […] Meskipoen demikian hal itoe tidak mendjadikan sebab bagi kami, kaoem Keristen Indonesia, oentoek melepaskan diri dari bangsa kami, sebab bagaimanapoen djoega Toehan soedah mendjadikan kami sedarah, sedaging dan senasib dengan bangsa kami. Tjelaan terhadap bangsa kami, itoe kami terima sebagai tjelaan terhadap kami sendiri, nasib jang dipikulkan oleh Toehan kepada bangsa kami itoelah nasib kami poela. Pendirian, aliran dan agamapoen tidak bisa menghapuskan perhoeboengan kami dengan bangsa kami, karena pendirian, aliran dan agama itoe tidak meroebah darah, daging dan ketoeroenan dari lain bangsa. Sekali dilahirkan sebagai bangsa Indonesia, kami maoe atau tidak maoe, tetap menjadi orang Indonesia hingga adjal kami. Rasa persatoean dengan bangsa jang sedemikian itu membangoenkan pertanggoengan djawab kepada kami terhadap bangsa kami. Tanggoeng djawab kepada bangsa itoe berarti: mengakoe kesalahan-kesalahan bangsa kami dan beroesaha memperbaiki segala jang salah itoe, soepaja bangsa kami seloeroehnja berdjalan kearah kebenaran.34 

 J.L.Ch. Abineno, juga anggota pengurus PKN, yang kemudian menjadi salah seorang tokoh gerakan oikumene di Indonesia, menulis mengenai partai politik, yang antara lain menguraikan tentang partai politik Kristen. Menurut Abineno, perlunya partai politik Kristen adalah untuk menyatakan kemauan rakyat Kristen kepada pemerintah. Partai politik Kristen harus mempunyai dasar yang kokoh dan luas, yaitu “didalam keinsafan dan penghargaan kita terhadap keawakan kawan seperdjoeangan kita” dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang Kristen harus bersatu dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang Kristen harus bersatu dalam berjuang di segala lapangan untuk kemuliaan Nama Tuhan.35  

A.M. Tamboenan, yang terpilih sebagai Penulis I pengurus PARKINDO pada Kongres I di Solo, mengucapkan suatu pidato radio menyambut suatu tahun baru 1946. Pada kesempatan itu Tamboenan menyampaikan kepada berbagai lembaga Kristen dunia tekad orang Kristen Indonesia mendukung kemerdekaan Indonesia: 

Kita semoeanja menghendaki dan menjetoedjoei kemerdekaan Indonesia, sekarang dan seteroesnja. Baiklah semoea saudara Kristen diseloeroeh doenia mengetahoei kehendak dan persetoedjoean kita ini. […] Djoega oemmat Keristen seloeroehnja di Indonesia toeroet menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia. Dengan dasar ketentoean ini poelalah kita menjeroekan kepada Badan-badan jang terseboet diatas: Sokonglah saudara-saudaramoe seagama di Indonesia dalam oesahanja, pertahankanlah kepada pemerintahmoe masing-masing, bahwa hasrat oemmat Kristen di Indonesia tjoema  satoe: Indonesia Merdeka tetap abadi!36 

Pada bagian lain Tambunan menghimbau umat Kristen Indonesia untuk mendukung partai Kristen Nasional, yang dengannya “kita turut menegakkan Republik Indonesia dalam lapangan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pengajaran, kebudayaan dan kesusasteraan”. 

Pemikiran politik PARKINDO pada tahun-tahun pertama dapat pula diungkapkan melalui pernyataan politiknya. Pada Kongres ke-2 tahun 1947, PARKINDO merumuskan “Pernjataan Dasar Pendirian Parkindo”, dalam empat pasal, masing-masing mengenai Tuhan, hakikat PARKINDO dan dukungan terhadap demokrasi:   

Pasal 1. Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) berdiri atas kepertjajaan, bahwa: a. Segala sesuatu adalah berasal dari Tuhan, oleh Tuhan dan untuk Tuhan. b. Bagi tiap2 machluk dan tiap2 lingkungan hidup demikian pula bagi Negara dan Pemerintah ada panggilan dan hukum2 Tuhan sebagai ternjata dalam Firmannja mengenai Alam dan Sedjarah.   

Pasal 2. Partai berpendirian, bahwa negara berwudjud karena kehendak Tuhan dengan tudjuan untuk menjempurnakan hidup manusia di dunia, agar dapat disiapkan untuk hidup dalam alam jang kekal dan sedjati jang akan datang pada achir djaman.   

Pasal 3. PARKINDO adalah parta politik warga Negara Indonesia jang berhasrat memenuhi panggilannja terhadap nusa dan bangsa dan kewadjibannja terhadap bangsa2 lain dengan djalan berusaha dilapangan politik, ekonomi dan sosial atas dasar faham kekristenan.   

Pasal 4. Partai berpendirian, bahwa demokrasi adalah bentuk Negara jang terbaik bagi Negara Republik Indonesia.37  

Keseluruhan pernyataan ini memberikan petunjuk mengenai pemahaman dasar PARKINDO mengenai politik dan kekristenan pada tahun-tahun pertama partai Kristen itu. Selain pasal 4, pasal-pasal lainnya mengungkapkan kecenderungan teokratis dalam pemikiran teologi politik PARKINDO, dalam arti berusaha mewujudkan kehendak Tuhan, yaitu prinsip-prinsip agama (Kristen), dalam semua segi hidup kenegaraan. Kecenderungan dipertegas oleh J. Leimena dalam prasarannya pada Kongres ke-4 PARKINDO pada tahun 1952 di Malang.38 Pada kesempatan itu Leimena menyatakan bahwa sejarah ialah niat Ilahi (plan Gods) bagi manusia dan bangsa,39 dan dalam kerangka itu:  

Orang Kristen mengakui dan percaya bahwa tidak ada peraturan yang lain di luar peraturan-peraturan yang dikehendaki oleh Tuhan kita. Campur tangan orang Kristen di segala lapangan kehidupan tidak lain dan tidak bukan bermaksud supaya kita juga menjadi saksi tentang suatu hal yang penting, ialah bahwa dunia ini hidup di bawah hukum dan karunia Tuhan saja.40  

Pada bagian lain Leimena menyebut empat dasar ideologi yang menjadi pijakan pihak Kristen, khususnya dalam lapangan politik: dasar kristosentris, dasar demokrasi, dasar nasional (persatuan) dan dasar kenegaraan. Mengenai dasar yang pertama, Leimena menjelaskan:  

Dasar Christocentris, sebab kita mengakui , bahwa Pemerintah adalah hamba Allah dan Pemerintah menjalankan kewajibannya atas nama Tuhan. Kita mengetahui bahwa kita hidup di dalam dunia yang pecah belah oleh karena dosa dan sebab itu  kita harus berusaha untuk meninggikan nama Tuhan di dalam dunia ini.41  

Notohamidjojo, salah seorang tokoh PARKINDO, yang juga menjadi pemikir politik Kristen mengemukakan pendapatnya secara lebih “militan”, bahwa politik Kristen perlu dalam rangka “peperangan rohani”:  

Barangsiapa mempunjai mata untuk melihat dapat menjaksikan bahwa politik itu merupakan gelanggang rohani antara mereka jang pertjaja akan Firman Allah dan mereka jang tiada menghiraukannja. Malahan pada lapang politik Indjil Tuhan Yesus Kristus melakukan peperangan rohani jang pahit getir melawan pemberontakan terhadap kepada kehendaknja.42  

Dan mengenai partai politik Kristen, khususnya di Indonesia, Notohamidjojo menyebutkan adanya aliran-aliran politik yang berbeda sehingga perlu ada partai politik Kristen untuk memperjuangkan kebijaksanaan pemerintah yang sesuai dengan keyakinan Kristen: 

Kaum Kristen, Muslim, Marxis, Humanis tidak mempertahankan dan membela nilai2 jang sama. […] Pengakuan itu bagi seorang Kristen berarti, bahwa hanya ada satu djalan terbuka baginja, jaitu menjusun partai bersama-sama dengan orang Kristen lain, dengan maksud, sambil berdiri di tengah-tengah bangsanja, dengan perantaraan partai mempertanggunggjawabkan kejakinannja dan memperoleh pengaruh terhadap kebijaksanaan pemerintah.43 

Pandangan-pandangan di atas memberi gambaran bahwa gagasan dasar di balik pembentukan Partai Kristen Indonesia adalah upaya pihak Kristen untuk menyatakan keterlibatan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. PARKINDO tegas memihak dan turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh yang berada di balik pembentukan partai ini, seperti Probowinoto, Tamboenan dan Abednego tidak berasal atau tidak meneruskan sikap politik dari partai-partai politik Kristen sebelum perang, walaupun ada kesamaan pemikiran teologis mengenai dasar politik Kristen. 

Pemikiran teologi mengenai politik, yang diungkapkan para pemuka PARKINDO, menunjukkan pengaruh Calvinisme, khususnya yang diperkembangkan di kalangan politikus Kristen Belanda. Pemerintah adalah hamba Allah dan gereja atau orang Kristen terpanggil untuk menyaksikan kehendak Allah dalam segala lapangan kehidupan, juga di lapangan politik. Dengan kata lain, politik Kristen memperjuangkan semacam teokrasi, yakni menyelenggarakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sesuai prinsip-prinsip agama (Kristen).44 

Adalah penting bahwa dalam pembentukan partai ini tidak ada campur tangan, bimbingan atau pengarahan langsung dari pihak Zending. Prakarsa dan kepemimpinan dan keputusan-keputusannya sepenuhnya oleh para politisi Kristen Indonesia sendiri.45 

Demikianlah pembentukan partai-partai Kristen Indonesia yang bermuara pada PARKINDO pada awal kemerdekaan Republik Indonesia pertama-tama adalah tanda kesadaran nasionalisme orang Kristen bahwa orang Kristen Indonesia juga terpanggil untuk turut memperjuangkan masa depan bangsanya yang baru merdeka. Di samping itu, sekaligus pula menjadi tanda bahwa orang Kristen Indonesia mempunyai tempat yang sah dan sederajat dengan semua pihak lainnya dalam kehidupan Indonesia merdeka. 

Salah satu isyu politik yang kemudian hari amat penting justru tidak pernah disinggung dalam pemikiran PARKINDO pada masa-masa awal ini, yaitu penolakan umat Kristen (Protestan dan Katolik) terhadap rumusan Pancasila dalam konsep Pembukaan UUD 1945, yang secara eksplisit mendukung pemberlakuan syariat Islam.46 Kalangan PARKINDO hanya menunjuk pada sukses pihak Kristen di Kramat 65 menolak bagian konsep UUD yang mencantumkan bahwa Presiden harus seorang yang beragama Islam. Kenyataan tiadanya pernyataan menyangkut penolakan Piagam Jakarta itu boleh jadi suatu petunjuk bahwa penghapusan “tujuh kata” itu bukan usul dari kalangan politisi Kristen yang kemudian membentuk PARKINDO.47 

Sejauh dokumentasi Yamin mengandung kebenaran, “ketujuh kata” itu mulai dipersoalkan oleh J. Latuharhary, orang Kristen anggota BPUPK mewakili orang Maluku, pada rapat sub-panitia perancang UUD, tanggal 11 Juli 1945. Notulen mencatat: 

Anggota LATUHARHARY: berkeberatan tentang kata-kata “berdasar atas ke-Tuhanan, dengan kewadjiban melakukan sjari’at buat pemeluk-pemeluknja”. Akibatnja mungkin besar, terutama terhadap agama lain. Karena itu diminta supaja di dalam Undang-Undang Dasar diadakan pasal jang terang; kalimat ini bisa djuga menimbulkan kekatjauan misalnja terhadap adat-istiadat.48 

Tidak diperoleh petunjuk bahwa Latuharhary mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh PARKINDO maupun dengan para tokoh Zending. Tetapi gagasan-gagasannya menolak rumusan Piagam Jakarta mejadi Pembukaan UUD (dan menolak pembentukan Kementrian Agama) sejalan dengan pandangan umum dalam kedua kelompok itu.  

 

4.3. Sikap Politik Gereja  

4.3.1. Konferensi Malino 1947  

Dalam kerangka konfrontasi Belanda – Indonesia, di wilayah Indonesia Timur, antara tahun 1946-1950, pihak Belanda mendirikan sebuah negara, Negara Indonesia Timur (NIT). Di wilayah ini pula terdapat suatu gerakan kebersamaan gereja dan Zending yang cukup kuat sejak tahun 1930-an. Pada bulan Maret 1947 wakil-wakil gereja dan Zending melangsungkan suatu konferensi di Malino.49 Konferensi Malino ini juga memberi perhatian pada kenyataan politik berdirinya NIT itu dan membahas hubungan gereja dengan bangsa dan negara. Ceramah pengantar untuk pokok ini disampaikan oleh Pdt. M. Sondakh.50 Sondakh membedakan negara sebagai “persekoetoean hoekoem” dan gereja sebagai “persekoetoean keampoenan” namun berhubungan berdasarkan tanggung jawab politik Kristen. Maka tugas gereja adalah menyaksikan cinta kasih Allah di dalam hukum-hukum negara, yakni supaya negara menjadi suatu negara hukum (rechtsstaat) dimana hak-hak manoesia jang terpenting dan teroetama, diatoer, ditoeroet, dihormati dan berkoeasa boekan sadja dalam pikiran, melainkan sampai dalam practijk”. Dengan itu maka pemberitaan Injil memperoleh kebebasan dalam kehidupan bernegara. Pemahaman konferensi tentang hal ini dirumuskan dalam laporan seksi Gereja, Bangsa dan Negara.51 “Rumusan Malino” tersebut terdiri atas enam butir, masing-masing tentang: 

(1) kesaksian tentang ketuhanan Yesus Kristus dalam tugas Kristen terhadap bangsa dan negara; (2) perbedaan gereja sebagai persekutuan keampunan dengan negara yang adalah persekutuan hukum; (3) orang Kristen bebas berpolitik, tetapi dalam ketaatan kepada Tuhan Allah lebih daripada kepada manusia; (4) Tugas-tugas negara dalam pembentukan negara Indonesia merdeka; (5) Kesediaan orang Kristen bekerja sama dengan sesama warga negara yang beragama lain dalam membangun bangsa; dan (6) penolakan suatu Kementerian Agama atau Dewan Agama Indonesia bagian Timur. 

Butir 4 (empat) mengenai tugas gereja dalam pembentukan negara Indonesia merdeka52 berbunyi: 

Berhoeboeng dengan soal-soal pembentoekan Negara Indonesia jang merdeka, maka toegas Geredja jang terpenting ialah:  

  1. Memberitakan dan menjaksikan dengan sekoeat-koeatnja dan sebebas-bebasnja keseloeroeh lapangan hidoep, bahwa Jesoes Keristoes Toehan adanja.
  2. Mengoesahakan sekoeat-sekoeatnja seopaja Negara Indonesia jang merdeka itoe, mendjadi soeatoe Negara-hoekoem (rechsstaat).
  3. Mengoesahakan sekoeat-koeatnja kebebasan agama selakoe atoeran dikalimatkan dengan seloeas-loeasnja dan betoel dalam pokok Oendang2 negara Indonesia jang merdeka, menoeroet paham Geredja2 Keristen, seperti itoe ditafsirkan dalam “Statement on religious Liberty” (1944) boenjinja: 

         “Kebebasan agama haroeslah diterangkan seperti berikoet, bahwa hal itoe mengandoeng kebebasan berbakti setoedjoe dengan angan2 hati dan mendidik anak2 didalam kepertjajaan orang toea mereka; kebebasan kepada tiap2 oknoem berpindah agama; kebebasan berchotbah, mendidik, menjiarkan dan mendjalankan oesaha2 pengoetoesan Indjil; kebebasan akan berorganisasi dengan orang2 lain dan memiliki serta mengoesahakan perbendaharaan oentoek maksoed2 ini.” 

4. Menginsafkan selaloe dengan sekoeat-koeatnja akan arti tertib jang soenggoeh (orde) jaitoe tertib menoeroet hoekoem jang soenggoeh (recht)   

Butir mengenai tugas gereja dalam pembentukan negara ini lebih dibarengi tuntutan kebebasan beragama. Masalah ini telah dibahas pada Konferensi Zending di Batavia pada bulan Agustus  1946. Dua bulan sebelumnya Contact-Comité telah menyiapkan suatu nota berjudul “De Vrijheid van Goldsdienst in het toekomstige Indonesië”, yang disampaikan kepada pemerintah Belanda. Dengan catatan pengantar dan penjelasan dari J.C. Hoekendjik atasnya, nota tersebut menjadi masukan pada Konferensi Batavia 1946. Tekanan utama dalam nota itu adalah supaya kebebasan gereja dan orang Kristen, sebagai golongan minoritas, dijamin dalam struktur masa depan Indonesia.54 

Konferensi Malino menolak pembetukan Departemen Agama atau Dewan Agung Agama dalam NIT, sebagaimana diperjuangkan oleh pihak Islam. Kemudian, dalam membicarakan konsep UUD NIT, wakil Kristen dalam Parlemen NIT (mula-mula Dr. Bergema, kemudian Ds.R.M. Luntungan), juga menolak konsep Preambule UUD yang dianggap memberi peluang bagi negara untuk berdasar atas suatu agama. Pihak Kristen, yang diwakili Ds. Luntungan, berhasil memindahkan tekanan dari rumusan “negara menerima” ke negara “mengakui” prinsip ketuhanan dalam UUD NIT. Selanjutnya, pasal-pasal mengenai kebebasan beragama menimbulkan perdebatan sengit. Pihak Islam menghendaki pembatasan kebebasan beragama, yaitu ditundukkan pada adat setempat. Juga pihak Hindu (Bali) atas alasan keamanan dan ketertiban menghendaki izin pemerintah setempat (di Bali: pemerintah desa) untuk “memasjhurkan agama di antara penganut-penganut agama lain”. Pihak Kristen kembali menggagalkan pembatasan-pembatasan tersebut, tetapi mengakui perlunya pengaturannya dalam suatu undang-undang. 

 

4.3.2. Sinode Am GPI 1948   

Di tengah-tengah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya terhadap usaha penjajahan kembali oleh Belanda, berlangsung suatu percakapan kalangan Kristen Indonesia dan Belanda mengenai gereja dan politik. Sinode Am ke-3 Gereja Protestan di Indonesia yang dilangsungkan di Bogor, tanggal 30 Mei – 10 Juni 1948, secara khusus membicarakan pokok “Kerk en Politiek” pada tanggal 10 Juni 1948, dalam empat babakan acara sejak pagi sampai malam hari.55  

Pembicaraan didahului tiga pengantar, masing-masing oleh Ds. W.J. Rumambi, Dr. A.J. Rasker, dan Dr. E Emmen. Ds. W.J. Rumambi membacakan “Rumusan Malino” dan keputusan-keputusan synode (GMIM) di Tomohon pada bulan Juli 1946 tentang gereja dan politik. 

Dr. Rasker memulai ceramahnnya dengan menyatakan bahwa dia tidak akan banyak mendukung apa yang dikemukakan Pdt. Rumambi. Orang Kristen secara pribadi mempunyai kewajiban dalam keseluruhan masyarakat; juga dalam membina negara. Tetapi mengenai Gereja, Rasker menyatakan:

Gereja tidak boleh menetapkan bahwa suatu Partai Kristen atau yang bukan Kristen harus dibentuk. Keduanya terdapat di Indonesia Timur. Gereja tidak boleh mengidentifikasikan diri dengan suatu partai politik.56 

Dan mengenai hubungan Gereja dan Negara, Dr. Rasker menyatakan Roma 13 (ketaatan kepada pemerintah sebagai hamba Allah) berhadapan dengan Wahyu 13 (pemerintah yang melawan kehendak Allah): 

Lebih sulit adalah masalah hubungan Gereja dengan Negara. Gereja mempunyai kewajiban untuk menyatakan kepada Negara: Engkau adalah hamba Allah (Rm. 13). Ini berarti bahwa Gereja harus menghimbau Negara untuk menaati Allah. Nah, sebagaimana seseorang yang tidak taat kepada Allah tenggelam dalam dosa dan kesalahan, demikian pula berlaku atas Negara yang tidak taat. Disamping Rm. 13 ada pula Why. 13 dalam Alkitab. Itu mengenai Negara yang memberontak terhadap Allah. Barangkali ada kemungkinan ketiga, yakni ketidakpedulian sama sekali. Tetapi ini mengarah kepada nihilisme.57 

Selanjutnya Rasker mempersoalkan beberapa hal yang diungkapkan Rumambi dari rumusan Malino: mengenai kebebasan beragama yang melulu didasarkan atas hukum manusia, bukan hukum Allah; tentang penolakan gereja-gereja di Indonesia Timur terhadap adanya kementerian agama bahwa walaupun benar kementerian macam itu berbahaya, tetapi gereja perlu bekerja melalui lembaga yang disediakan negara untuk dapat berbicara kepada negara dan apakah hanya melalui Madjelis Keristen gereja berhubungan langsung dengan negara. Rasker mengakhiri tanggapannya dengan mengutip pandangan Leimena bahwa apa yang terpenting bukanlah wadah mana yang ada untuk berbicara kepada Negara, melainkan apakah Gereja mempunyai orang-orang, yang dapat tampil secara mencolok di dalam masyarakat. 

Dr. E. Emmen, yang hadir sebagai undangan dari NHK, mengemukakan dua hal, yakni isi pemberitaan Gereja kepada Negara dan pokok-pokok yang Gereja dapat persoalkan kepada Negara. Keadilan dan kemurahan Allah yang bertolak dari penyataan bahwa bumi adalah milik Tuhan dan kekuasaan-Nya atas seluruh ciptaan seluruhnya dinyatakan dan diserahkan kepada Yesus Kristus merupakan pemberitaan yang memperhubungkan Gereja dengan pemerintah dunia. Pemerintah adalah pelayan Allah untuk menjalankan keadilan dan kemurahan hati sehingga dunia tidak kacau balau. Sedang pokok-pokok yang tentangnya Gereja dapat berbicara kepada negara adalah sikap tak berterima kasih dalam kebangkitan dunia Timur, sikap rasialisme, anarkhi dan tirani dalam masyarakat, penistaan kemanusiaan dan perbudakan manusia sehingga hilang dan menjadi bagian dari totalitas. Dalam hal itu tekanan penuh adalah pada tata hukum (rechtsorde), yang harus semata-mata berdasar pada hukum Allah.58 

Sebelum diskusi atas ceramah-ceramah itu dimulai, diberikan kesempatan khusus kepada dr. T.S.G. Moelia karena tidak dapat mengikuti sidang seterusnya untuk mengajukakan pandangannya. Tetapi Moelia menolak, karena “sebagai orang Keristen jang djoega toeroet ambil bahagian dalam politiek soekar akan berbitjara tentang hal ini”, dan karena “memandang hal ini dari djoeroesan agama, geredja dan kerohanian ialah amat berlainan dengan memandang hal ini dari djoeroesan politiek”. Meskipun begitu, Moelia sempat menyatakan penolakannya terhadap pandangan-pandangan Dr. Rasker dan Dr. Emmen, dan mengusulkan supaya diambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kenyataan konkret Indonesia.59 Rupanya Moelia menginginkan suatu dukungan konkret terhadap kemerdekaan Indonesia, daripada hanya mengungkapkan prinsip-prinsip umum sikap Kristen terhadap pemerintah. 

Percakapan pada babakan acara berikutnya, yang dipimpin oleh ds. Supit, memang memperlihatkan adanya usaha untuk memperhubungkan pokok ceramah kenyataan-kenyataan konkret politik masa itu. Keseluruhan diskusi mengenai pokok  Gereja dan Politik ini meliputi tiga hal: prinsip-prinsip Kristen atau Gereja di bidang politik, perlunya Sidang membuat suatu pernyataan, dan masalah-masalah politik yang aktual dalam hubungan Indonesia dengan  Belanda masa itu. Mula-mula utusan klasis Jawa Barat, Ds.A. Matulapelwa, tampil menegaskan “pengasihan” (=kasih) sebagai inti pemberitaan, yang menghiburkan dalam segala situasi. Ia menyetujui adanya partai (politik) tetapi “partij patoet dihamirkan oleh Gerdja”. Pada umumnya peserta Indonesia mendukung keterlibatan gereja dalam politik dalam arti “meragikan doenia ini dengan kalam Allah”. Hanya Ds. J. Lawalata, dari klasis Borneo (Kalimantan), yang menyatakan berpolitik adalah dosa.60 

Ds. C. Spoor, dari klasis Jawa Tengah, mempersoalkan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan jaminan kebebasan beragama dalam UUD Republik Indonesia, kedudukan orang-orang Belanda blijvers (pemukim tetap di Indonesia) dan upaya Kristen melawan dominasi Islam dalam kementerian agama. 

Ds. B.J. Siahaya (klasis Jawa Timur) mengusulkan supaya GPI “mengeloearkan soeatoe pengoetjapan”, bahkan lebih dari itu gereja perlu bertindak, karena “doenia sekarang perloe melihat boekan pengoetjapan akan tetapi soeatoe perboeatan”. J.E. Lengkey, utusan dari GMIM, mendukung perlunya Sinode membuat pernyataan mengenai gereja dan politik itu, serta merasa ada untungnya bahwa berbeda dengan sebelum perang, kini para pemimpin gereja juga turut dalam partai politik, “sehingga pemimpin2 politiek Kristen merasa diri tiada bolehj mendjaoehkan dirinja dari Geredjanja”. Mengenai keterlibatan Gereja dalam politik, Ds.D.F.Sahulata (anggota Kerkbestuur) mempertanyakan dan memohon penegasan Sinode, apakah seorang penghentar jemaat diluaskan berpolitik. Dicontohkannya bagaimana dia sendiri pernah diundang menghadiri suatu acara partai politik, dan ketika diminta berpidato dia bertidak selaku pelayan Gereja yang mengungkapkan kesaksian Gereja yang benar. 

Pada akhirnya disetujui membentuk suatu panitia untuk merumuskan “oetjapan” (=seruan) mengenai soal Gereja dan Politik itu, dalam bentuk suatu kanselboodschap (=berita mimbar, warta jemaat). Seruan yang dimaksudkan sebagai surat penggembalaan jemaat itu dibacakan dalam dua bahasa (Belanda dan Indonesia) menjelang penutupan sidang.62 

Seruan yang dialamtkan kepada “orang-orang Kristen Indonesia” itu terdiri atas tujuh butir, yang merupakan tuntunan umum bagi orang Kristen dan gereja dalam menghadapi kenyataan sosial politik. Butir (4) secara khusus mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia:

Pada dasar kasih dan keadilan Kristus inilah kami mengakui pertanggungjawaban kami bagi kehidupan bangsa, kebudayaan dan bentuk politik sendiri sebagai hak dan kehormatan bangsa-bangsa di Indonesiadan bahwa kami bersama dengan mereka mau membela kemerdekaan dan kemandirian mereka, supaya mereka segera dapat memperoleh tempat yang terhormat dalam persekutuan bangsa-bangsa yang adalah hak mereka.63 

Dalam acara persidangan mengenai gereja dan politik ini pula Ds. Denso (1916-1987), seorang pendeta GPI asal Selayar, Sulawesi Selatan,64 sempat mengungkapkan isi hatinya sehubungan dengan tindakan Westerling di Sulawesi Selatan. Dengan pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada bangsa Belanda yang membawa Injil ke Indonesia dan menyatakan dukungan terhadap pandangan Dr. Rasker dan Dr. Emmen (bahwa Gereja harus bersaksi kepada dunia berdasarkan kasih) Ds. Denso menyatakan kebingunannya terhadap kenyataan burruk di Sulawesi Selatan. Notulis mencatat: 

Akan tetapi kalau melihat akan kedjadian2 di Soelawesi Selatan pada tahoen jang laloe berhoeboeng dengan tindakan gerakan pembersihan antara 7 December, jang menjebabkan meninggalnja +/- 40.000 djiwa pendoedoek Soelawesi Selatan, dan apabila beliau mengingat kepada keloearga2 beliau jang meninggal dalam gerakan ini, maka beliau ta’ dapat mengerti dan ta’ dapat memberi djawaban jang pasti dalam hal ini. Tindakan tentera ini djoega soedah menjebabkan penganiajaan seorang goeroe djoemaat dan seorang penatoea djoemaat beliau. Beliau mengingat bahwa negara Belanda itoe adalah satoe Negara Keristen dan peratoean oendang2 dasarnja beralas diatas kekristenan. Maka timboellah pertanjaan: Adakah negara Keristen disoenia ini? Dengan sendirinja didjawab tida ada. Sebab itoe dalam keadaan jang sedemikian ini, perloelah Synode atau Geredja kita menjatakan pendirian dan sikapnja sebagai saksi Keristoes dalam doenia ini.65 

Ds. A. Everts dari klasis Sumatera, menyambut permasalahan Denso a.l. dengan mencela nasionalisme Belanda dan menyatakan pentingnya sifat kritis gereja terhadap nasionalisme (sebagaimana yang dialaminya pada masa pendudukan Jerman): 

Adalah dosa bahwa nasionalisme Belanda di sini terlalu dilampiaskan dengan mengorbankan bangsa-bangsa lain. Seorang Kristen berbeda dengan seorang bukan Kristen dalam bersikap terhadap nasionalisme. Seorang Kristen mengakui di samping nasionalisme sendiri juga hak pihak lain untuk berbangga pada bangsanya. Gereja tidak pernah boleh menjual diri pada nasionalisme. Kita harus kritis terhadap pekerjaan kita sendiri di Indonesia pada masa silam. Kritis terhadap semua nasionalisme.66 

Ds. J.A Stegeman (dari Komisi Teologi) juga menanggapi Denso dengan nada apologetik: sebagai pendeta sering ada kesulitan dengan sesama orang Belanda; mereka jarang ke gereja. Dia lebih merasa betah berada dalam kalangan orang-orang Indo-Eropa, Ambon, Minahasa, dan orang Kristen Indonesia lainnya. Tetapi dia membantah tuduhan bahwa orang-orang Belanda memeras Indonesia. Banyak orang Belanda yang mencintai negeri ini serta memberikan cinta dan pengabdian mereka. Mengenai seruan Gereja, Ds. Stegeman mengingatkan juga akan pentingnya keadilan bagi kalangan lemah, yakni hak-hak bagi golongan Indo-Eropa.67 

Ds. M. Sondakh dari Minahasa menunjuk bahwa soal politik yang dihadapi berpusat pada “soalkemerdekaan dan kedaulatan Indonesia selekas moengkin”. Dengan tegas Ds. Sondakh mendukung kemerdekaan Indonesia: 

Dari fihak Belanda datang kritiek: kamoe beloem tjakap oentoek kemerdekaan. Beliau kata: Berikanlah kemerdekaan itoe lebih dahoeloe. Kalau dikata orang Indonesia malas, itoe ialah karena ia beloem merasa bangsa jang merdeka dan berdaulat. Banjak orang Indonesia menekan poerdjoeangan, Sementara berdjoeang harga hidoep diboeang. Beliau ta’ setoedjoe dengan pemandangan ini. Dalam Berita Geredja ada soeatoe pasal jang melawan segala perampokan dan extremisme lainnja. 

 

Kalau nanti Synode ini datang kepada soeatoe oetjapan soepaja tentang satoe perkara sadja jang dioetjapkan, jaitoe bahwa Geredja setoedjoe dengan kemerdekaan Indonesia. Djangan perkara2 jang ketjil melainkan perkara jang besar sadja. 

 

Akhirnja beliau njatakan pengharapannja bahwa bangsa Indonesia kelak akan sama dengan bangsa2 lain dan djoega soepaja ada kerdja bersama-sama antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia.68 

Ds.K.G. Eckenhausen dari Jawa Timur menanggapi Ds. Sondakh dengan menekankan pentingnya kebebasan dibarengi keterikatan kepada Allah dan sesama manusia. “Gereja menolak setiap perjuangan untuk kebebasan tanpa keterikatan dan keterkaita tanpa kebebasan.”69 Ds. Saptojo, undangan dari Gereja Jawa Timur, mengingatkan bahwa yang terpenting dalam hal gereja berpolitik adalah adanya kesempatan sepenuh-penuhnya untuk memberitakan Injil: 

[…] di dalam doenia Indonesia jg. Katjau ini Geredja Protestan haroes selaloe mengawasi djalannya politiek soepaja  kalau ada perboeatan2 jg. Menindas geredja keristen, atau jg. Menoetoep pitoe sanoebari orang Indonesia terhadap pemberitaan Indjil, baik dari fihak Republiek, baik dari fihak Belanda, Geredja haroes berani mengeloearkan soeatoe kerkelijke uitspraak akan mentjegah perboeatan2 itoe.70 

Pada bagian akhir persidangan mengenai pokok Gereja dan Politik ini van Beyma selaku Konsul Zending menyampaikan pandangannya, khususnya mengenai “masalah Indonesia” sebagai sesuatu yang tragis pada kedua pihak, Belanda dan Indonesia.71 Van Beyma  memahami sulitnya mencapai kata sepakat di dalma gereja menyangkut masalah politik, namun gereja harus menghadapinya secara tepat: 

Namun demikian gereja harus melibatkan diri secara gerejawi dalam politik. Gereja mempunyai suatu tugas dalam mengupayakan bentuk-bentuk masyarakat. Patut Gereja membiarkan diri dipakai oleh Tuhannya sebagai tanda di negeri ini bagaimana suatu masyarakat yang benar. Ini harus mempengaruhi bangsa-bangsa sekeliling. Pemberitaan Firman Allah dalam jemaat adalah tugas, juga tugas politik Gereja.72 

Catatan-catatan di atas mengungkapkan bahwa juga para pendeta Indonesia dalam Konferensi Malino dan dalam GPI mendukung kemerdekaan Indonesia. Dukungan ini memperlihatkan bahwa bukan hanya para politisi Kristen Indonesia dalam Parkindo, tetapi juga para pelayan Indonesia dalam GPI (mereka masih berstatus pegawai pemerintah kolonial!) menyambut kemerdekaan Indonesia. Tetapi sebagaimana nyata dalam rumusan Malino dan dalam persidangan serta seruan GPI, kalangan gereja berpegang pada prinsip bahwa gereja hanya mencampuri politik dalam kaitan dengan tugas pemberitaan Firman Allah terhadap negara atau pemerintah, antara lain dengan menyuarakan kecaman atau protes jika terjadi ketidak-adilan atau tindakan-tindakan yang merugikan martabat manusia. Gereja tidak dapat melarutkan diri dalam arus politik praktis tertentu; gereja bukan lembaga politik Kristen. 

4.3.3. Kementerian Agama 

Cukup menonjol tuntutan pihak gereja (dan Zending) terhadap kebebasan beragama. Tuntutan pada kebebasan beragama telah menjadi pokok penting dalam pemikiran politik dalam kalangan politisi Kristen sebelum perang.73 Pihak Kristen Indonesia masa itu memang dibayangi kekuatiran bahwa masa depan baru Indonesia dapat didominasi pihak Islam yang akan berakibat pembatasan-pembatasan bagi pihak Kristen. Pandangan Dr. Berkuyl, yang secara khusus mempelajari masalah kebebasan beragama di Asia, dapat memprlihatkan alasan dasar bagi tuntutan kebebasan beragama ini. Dalam rangkuman disertasinya beliau mencatat: 

Pertanyaan yang harus menyibukkan saya adalah: Mengapa gereja Kristen harus menuntut kebebasan bagi pertarungan rohani dan mengapa kebebasan yang dituntut bagi dirinya sendiri itu harus dimintanya juga bagi pihak-pihak lain? […] Saya berusaha memperlihatkan bahwa barangsiapa yang menerima tuntutan-tuntutan dan makna Kristus yang mutlak, maka harus memberi tempat yang lapang bagi pengakuan kebebasan rojhani. Injil Kristus menurut kehendak Kristus sendiri hanya dapat diterima dalam kebebasan oleh pribadi. Oleh sebab itu Injil itu harus disampaikan dengan cara yang secara penuh memperhatikan hal itu, yi. Dalam kerendahan yang mendalam, dengan kesabaran yang tak terbatas, dorongan untuk pilihan pribadi dan sekaligus dengan keberanian yang radikal. Pengakuan pada kebebasan beragama bagi iman Kristen bersandar pada “tolerantia” dan “sapientia” Allah (kesabaran Allah terhadap manusia dan hikmat Allah) dalam memilih cara untuk meyakinkan orang. Paksaan rohani adalah setani. Allah menghendaki bahwa kita berjuang untuk kebebasan rohani.74 

Dalam kerangka kebebasan beragama itu kehadiran kementerian agama dalam pemerintahan dipersoalkan. Penolakan terhadap adanya kementerian ini dimunculkan oleh J. Latuharhary pada rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945. Alasannya untuk mencegah ketidakpuasan golongan agama. 

Saja jakin, bahwa, djika mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan jang tersinggung atau tidak senang. Umpanja sadja, djikalau Menteri itu seoarang Kristen, sudah tentu kaum Muslimin  tidak senang perasaannja dan sebaliknja. Kita tidak perlu membangkitkan perasaan-perasaan jang menimbulkan ketjideraan antara bangsa kita. Oleh sebab itu saja usulkan supaja Urusan agama dimasukkan dalam urusan pendidikan. Dengan djalan demikian tidak ada perpetjahan dan djuga onkosten-vermindering.75 

Tetapi kemudian kementerian ini dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946 oleh kabinet Sjahrir.76 Adanya Kementerian Agama dalam kabinet pemerintahan mula-mula merupakan konsesi kepada pihak Islam dan berkembang menjadi kementerian untuk kepentingan Islam, tetapi kemudian diarahkan pada kepentingan nasional melalui pelayanan kepada semua agama.77 Kementerian ini dibicarakan juga pada Konferensi Pembentukan DGI, bulan Mei 1950. Pada waktu itu timbul sikap pro dan kontra, tetapi Leimena mengungkapkan latar belakang dan manfaatnya: 

Ini berasal dari Djepang jang diambil oper oleh R.I. dan R.I.S. dan ini terdjadi oleh politieke spanning, karena pada pembentukan kabinet R.I.S. Kementerian Agama belum ada. Akan tetapi akan menghapuskan Kementerian Agama ini lebih baik djangan, djustru pada waktu sekarang ini Kem. Agama perlu ada. Kita harus memakai Kem. Agama untuk maksud kita akan memperlihatkan: ‘t Wezen v.d. Kerk. Tetapi kita harus tahu batasnja djuga, dan djangan “forceren”.78 

Ketua sidang, Dr. T.S.G. Moelia menambahkan – menjawab tekad Ds. Probowinoto untuk “melenjapkan systeem Kem. Agama itu” – bahwa: 

[…] adanja Kem. Agama disini adalah tanda bahwa orang Islam bukan anggap bahwa ini Negara Islam. Karena dalam negara Islam tak perlu Kementerian Agama, hanja ada jang mengurus wakaf2, sebagai milik agama, d.l.l.79 

 

4.4. Rangkuman 

Kegiatan politik pihak Kristen memasuki tahap baru ketika pemerintahan kolonial berakhir. Percakapan mengenai pokok itu pada Konferensi NIZB di Karang Pandan pada tahun 1941 sudah memperlihatkan arah baru, yakni sambutan terhadap pergerakan nasional dan appeal kepada gereja untuk memberi tuntunan teologis di bidang politik. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, kalangan Kristen turut membentuk partai Kristen dengan pimpinan di tangan generasi muda yang berwawasan baru. Pembentukan PARKINDO dan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan partai politik Kristen itu menunjukan dukungan penuh kepada kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dan keterlibatan sejumlah mantan aktivis CSV op Java di dalamnya, seperti Leimena dan Tambunan, bersama tokoh dan latar belakang teologi seperti Probowinoto, memastikan bahwa dimensi Kristen cukup kuat di samping dimensi politiknya. Artinya, prinsip-prinsip Kristen mewarnai praktek dan kepentingan politik. Tetapi dibandingkan dengan sebelumnya (CSP, PKMI, PKC) tidak ada perubahan yang mencolok dalam prinsip teologi politik mereka. Kecenderungan eksklusif injili dari lingkungan CSV dan pengaruh teologi politik yang berkembang dalam partei-partai Kristen di Negeri Belanda memperlihatkan pengaruh yang kuat, khususnya dalam hal memahami kegiatan berpolitik sebagai panggilan untuk memberlakukan kehendak Allah. Sikap teoktratis ini pun tetap hidup dalam PARKINDO. 

PARKINDO menjadi salah satu tanda adanya partisipasi Kristen dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia. Apakah di dalamnya terkandung usaha politis untuk menegaskan hak bagi kekristenan dalam masa depan Indonesia? Pertanyaan ini layak diajukan, mengingat kenyataan sebelumnya bahwa para politisi Kristen bersikap loyaal terhadap pemerintah kolonial, dan adanya tuduhan umum (antara lain dalam kaitan dengan jumlah besar “suku-suku Kristen” dalam KNIL), bahwa orang Kristen adalah aparat kolonial.80 Sikap pro-kemerdekaan Indonesia dari PARKINDO bukan usaha menghapus citra pro-kolonial para politisi Kristen sebelunya, melainkan pengungkapan sikap nasionalisme kalangan Kristen. Para penganjurnya berasal dari lingkungan generasi muda Kristen yang terbina dalam wawasan nasionalisme dan menjadi pendukung pergerakan nasional sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 

Selain dalam kalangan politisi Kristen, juga di kalangan gereja berlangsung perubahan sikap politik. Perhatian kepada soal-soal politik, dan khususnya dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia, diungkapkan dalam pertemuan-pertemuan gereja. Tetapi gereja tetap menjaga hakikatnya sebagi gereja dengan tidak mengikat diri pada kelompok politik praktis tertentu. Sasaran perhatian gereja terutama pada penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung nilai-nilai agama dan kemanusiaan Sebab itu gereja turut memperjuangkan kebebasan beragama. Dan dalam rangka kebebasan agama itu pula pihak Kristen masa itu mempertanyakan eksistensi Kementerian Agama, yang pada masa itu lebih merupakan lembaga pemerintah bagi agama Islam. 

Akan tetapi walaupun ada pergeseran yang bermakna dalam sikap politik kalangan Kristen Protestan di Indonesia dari sikap konservatif pada periode pergerakan ke sikap yang progresif memasuki masa kemerdekaan, pengungkapan nasionalisme di dalam kekristenan di Indonesia bukan terutama berlangsung di bidang politik, melainkan dalam proses kontekstualisasi kekristenan yang mewujudkan “gereja Indonesia”. Kehidupan kekristenan terarah menjadi bagian yang terpadu dengan kenyataan sejarah bangsa Indonesia. Transformasi nasionalisme Kristen ituberlangsung dalam gerakan oikumene, di mana gereja-gereja di Indoesia mengalami serentak proses menjadi gereja-gereja yang mandiri dan yang berusaha mewujudkan keesaannya. 

 

 

1 Lihat laporan mengenai ceramah dan diskusinya dalam De Opwekker 86/1941:639-642 di bawah sub-judul “Voor de derde sectie sprak Mr Soewidji, over: “de roeping der Kerken op politiek terrein”.  

2 Amir Sjarifuddin lahir di Medan, berasal dari keluarga Batak marga Harahap, kakeknya Kristen tetapi ayahnya mengikukti isterinya memeluk agama Islam. Setamat ELS ia melanjutkan ke Gymnasium di Leiden dan Haarlem (1921-1927) lalu melanjutkan pada RHS di Batavia. Sejak di Negeri Belanda sudah menaruh minat pada agama Kristen, dan akhirnya menerima Baptisan pada tahun 1931.Biografinya dtulis oleh Frederik Djara Wellem, “Mr. Amir Syarifuddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” (Thesis STT JAKARTA, 1982; lihat pula J. Verkuyl, Gedenken en Verwachten, hlm. 180-183; Abu Hanifah. “Revolusi Memakan anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin” DALAM Taufik Abdullah dkk (eds), Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1979), hlm. 189-218; Jacques Leclerc, “Amir Sjarifuddin 75 Tahun”, Prisma 12/1982:53-76; lihat pula Jacques Leclerc, “Afterword: The Masked Hero”, dalam Anton Lucas (ed). Local Opposition and Underground Resistance to the Japanese in Java 1942-1945 (Monash University, 1986), hlm. 341-347. 

3 De Opwekker 86/1941:640.  

4 Ibid.  

5 Ibid, hlm. 6642; Verkuyl berharap kiranya Tuhan sendiri juga memberi kepada Amir Firman dan Roh-Nya. 

6 Lecrec membela pilihan Amir itu dengan dua alasan: kewajiban Amir menghidupi keluarganya (anak pertamanya lahir tanggal 25 Maret 1940), dan bahwa bekerja pada pemerintah kolonial tidak mengingkari idealisme perjuangannya: “Politik kooperasi dengan pemerintahan, yang disetujui oleh pergerakan, telah memudahkan pilihannya itu, sebagaimana dilakukan juga oleh penggerak Gerindo lainnya, seperti Sanuse Pane. Dalam keadaan itu, tidak ada kontradiksi antara menjadi seorang kiri yang anti kolonialis dengan dengan ikut serta bekerja dalam kedudukannya yang benar-benar bersifat teknis di dalma pemerintahan kolonial. Di dalam tradisi demokrasi, menjadi pegawai negeri tidak berarti harus selalu setuju dengan pemerintah dan bahwa kita harus terus mendukungnya. Tidak ada kewajiban bagi seorang pegawai untuk memiliki opini politik yang sama dengan tempat di mana ia bekerja, walaupun itu bernama Negara.” Lihat Jacques Leclerc, “Amir Sjarifuddin 70 tahun”, Prisma 12/1982: 70 dyb.  

7 Menurut kesaksiannya kepada Verkuyl, selama dipenjara di Malang Amir membaca kitab nabi-nabi dalam Alkitab Perjanjian Lama. J. Verkuyl, Gedachten en Verwachten, hlm. 182.  

8 Rufinus Tobing mengingatnya sebagai PPKK (Persiapan Persatuan Kaum Kristen), lihat Victor Matondang, “Mengenang: Mr. Rufinus Tobing, Tjatatan Omong2 Dng. Beliau Thn 1966”, dalam Ragi Buana, 74/VIII/1970: 13-16, 118-119. Menurut kutipan Wellem, pengurus badan itu dimantapkan dalam rapat tanggal 26 Juni 1942, terdiri atas Penasihat: Dr. Kajadu, Dr. Ratu Langie, Dr. W.Z. Johannes, dan Ds. Gouw Khiam Kiet; Ketua Umum: Mr. Amir Sjarifuddin, Ketua Muda: Mr. Rufinus Lumban Tobing, Penulis Sihasale dan S. Bone, Bendahara L. Lesiangi. Mereka menggantikan pengurus sementara di mana terdapat nama-nama Lapian (Penulis), Huliselan (Bendahara), dan Anggota-anggota: Phouw Peng Hong, Piet de Queljoe, Tahaleluman dan Hutabarat. Lihat F.D. Wellem, “Mr. Amir Sjarifuddin”, hlm. 174. Setelah Kajadu terbunuh, Amir ditangkap dan Rufinus Tobing menghilang ke Sumatera dengan terlebih dahulu menyerahkan Kramat 65 kepada Dr. Sitanala.  

9 Victor Matondang, “Mengenang: Mr. Rufinus Tobing, Tjatatan Omong2 Dng. Beliau Thn 1966”, dalam Ragi Buana, 74/VIII/1970: 118; bandingkan dengan kesaksian Prof. W.Z. Johannes: “dengan nada yang sinis terhadap Jepang, Amir meganjurkan kepada umat Kristen agar jangan hanya ingat kepada alam baka. Harus berdiri dengan kedua belah kaki di masyarakat yang sedang bergolak, seperti halnya Musa memimpin umat Israel dari tanah Mesir, tanah perhambaan itu.” Ruben Nalenan, Biografi Prof. Dr. W.Z. Johannes (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979), hlm. 40.  

10 Walaupun menjadi pemimpin golongan Komunis dan terlibat dalam Peristiwa Madiun, kesaksian-kesaksian yang ada tidak meragukan kesetiaan Amir terhadap iman Kristennya. Mengenai pengakuan Amir sebagai kader Komunis, lihat Anthony Reid, The Indonesian National Revolution 1945-1950 (Hawthorn, Vic.: Longman, 1974), hlm. 102 

11 Lihat R.Z. Leirissa, “Biografi Dr.J.Leimena”, dalam P.D. Latuihamallo dkk. (eds.), Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980) hlm. 44.  

12 Mengenai perkembangan penyusunan rancangan UUD 1945, lihat Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: BPK CLC1984) s.v. “Pancasila” (3:227-326) dan “Undang-Undang Dasar 1945” (4:282-304). Lihat pula M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Prapantja, 1959), I, hlm. 60. Hanya terdapat dua orang Indonesia beragama Kristen dalam BPUPK, Mr. J. Latuharhary (Ambon) dan Mr. A.A. Maramis (Minahasa). Meskipun Maramis beragama Kristen, tidak diperoleh petunjuk bahwa dia berada dalam lingkungan politisi Kristen. Dalam suatu tulisannya mengenai masa depan Indonesia setelah BPUPK terbentuk, Maramis menekankan juga pendekatan federalistis menuju kesatuan, sedangkan mengenai agama pandangannya mengikuti golongan Kebangsaan: “[…] baiknya Indonesia mendapat pemerintahan kebangsaan. Agama harus dpelihara seteli-telitinya, akan tetapi harus dipisah dari pemerintahan. Mudah-mudahan kelahiran dan berkembangnya Turki sebagai negara modern dapat diselidiki sebaik-baiknya oleh bangsa kita.” A.A. Maramis, “Indonesia Merdeka, Negara Bersatu”, dalam Pitoyo Darmosugito (ed), Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan Tulisan tentang Bentuk dan Isi Negara yang akan Lahir (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 82. Seperti Ratu Langie, Maramis banyak bergerak di kalangan nasionalis (anggota PNI), salah seorang pendukung Jepang dan pada masa revolusi merupakan salah seorang pemuka KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi). Lihat F.E.W. Parengkuan, A.A. Maramis, SH (Jakarta: Depdikbud, 1985/1985); Nishijima Shigetada, “The Nationalists in Java, 1943-1945”, dalam Anthony Reid dan Oki Akira, The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 (Ohio: Ohio University, 1989), hlm. 152, 159 dyb. 

13 M. Abdnego, Suatu Partisipasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), hlm. 33. Dengan dihapusnya bagian itu maka J. Leimena dapat menjadi pejabat beberapa kali ketika Presiden Sukarno melawat ke luar negeri. Agaknya pertemuan itu tidak menanggapi konsep rumusan pembukaan yang diambil alih dari “Piagam Jakarta”. 

14 J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo (Jakarta: Yayasan Komunikasi, 1989), hlm. xii-xiii. 

15 Lihat “Soerat Terboeka kepada Oemmat Keristen di Inggeris, Amerika, Tiongkok, dan lain-lain negeri”, Pedoman, 1/1/1945: 18. 

16 Pembentukan PARKI diuraikan dalam biografi Melanchton Siregar, lihat Payung Bangun, Melanchton Siregar, Pendidikan dan Pejuang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 37-39. Siregar yang kedua disebut di atas dicatat berasal dari Tapanuli Selatan (hlm. 37). T.B. Simatupang menyatakan bahwa PERCHI didirikan oleh S.M. Simatupang “pada tahun2 sebelum pendudukan Djepang”. Lihat T.B. Simatupang (bersama Victor Matondang dan AB. Lapian), “Partisipasi Kristen dalam Revolusi dibidang Politik”, dalam W.B. Sidjabat (ed), Partisipasi Kristen, dalam Nation Building di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 17. 

17 “Parkindo 24 Tahun”, dalam Komunikasi, 9/1969: 3. Mengenai Revolusi Sosial di Sumatera Timur itu, yang memuncak pada pembunuhan kaum bangsawan dan feodal, lihat Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera (Jakarta: Sinar Harapan, 1987). 

18 “Parkindo 24 Tahun”, Komunikasi, 9/1969:3: 3; N.R.I. singkatan dari Negara Republik Indonesia. Karangan ini dimuat kembali dalam Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 411-419, dengan mencantumkan nama penulisnya, H.M. Victor Matondang. 

19 “Parkindo 24 Tahun”, Komunikasi, 9/1969: 4. 

20 Kongres Partai Kristen Indonesia, jang ke-I pada Tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Soerakarta”, Pedoman, 2/1945: 7. 

21 Kongres dibuka oleh Ketua Panitia disusul Pembacaan Alkitab dari Roma 13: 1-7 dan Matius 5: 13-16 dan doa. Di antara telegram (ucapan selamat berkongres) yang diterima , terdapat dari Presiden Sukarno, dan dari “Persatoen Masehi Indonesia” di Palembang. Tidak diperoleh keterangan mengenai organisasi Kristen di Palembang ini. 

22 “Kongres Partai Kristen Indonesia jang ke-I pada Tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di Soerakarta”, Pedoman, 2/1945: 8. 

23 “Mosi Parkindo”, Pedoman, 1/2/1945: 9. Dimuat juga dalam Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 34. 

24 W.Z. Johannes, “Kata Penjamboetan dari Redaksi”, Pedoman, 1/1/1945: 5-6. 

25 J.L.L. Wenas, “Menjamboet Lahirnja Pedoman”, Pedoman, 1/1/1945: 7. 

26 J.L.L. Wenas, “Bersihkan dan Koeatkan Diri!” Pedoman, 1/3/ 1945: 6-7. Bnd. Lukas 13: 19. 

27 J.K.P[anggabean]., “Toemboehlah serta Soeboerlah Hidoepmoe!”, Pedoman, 1/1/1945: 8-9. 

28 J.K.P[anggabean]., “Perdjoeangan Orang Kristen”, Pedoman, 1/1/1945: 11-12. 

29 M.K. Tjakraatmadja, “Kewadjiban Pemoeda Kristen dalam Lasjkar Perintis”, Pedoman, 1/1/11945: 8. 

30 Mengenai kegiatan dan pemikiran Probowinoto di bidang politik, lihat Nico L. Kana dan N. Daljdoeni, Ikrar dan Ikhtiar dalam Hidup Pendeta Basoeki Probowinoto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm 49-69. 

31 B. Probowinoto di , “Pembentoekan Party Keristen National”, Pedoman, 1/1/ 1945: 10. 

32 Ibid., hlm. 11. 

33 B. Probowinoto, “1 Djanoeari”, Pedoman, 1/3/1946:4. 

34 B. Probowinoto, “1 Djanoeari”, Pedoman, 1/3/1946:4-5; tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan celaan terhadap “tjaranja bangsa Indonesia membela pendiriannja politik” dalam pernyataannya yang bernada “right or wrong my country” ini. Dalam karangannya yang lain, Probowinoto menyinggung tentang adanya kekurangan-kekurangan pemerintah, tetapi menentang kritik-kritik yang memakai kenyataan itu untuk merobohkan kabinet. Lihat B. Pr[obowinoto], Menyokong Siasat Politik Pemerintah”, Pedoman, 1/4/1946: 4-5. 

35 J.L.Ch. Abineno, “Partai Politik”, Pedoman, 1.1.1945:16-18. Abineno menghiasi majalah ini dengan beberapa syair yang menggambarkan pergumulan iman; cerminan pergumulan di tengah pergolakan masa itu. Salah satu syairnya berbunyi: Dalam irama / soeka dan doeka / tahoe dan tanja / akoe mentjari/ djalan kembali / melintas gelombang / dan laoetan tenang / keroemah Abawi. Abineno, “Akoe Mentjari”, Pedoman, 1/4/1946: 13. Prof. Abineno pernah memimpin suatu majalah sastra bersama Sutan Takdir Alisjahbana. 

36 “Pergantian Tahoen”, Pidato Radio Mr. Tamboenan pada tanggal 31 Desember 1945, Pedoman, 1/3/1946: 3. Tamboenan menyebut alamat-alamatnya seruannya: “The Church of England”, “The Bishop of Canterbury”, “The Bishop of York”, “The World’s Student Christian Federation”, “Oecumenische Beweging”, “Nederlandse Hervormde Kerk”. 

37 “Parkindo 24 Tahun”, Komunikasi, 9/1969: 5. 

38 Lihat J. Leimena, “Gereja, Negara dan Keinsafan Politik”, dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 430-437 (naskah dimuat dalam Ejaan Yang Disempurnakan, tanpa sumber, tetapi lihat daftar karangan Leimena mengenai kenegaraan/politik dalam P.D Latuihamallo dkk (pan), Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab, hlm. 346.)

39 Leimena, “Gereja, Negara dan Keinsafan Politik”, dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 432.

40 Ibid., hlm. 435. 

41 Ibid., hlm. 436. 

42 Notohamidjojo, Iman Kristen dan Politik (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), hlm. 47; edisi pertama buku ini terbit tahun 1951, sehingga pemikiran di dalamnya dapat mencerminkan pemahaman politik kalangan PARKINDO pada periode sebelumnya. Dalam kata pengantarnya penulis menyatakan: “Buku ini sekali-kali bukan suatu program politik Kristen Protestan di Indonesia. Hendaknja kitab ini dipandang sebagai suatu pertjobaan untuk menjinarkan terang asas-asas Kristen kepada tanggapan sesaat (momentopname) keadaan2 di Indonesia.” (hlm. 3).

43 Notohamidjojo menyebutkan sejumlah aliran: “aliran Islam, aliran seculair humanis, aliran kebangsaan, aliran Komunisme jang radikal, aliran Kristen”. Lihat Notohamidjojo, Iman Kristen dan Politik, hlm. 48. Notohamidjojo mencatat alasan tambahan bagi pentingnya suatu partai politik Kristen di Indonesia, yang disebutnya alasan pedagogis, yaitu untuk menolong orang-orang Kristen yang terseret oleh arus politik lain: “Rasul Paulus dalam surat Rum, mejogiakan supaja jang teguh dalam kepertjajaannja memapah saudara2nja jang lemah dalam iman; supaja kita sekalian saling mendjaga djangan sampai tersentuh, supaja kita sekalian saling berpegangan dalam kesatuan para sutji. Kata2 ini berlaku pula pada lapang politik.” (lihat Rm. 15:1); tetapi juga menyebut bahaya-bahaya bagi suatu Partai Kristen: menyamakan program politik partai dengan kehendak Tuhan, membeku atau menjadi konservatif dan mengasingkan diri secara munafik (farizees isolement) (hlm. 49 dyb).  

44 Mengenai pandangan teokrasi Calvin, lihat Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hlm. 252-260 (IV. Xx).   

45 Majalah PARKINDO, Pedoman, diterbitkan oleh lembaga penerbitan Zending, tetapi juga tidak jelas siapa yang menanggung biayanya. Walaupun tidak ada hubungan langsung, tidak berarti bahwa kalangan Zending berdiam diri terhadap masalah-masalah politik yang dihadapi orang Kristen Indonesia. 

46 Konsep ini dikenal sebagai “Piagam Jakarta”. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak disinggung dalam karangan-karangan maupun dalam keputusan-keputusan Parkindo masa itu.  

47 Agak aneh bahwa sampai kini tidak ada kelompok atau perorangan Kristen yang mengaku turut melahirkan aspirasi yang kemudian disalurkan kepada PPKI (Bung Hatta) melalui seorang perwira Kaigun Jepang. Megenai sikap politik PARKINDO kemudian terhadap dasar negara, lihat W.J. Rumambi, “Tentang Dasar Negara RI” dan J.C.T. Simorangkir, “Kembali ke UUD 1945”; keduanya dimuat sebagai lampiran dalam Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo, hlm. 446-453 dan hlm. 488-510. 

48 Yamin, Naskah Undang-Undang Dasar 1945, 1, hlm. 259, Latuharhary didukung oleh Wongsonegoro dan Djajadiningrat, tetapi disanggah oleh Agus Salim dan Wachid Hasjim. Ketua (Sukarno) menolak keberatan Latuharhary dengan menekankan bahwa “kalimat itu kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam, jang hanja didapat dengan susah pajah”. Dapat diduga bahwa keberatan ini luas membentuk suatu sikap bulat untuk memisahkan diri dari Republik, jika rumusan diskriminatif itu tetap dipertahankan dalam Pembukaan UUD. Lihat Mohammad Hatta, Memoir (Djakarta: Tintamas, 1968), hlm. 458 dyb. 

49 Mengenai konferensi Gereja dan Zending di Malino tangal 15-25 Maret 1947, lihat P.N. Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia: Sejarah Madjelis Keristen Indonesia bahagian Timur 1947-1956 (Ujung Pandang:ISGIT, 1982). 

50 Lihat M. Sondakh, “Oeraian tentang ‘Geredja, bangsa dan Negara”, dalam Arsip Madjelis Keristen; petikan-petikan terdapat dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 66-68. 

51 Rumusan Malino dimuat sebagai lampiran dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 139-141. 

52 Perhatikan bahwa rumusan Malino tidak menyebutkan NIT, melainkan “Negara Indonesia jang merdeka”. 

54 Lampiran 4 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 140. Statement on Religious Liberty, yang dikutip dalam naskah ini, dihasilkan oleh Joint Committee on Religious Liberty dari gerakan oikumenis di Amerika pada tahun 1944. 

55 Lihat Toetoeran Sinode Am jang Ketiga Geredja Protestant di Indonesia (Bogor 30 Mei – 10 Juni 1938), hlm. 88-106. 

56 Ibid. hlm. 90. 

57 Ibid. 

58 Ibid., hlm. 91 dyb. 

59 Ibid., hlm. 92 dyb. 

60 Ibid., hlm. 100 dyb. 

62 Ibid., hlm. 94 dyb. 

63 Ibid., hlm. 136 dyb.., lihat pula hlm. 102 dan 105. 

64 Mengenai riwayat pekerjaan Pdt. Sjamsuddin Denso (Daeng Soreang) di kalangan orang Bugis, lihat Christiaan G.F. de Jong, Geesten, Goden en Getuigen: Geschiedenis van de Nederlandse Zendingonder de Buginezen en Makassaren in Zuid-Sulawesi (Indonesië) (Kampen: J.H. Kok, 1991), hlm. 95-105. 

65 Toetoeran Synode III, hlm. 97. Rupanya Denso sudah pula mengirim surat kepada Kerkbestuur, yang selanjutnya telah menghubungi pihak militer di Makassar mengenai hal itu. Tentang “Korban 40.000 di Sulawesi Selatan”, lihat Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Jakarta: Grafiti, 1989), hlm. 125-137. 

66 Toetoeran Synode III, hlm. 98.  

67 Ibid., hlm. 99. Ketika komisi perumus seruan ditunjuk, Mr. A.L. Fransz juga mengharapkan supaya juga disinggung masalah Indo-Eropa.  

68 Ibid., hlm. 9.  

69 Ibid., hlm. 100 dyb.  

70 Ibid., hlm. 101 dyb.  

71 Ketika GPI merumuskan “a very mild appeal” and “might be interpreted as favoring the Dutch party”, U.H. van Beyma mengecam GPI. “.. he blamed the Church for missing the chance to be an instrument of reconciliation in the Dutch-Indonesian dispute”. Lihat Tiat Han Tan, The Attitude of Dutch Protestant Missions Toward Indonesian Nationalism 1945-1949 (Diss. Princeton 1967), hlm. 322-325.  

72 Toetoeran Synode Am ke-III, hlm. 105 dyb.  

73 Lihat catatan mengenai Anggaran Dasar PKMI dalam bab III di atas. Salah satu studi mengenai kebebasan beragama di Indonesia kemudian adalah disertasi Dr. Sidjabat. Lihat Walter Bonar Sidjabat, Religious Tolerance and the Christian Faith: A Study Concerning the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christanity (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1965); lihat pula J.A.B. Jongeneel, Hak Atas Kebebasan Beragama Menurut Deklarasi dan Konvensi-konvensi PBB dan Undang-undang R.I. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976).  

74 Verkuyl, Gedenken en Verwachten, hlm. 171 dyb. Bagian yang diabaikan dalam kutipan di atas menyebutkan alasan-alasan yang ditolak Verkuyl: relativisme agama, indifferentisme terhadap kebenaran, ketakacuhan liberalisme, entusiasme romantik dan idealisme agama dan filsafat.  

75 Lihat notulen dalam M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 457.  

76 Mengenai masalah-masalah seputar Departemen ini, lihat B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1945-1970 (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 109-116; dan idem, Godsdienstpolitiek in de Indonesische Republiek (Leiden: Universitaire Pers, 1977). Sejak awal Menteri Agama menyatakan fungsi positif kementeriannya bagi semua agama: “Keadaan jang sewadjarnja, realiteit jang njata mendjamin bahwa bangsa Indonesia, baik jang memeloek agama Islam, agama Kristen atau lainnja, akan mendapatkan hasrat mereka dalam Kementerian Agama. Kita sebagai soeatoe bangsa, jang ingin hidoep bersama dalam negara Republik Indonesia tentoe bersatoe padoe dalam menegakkan Pemerintah kita, menghadapi doenia loear. Perbedaan kejakinan dan agama tidak akan dapat memisah kita. Harga menghargai satoe dengan lainnja, serta le desir de vivre ensemble, hasrat oentoek hidoep bersama, sebagai kata Earnest Renan [sic], serta pengoerbanan jang telah dilakoekan oleh ra’jat Indonesia dengan segala golongannja, serta kesanggoepan jang akan menjampaikan kita kepada kemerdekaan jang kekal dan abadi.” [Rasjidi], “Pidato Menteri Agama dalam Konperensi Djawatan Agama Seloeroeh Djawa-Madoera, pada tg. 17/18-3-1946 di Solo”, (Arsip Madjelis Keristen, stensilan berbentuk notes saku, 16 halaman), hlm. 16.  

77 Pada tahun 1977 Boland menunjukan contoh-contoh dari “islamitische sfeer” kementerian ini, tetapi melihat permulaan baru dalam penunjukan Dr. Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Lihat Boland, Godsdienstpolitiek in de Indonesische Republiek, hlm. 7-13. Boland mencatat – menentang tanggapan yang memandangnya sebagai “kubu Islam dan pos depan untuk sebuah negara Islam’ – makna positifnya: “(1) bahwa kementerian itu menawarkan kemungkinan bagi agama, khususnya agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat, dan (2) dalam sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim, Kementerian ini merupakan suatu jalan tengah antara negara sekuler dan suatu negara Islam.” B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1945-1970 (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 111 dyb.  

78 [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 25.  

79 Ibid., hlm. 25. Salah satu pemikiran dari kalangan Kristen belakangan ini mengenai Departemen Agama disuarakan oleh alm. Dr. T.B. Simatupang, yang mengusulkan pergantian namanya menjadi Departemen Keagamaan (dalam arti Departement of Religious Affairs) dan menambahkan Direktorat Jenderal Kerjasama Antar Umat Beragama di dalam Departemen itu. Lihat T.B. Simatupang, Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila: Dari Buntut dalam GBHN 1983 mejadi Jantung dalam GBHN 1988 (Jakarta: Universitas Kristen Indonesia, 1987), hlm. 59.  

80 Abu Hanifah, salah seorang pemuka Islam mencatat pengalamannya pada masa revolusi: “Suspects were usually old servicemen of the colonial Government, members of the old aristocracy and also often just Christians in my region were mostly people from East Indonesia, from North Celebes, the Menadonese, or the people from the Mollucas such as the Ambonese. These suspicions came about because in the colonial time Dutch had favoured the Christians very much above the Moslems Indonesians, openly supporting Protestant and Catholic mission schools and churches. This idea of an alliance between the Christians and the Dutch was deeply imprinted in the minds of the Moslem Indonesians.” Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney etc: Angus and Robertson, 1972), hlm. 176. 

Bab V: Gerakan Kemandirian Gereja-gereja

Ketika bangsa Indonesia memperjuangkan suatu masa depan baru Indonesia di lapangan sosial politik dalam pergerakan nasional, gereja-gereja di Indonesia sibuk pula dalam gerakan ganda kemandirian dan keesaan gereja.

Kemandirian gereja berlangsung dalam dua bentuk, yakni pelembagaan jemaat-jemaat hasil pekerjaan Zending menjadi gereja yang berdiri sendiri, dan perombakan organisasi Gereja Protestan (Indische Kerk) dalam rangka mengurai ikatan dengan pemerintahan dan membentuk beberapa gereja otonom. Proses kemandirian dan keesaan gereja-gereja di Indonesia berlangsung bersamaan dengan memuncaknya pergerakan nasional pada tahun 1920-an dan 1930-an. Gereja-gereja yang terbentuk sampai tahun 1950 meliputi: Methodist (1922), HChB (1927, HKI 1934), HKBP (1930), GKJ, GKJW (1931), KGPM (1933), GMIM, GKP, GKI-JATIM (1934), GPM, GKE (1935), GKI-JATENG, BNKP (1936), GKI-JABAR (1938), GKMI (1939), GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIST (1947), GPIB, GTM, GKPB (1949), GMIH (1950).1 Dalam bab ini proses kemandirian beberapa dari gereja tersebut dibicarakan sebagai contoh-contoh untuk memperoleh gambaran mengenai gerakan kemandirian gereja di Indonesia.

5.1. Lingkungan Zending

5.1.1. Gereja-gereja Batak: HKB

Sejarah pengkristenan Tanah Batak dapat dibagi atas enam periode: peletakan dasar-dasar pertama di lembah Silindung (1861-1881); pengkristenan wilayah sekitar danau Toba (1881-1901); perluasan lebih lanjut (1901-1918); menuju kemandirian ( 1918-1940); dinamika kemandirian dan kemitraan (1940-1954); dan periode kedewasaan (1954 – kini).2 Usaha-usaha kemandirian jemaat telah lama dijalankan, khususnya melalui pendidikan, pengangkatan dan pembiayaan pelayan-pelayan pribumi. HKBP menjadi suatu organisasi gereja yang berdiri sendiri pada tahun 1930. Tetapi pada kenyataannya  pimpinan dan pengambilan keputusan masih berada di tangan para pekabar Injil (RMG) sampai tahun 1940, sehingga penetapan Tata Gereja baru tahun 1930 itu lebih merupakan reorganisasi pekerjaan Zending daripada pembentukan gereja Batak.

Tetapi pembentukan HKBP pada tahun 1930 bukan pula semata-mata prakarsa pihak Zending (RMG). Salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak sendiri untuk mencapai kemandirian. Dalam hubungan ini peranan Hatopan Kristen Batak (HKB) sangat penting.3 HKB dibentuk pada tanggal 28 September 1917 dari suatu kumpulan paduan suara Zangvereenigng Hadomuan di Balige. Tujuannya adalah untuk memperkuat agama, kasih persaudaraan, tolong menolong dalam segala pekerjaan baik, khusus dalam lingkungan anggota-anggota serikat dan mengusahakan perdamaian dan pembangunan sosial suku Batak.4 Para pendirinya antara lain guru Polin Siahaan, wartawan M.H. Manullang dan guru Ambrosius Simatupang. Dalam HKB terdapat beberapa aliran. Yang pertama adalah yang mengarahkan kegiatan HKB pada bidang agama Kristen (gereja-sentris) dan yang dalam rangka itu menghendaki keterlibatan para Zending di dalam HKB (kelompok 13, kemudian menjadi kelompok 17) dengan Siahaan dan Simatupang sebagai penganjurnya. Aliran yang lain, di bawah penganjuran Manullang, bersifat sosial politis. Pada beberapa tahun pertama terbentuknya HKB, Manullang memelopori penolakan terhadap penguasaan tanah rakyat oleh pengusaha-pengusaha perkebunan. Segi politik HKB melemah ketika pemerintah menghapus kontrak tanah di Tapanuli Utara dan Manullang sendiri dipenjarakan karena delik pers pada tahun 1922-1923.5

Menyangkut kemandirian Gereja, HKB dapat dicatat dalam hubungan dengan pembentukan suatu gereja Batak yang berdiri sendiri, Huria Christen Batak (HChB), di Pematang Siantar pada tanggal 1 April 1927. Hubungan itu tidak langsung, tetapi pengaruh-pengaruh penolakan dominasi RMG dalam sayap nasionalistis HKB bergema di kalangan para pemuka HChB.6 Demikian pula pengaruhnya dalam pembentukan Mission Batak, yang mula-mula diprakarsai bersama dengan orang Ambon dan Menado, pada tanggal 17 Juli 1927 dan Huria Christen Batak Medan Parjolo pada tanggal 5 Agustus 1928.7 Gemanya sampai pula ke Jakarta, di mana pada tanggal 10 Juli 1927 didirikan Punguan Kristen Batak (PKB).8

Peran HKB yang lebih langsung dalam kemandirian gereja berhubungan dengan proses pembentukan HKBP. Walaupun sejak semula aliran gerejawi dalam HKB tidak menentang RMG, tetapi cita-cita mereka adalah mewujudkan suatu gereja Kristen Batak. Sebab itu HKB mengikuti dengan saksama penyusunan rancangan tata gereja baru pada tahun 1928. Di bawah pimpinan ketuanya masa itu, Sutan Sumurung, HKB membentuk suatu panitia untuk menyusun konsep tandingan, tetapi hasil pekerjan mereka, yang disetujui “rapat umum semua orang Kristen Batak” di Tarutung, ditolak Ephorus J. Warneck. Konsep tandingan tersebut menekankan penolakan dominasi Zending di bidang pimpinan dan penataan gereja, dan menghendaki adanya serah-terima semua lembaga di bidang pendidikan, kesehatan, dsb dari pihak RMG kepada gereja Batak. Juga dinyatakan bahwa kewargaan gereja tidak berdasarkan bangsa dan kedudukan pihak zending adalah bagian dari gereja:

Dengan demikian yang menjadi titik tolak bukan lagi pandangan bahwa badan perkabaran Injl merupakan badan asing yang memimpin dan mengurus gereja, melainkan pandangan yang bersifat ekklesiologis. Hal itu berarti bahwa orang mencita-citakan suatu gereja Batak yang sanggup memimpin dan menata diri sendiri.9

Walaupun konsep tandingan itu ditolak, perjuangan tetap dilanjutkan untuk menyuarakan aspirasi HKB menyambut Sinode Godang tanggal 8-9 Oktober 1929. Di dalam surat kabar dimuat tulisan-tulisan yang menyoroti konsep tata gereja yang “otokratik” itu dengan tekanan yang lebih demokratis dan juga ada pembagian wewenang RMG dengan orang-orang Batak. Upaya-upaya itu juga gagal, karena dalam HKBP yang berdiri sendiri dominasi Zending tetap berjalan.10

Dominasi tersebut bukannya tidak mendapat reaksi dari kalangan orang Batak. Diskusi-diskusi dalam konferensi tahunan memperlihatkan tuntutan kemandirian dari pihak orang Batak, yang ditanggapi negatif oleh pihak zending. Pihak RMG memandang reaksi itu sebagai “nasionalistis” dan untuk itu mereka mengembangkan suatu ekklesiologi yang bersifat politis. Hutahuruk menilai:

Para utusan RMG menganggap dirinya sebagai anggota gereja yang universal (am), suatu gereja yang tidak terikat kepada waktu atau kebangsaan yang tertentu, dan mereka tidak memperhatikan persoalan-persoalan yang menyangkut hal kolonialisme dan tuntutan orang-orang RMG akan kekuasaan di dalam HKBP. Dengan demikian, ekklesiologi mereka memiliki sifat dasar yang politis, yang tak bisa tidak harus menentang setiap usaha orang pribumi untuk memperoleh kemerdekaan dalam lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan gereja.11

Pada tahun 1938, H. Marbun, seorang pandita Batak, mengemukakan suatu pandangan yang mengungkapkan reaksi terhadap dominasi Zending. Marbun menekankan identitas HKBP sebagai gereja bangsa (Batak). Hutahuruk mengutip pandangannya:

Kristus menilai tinggi sukubangsa Batak. Ia tidak mau menolak sifat bangsa Batak. Ia setuju, bahwa gereja Batak adalah persekutuan dari semua orang Kristen Batak yang telah diselamatkan dan dikumpulkan-Nya. […] Kristus berada di dalam gereja Batak seakan-akan Dia sendiri seorang Batak. […] Bahkan seperti halnya garam Ia telah meresap ke dalamnya. Kristus bukan berada di bawah bangasa dan juga bukan di atasnya, Ia meresap ke dalam suku bangsa Batak untuk menjadi satu dengannya.12

Pada bahagian lain, Marbun berpendapat bahwa “gereja internasional”, sebagai gereja yang am, justru terdiri atas gereja-gereja (suku) bangsa. Gereja Batak adalah “cabang dari gereja Yesus Kristus yang am”. Bertolak dari pandangan itu Marbun menentang pengaruh gereja Katolik-Roma, yang dianggapnya membahayakan adat dan kebudayaan Batak. Dalam hubungan itu pula dia memperjuangkan pengalihan sekolah-sekolah dari RMG kepada HKBP.

Kalangan Zending menganggap pandangan Marbun yang berpusat pada suku bangsa dan kebudayaan Batak lebih sebagai sifat anti-Eropa. Diskusi-diskusi antara tahun 1937-1939 dan Sinode Godang tahun 1940 memperlihatkan penolakan pihak RMG terhadap reaksi yang bersifat nasionalistis seperti itu. Ephorus Verwiebe menjelaskan mengenai “kebangsaan kita tidak boleh menggeser Kristus” (kesimpulan konferensi tahun 1939); bahwa yang Tuhan inginkan melaui orang Kristen adalah untuk memberlakukan kehendak Allah di bumi; bahwa Tuhan Yesus tidak mendirikan kebangsaan murni, melainkan supaya dia menjadi raja semua bangsa; dan bahwa dosa, yang merajai kaum nasionalis yang berjiwa kelewat nasionalis, menghalangi bangsa masuk ke bawah pemeritahan Kristus.13

Dominasi pihak Zending atas HKBP diakhiri secara paksa oleh suatu kenyataan sejarah dari luar gereja dan zending, yakni perang dunia II dengan pendudukan Jepang di Indonesia. Sinode luar biasa pada tanggal 11-12 Juli 1940, setelah para pekabar Injil RMG ditahan oleh pemerintah Belanda, menunjuk seorang pendeta Batak sebagai Voorzitter HKBP, yaitu Pdt. K. Sirait; dan kemudian pada tahun 1942 Sinode Agung menetapkan Ephorus baru, juga seorang pendeta Batak, Pdt. J. Sihombing.14 

 

5.1.2. Gereja-Gereja Jawa

Di Jawa Timur, jemaat Mojowarno menjadi semacam pilot project menuju kemandirian gereja.15 Konteks dari proses pemandirian itu adalah suatu haluan baru Zending. Akibat dari meluasnya pengaruh gerakan-gerakan sosial politik di dalam jemaat dan mobilitas warga jemaat dari desa ke kota, Zending mengubah haluan dari penginjilan desa ke pembentukan pusat-pusat penginjilan di kota (dalam rangka itu di Malang dibangun pusat pelayanan gereja) dan dari sikap perwalian ke pendewasaan jemaat-jemaat.

Pada konferensi tahunan para guru pada tahun 1918 terbit usul untuk mendirikan suatu Sinode. Gagasan itu berasal dari kelompok kecil guru-guru jemaat yang masih muda-muda. Nortier menilai gagasan itu timbul dari pengaruh organisasi masyarakat dan kurang bersifat gerejawi dan membahayakan gereja:

Nyata sekali bahwa mereka yang berbicara di sini terpengaruh oleh mental yang kita jumpai di dalam kehidupan perserikatan orang-orang pribumi. Sedikitpun tak ada kesadaran akan sifat-sifat yang merupakan sifat-sifat khas persekutuan gerejani, atau kalau kesadaran itu ada, itu untuk sementara dihanyutkan oleh luapan aksi pemimpin-pemimpin nasional. Andaikata ketika itu tanpa persiapan dan pembicaraan yang mendalam di jemaat-jemaat, synode jadi didirikan, maka semangat untuk berkuasa akan menang, dan jiwa ingin-melayani, yang di dalam suatu persekutuan yang menggunakan nama Kristus seharusnya merupakan azas setiap organisasi, akan hilang.16

Tetapi suara-suara yang menghendaki kemerdekaan dari perwalian Zending tetap memperoleh perhatian. Tahun 1923 Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri dalam suatu “masa percobaan yang lamanya lima tahun” dan pada tahun 1925 diselenggarakan semacam referendum atas 29 jemaat mengenai wewenang di dalam jemaat. Hasilnya adalah 13 jemaat menginginkan wewenang penuh, 13 jemaat menerima sebagian wewenang dan menolak bagian lainnya dan tiga jemaat menginginkan supaya keadaaan dibiarkan seperti sedia kala. Salah satu kaitan dengan kemandirian jemaat-jemaat adalah pemberian hak melayankan sakramen kepada para guru jemaat, yang mulai diberikan pada tahun 1924. Pendidikan tenaga-tenaga pelayan gereja melalui suatu sekolah teologi dimulai pada tahun 1925 sebagai kursus teologi, dan kemudian dilembagakan dalam Sekolah Theologia “Bale Wyata” di Malang pada tahun 1926.17

Penelitan Kraemer beberapa tahun kemudian menemukan kenyataan bahwa sebenarnya kebanyakan orang Kristen Jawa sendiri merasa tidak siap atau merasa kurang percaya diri untuk berdiri sendiri.18 Kraemer juga menemukan, seperti sinyalemen Nortier, sekelompok orang muda yang dipengaruhi gagasan-gagasan kemerdekaan dari dunia politik. Tetapi Kraemer tetap menganjurkan pentingnya memandirikan jemaat-jemaat itu menjadi suatu gereja, di mana pihak Zending menjadi guru kadiwasan:

Perlu bagi perubahan penting ini bahwa badan-badan pekabaran Injil tidak akan menetapkan jemaat-jemaat yang siap membiayai diri sendiri, mengatur diri sendiri dan memberitakan Injil sendiri sebagai syarat bagi kemandirian mereka, melainkan bahwa jemaat-jemaat itu menjalankan hal-hal ini dalam suatu suasana kemandirian. […] Inti persoalan bukanlah bahwa jemaat-jemaat Jawa, dipersatukan dalam Gereja Jawa Timur, akan menerima suatu Tata Gereja, melainkan cara bagaimana semua ini disiapkan dan dijalankan. […] Para pekabar Injil harus menjalankan pekerjaan-pekerjaan intensif sebagai organisator kehidupan gereja yang mandiri dan sebagai pembagi kekayaan rohani, sementara pada saat yang sama peran mereka sebagai administrator dan sebagai pemecah segala perkara diperkecil. Tuntunan dan pengawasan atas suatu jemaat yang pada prinsipnya telah dimaklumkan mandiri tetapi yang pada hakikatnya sedang dilatih untuk mandiri, menuntut jauh lebih banyak enersi dan kemampuan daripada langsung mengatur segala sesuatu sendiri.19 

Sesuai dengan usul-usul Kraemer, jemaat-jemaat NZG di Jawa Timur itu dipersatukan dalam suatu gereja, Geredja Kristen Djawi Wetan, pada tanggal 11 Desember 1931, di bawah pimpinan suatu Majelis Agung yang diketahui oleh C.W. Nortier.20

Berbeda dengan NZG di Jawa Timur, yang membentuk jemaat-jemaat yang berada di baah perwalian Zending, NGZV di Jawa Tengah mempraktekkan asas-asas Zending Gereformeerd (GKN), yang a.l. langsung memberi kemandirian bagi setiap jemaat.21 Salah satu ciri Zending ini adalah membawa konsep Gereformeerd mengenai panggilan Kristen dalam masyarakat luas, seperti kegiatan politik, pendirian sekolah-sekolah sampai universitas.22

Jemaat-jemaat yang dihasilkan melaui pekabaran Injil, pelayanan medis dan pelayanan pendidikan mulai didewasakan pada tahun 1900 (Purworejo). Kemandirian di sini berarti mempunya jemaat majelis sendiri yang memimpin kehidupan jemaat itu sepenuhnya. Tetapi pelayan jemaatnya belum orang Jawa sendiri. Jemaat Yogyakarta-lah yang pertama dengan pendeta Jawa pada tahun 1926. Pada tahun 1931 jemaat-jemaat yang sudah berdiri sendiri menyatukan diri dalam satu sinode, Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah. Jadi di sini kemandirian tampaknya merupakan keinginan jemaat-jemaat dan sepenuhnya merupakan urusan orang Jawa Kristen. Para zendeling memang tidak berhak suara dalam sidang pembentukan itu. Tugas zending adalah membina jemaat-jemaat yang dapat berdiri sendiri.23 Walaupun proses kemandirian di sini bergerak dari tepi ke pusat, sama sekali tidak berarti bahwa sikap paternalisme Zending tidak berlaku. Para pekabar Injil menentukan pengangkatan para pelayan, dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan gereja induk di Belanda, yang selanjutnya menjadi syarat bagi kemandirian suatu jemaat. Pada umumnya masih kurang kepercayaan untuk mengangkat pandita Jawa, sehingga peran menentukan dari pekabar Injil Barat tidak terhindarkan.24 Juga dalam jemaat-jemaat yang dinyatakan mandiri, dan kemudian dalam sinode, peran pihak Zending tetap menentukan. Quarles van Ufford mencatat:

Jelas bahwa tidak ada pemutusan hubungan dengan zending, jika gereja-gereja yang dilembagakan memanggil seorang pendeta sendiri. Juga tidak akan terjadi banyak perubahan oleh bertambahnya jumlah jemaat-jemaat dengan pendeta Jawa sendiri, atau oleh pembentukan susunan-susunan gerejawi Jawa yang baru, hubungan-hubungan klasis dan juga suatu sinode pada tahun 1931. Pendeta-pendeta zending tetap memegang peran utama dalam ikatan gereja yang erat terpadu dengan zending setelah tahun 1931. Gereja Jawa Tengah terdiri atas jemaat-jemaat yang sudah berdiri sendiri dengan pendeta masing-masing. Pada tingkat sinode pendeta-pendeta Belanda berbeda dengan di Jawa Timur tidak mempunyai fungsi resmi, namun bertindak sebagai penasihat-penasihat. Sebab itu pengaruh mereka di dalam gereja tetap besar.25 

5.2. Indische Kerk

5.2.1. Reorganisasi Gereja Protestan 

Sebagaimana dicatat dalam bab terdahulu, Gereja Protestan terikat secara struktural dan finansial dengan pemerintah kolonial. Berkali-kali ada usaha untuk memisahkan Gereja Protestan dari keterikatan itu, tetapi gagal.26

Usaha yang kemudian membuahkan hasil dimulai oleh pemerintah (atas perintah Ratu Belanda) dengan membentuk suatu komisi negara pada tanggal 13 Oktober 1910 di Belanda. Tugasnya adalah menyusun aturan-aturan yang dapat diberlakukan untuk pengubahan ikatan antara Pemerintah dengan Gereja Protestan di Hindia Belanda, melalui pemberian kemandirian yang lebih besar sesuai tuntutan kehidupannya sendiri.27 Pada tanggal 11 April 1913 komisi itu berhasil mengemukakan laporannya, yang pada intinya mempertahankan karakter Protestan gereja di Hindia dan pengakuan pada kemerdekaannya (dari ikatan dengan gereja di Belanda). Komisi juga mempertahankan dasar gereja ini bahwa ajaran gereja Protestan Am di Hindia adalah Injil sesuai dengan prinsip dasar Protestantisme. Susunan baru yang diusulkan adalah satu gereja dengan tingkat-tingkat jemaat, resort, klasis (tiga di Jawa, tiga di Timur besar, dan satu yang tersebar) dan sinode. Pada tiap tingkat itu masing-masing ada majelis jemaat, rapat resort, rapat klasis dan rapat sinode. Rapat-rapat tersebut menunjuk pengurus. Rapat sinode akan memilih suatu Majelis Sinode sebagai ganti kedudukan Kerkbestuur. Jadi mengubah pola hirarkhis menjadi lebih demokratis. Persidangan sinode sekali dalam tiga tahun. Resort-resort dibagi atas resort Eropa, Pribumi dan campuran. Pembiayaan gereja tetap ditanggung oleh negara. Diusulkan pula adanya persidangan sinode di Batavia sesudah persidangan-persidangan pada tingkat-tingkat yang lebih rendah untuk menetapkan aturan-aturan yang diusulkan itu. Di samping usul-usul tersebut, juga diusulkan tiga belas konsep peraturan menyangkut berbagai segi pekerjaan gereja.28

Usul-usul komisi ini mendapat berbagai reaksi, khususnya dari Predikantenbond (=serikat pendeta) dan Majelis Jemaat Kediri serta Majelis Jemaat Solo. Tetapi pada akhirnya (sesuai usul komisi) dilangsungkan sidang-sidang pada berbagai tingkatan yang bermuara pada De Grote Vergadering (=sidang raya) tanggal 19 September s/d 14 Oktober 1916 di Batavia, yang merupakan rapat gerejawi umum yang pertama sejak tahun 1624. Sidang raya ini menolak usul-usul Panitia Negara, a.l. menyangkut desentralisasi kekuasaan dan penggantian Kerkbestuur dengan Komisi Sinodal.29 Kemudian Kerkbestuur menyusun usul-usul baru, a.l. mengenai organisasi dan keuangan, yang dikemukakan kepada pemerintah pada tahun 1919. Dalam usul-usul itu antaranya kedudukan Kerkbestuur diperkuat, dan tetap diharapkan bantuan keuangan dari pemerintah. Selain itu terdapat mosi di dalam Volksraad yang menghendaki gereja dan negara dipisahkan, juga di bidang keuangan:

Volksraad berharap – dengan mempertimbangkan bahwa di sebuah negeri seperti Hindia, di mana di kalangan penduduk terdapat pengaruh agama-agama yang demikian berbeda, hanyalah mungkin kebenaran dan keadilan yang menyangkut hal ini dijalankan jika berlaku suatu pemisahan penuh antara Gereja dengan Negara – supaya pemisahan itu, juga dari segi keuangan, akan secepatnya terwujud.30

Berdasarkan masukan-masukan itu, juga dari pihak Departemen Pendidikan dan Agama pemerintah membentuk “Commissie voor de scheiding van Kerk en Staat” (=Panitia Pemisahan Gereja dan Negara) dengan Surat Keputusan No. 65 bertanggal 24 Spetember 1921, dengan tugas meneliti kemungkinan-kemungkinan bagi pemisahan Gereja dan Negara.31 Panitia ini terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Volksraad, Gereja Protestan dan Katolik Roma. Baru pada tanggal 5 September 1927 panitia ini berhasil menyelesaikan tugasnya dengan laporan setebal 29 halaman, yang antara lain menyatakan pemisahan administratif perlu didahulukan dari pemisahan keuangan.32

Dalam kaitan dengan reorganisasi Gereja Protestan ini nama Hendrik Kraemer patut dimunculkan sekali lagi. Laporan perjalanannya ke  Maluku dan Minahasa pada tahun 1926, antara lain berisi sebuah memorandum kepada Kerkbestuur menyangkut reorganisasi Gereja Protestan. Memorandum tersebut bermakna penting dalam dua hal: penilaian kritis terhadap realitas Gereja Protestan sebagai suatu bagian yang terikat dengan pemerintah (kolonial) dan usul bagi kemandirian gereja-gereja (dengan warga Kristen pribumi) di Maluku dan di Minahasa.33  Dalam penilaian kritisnya Kraemer menyatakan Gereja Protestan sebenarnya bukan gereja. Sifat rohani dan gerejawi lembaga  pemerintah ini tidak menjadikannya suatu gereja dalam arti sebenarnya; tidak dapat disebut suatu gereja negara (state church) atau suatu gereja bangsa (national church). Hanya karena berciri kegerejaan maka disebut suatu gereja.34

Apa yang saya pikirkan adalah ini: sebagai suatu organisasi, Gereja Protestan di Hindia berasal dari suatu keputusan pemerintah. Ia seluruhnya merupakan bagian dari pemerintah dalam arti ganda. Pengangkatan dan pembiayaan para pendetanya selalu bersumber dari pemerintah, dan organisasi serta administrasinya dirancang menurut dan disesuaikan dengan sistem pemerintah. Dengan kata lain, organisasi Gereja Protestan murni dikembangkan dalam syarat-syarat sentralistik birokratis, murni dari sudut pandang urusan sekuler, […] maka gagasan dasarnya sama sekali tak-Kristen dan tak-Protestan.35

Setelah memberikan contoh-contoh bagaimana Gereja Protestan menderita defect yang juga dialami pemerintah, Kraemer mencatat:

Dengan cara ini kesinambungan dan pembinaan yang benar dalam pelayanan jemaat-jemaat Kristen Pribumi pada umumnya mustahil, dan pelayanan rohani yang muncul dari Gereja Protestan memperlihatkan cap administrasi rohani dan formalistik. […] Khususnya dengan contoh Minahasa, saya pikir dapat digambarkan kenyataan bahwa Gereja  Protestan di Hindia mengandung, secara tak sengaja namun tak tertegahkan oleh dasar-dasarnya, suatu rintangan bagi pengembangan kehidupan rohani dan jemaat yang sejati, walaupun saya harus menekankan lagi pada banyak hal yang baik, yang dikerjakan sejumlah pendeta Gereja Protestan melalui kepribadian dan kesalehan mereka.36

Dalam kaitan dengan jemaat-jemaat di Minahasa, Kraemer menilai bahwa karena hakikatnya itu maka Gereja Protestan mutlak statis dan dan tak progresif sehingga menjadi kendala bagi pertumbuhan suatu Gereja Minahasa yang sebenarnya. Dan untuk menjadikannya gereja yang sejati maka Gereja Protestan harus mengalami kelahiran kembali secara mendasar, dengan pembentukan gereja-gereja yang berdiri sendiri:

Jika Gereja Protestan di Hindia hendak menjadi suatu Gereja dalam arti yang diajarkan sejarah gereja dan pemikiran teologis, haruslah ia mengalami suatu regenarasi yang radikal. Jika regenerasi ini hendak terjadi dengan benar maka hanya ada satu cara untuk melestarikan kesatuannya yang kita kenal sampai sekarang, yakni mempersatukan gereja-gereja orang Ambon dan orang Minahasa itu oleh kehendak bebas mereka sendiri, yang mereka putuskan dalam kebebasan Krisren. Bila kita mengarahkan upaya-upaya ke tujuan ini sekarang, itu berarti bahwa kita mengantisipasi kecenderungan zaman. Tujuan yang dapat dan harus menjadi arah upaya-upaya kita adalah pembentukan gereja-gereja pribumi yang terdiri atas kelompok-kelompok Kristen Pribumi bersatu secara alami, dan yang sebagai Gereja-gereja dapat mengusahakan dan mengokohkan hubungan satu dengan yang lainnya.37

Pada tahun 1933 Kerkbestuur mengundang suatu Sidang Raya Gereja Protestan membicarakan soal pemisahan itu berdasarkan suatu konsep yang disusunnya setelah mempelajari laporan komisi negara dan masukan-masukan lainnya, a.l. dari Hendik Kraemer tersebut.38 Berbeda dengan yang pertama (1916) di mana hanya tiga belas orang yang berhak suara (diantaranya satu orang Indonesia) pada Sidang Raya Kedua ini terdapat 25 orang berhak suara (antaranya dua belas orang Indonesia). Perbedaan lain antara kedua Sidang Raya ini adalah bahwa suatu babak baru dimulai setelah Sidang Raya tahun 1933, di mana hakikat Gereja Protestan sebagai gereja tampil menggantikan kenyataan sebelumnya sebagai lembaga pemerintah. Sidang ini dianggap oleh pimpinannya sebagai suatu tonggak (een mijlpaal) penting dalam perjalanan Gereja Protestan, dalam hubungan dengan dua pokok: pertama, sidang dapat menegaskan bahwa dasar gereja ini adalah Yesus Kristus; dan kedua, keputusan mengenai kemandirian gereja-gereja di dalam keseluruhan Gereja Protestan. Pasal 33 keputusan Sidang menyatakan:

  1. Dalam ikatan dengan Gereja Protestan di Hindia Belanda, dapat dibentuk dan diterima gereja-gereja yang berdiri sendiri atas persetujuan Sinode Am.
  2. Di Minahasa, di Maluku dan di kepulauan Timor akan dibentuk masing-masing sebuah Gereja Protestan di Minahasa, sebuah Gereja Protestan di Maluku dan sebuah gereja Protestan di kepulauan Timur.40 

Mengenai pemisahan gereja dengan negara, Sidang Raya menekankan jaminan penuh atas hak-hak Gereja (a.l. mengenai formasi personil Gereja yang masih tetap menjadi tanggungan pembiayaan negara), yang baru dapat disepakati kemudian. Setelah itu, Ratu Belanda menandatangani ketetapannya pada tanggal 1 Juni 1935 dan berdasarkan itu Gubernur-Jenderal menetapkan bahwa kemandirian administratif Gereja Protestan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1935.

Segera setelah Sidang Raya 1933 usaha-usaha untuk membentuk gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan diwujudkan. Tanggal 30 September 1934 dibentuk Gereja Minahasa, dan Gereja Maluku pada tanggal 6 September 1935. Keduanya diakui pemerintah dengan Surat Keputusan No. 7 tanggal 24 Desember 1935.41 Kedua Sinode membentuk masing-masing peraturan-peraturan gerejanya yang disahkan oleh Kerkbestuur, dan kepada masing-masing sinode dipercayai untuk mengatur pendeta pribumi dan guru jemaat di wilayahnya, menyusun Pengakuan sendiri (asal tidak bertentangan dengan dasar dari keseluruhan gereja), memakai uang yang dikumpulkan sendiri oleh para anggota, dan memelihara semua yang menjadi kepentingan Gereja secara keseluruhan.42 Sedangkan Kerkbestuur tetap berwenang dalam soal pengangkatan pendeta-pendeta pribumi, pengangkatan dan pemindahan pendeta-pendeta dan pendeta-pendeta bantu (dengan memperhatikan usul-usul Sinode yang bersangkutan), menentukan jumlah para pengantar jemaat yang digaji dari Kas Negara, memungut prosentase tertentu penghasilan semua jemaat bagi dana-dana pusat Gereja Protestan, dan menetapkan tindakan-tindakan jika Sinode-Sinode mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan seluruh Gereja.43

Dalam Sinode Am44 tahun 1936 berlangsung perundingan mengenai tanggung jawab atas penyelenggaraan STOVIL pendidikan pribumi, rumah sakit dan beberapa hal lainnya. Tahun 1939 STOVIL di Ambon dan di Tomohon diserahkan kepada masing-masing sinode. Masalah lain yang dibicarkan pada Sinode Am tahun 1936 adalah hubungan antara kelompok berbahasa Belanda dengan yang berbahasa Melayu. Prinsip umum yang berlaku adalah bahwa kesatuan Gereja Protestan melampaui perbedaan bahasa. Karena itu perlu diusahakan supaya kedua kelompok tidak terpisah, misalnya penghentar jemaat pada masing-masing kelompok perlu menguasai kedua bahasa itu.45

Catatan-catatan mengenai proses reorganissasi Gereja Protestan di atas menunjukan bahwa para pemimpin gereja ini selama hampir seratus tahun merasa puas dengan kedudukan gereja sebagai bagian dari struktur pemerintah kolonial dan bahwa dorongan-dorongan untuk “membebaskan” gereja dari keterikatan itu terbanyak dari pihak pemerintah datangnya, yang oleh pihak gereja tidak ditanggapi dengan sukacita. G.P.H. Locher mencatat lima alasan bagi penolakan pemisahan itu: pertama, jemaat tersebar dalam wilayah yang begitu luas sehingga sulit untuk menghimpun wakil-wakilnya dalam suatu pertemuan; kedua, tiadanya kelompok inti dalam jemaat-jemaat karena anggota-anggota Eropa datang dan pergi; ketiga, gereja tidak siap untuk reorganisasi karena kurangnya perhatian warga (Eropa) terhadap kehidupan jemaat; keempat, kekuatiran akan timbulnya batas-batas dogmatis yang tajam menggantikan sifat umum Protestan dengan kebebasan ajaran yang ada; kelima, alasan keuangan: gereja mau tetap bergantug pada pembiayaan oleh pihak pemerintah.46 Alasan ketiga, yang ditunjuk Locher sebagai alasan utama, yaitu ketidaksiapan gereja dalam hubungan dengan kurangnya perhatian warga Eropa dalam jemaat terhadap kehidupan Gereja, menunjukan bahwa seperti kedudukan para pelayannya, warga Kristen Indonesia dalam Gereja Protestan berada pada kedudukan kelas dua dan dianggap tidak bisa menjadi basis bagi kehidupan suatu gereja yang berdiri sendiri. Dalam lingkungan Kerkbestuur terdapat pula kekuatiran bahwa kalau pemisahan keuangan diatur, orang-orang Kristen pribumi akan meninggalkan Gereja Protestan dan menuntut keuangan yang menjadi bagian mereka.47 Gerakan-gerakan kemandirian gereja dalam lingkungan Gereja Protestan mungkin juga menunjukan kenyataan yang berbeda daripada yang disangkakan Locher. Menjelang dimulainya kemandirian gereja-gereja dalam lingkungan Gereja Protestan, terdapat gerakan Autonome Moluksche Kerk (AMK) di Maluku48 dan KGPM di Minahasa.49 

 

5.2.2. Berdirinya KGPM

Pada tahun 1917 guru-guru sekolah-sekolah Kristen di Minahasa mendirikan perkumpulan Pangkal Setia. Di antara para pembentuknya terdapat nama-nama A.M. Pangkey. J.U. Mangowal, A. Pandelaki (ketiganya dari Kweekschool Kuranga), L. Undap (guru sekolah rakyat), N. Potu (pengawas sekolah Zending), D. Lumunon, E. Karundeng dan G. Rompas. Tetapi yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpinnya yang menentukan dalam hubungan dengan KGPM adalah J. Jacobus dan B.W. Lapian.50 Tujuan Pangkal Setia adalah: (1) memperhatikan kepentingan anggota-anggotanya, (2) melanjutkan peningkatan pendidikan Kristen di Keresidenan Manado, dan (3) memperkuat ikatan antara Minahasa dengan Belanda.51

Pada tahun 1925 Ketua Pangkal Setia, J.U. Mangowal, dengan dukungan sekitar 400 guru Zending memutuskan (1) untuk mengirim telegram kepada Kerkbestuur mendesak pembentukan gereja Kristen yang otonom di Minahasa dan (2) Pangkal Setia segera menyusun AD/ART bagi gereja yang diusulkan itu. AD/ART disusun bersama oleh pengurus Pangkal Setia dan wakil-wakil NZG di Minahasa. Rapat Pangkal Setia pada tahun 1928 menegaskan perlunya pembentukan suatu gereja otonom, yang didukung oleh persatuan penolong-penolong Injil (Inlands Leeraaren Bond) Indische Kerk. Tetapi baru pada tahun 1930 Pangkal Setia mengadakan kebaktian Hari Minggu secara terpisah dari Indische Kerk di Sonder.52

Pada tahun 1932 suatu delegasi pangkal Setia bertolak ke Batavia untuk memperhadapkan kepada Kerkbestuur tuntutan pemisahan gereja dari negara, tetapi juga ditolak. Delegasi ini meminta Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Dr. R. Tumbelaka, dan Mr. A.A. Maramis sebagai wakil-wakil masyarakat Minahasa untuk memperjuangkan kepada pemerintah pemberian gereja otonom bagi Minahasa. Maka rapat pengurus Pangkal Setia pada bulan Agustus 1932 di Kuranga, memutuskan suatu panitia persiapan bagi pembentukan gereja otonom dengan tugas (1) membicarakan serta merumuskan nama bagi gereja otonom di Minahasa, (2) menugaskan lebih lanjut kepada wakil-wakil masyarakat di Jakarta untuk tetap memperjuangkan gereja otonom kepada pemerintah.53 Pada awal bulan Maret Dr. G.S.S.J. Ratu Langie tiba di Manado dan pada tanggal 11 Maret 1933 dia berbicara dalam suatu pertemuan sekitar 70-an pemuka Kristen Minahasa mengenai usaha memisahkan gereja dan negara.54 Rapat mencapai kesepakatan untuk membentuk suatu panitia yang akan memperjuangkan berdirinya gereja otonom di Minahasa. Pantia yang diketuai Jacobus itu kemudian menetapkan nama bagi gereja otonom yang dikehendaki, yaitu Kerapatan Geredja Protestan Minahasa, disingkat K.G.P.M., yang bermakna “mengumpulkan/mewujudkan gereja-gereja Protestan yang ada di Minahasa untuk berdiri, mengurus serta bertanggung jawab sendiri”.55 Rapat luar biasa pada tanggal 21 April 1933 di gedung Gemeentebiodcoop Manado dihadiri pengurus organisasi politik atau kemasyarakatan Minahasa (Persatuan Minahasa, Pangkal Setia, PIKAT, Inlands Leeraaren Bond dst), memutuskan memaklumkan KGPM sebagai gereja yang bebas dari pemerintah Belanda dan memisahkan diri Indische Kerk. Dari kalangan hadirin hanya Dr. De Vreede dan seorang “penoeloeng” Indische Kerk yang menentang pembentukan itu karena berpendapat gereja otonom di Minahasa harus tetap terikat dengan Indische Kerk. Untuk memperoleh kekuatan hukum sebagai suatu organisasi, maka rapat pada tanggal 3 Juni 1933 menetapkan bahwa KGPM merupakan bahagian dari (berlindung di bawah) Pangkal Setia.56 Pembentukan KGPM tidak langsung berarti hadirnya suatu gereja baru. Jemaat KGPM yang pertama baru terbentuk ketika jemaat Wakan memisahkan diri dari Indische Kerk pada bulan Oktober 1933. Kebaktian KGPM yang pertama di jemaat itu berlangsung pada tanggal 29 Oktober 1933, yang sekaligus merupakan peresmian jemaat itu sebagai jemaat KGPM. Tetapi baru tanggal 10 Nopember 1933 anggota-anggota majelisnya beralih dari Indische Kerk ke KGPM.

Pengakuan mencatat penjelasan pimpinan KGPM, B.W. Lapian57 dan E. Sumampouw, kepada Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne, Ketua Kerkbestuur, pada tanggal 17 Agustus 1934, bahwa pembentukan KGPM bertujuan untuk “mempertahankan dan mencegah umat Protestan Minahasa pindah ke golongan lain” dan untuk “memberitakan Injil Yesus Kristus sebagai suatu Gereja Protestan”.58 Percakapn ketika itu juga mengungkapkan apa yang dianggap sebagai segi nasionalisme KGPM:

Demikianpoen kita, selakoe anak2 Minahasa, patoetlah kita pelihara akan perasaan tjinta dan kasih atas bangsa dan tanah kita. Maka sebagaimana kita mengasihi tanah dan bangsa kita, demikian patoetlah kita selakoe orang Masehi, mengasihi tanah dan bertjintahan bangsa2 dan tanah2 jang lain jang sama peroentoengan dengan kita, jang ada rindoe berhoeboengan dengan kita. […] kita tahoe bahwa kita klak, boleh mengadakan berkat, oentoeng dan selamat, bagi diri kita sendiri selakoe anggota K.G.P.M., bagi isi roemah kita, bagi bangsa dan tanah kita sendiri.59

KGPM mempunyai semboyan “Kristus dalam kebangsaan, Kebangsaan dalam Kristus”.60 Semboyan ini kemudian menjadi tema Sidang Raya ke-19 KGPM, 14-16 Mei 1967, di Wuwuk, Minahasa Selatan.61 Dalam semboyan ini tampaknya tersirat usaha pihak KGPM untuk memberi citra diri KGPM sebagai “gereja pejuang nasional Indonesia”:

Tak dapat disangkal proses berdiri KGPM berlangsung pada proses bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Dengan demikian nasionalisme sangat mempengaruhi dan mewarnai semangat KGPM dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Keadaan ini membawa KGPM pada memperoleh jati diri yang Kongregasional Merdeka, Mandiri dan Nasional di dalam menjalankan tugas panggilan Gereja yang kemudian dirumuskan dalam satu tema KGPM: “Kristus dalam Kebangsaan, Kebangsaan dalam Kristus.62

Boyke Suak menambahkan kaitan semboyan ini dengan sikap oikumenis KGPM:

Gema tema itu sendiri telah turut mendorong KGPM untuk mengembangkan kerja samanya dengan gereja-gereja lain dalam rangka gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia serta berupaya lebih meningkatkan kerjasama tersebut dengan gereja-gereja di luar Indonesia.63

Nyata dari proses terbentuknya KGPM bahwa kemandirian gereja atau reorganisasi dalam lingkungan gereja Protestan adalah pula aspirasi orang Kristen Indonesia dari pihak gereja. Jelas pula adanya pengaruh pergerakan nasionalisme. Tetapi perjuangan yang melahirkan KGPM bukan pertama-tama perjuangan politik, melainkan gerakan gerejawi yang menghendaki adanya gereja otonom di Minahasa, baik dalam kaitan dengan proses reorganisasi Gereja Protestan, maupun dengan perkembangan umum menuju kemandiran gereja-gereja asuhan Zending di Indonesia masa itu. Kurangnya dukungan terhadap KGPM dibanding dengan GMIM pada awalnya dapat merupakan petunjuk bahwa kecenderungan atau kesadaran politik dalam gerakan itu tidak begitu kuat. Proklamasi pendirian KGPM pada bulan April 1933 oleh para aktivis organisasi-organisasi politik di Minahasa merupakan suatu usaha ”membelokkan” gerakan gerejawi itu menjadi lebih bersifat gerakan politik.

5.3. Rangkuman

Pertama-tama, dapat dicatat bahwa tidak ada petunjuk bahwa kemandirian gereja-gereja, juga yang diperjuangkan dari bawah oleh orang Kristen Indonesia, merupakan gerakan politik. Tetapi gagasan politik dalam HKB di tanah Batak atau dalam Pangkal Setia di Minahasa – yang pada mulanya merupakan perjuangan nasionalisme kesukuan atau kedaerahan – saling mempengaruhi dengan cita-cita gerejawi. Jadi, walaupun gerakan kemandirian itu terutama adalah merupakan fenomena gereja, secara tidak langsung merupakan pula pengungkapan dari kesadaran nasionalisme orang Kristen Indonesia.64 Kenyataan bahwa pada umumnya prakarsa kemandirian datang dari atas dan bahwa posisi-posisi kunci di dalam gereja yang mandiri masih tetap dipegang tokoh-tokoh Kristen dari Barat – dan karena itu proses kemandirian berlangsung menurut cara dan tempo “perwalian” zending – tidak berarti penolakan terhadap “emansipasi” orang Kristen Indonesia. Kenyataan itu dapat ditempatkan dalam kerangka perwalian Zending (bandingkan dengan konsep guru kadiwasan), yang sejajar dengan pendekatan kemerdekaan di bidang politik, bahwa pihak kolonial Belanda menganggap tugas membimbing bangsa Indonesia menuju kemerdekaan sebagai panggilan sucinya. Dengan demikian kemandirian gereja dapat pula dilihat sebagai jawaban kalangan Zending terhadap nasionalisme Indonesia.

Jika kemandirian gereja ditinjau dari segi “three-self-formula”, jelas bahwa kemandirian itu baru pada tahap awal.65 Seperti yang berlaku pada Gereja Protestan, kemandirian yang terjadi baru dalam arti self-government, itupun masih di bawah perwalian. Pendudukan Jepanglah yang mengakhiri perwalian itu. Kemandirian dana (self-support) merupakan suatu pokok masalah lain, yang bagi sejumlah gereja bahkan sampai sekarang belum rampung. Sementara self-propagation, dengan segala keterbatasan, diselenggarakan oleh gereja-gereja – mula-mula di bawah asuhan, dan kemudian dalam kerjasama dengan pihak Zending.66

Tidak diperoleh pemahaman mengenai kemandirian dari pihak orang Kristen Indonesia, dan dari pihak Zending juga dasar teologis kemandirian gereja tidak banyak disuarakan. Kemandirian gereja dilihat seakan-akan suatu proses alami dalam sejarah pekabaran Injil, bahwa gereja yang mandiri pada akhirnya akan berdiri setelah pihak Zending berhasil membimbing orang-orang Kristen setempat ke arah kedewasaan.67 Dalam pandangan ini syarat-syarat kedewasaan diukur dengan tolak ukur kelembagaan gereja induk, yang kurang lebih bersifat formal organisatoris. Bahkan di Jawa Timur, dimana kesadaran mengenai tolak ukur teologis dikembangkan, pendekatan itu juga berlaku dalam konsep kemandirian di bawah perwalian (Zending sebagai guru kadiwasan).68 Dampak lain dari pemahaman ini adalah model kelembagaan gereja yang secara tak terhindarkan disusun menurut gagasan pihak Zending.69

Gerakan pemandirian gereja-gereja asuhan Zending itu tidak terlepas dari kaitan dengan berbagai faktor, khususnya munculnnya gereja-gereja muda di berbagai lapangan zending dunia, yang wakil-wakilnya kemudian muncul dalam pertemuan-pertemuan oikumenis, yang mulai mencolok pada Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem tahun 1928.70 Di Indonesia, Kraemer berperan cukup penting sebagai penganjur gerakan kemandirian gereja di kalangan Zending. Pemikiran-pemikirannya serta keterlibatannya dalam proses itu mempengaruhi kalangan Zending. Kraemer juga memperhubungkan kemandirian gereja di Indonesia dengan nasionalisme Indonesia. Tanggapan positifnya terhadap nasionalisme dan dorongannya terhadap kalangan Zending menyambut kenyataan itu di dalam panggilan Zending jelas bermakna khusus bagi pemandirian gereja. Demikian juga gagasannya mengenai tempat pihak Zending sebagai pembina dalam gereja yang berdiri sendiri. Memang dengan pandangannya mengenai pihak Zending sebagai guru kadiwasan ini, Kraemer bersikap paternalistis, yang merupakan sikap yang cukup realistis pada masanya. Kraemer juga berusaha memberi dasar teologis bagi kemandirian. Dalam ceramahnya pada konferensi NIZB tahun 1934, Kraemer menyatakan bahwa kemandirian gereja berhubungan dengan prinsip bahwa Kristus adalah Kepala Gereja. Sebab itu kemandirian bukanlah terutama soal hubungan dengan Zending melainkan kesadaran untuk menerima Tuhan dan bertanggung jawab kepada-Nya. Tugas Zending adalah membantu menaburkan kesadaran itu. Secara konkret bantuan itu berupa tugas-tugas pembentukan penghayatan teologis para penghantar jemaat, pengadaan bacaan, pendalam Injil dan pemeliharaan rohani jemaat, di samping bantuan finansial, kepemimpinan dan pelayanan sosial (pendidikan dan kesehatan).71

Salah satu kenyataan penting dalam proses pelembagaan organisasi gereja-gereja di Indonesia adalah kuatnya orientasi pada gereja suku atau gereja daerah, walaupun ada juga corak denominasi. Selain pengaruh pendekatan pekabaran Injil utuk membentuk gereja bangsa dan faktor penentuan pemerintah bagi setiap badan Zending untuk bekerja pada wilayah tersendiri, kenyataan itu berkaitan pula dengan kadar ikatan kesukuan yang lebih dominan daripada kesadaran nasional. Tetapi orientasi itu tarik menarik dengan gerakan keesaan gereja yang berlangsung pada saat yang bersamaan. Gereja Protestan berusaha memperdamaikan dilema itu dengan mempertahankan kesatuan dalam reorganisasinya, sedangkan gereja-gereja lainnya berusaha membentuk suatu wadah keesaan. Semua dinamika itu bermuara pada pembentukan Dewan Geredja-Geredja di Indonesia (DGI) pada tahun 1950.

 

1 Lihat Th. Van den End, Ragi Carita : Sejarah Gereja di Indonesia, 2, 1860-an – sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 1989), hlm. 391-393; bnd. Th. Müller-Krüger, “Peta-Peta, Statistik-statistik, Daftar Kronologi” lampiran lepas pada Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), hlm. xxi-xxiii. Karena gereja-gereja baru mulai berdiri sendiri pada tahun 1930-an, maka Dr. Ukur menunjuk masa sejak 1930 sebagai “Sejarah Gereja-Gereja di Indonesia”, sedangkan sebelumnya (645-1935) hanyalah masa “pra-sejarah gereja di Indonesia”. Lihat F. Ukur, “pengkajian kembali Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam M.A. Ihromi dan S. Wismoady Wahono (ed), Theo-Dóron. Pemberian Allah: Kumpulan Karangan Dalam Rangka Menghormati Usia 75 Tahun Prof. D. Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 44-45. Karangan ini dimuat pula sebagai bab IV dalam F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: LPS-DGI, 1979), hlm. 446-553.

2 Bnd. Lothar Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), hlm. 8 dyb. Lihat pula Edward O.V. Nyhus, An Indonesian Church in the Midst of Social Change: the Batak Protestant Christian Church, 1942-1957 (Diss. University of Winconsin, 1987), hlm. 23-32.

3 Mengenai HKB selengkapnya, lihat J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja. Penelitian Historis-Sistematis tentang Gerakan Kemandirian Gereja di Sumatera Utara dalam Kancah pergolakan Kolonialisme dan Gerakan Kebangsaan di Indonesia, 1899-1902 (jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm: 84 dst. Lihat pula Lance Castles, The Political Life of  Sumatran Residency: “Tapanuli 1915-1940 (Diss. Yale University, 1972), hlm. 123-170. Castles memandang HKB sebagai jawaban pihak Kristen terhadap tekanan kolonial atas masyarakat Batak.

4 Hutauruk, Kemandirian Gereja, hlm. 84 dyb.

5 Ibid., hlm. 103 dst.

6 HchB kemudian terpecah menjadi HKI dan HCB. Mengenai pembentukan HCB, lihat Hutahuruk, Kemandirian Gereja, hlm. 131-145; Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII: Suatu Survey mengenai Gereja-Gereja di Sumatera Utara (Jakarta: LPS-DGI, 1976), hlm. 233-237; T.J. Sitorus dkk, Sejarah Huria Kristen Indonesia (H.K.I.) Sejak Masa Pendahuluan  1927 s/d Keutuhan Bulat 1976 (Kolportase HKI, 1978).

7 Hutauruk, Kemandirian Gereja, hlm. 131 dst.

8 Ibid., hlm. 145 dst. Hutauruk mencatat pula bahwa dalam pembentukan gereja-gereja mandiri itu, selain reaksi terhadap dominasi Zending, terdapat pula unsur-unsur ikatan marga.

9 Ibid., hlm. 114. Sejalan dengan reaksi terhadap zending ini, Kraemer menilai bahwa gerakan kemandirian di Tanah Batak tidak berakar dalam kekuatan dan kehormatan diri. H. Kraemer, From Missionfield to Independent Church: Report on a Decisive Decade in the Growth of Indigenous Churches in Indonesia (The Hague: Boekencentrum, 1958), hlm. 64.

10 Hutauruk meringkaskan hasil-hasil sikap oposisi HKB meliputi: Pembentukan kerkeraad (1920), penyelenggaraan “sinode tahunan Gereja Batak” (1922), penamaan Huria Kristen Batak (1925), pembentukan Moderamen Sinode, yakni Hoofdbestuur pada tahun 1929 dan pengakuan pemerintah atas gereja Batak sebagai ”gereja” (1931). Lihat Hutauruk, Kemandirian Gereja, hlm. 122.

11 Ibid., hlm.  173.

12 Ibid., hlm. 166 dyb.

13 Ibid., hlm. 170 dyb. Bandingkan dengan pandangannya mengenai nasionalisme pada Konferensi WSCF Asia tahun 1933 di Citeureup.

14 Untuk mengenang peristiwa penunjukan Vorzitter Batak yang pertama itu maka setiap Hari Minggu pertama bulan Juli dirayakan HKBP sebagai “pesta HKBP manjunjung baringinna” (=pesta HKBP berdiri sendiri). Lihat Benih Yang Tumbuh XII, hlm. 120 dyb.

15 C.W. Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab: Suatu Studi Mengenai Pertumbuhan Gereja Kristen Jawi Wetan Menuju Kedewasaan dan Kemerdekaan ±1835 – 1935 (Jakarta; PERSETIA, 1981), hlm. 162-165.

16 Ibid., hlm. 154. Kesan seperti ini dapat dipertanyakan apakah merupakan penilaian yang jujur terhadap kenyataan, atau bertolak dari suatu prasangka yang berbias.

17 Ibid., hlm. 166 dst.

18 Kraemer mendaftarkan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa yang dikemukakan para responden penelitiannya, yang menggambarkan kenyataan itu. Lihat Kraemer, From Missionfield, hlm. 85-89.

19 Ibid., hlm. 91 dyb. Nortier mencatat beberapa bagian dari laporan Kraemer ini, lihat Nortier, Tumbuh, Dewasa, bertanggungjawab, hlm. 184-196.

20 Para pengurus Majelis Agung antara lain Drijo Mestoko (Wakil Ketua sejak 1934), Poeger (Sekretaris sejak 1931), dan Poertjojo Gadroen (Bendahara sejak 1931). Lihat Nortier, Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab, hlm. 208

21 Asas-asas itu ditetapkan tahun 1896 meliputi: (1) Tujuan pekabaran Injil adalah kemuliaan Allah (bukan pertama-tama menyelamatkan jiwa yang menjadi pusat perhatian); Yang menjalankan pekabaran Injil adalah jemaat setempat ; (3) Para utusan harus pelayan Firman yang berpendidikan akademis dan yang berhak penuh sebagai pendeta juga dalam gereja induk; (4) Usaha zending tidak pertama-tama diarahkan kepada orang-orang perorangan melainkan kepada bangsanya (sukunya) dan bermula di pusat-puast kehidupan bangsa/suku itu; (5) Orang yang masuk Kristen secepat mungkin dikumpulkan menjadi jemaat yang setingkat dengan jemaat induk di Belanda, dan sedapat mungkin dilayani pendeta yang setingkat dengan rekannya pendeta utusan Belanda; (6) Ada perbedaan tajam antara pelayanan Firman (pengabaran Injil), yang merupakan pelayanan utama, dengan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, dsb yang merupakan pelayanan penunjang. Lihat van de End, Ragi Carita 2, hlm. 227.

22 Van den End mencatat: “Di Negeri Belanda, anggota-anggota Gereja-gereformeerd giat sekali di bidang politik dan sosial budaya, dengan semboyan “memenangkan dunia bagi Kristus Raja”. Metode yang mereka anut ialah dengan mendirikan organisasi-organisasi Kristen tersendiri di segala bidang. Dengan demikian telah berdiri partai politik Kristen, universitas Kristen (Vrije Universiteit/Universitas Bebas di Amsterdam), serikat buruh Kristen dan lain-lain.” Ibid., hlm. 229 dyb.

23 Ibid., hlm. 230 dyb; J.A.C. Rullmann, De Gereformeerde Zending in Midden Java (Baarn; Zendingscentrum van Gereformeerde kerken, , z.j.)., hlm. 28 dyb; Lihat juga Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 180-185.

24 Lihat Ph. Quarles van Ufford, Grenzen van Internationale Hulpverlening (Assen: van Gorcum, 1980), hlm. 48-53.

25 Ibid., hlm. 52.

26 Lihat rangkuman dari empat kali usaha pemisahan dalam J.L. Ch. Abineo, Sejarah Apostolat di Indonesia, II/1, (Jakarta: Persetia, 1978), hlm. 26-29. Selengkapnya, lihat C.W.Th. van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indië (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1947), 10e, 12e en 13e hfds.

27 Van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk, hlm. 382.

28 Lihat rangkuman usul-usul tersebut dalam Ibid., hlm. 384-389; bnd. Van Randwijck, Oegstgeest, hlm. 118 dyb.

29 Van Boetzelaer, De Protestantsche Kerk, hlm. 395-397. Van den End menyebutkan adanya usul (yang juga ditolak Sidang Raya) mengenai kemandirian jemaat-jemaat pribumi di Indonesia Timur. Lihat van den End, Ragi Carita 2, hlm. 51; lihat juga G.P.H. Locher, De Kerkorde der Protestanse Kerk in Indonesi: Bijdrage tot de Kennis van haar Historie en Beginselen (Diss. Rijkuniversiteit Leiden 1948), hlm. 54 dst.

30 Hanya Schmutzer (Katolik Roma) dan Bergmeijer (CEP) yang menentang mosi, yang akhirnya diterima dengan 18 lawan 6 suara itu. Van Boetselaer, De Protestansche Kerk, hlm. 404 dyb.

31 Ibid., hlm. 409 dyb.

32 Ibid., hlm. 411.

33 Lihat “Report on Amboina and the Minahasa”, dalam Kraemer, From Missionfield, khususnya hlm. 31-36.

34 Ibid., hlm. 34. Sebutan”gereja negeri” tampaknya tepat dalam arti merupakan bagian dari sistem pemerintah dan dihidupi oleh pemerintah.

35 Ibid., hlm. 32 dyb.

36 Ibid., hlm. 36.

37 Ibid., hlm. 41

38 Selain laporan yang disebut diatas, Kraemer terlibat diskusi dengan Kerkbestuur menyangkut konsep yang akan diajukan bagi Sidang Raya 1933. Lihat tanggapannya dalam H. Kraemer, “De reorganisatieplannen der Indische Kerk”, De Opwekker, 77/1932: 181-196.

40 Ibid., hlm. 41. Lihat pula van Randwijck, Oegestgeest, hlm. 121.

41 Seperti gereja-gereja lainnya, dalam kemandiriaan kedua gereja dalam lingkungan Gereja Protestan ini pimpinan puncaknya masih dipegang pendeta Belanda. Kemandirian sebagai “gereja pribumi” baru dipaksakan oleh pendudukan yang keempat (GPIB) pada tahun 1948. Mengenai pembentukan GPIB, lihat Protetantse Kerk in Westelijk Indonesie, verslag van de Proto-Synode, gehouden van 25 tot 31 October 1948 te Batavia met toevoeging van Kerkorde en Regelen (Batavia: Kappee, 1948).

42 Van Boetselaer, De Protestansche Kerk, hlm. 442 dyb.

43 Ibid., hlm. 443.

44 Sidang Gereja Protestan tahun 1916 dan tahun 1933 merupakan Groote Vergadering (Sidang Raya), sedangkan setelah Gereja Protestan berdiri sendiri sebagai satu sinode persidangan sinodalnya disebut Algemeene Synode (Sinode Am).

45 Ibid., hlm. 444 dyb. Perbedaan bahasa dalam jemaat menimbulkan masalah-masalah, seperti yang dialami jemaat Gereja protestan di Makassar mejelang Perang Dunia II. Lihat H. Th. Chabot, “Protestantse Christelijke Groepen te Makassar”, dalam Indonesië, 7/1953-1954: 425-432.

46 Locher, De Kerkorde der Protestantse Kerk, hlm. 46 dyb.

47 Notulen Kerkbestuur, tanggal 3 Nopember 1926 butir 12 dan tanggal 17 Oktober 1928 butir 2.

48 Gerakan ini jarang disebut dalam karangan sejarah gereja di Maluku. Catatan ringkas van den End, Ragi Carita 2, hlm. 70 dan informasi lisan dari Dr. I.H. Enklaar memberi kesan bahwa gerakan ini tidak bersifat nasionalistis, dan lebih merupakan usaha yang dimotori beberapa pemuka Belanda dalam jemaat di Ambon untuk mempercepat kemandirian dan melepaskan diri dari “kekuasaan” Kerkbestuur di Batavia.

49 Mengenai KGPM lihat E.W. Parengkuan, “Suatu Tinjauan Sejarah tentang Peranan KGPM dalam Sejarah Pergerakan Nasional di Minahasa” (Skripsi Sarjana Muda Fak. Sastra UNSRAT, Manado, 1971); Boyke Arher Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Suatu Uraian Sejarah tentang Berdirinya dan Perkembangannya” (Tesis SEA-GST, Jakarta 1992).

50 Pada tahun 1914 Jacobus, seorang pensiun jaksa, sudah melibatkan diri dalam perjuangan orang-orang Kristen Minahasa dengan menghadap Kerkbestuur di Batavia membawa petisi pembentukan gereja yang otonom di Minahasa. Disebutkan para penandatanganan petisi itu adalah tokoh-tokoh pribumi : F. Rotinsulu (majoor Manado), para Hukum Besar L. Tocoalu (Bantik), L. Wakari (Manado), P. Ratulangi (Maumbi), Hukum Tua P. Lomban (Tikala), Hukum Tua A. Kapugu (Singkil), dan guru-guru S. Abuthan (Singkil), J. Sahelangi (Tikala). Lihat E.W. Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm. 22 dyb. Petisi itu diulangi lagi pada tahun-tahun 1917 dan tahun 1923; lihat Boyke  Arther Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 36.

51 Petrus Blumberger, de Nationalistische Beweging, hlm. 51; bnd. Boyke Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 37. Antara tahun 1921-1922 beberapa perjuangan Pangkal Setia tercapai: NZG kembali memegang tanggungjawab atas pendidikan, penambahan dosen teologi supaya STOVIL DAPAT DITINGKATKAN MENJADI SEKOLAH PENDETA (CIKAL BAKAL FTh-UKIT) serta penunjukan Dr. R. Tumbelaka sebagai anggota Kerkbestuur. Ketika sekolah-sekolah Zending (NZG) diserahkan kepada Indische Kerk pada tahun 1931, kalangan Pangkal Setia mendirikan sekolah-sekolah sendiri sebagai sekolah swasta. Yang pertama didirikan pada tahun 1932 oleh guru  E. Turangan di Tompaso. Lihat Boyke Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 37-41.

52 Organisasi ini didirikan dan dipimpin oleh beberapa pemuka Pangkal Setia, seperti A. Talumepa, H. Sinaulan dan N.B. Pandean untuk mendukung perjuangan Pangkal Setia. Boyke Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, hlm. 40.

53 Panitia tersebut terdiri atas J. Jacobus (Ketua), B.W. Lapian (Penulis), dan anggota-anggota: H. Sinaulan, Z. Talumepa, J.U. Mangowal, Dr. A.V. Andu, Dr. Ch Singal. Ibid., hlm. 42 dyb.

54 E.W. Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm. 26; “Berdirinya KGPM”, hlm. 43 menyebut Dr. G. S.S.J. Ratoe Langie datang bertiga dengan Dr. R. Tumbelaka and Mr. A.A. Maramis.

55 Boyke Arhter Suak, “Berdirinya KGPM”, Hlm.45.

56 KGPM berlindung di bawah Pangkal Setia sampai tahun 1939. Ibid., hlm. 48.

57 Mula-mula KGPM dipimpin J. Jacobus, lalu kemudian B.W. Lapian menjadi “Ketua seumur Hidup” (1934-1969), yang menimbulkan masalah-masalah di dalam KGPM pada tahun 1969. Lihat Sem Narande, Valdu La Paskah: Tonggak Perjalanan Suatu Jemaat, Buku II (s.l. 1980), hlm. 472-476. Narande menyatakan: “Dengan seluruh kekurangan dan kelemahannya sepanjang 3½ dasa warsa, telah ia buktikan bahwa KGPM adalah B.W. Lapian dan B.W. Lapian adalah KGPM. KGPM dalam arti dasar-dasar strategis dari maksud pembentukannya.” (hlm. 476).

58 Parengkuan mendasarkan pada berita Lontjeng Geredja , No.4/Oct. 1935, hlm. 26; lihat “Peranan KGPM”, hlm. 38.

59 Demikian kutipan dalam E.W. Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm.39 dyb. Dari Lontjeng Geredja  No.4/Oct. 1935, hlm. 27-28. Kiranya jelas bahwa nasionalisme yang dimaksud pada masa itu – sesuai kecenderungan Ratu Langie dan Persatoean Minahassa – bersifat kesukuan/kedaerahan (ethnic nasionalism); itu juga nyata dari nama dan asal warga KGPM. Pada mulanya Pangkal Setia tidak bersifat gerakan politik nasionalis, dalam arti tidak mengandung perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagaimana dicatat diatas, salah satu tujuannya justru untuk mempererat ikatan antara Minahasa dengan Belanda. Tetapi perjuangan untuk suatu gereja otonom menghadapkan Pangkal Setia dengan Indische Kerk yang adalah bagian dari sistem kolonial itu, sehingga lambat laun dipengaruhi gagasan-gagasan politik. Terutama oleh pengaruh-pengaruh pergerakan nasional (a.l. melalui Persatoean Minahassa) yang merambat ke dalam Pangkal Setia sifat politik tumbuh menjadi suatu sayap yang penting. Dalam kepengurusan Pangkal Setia J.Jacobus (dan Mangowal) merupakan tokoh sayap gerejawi sedangkan B.W. Lapian pada sayap politiknya.

60 Parengkuan mencatat “Kristen dalam Kebangsaan, Kebangsaan dalam Kristen”, E.W. Parengkuan, “Peranan KGPM”, hlm. 37.

61 Boyke Arther Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, hlm. 285 dyb.

62 KPIPG-PGI, Almanak Kristen Indonesia 1990, hlm. 57 dyb. Kepejuangan KGPM berhubungan dengan peran pribadi tokoh-tokoh sepert Ratu Langie, B.W. Lapian, Ch.Ch. Taulu dan S. Wuisan.

63 Boyke Arther Suak, “Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, hlm. 288.

64 Menurut Kraemer, nasionalisme di lapangan Zending merupakan kritik terhadap kekuasaan Zending. H. Kraemer, De Huidige stand vasn het Christtendom in Nederlandsch-Indië (’s-Gravenhage: Boekecentrum, 1937), hlm. 51.

65 Verkuyl mencatat empat kelemahan dalam perumusan “tri swadiri” ini: bersifat terlalu ekklesio-centris, prinsip swadana tidak cocok dengan kenyataan jemaat-jemaat Perjanjian Baru, dapat mengancam hubungan oikumenis (kasus Gereja di Cina pada zaman Revolusi Kebudayaan), dan bertentangan dengan kenyataan di Barat bahwa peranan badan-badan Zending di luar gereja tetap penting. Lihat J. Verkuyl, Inleiding in de Nieuwere Zendingswetenschap (Kampen: J.H. Kok, 1975), hlm.253-258.

66 Peranan para pembantu pribumi bagi Zending dalam pemberitaan Injil sangat menentukan, juga dalam kaitan dengan “kesiapan” gereja-gereja untuk berdiri sendiri. Sebab itu faktor pengkaderan melalui pendidikan juga memainkan peranan penting.

67 Dalam hubungan dengan tugas Zending untuk melembagakan gereja dapat disebut kritik Hoekendijk yang menilai pandangan “church-ism” (Mission as the road from Church to Church, atau the church as the starting-point and the goal of the Mission), yang mendominasi pemikiran misiologia sejak abad ke-19 itu, sebagai tidak sesuai dengan kesaksian Perjanjian Baru mengenai pemberitaan Injil. Lihat J.C. Hoekendijk, “The Church in Missionary Thinking”, dalam The International Review of Missions, 41/1952: 324-336; lihat juga kumpulan karangannya, The Church Inside Out, L.A. Hoedemaker dan Pieter Tijmes (eds), (London: SCM, 1967).

68 Van Randwijck mencatat mengenai kesadaran baru tersebut: “Namun pihak Zending mulai menginsafi bahwa gereja ada jika dalam suatu masyarakat (suatu oikos menurut istilah Hoekendijk) terdapat unsur-unsur yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhannya dan bahwa dengan demikian sudah terjelma kemandirian gereja, tanggungjawab sendiri, baik ke luar maupun ke dalam, dengan tidak mengindahkan banyak sedikitnya orang yang mengikrarkan pengakuan itu, tingkat kecerdasannya, ciri-ciri kebangsaannya, sifat-sifat moralnya ataupun kedudukannya dalam masyarakat (termasuk masyarakat kolonial). Gereja menjelma bukannya sebagai hasil suatu proses pematangan, bukan dengan pendidikan yang membawa orang keluar dari agama Indonesia aslinya (Kruyt), melainkan oleh mujizat khasiatnya Roh Kudus dalam dunia yang kurang siap menerimanya.” Lihat van Randwijck, Oegstgeest, hlm. 367.

69 Pihak HKB di Tanah Batak menyusun suatu tata gereja tandingan yang lebih “demokratis” menentang susunan RMG yang dianggap “otokratis”, tetapi ditolak. Di Jawa Tengah ada kesadaran (yang idealistis) dari pihak Zending untuk tidak mendirikan suatu Gereformeerde Kerk. F.L. Bakker, “De Stichting van de kerk op het Zendingveld”, De Opwekker, 85/1940: 136.

70 Kraemer menyebut empat faktor yang mendukung makin besarnya kemandirian gereja-gereja muda di seluruh dunia: perang dunia pertama, kebangkitan dunia Timur, gerakan pekabaran Injil sedunia (khususnya Konferensi Yerusalem) dunia Timur, gerakan pekabaran Injil sedunia (khususnya Konferensi Yerusalem) dan perumusan baru masalah gereja oleh pihak Kristen Barat sebagai suatu masalah sentral. H. Kraemer, “De verhouding van de Zelfstandige Inheemsche kerken en de Zending”, De opwekker, 79/1934: 553 dyb.

71 Ibid., hlm. 555 dyb.

Bab VI: Menuju Keesaan Gereja di Indonesia

6.1. Usaha Kalangan Zending

Sebagaimana halnya kemandirian, juga gerakan keesaan gereja banyak ditentukan oleh perkembangan oikumenis di kalangan pekabaran Injil sedunia.1 Juga dalam gerakan ini peran pihak Zending cukup menentukan, khususnya pada periode sebelum Perang Dunia II. Dalam hal itu gerakan keesaan gereja di Indonesia ini pertama-tama harus ditempatkan pada sejarah lahirnya gereja-gereja di Indonesia, yang sejak semula telah bertumbuh berdiri sendiri-sendiri dan diasuh oleh masing-masing badan Zendingnya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Bab I, selain jemaat yang lahir dari pekerjaan misi Katolik pada zaman Portugis, yang kemudian sebagian besarnya menjadi Gereja Protestan setelah diambil alih oleh pihak VOC Belanda, lahir pula jemaat yang dihasilkan oleh pekerjaan berbagai badan Zending dari Barat yang bekerja secara sendiri-sendiri dan di tempat yang terpisah –pisah, terutama pada abad ke-19. Kebanyakan badan Zending tersebut tidak merupakan badan dari suatu lembaga gereja tertentu sehingga tidak mewakili suatu bentuk gereja tertentu. Tetapi faktor pembeda yang cukup penting adalah berdirinya gereja-gereja di Indonesia sebagai gereja suku atau gereja daerah. Sebab itu gerakan keesaan gereja di Indonesia tidak bersifat penggabungan kembali (reunion), melainkan – dalam kesejajaran dengan pergerakan nasional Indoensia – berurusan dengan batas-batas suku dan daerah.

 

 

6.1.1. Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB) 

Secara konkret gerakan keesaan di Indonesia dimulai dengan pembentukan suatu badan pertemuan para pekabar injil, Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB), pada tahun 1881, atas prakarsa Ds. A.J. Schuurman (1830-1881).2 Makna oikumenis NIZB terdapat dalam empat hal:

(1) Pelembagaan Konferensi-konferensi zending secara berkala, (2) mengambil alih penerbitan De Opwekker (terbit 1855-1941), yang menjadi media pertukaran informasi dan pemikiran serta memuat laporan konferensi-konferensi NIZB, (3) karya komisi bacaannya dan (4) pelayanan komisi pemudanya.3

NIZB adalah suatu wadah bagi para pekabar Injil Barat yang bekerja di Indonesia; baru kemudian hari terdapat beberapa anggota orang Indoensia. Organisasi ini memberi peluang bagi para pekabar Injil Barat (merekalah yang berperan serta dalam kehidupan dan perkembangan gereja di Indonesia) untuk mengembangkan kebersamaan menjalankan panggilannya di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya, seorang pendeta zending menunjuk adanya pertemuan antara kalangan “Protestan” (Hervormd) dengan “Gereformeerden” dalam NIZB, yang bisa menghasilkan saling pengertian:

Pertemuan ini, percakapan-percakapan,  kontak yang lebih mendalam antara orang-orang dari berbagai denominasi atau (dengan terus terang) antara “Protestanten” dan “Gereformeerden”, nyatalah sangat penting. Khususnya yang terakhir, saya secara pribadi sangat terdorong: baiklah kita bertemu dan saling mendengarkan secara tenang dan mendasar untuk saling mengerti dalam hal yang terdalam dan terbaik dalam kehidupan kita. Bukan apa yang memisahkan kita, melainkan apa yang pada dasarnya menjadikan kita satu, adalah yang paling penting dan dari situ kita sama membangun. Jika tidak secara sadar dan dengan usaha yang bersungguh-sungguh terus bekerja ke arah itu, saya yakin benar bahwa karya penginjilan Protestan di negeri-negeri ini akan mengalami banyak kerugian rohani.4

B.J. Boland, yang banyak berkecimpung dalam pembentukan wadah oikumenis di Indonesia, menyinpulkan dua sifat pengaruh NIZB terhadap kerja sama oikumenis di Indonesia, yaitu secara negatif, suatu pencegahan menguatnya pertentangan antara denominasi yang dibawa dari negeri Belanda, dan secara positif, pembentukan beberapa kemungkinan yang kemudian akan jelas bermakna bagi munculnya suatu kerjasama oikumenis di Indonesia.5

Wadah oikumenis lainnya, yang penting bagi perkembangan gerakan keesaan gereja di Indonesia, adalah Zendingsconsulaat (ZC) yang dilembagakan sejak tahun 1906, dengan fungsi menjadi penghubung kalangan Zending dengan pemerintah. Secara resmi perwakilan Zending diangkat oleh NBG.6 Wadah ketiga adalah Samenwerkende Zendingscorporaties (SZC) yang didirikan pada tahun 1908 (di bidang pendidikan sudah sejak 1905) di negeri Belanda di mana bergabung badan-badan Zending NZG, UZV, STC dan kemudian juga NZV (1923) dan JC (1931).7 Dan pada tahun 1929 dibetuk Nederlandsche Zendingsraad (NZR), juga di Negeri Belanda, sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan pekabaran Injil di Indonesia.

Konferensi NIZB pada tanggal 21 September 1928 di Bandung, yang membicarakan Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Yerusalem, memutuskan membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan pembentukan Nederlands-Indische Zendingsraad (NIZR, Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda), dengan anggota-anggota Dr. H.A. van Andel, Ds. W.F. Breyer, Prof.Mr. J.M.J. Schepper, Dr.B.M. Schuurman dan sebagai sekretarisnya, Dr. N.A.C. Slotemaker de Bruïne. Setelah berapat pada tahun 1929 dan 1930, panitia melaporkan pada konferensi yubileum NIZB bulan September tahun 1931, bahwa pembentukan NIZR belum dapat diwujudkan. Dengan itu suatu dewan Kristen nasional (National Christian Council), sesuai kecenderungan kalangan IMC, belum dapat diwujudkan di Indonesia. Kendala utama berkaitan dengan masalah di Negeri Belanda, di mana pihak Gereformeerd menolak menjadi anggota NZR karena keanggotaan NZR pada IMC. Kemudian konferensi menyarankan pembentukan dewan-dewan lokal dengan tetap mengarah pada suatu dewan nasional: 

  1. Rapat menyatakan keinginan, bahwa dibentuk sebanyak mungkin dewan-dewan pekabaran Injil setempat. Prakarsa untuk itu dilakukan sendiri di masing-masing daerah.
  2. Rapat memohon kepada pengurus NIZB untuk membentuk suatu komisi yang a) akan mempelajari masalah-masalah aktual tertentu, b) mempelajari dengan cara bagaimana kesatuan di kalangan pekerja-pekerja Zending di Hindia Belanda dapat ditingkatkan, juga supaya akhirnya dapat didirikan suatu Dewan Pekabaran Injil Hindia Belanda. Juga akan dipelajari, apakah dan sejauh mana Dewan Pekabaran Injil Sedunia dapat dipengaruhi sehingga keberatan, yang ada dari beberapa pihak terhadap dewan ini, dapat dijauhkan. 8

Di Makassar terbentuk suatu Locale Zendingsraad (LZR), yang melakukan pertemuan-pertemuan berkala sampai tahun 1942.9 Di Jawa terdapat dua LZR, masing-masing untuk pekerja Zending Eropa (Javaansche Zendingsraad) dan untuk orang Kristen Jawa  (Javaanse Christenraad). Tokoh di balik kedua Dewan Jawa ini adalah Dr. B.M. Schuurman, yang mendorong hubungan-hubungan antar orang Kristen pribumi demi terciptanya suatu kontak oikumenis di antara orang Kristen Indonesia. Salah satu hasilnya adalah besarnya rasa tanggungjawab terhadap sesama orang Kristen dari gereja lain pada masa perang. Di Sumatera, pembentukan suatu dewan pekabaran Injil lokal juga dibicarakan, tetapi tidak sempat terbentuk. Laporan-laporan pada tahun 1930-an mengenai dewan-dewan yang terbentuk tidak memperlihatkan perkembangan.

Seperti yang sudah diuraikan dalam bab lalu, pelayanan kepada para pemuda dalam Komisi Pemuda NIZB turut berperan penting memunculkan suatu kenyataan baru dalam sejarah kekristenan di Indonesia. Bersama dengan kenyataan-kenyataan lain yang sezaman, seperti penyiapan tenaga-tenaga Indonesia, kemandirian gereja-gereja dan pendidikan teologi (HTS), Boland menyebutnya een nieuwe stuk geschiedenis (suatu bagian baru sejarah) atau nieuwa geschiedenis (sejarah baru), yakni peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam sejarah kekristenan di Indonesia:

Kita memakai “sejarah baru” di sini dalam arti yang lain, yaitu perkembangan hal-hal di mana akar-akarnya tidak kembali pada “segi Belanda”, melainkan pada “segi Indonesia”.10

Selanjutnya, dengan nada bersemangat Boland mencatat perkembangan-perkembangan yang menandai sejarah baru itu:

Gerakan pemuda Kristen timbul. Para pemimpin dibina, bagi pelayanan pemuda Kristen, tetapi mereka juga tampil dalam bidang lain. Prakarsa Indonesia sendiri bertumbuh. Oikumene masuk ke dalam cakrawala sebagian dari kekristenan Indonesia. Pemimpin-pemimpin teologis dan gerejawi dididik. Gereja-gereja muda mulai berdiri sendiri. Singkatnya: permulaan dari suatu perubahan mendasar wajah dunia gerejawi Indonesia!11

6.1.2. Dari Zending ke Gereja

Tahun-tahun 1930-an merupakan pula dasa warsa pertama kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Hubungan antara proses kemandirian dan gerakan oikumene digambarkan oleh Boland dengan kata-kata kunci: mogelijkheden en voorwaarden (kemungkinan dan persyaratan) dan noodzakelijkheid (keharusan). Pandangannya demikian: Gerakan oikumene adalah soal gereja-gereja. Garis peralihan dari “aspek Belanda” kepemimpinan Zending ke oikumenisitas Indonesia dari kelompok-kelompok Kristen Indonesia tidak dapat ditempuh jika tahap kemandirian gereja-gereja tidak terwujud. Permulaan baru dari “aspek Indonesia” pada satu pihak menjadikan kemandirian gereja-gereja suatu keharusan, dan pada lain pihak justru kemandirian itu suatu kesempatan untuk berkembang, lepas dari perbedaan-perbedaan denominasi di Negeri Belanda. Tetapi juga keharusan gerakan oikumene dibentuk oleh kemandirian ini. Keterarahan kepada masing-masing kenyataan pada akhirnya membentuk titik temu untuk saling membantu dan kerjasama. Boland menyimpulkan:

Jadi kesimpulan kita demikian, bahwa dalam perkembangan menuju kerjasama oikumenis di Indonesia menurut segi Indonesianya kemandirian gereja-gereja menduduki tempat penting. Ini dapat dianggap sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi supaya oikumenisitas ini dapat tercapai. Dan perkembangan ini  mengandung janji-janji besar, asalkan orang sanggup melihat setelah perwujudan kemandirian ini masalah-masalah dengan bijaksana dan, sesuai dengan itu, bertolak dari suatu sikap kritis ke dalam, bekerja keras untuk percakapan oikumenis yang perlu dari gereja-gereja dan untuk peresapan pemikiran oikumenis ke dalam Jemaat.12

Walaupun Boland agak mengidealisir perkembangannya, perutusan ke Konferensi Pekabaran Injil Sedunia memperlihatkan pertumbuhan kepemimpinan Kristen Indonesia. Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia tahun 1928 di Yerusalem hanya dihadiri seorang Kristen Indonesia, T.S.G. Moelia. Tetapi pada konferensi berikutnya, tahun 1938 di Tambaram, sudah tercatat lebih banyak orang Kristen Indonesia, yakni: Dr.J. Leimena, Mr. Soetjipta, Mr. A.L. Fransz, R.M. Luntungan, Pouw Boen Giok, Ds. Mas Mardjo Sir, Ds. B. Moendoeng, Ny. Moendoeng, P. Sitompoel, Ds. W.H. Tuatuarima dan dr. Wardojo.13 Kenyataan ini menandai meningkatnya keterlibatan orang Indonesia dalam kepemimpinan gereja, yang berkaitan dengan proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia.

Konferensi Dewan Pekabaran Injil Sedunia di Tambaram terutama terkenal karena memperhadapkan pewartaan Krisen yang eksklusif kepada agama-agama bukan Kristen. Bahan persiapan dipercayakan kepada Hendrik Kraemer, yang menulis bukunya yang masyhur The Christian Message in a Non-Christian World.14 Tetapi selain tekanan yang Injili itu, Konferensi Tambaram juga memberi perhatian yang besar pada gereja-gereja muda. Dan dalam kaitan itu kemandirian gereja, dari segi yang kini disebut kemandirian dana dan daya, mendapat perhatian besar.15

Para utusan dari Indonesia pada konferensi itu disentak oleh kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia terbelakang dibanding dengan perkembangan di tempat-tempat lain, khususnya di Jepang, India dan Cina. Sebab itu pada tanggal 12 Januari 1939, tepat pada hari ketibaan kembali jumlah terbesar mereka dari Tambaram, sepuluh orang menggabungkan diri ke dalam suatu pertemuan di ruangan konsistori Willemskerk di Batavia.16 Pertemuan itu dilangsungkan oleh pengurus Gereja Protestan, klasis Jawa Barat Gereja-gereja Protestan Cina, dan Majelis Agung Gereja Jawa Timur, untuk membicarakan keinginan dan kemungkinan membentuk suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia. Pertemuan secara bulat menyetujui pembentukan dewan itu, lalu menunjuk suatu panitia kerja (werkcommissie) untuk menyusun anggaran dasarnya (statuten). Konsep-konsep ini akan dibicarakan pada bulan Oktober 1939, sebab dharapkan pada waktu itu sejumlah utusan akan datang menghadiri Sinode Am ke-2 Gereja Protestan. Pertemuan yang dimaksud berlangsung pada tanggal 2 Oktober 1939 dan juga secara bulat menyetujui pembentukan dewan itu. Untuk itu, dan kali ini secara resmi oleh wakil-wakil lembaga-lembaga yang terlibat, dibentuk panitia baru, yang sekaligus bertindak sebagai moderamen dewan itu, yaitu Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Dr. E. de Vries (Wakil Ketua) dan Mr. S.C. Graaf van Randwijxk (Sekretaris).

Dari rancangan Anggaran Dasarnya jelas bahwa dewan ini (namanya di-Melayu-kan dengan Madjelis Geredja2 dan Zending di-Hindia Belanda) akan beranggotakan “kelompok2 Geredja dan kerapatan2 Zending jang bekerdja di-Hindia Belanda” dengan tujuan:

  1. memajukan persekutuan dan usaha bersama jang erat dari pada badan2 jang bergabung, dengan menghormati se-penuh2nja akan kebebasan dan berdirinja sendiri tiap2 badan itu.
  2. mempeladjari soal2, jang penting utuk penjiaran Indjil dan memperteguhkan hidup Geredja seumumnja dan di Hindia Belanda khususnja.
  3. mengerdjakan matjam pekerdjaan untuk penjiaran Indjil dan keteguhan hidup Geredja di-Hindia Belanda, jang seturut sifatnja lebih baik diusahakan bersama daripada tiap2 anggota mengerdjakannja sendiri.
  4. mewakilkan Geredja2 dan kerapatan2 Zending disini dalam organisasi2 internasional Geredja dan Zending.17

Diharapkan bahwa jika Anggaran Dasar disetujui , maka Dewan dinyatakan berdiri dengan pimpinan sementara di tangan panitianya. Dewan itu tidak sempat diwujudkan, “karena bermacam-macam salah pengertian” dan pendudukan Jepang menghentikan rencana itu.

Pendudukan Jepang (1942-1945) memaksakan suatu kemandirian gereja-gereja di semua bidang, karena para pekabar Injil Eropa ditahan dan hubungan dengan badan-badan Zending diputuskan. Atas prakarsa pemerintah Jepang juga dicapai “kebersamaan paksa” semua golongan Kristen di beberapa tempat.18 Sebab itu ada pemahaman yang menerima pendudukan Jepang sebagai blessing in disguise bagi gereja-gereja di Indonesia.19 Boland menyimpulkan lima pengaruh dari kenyataan pada masa peperangan itu terhadap kerjasama oikumenis di Indonesia:

a) sebagai “rengkahan kedua” (tweede breuk) dalam sejarah yang menandai perubahan radikal gereja di Indonesia, b) menjadi tombol pemindah isi (een omschakeling) dari pandangan-pandangan missiocentrisch ke ecclesiocentrisch, c) memungkinkan kenyataan dan mendesakkan perlunya suatu oikumenisitas gereja-gereja di Indonesia, d) memunculkan wawasan oikumenis sedunia, khususnya di Asia Tenggara, tanpa diperhubungkan oleh “pihak Belanda” dan e) supremasi Zending Barat diubah menjadi suatu hubungan kerjasama oikumenis antar gereja-gereja saudara.20

 

 

6.1.3. Nota De Niet: Balai Kristen

Pada kenyataannya, peperangan tidak menghentikan gerakan keesaan gereja. Justru di dalam camp-camp tahanan Jepang tersedia kesempatan bagi para zendeling untuk memikirkan masalah-masalah gereja di Indonesia, juga tentang gerakan keesaan itu.21 Pada bulan Oktober 1945 dibentuk Contact-Comité voor Kerk en Zending oleh Gereja Protestan, Zendingconsulaat dan Gereformeerde Kerken. Tujuannya adalah membentuk suatu lembaga yang dengannya gereja-gereja di Indonesia dapat berbicara dengan satu suara (misalnya kepada pemerintah atau kepada gereja-gereja melalui suatu seruan). Komite ini berkaitan dengan suatu biro bagi bantuan dan pemulihan (Bureau voor Relief en Reconstructie), yang antara lain menangani urusan lectuur, pembagian bahan-bahan bangunan dsb.22 Kemudian komite membentuk komisi-komisi darurat (Noodcomité) untuk pendidikan Kristen, pelayanan medis dan Lectuurcommissie. Dalam kalangan ini ada harapan untuk memulihkan impian sebelum perang, yakni mewujudkan kerjasama oikumenis dalam bentuk suatu Dewan Gereja dan Zending:

[…] bahwa meskipun demikian kebersamaan dalam Komite ini akan berguna untuk penyiapan yang lebih baik bagi suatu pemulihan yang cepat dalam bentuk baru “Dewan Gereja dan Zending” yang hampir berdiri tak lama sebelum pendudukan Jepang.23

Dalam kerangka itu Konsul Zending, Mr. M. de Niet, setelah melakukan perkunjungan ke Indonesia bagian Timur, menggagas suatu susunan sistematis Balai Kristen di Indonesië dalam suatu nota (kemudian dikenal sebagai Nota de Niet atau Balai-Plan) pada tanggal 30 Desember 1945, yang berjudul “Oecumenisch Samenwerking en Eenheid in Indonesië” (=Kerjasama Oikumenis dan Keesaan di Indonesia).24 Pada rapatnya tanggal 4 Juli 1946 NZR di Belanda menyetujui rencana itu “dalam arti umum”. Di Indonesia, rapat Kerkbestuur Gereja Protestan pada tanggal 16 Juli 1946 menyetujuinya “secara garis besar”, demikian juga klasis Batavia Gereja-gereja Gereformeerd pada tanggal 8 Agustus 1946.

Balai-plan De Niet bertolak dari suatu kerangka mengenai tempat Gereja dan Zending di dalam tatanan dunia pasca perang. Dalam kerangka itu tatanan gereja dan Zending di Indonesia memerlukan pembentukan suatu pusat oikumenis yang kuat di mana berlangsung pertemuan, stimulasi, inspirasi, penelitian, perkenalan dan pengalaman. Kebersamaan yang dianjurkan De Niet semata-mata untuk mengungkapkan kesatuan di dalam Kristus. Suatu “Gereja Kristen di Indonesia yang besar (een groote “Geredja Kristen di Indonesia”) dianggap De Niet prematur, tidak tepat dan tidak bertanggung jawab pada saat itu, mengingat kesadaran gereja yang sejati masih terlalu sedikit di kalangan jemaat. Selain itu, Gereja dibangun oleh Tuhannya sendiri: 

Sebuah “Gereja Kristen di Indonesia” yang sejati tidak bisa dibentuk dalam semalam oleh sejumlah orang atau oleh beberapa lembaga manusiawi atau dibentuk dengan suara bulat atau suara mayoritas. Dia harus bertumbuh oleh kasih karunia Allah, dan akan bertumbuh demikian, walaupun barangkali ada banyak usaha dan perjuangan secara sungguh-sungguh oleh orang –orang Kristen yang kurang lebih berpandangan oikumenis dan para pemimpin Gereja dan Zending.25 

Menurut De Niet, yang sudah dapat dibentuk adalah sebuah Dewan Kristen Nasional yang hidup dan kokoh, bernama “Balai Kristen di Indonesia”.26 Dalam Balai ini diharapkan akan terhimpun semua gereja Protestan di Indonesia (sebagai anggota biasa) bersama-sama dengan gereja-gereja pengutus  di Belanda (NHK, GKN dsb) serta wakil-wakil perserikatan-perserikatan dan perhimpunan-perhimpunan pelayanan Kristen di Indonesia, seperti Dewan Sekolah (Schoolraad),CSV, CJVF, NBG, Yayasan Sekolah Theologia dan semua kelompok “kegiatan Kristen” (sebagai anggota luar biasa). Pengurus terdiri atas para wakil anggota yang berapat setahun sekali dan pengurus harian yang berkedudukan di Batavia. Konferensi tiga tahunan dapat diselenggarakan bergiliran di wilayah-wilayah Indonesia di mana ada “provincial council”.

Bagian terpenting dalam Balai ini adalah stafnya, yang akan terdiri atas enam orang sekretaris, masing-masing: a) seorang teolog yang ahli di bidang dogmatika, pengakuan serta tata gereja dan pendidikan teologi, b) seorang teolog ahli penginjilan di Indonesia yang harus ahli agama Islam, untuk bidang pekabaran Injil, c) seorang pendidik, yang ahli dalam metode pendidikan dan teologi, untuk urusan pendidikan Kristen, d) seorang yang ahli masalah-masalah di bidang etnologi, sosiologi dan ekonomi, untuk urusan “social environment”, e) seorang sekretaris untuk bidang pergerakan pemuda Kristen, dan f) seorang sekretaris umum yang memadukan sebisanya semua urusan kantor dan berbagai hubungan oikumenis. Dan mengingat masih langkanya tenaga Indonesia yang memenuhi syarat-syarat itu maka akan terjadi campuran dengan orang Belanda dan Timur Asing.

Kedudukan Balai itu harus di Batavia, tetapi bukan di pusat kota (supaya jauh dari keramaian), dan akan merupakan suatu kompleks dengan bangunan-bangunan untuk berbagai fasilitas, seperti perpustakaan umum, ruangan baca, ruangan kursus dan konferensi, ruangan pertunjukan film dan slide, kantor dan pusat-pusat berbagai kegiatan lainnya. Bangunan sederhana dan berciri Indonesia dengan hiasan-hiasan dari berbagai hasil kebudayaan Indonesia.

De Niet mencatat pula penghapusan Zendingconsulaat, dan sebagai gantinya adanya seorang Zendingsdirector di Indonesia dengan fungsi utama di bidang administrasi keuangan (karena itu haruslah seorang accountant).

Sebagai perwujudan kerjasama, De Niet mengusulkan pembentukan pelayanan medis Kristen, pendidikan dan literatur.

 

 

6.1.4. Konferensi Batavia (1946)

Atas prakarsa Zendingconsulaat dilangsungkan pada tanggal 10-20 Agustus 1946 di Batavia suatu konferensi para pekabar Injil.27 Tujuanya adalah mengantisipasi tugas-tugas pihak Zending dalam masa baru Indonesia:

Refleksi atas tempat dan tugas Zending di dalam Indonesia yang baru, secara prinsipil dan secara praktis; untuk meningkatkan kesatuan visi dan kebijakan di segala pekerjaan zending di negeri ini; untuk menasihatkan gereja-gereja pengutus di Negeri Belanda, khususnya Dewan Zending Belanda, untuk menentukan kebijakan di Home Base; untuk mempersiapkan percakapan-percakapan lebih lanjut dengan badan-badan oikumenis, khususnya di Amerika, mengenai bantuan dan pemulihan, demikian juga mengenai kemungkinan pertolongan untuk sesuatu perencanaan baru pada masa depan jika sekiranya gereja-gereja di Indonesia memutuskan suatu perencanaan baru dan menginginkan bantuan seperti itu.28

Konferensi Batavia ini membicarakan tiga pokok utama: tempat gereja dalam masyarakat, pembangungan gereja, dan pelayanan gereja di Indonesia. Untuk pokok pertama, ceramah-ceramah pengantar disampaikan oleh Dr. C.L. van Doorn (“De Kerk inhet midden”), yang membicarakan fungsi-fungsi kenabian, keimanan dan kerajaan gereja, dan oleh Ds. J.C. Hoekendijk (“Vrijheid van godsdienst”) serta masukan dari Contact-Comité berupa nota “De Vrijheid van Godsdienst in het toekomstige Indonesië”. Dalam pokok ini konferensi memberi tekanan pada demokrasi dan mendukung usaha-usaha mewujudkan kebebasan beragama.

Mengenai pelayanan gereja (Kerkwerk) di Indonesia, Ds. J.C. Hoekendijk memperkenalkan comprehensive approach sebagai visi yang lebih luas dalam pelayanan gereja, berdasarkan perkembangan pemahaman dalam gerakan oikemene sedunia, khususnya IMC.29

Percakapan mengenai bidang pembangunan gereja (Kerkopbouw) meliputi pokok-pokok kebersamaan oikumenis, pendidikan teologi, pelayanan pemuda dan keluarga, serta pengadaan bacaan. Selain kebersamaan oikumenis, perhatian yang besar diberikan pada masalah pendidikan teologi sebagai “salah satu yang paling utama dan terpenting dari tugas-tugas Gereja-gereja dan Zending”.30 Kebersamaan oikumenis dibicarakan berdasarkan “Nota De Niet” (atau “Balai-plan”) dan “Richtlijnen voor het kerkelijk gesprek” (=Pedoman bagi percakapan gerejawi).31 Dalam pedoman yang disebut terakhir ini Bergema menunjuk dua macam perbedaan antara gereja-gereja: yang berhubungan dengan pengakuan dan yang berhubungan dengan pengaturan gereja (kerkinrichting), yang masing-masing dapat dibedakan lagi atas perbedaan-perbedaan “historis” (kebangsaan, suku, bahasa, dst) dan “teologis” (perumusan pengakuan dan tata gereja). Bergema membedakan pula antara perbedaan-perbedaan yang dasariah dan yang tidak dasariah. Diharapkan dengan itu dapat dilihat kemungkinan-kemungkinan kebersamaan gereja-gereja dalam berbagai tingkatannya:

Skala kemungkinan mulai dari pengakuan yang bertingkat persaudaraan dan kerjasama praktis seperistiwa sampai kesatuan gerejawi sempurna melalui penerimaan anggota-anggota baptisan masing-masing, surat menyurat dengan pertukaran laporan-laporan, majalah-majalah, dsb, konferensi-konferensi bersama malam-malam puji-pujian, malam-malam doa, penerbitan majalah jemaat bersama, perutusan tetap antar gereja, kesatuan federatif (dalam semangat Free Church Counsil, Federal Council of Churches of Christ di Amerika atau Dewan Gereja-Gereja Belanda kita), pengakuan anggota-anggota sidi masing-masing, pertukaran pendeta-pendeta, ibadah-ibadah bersama, kesatuan pendidikan, perjamuan kudus bersama dan peleburan.32

Laporan konferensi, yang dirumuskan pada tanggal 20 Agustus 1946, mempertahankan cita-cita lama untuk membentuk Dewan Gereja-gereja dan Zending (Raad van Kerken en Zending) tetapi dengan tujuan yang baru: membentuk satu gereja di Indonesia.33 Kedua butir pertama laporan konferensi tentang hal ini berbunyi: 

  1. Kebersamaan Oikumenis gereja-gereja di Indonesia sebagaimana ini terungkap dalam pembentukan suatu Dewan Gereja-gereja dan Zending di Indonesia pada tahun 1939-1941 perlu dimajukan dan diperkuat. Pewujudan, berdasarkan motif-motif rohani, satu gereja di Indonesia pada masa depan yang jauh atau dekat hendak menjadi tujuan kebersamaan oikumenis itu.
  2. Tugas Dewan Gereja-gereja dan Zending ini meliputi:

a. memprakarsai percakapan gerejawi mengenai soal-soal dogmatika (pengakuan), hukum gereja dan liturgi. […]

b. memajukan pendidikan theologia.

c. pekabaran Injil.

d. memajukan pendidikan Kristen.

e. pelayanan kesehatan

f. mempelajari masalah-masalah yang bersifat ekonomis dan sosial.

g. publisitas (pers dan radio).

h. pelayanan pemuda.34

Dalam Butir-butir lainnya diusulkan pembentukan dewan-dewan wilayah (khususnya di Indonesia bagian Timur dan Kalimantan), selama dewan secara nasional belum dapat diwujudkan.

Jadi, makna penting konferensi batavia ini bagi gerakan oikumene di Indonesia adalah memelopori kelanjutan kerjasama oikumenis dalam panggilan gereja dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) dengan pendekatan comprehensive. Dan dengan mencanangkan pembentukan satu gereja di Indonesia. Di samping itu, penting pula bahwa pada konferensi ini timbul semangat keesaan yang “merasuk” para pesertanya, khususnya para pendeta Indonesia dari wilayah Indonesia bagian Timur. 

 

6.2. Kalangan Gereja-gereja

6.2.1. Gereja-gereja di Indonesia bagian Timur

Sudah pada konferensi Batavia itu para peserta dari Indonesia bagian Timur, dipelopori Ds. W.J. Rumambi dari GMIM, Ds. E. Durkstra dari Timor dan Ds. F.H. de Fretes dari GPM, merencanakan suatu pertemuan wilayah. Ds. Rumambi35, yang kemudian dipilih sebagai sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha sekretaris panitia persiapan, menyampaikan “rentjana oesaha persiapan conferentie Makasar” dengan tujuan: menyatakan keesaan gereja-gereja dan bakal gereja-gereja dan membentuk majelis atau majelis-majelis gereja dan bakal-bakal gereja di Indonesia bagian Timur, selaku cabang atau cabang-cabang dari Balai Gereja Kristen di Indonesia.36 Panitia dibentuk dengan Ds. Rumambi dan Dr. H. Bergema (yang juga sejak lama membentuk usaha-usaha menuju keesaan Gereja, khususnya melalui kesatuan pendidikan teologi)37 sebagai tulang punggungnya. Keduanya sama terpikat pada gagasan oikumenisnya dan dapat bekerjasama dengan baik.38 Pandangan oikumenis Dr. Rumambi sebelumnya, yang bertumbuh melalui pengalamannya bekerja dalam lembaga kesatuan Kristen paksaan Jepang, nyata dari pandangannya mengenai keesaan sebagai ketaatan kepada kehendak kehendak Tuhan dan sebagai prasyarat bagi panggilan memulihkan dunia pasca perang:

Alasan segala oesaha kita di masa ini akan mewoejoedkan keesaan Keristen ialah kehendak Allah, bilamana kita tidak berbuat demikian, kita telah berdosa di hadapan Toehan Allah. […] Boekankah hal ini [kenyataan buruk dunia pasca PD II] soeatoe panggilan Toehan bagi kita, oematNja, diseloeroeh moeka boemi, akan mengatoer poela, membawa siasat jang benar, dalam segala lapangan hidoep. Bagaimanakah kita dapat berboeat demikian kalaoe roemah tangga kita sendiri, ja’ni Geredja Keristen, Persekoetoean Keristen, beloem teratoer, artinja beloem ada keesaan, persatoean roh Keristen dalam segala oeroesannja?39

Seperti dikemukakan De Niet, bahwa tujuan keesaan bukanlah membentuk suatu kekuatan politik, Ds. Rumambi juga kritis terhadap arah yang keliru seperti itu:

Boekan maksoed kita akan mengadakan soatoe partai ataoe persatoean setjara doenia jang semata-mata hendak mereboet kuasa doeniawi sadja, boekan poela maksoed “gerakan keesaan” ini hendak mendirikan satoe Geredja jang maha koeasa, selakoe toedjoean achir, sehingga boekan nama Toehan dipermoeliakan melainkan nama pimpinan-pimpinan Geredja, sekali boekan demikian.40

Konferensi yang dipersiapkan dengan apik itu berlangsung sebagai “Konferensi Gereja-gereja dan Zending”, pada tanggal 15-25 Maret 1947 di Malino (dekat Makassar), Sulawesi Selatan. Para peserta terutus dari berbagai lembaga gereja dan zending di Indonesia bagian Timur dan sejumlah undangan.41 Pokok-pokok keputusan Konferensi Malino ini meliputi:

1) pembentukan Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen, jang berpoesat di Makassar (dipendekkan Madjelis Keristen) pada tanggal 17 Maret 1947, 2) penetapan pendirian Sekolah Pendeta di Makassar, 3) persetujuan pada arah nasionalis penyelenggaraan pendidikan, 4) tugas pekabaran Injil, 5) kewajiban pekerjaan sosial, 6) menyetujui usul mendirikan Badan Poesat Penerangan dan Pekabaran Kristen di Makassar dalam kerjasama dengan Lembaga Alkitab, 7) pelayanan pemuda dan 8) sikap bersama terhadap soal-soal bangsa dan negara. Selain itu, Konferensi juga menetapkan suatu Konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga bagi suatu wadah ouikumenis nasional, yang diharapkan terbentuk segera.

Pembentukan Madjelis Keristen memastikan untuk sementara waktu usaha oikumenis di Sulawesi Utara (dan Tengah), yang didorong oleh kebersamaan yang dipaksakan pada zaman Jepang. Pada akhir tahun 1945 direncanakan bahwa gereja-gereja dan zending di wilayah itu akan bekerja bersama-sama menyelenggarakan pendidikan pendeta, penerbitan majalah, pendidikan umum dan akhirnya mewujudkan satu gereja di Sulawesi Utara (dan Tengah). Baru kemudian, ketika Madjelis Keristen melemah, kebersamaan itu diwadahkan dalam Dewan Daerah DGI di Sulawesi Utara pada konferensi gereja-gereja GKST, GMIM, GMIBM dan GMIST tanggal 23 dan 26 Juni 1951, yang diresmikan pada tanggal 17 September 1951 di Kotamobagu.42

Konsep Anggaran Dasar dan konsep Peraturan Rumah Tangga bagi “Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja  Keristen di Indonesia” bermakna penting, karena dengan itu Konferensi Malino jelas mengacu pada wawasan nasional gerakan oikumene dan mempertegas arah gerakan itu sebagai gerakan gereja-gereja di Indonesia menuju “pembentoekan satoe Gereja Keristen di Indonesia”.43 Lagi pula Madjelis Keristen yang dibentuk Konferensi ini merupakan wadah oikumenis yang sempat menghidupkan secara nyata kebersamaan gereja-gereja di Indonesia, khususnya dalam kegiatannya sebagai pelaksana dalam skala kecil apa yang nantinya akan dilaksanakan oleh Dewan Gereja-gereja di Indonesia dalam skala besar. Dengan kata lain, Konferensi Malino memberi bentuk nyata dan merintis arah gerakan oikumene di Indonesia. Madjelis Kristen memang memahami dirinya sebagai cabang suatu wadah nasional yang kelak dibentuk.

Aspek Indonesia Madjelis Keristen cukup menonjol. Kelima orang pengurus inti badan pekerjanya semuanya orang Indonesia, yakni Ds. S. Marantika (Ketua), Ds. W.J. Rumambi (Penulis merangkap Bendahara), Ds. D. Ngefak, Pdt. S. Bombong dan Mr.G.P.Khouw (anggota-anggota).44 Juga aspek itu nyata dalam pekerjaannya sesuai tujuan pembentukannya, yang dapat disimpulkan dalam kata-kata mengikat, mengkoordinir dan mewakili gereja-gereja.45 Dalam hubungan itu Madjelis Keristen telah menyumbangkan pengalamannnya bagi gerakan oikumene di Indonesia dalam mewadahi hidup bersama, bekerja bersama dan bersaksi bersama sebagai gereja.46

 

 

6.2.2. Gereja-gereja di Jawa

Gereja-gereja Protestan di Pulau Jawa menyelenggarakan suatu konferensi pada tanggal 21-22 Mei 1946 di Yogyakarta. Gereja-gereja yang mengutus wakilnya adalah: Gereja Kristen Jawa Timur (Ds. Mardjo Sir dan Ds. Moedjodihardjo), Gereja Kristen Jawa Tengah sebelah Utara (Ds. Kartosoegondodan Ds. Daniël), Gereja Menonit (Ds. Djojodihardjo), Gereja Jawa Tengah sebelah Selatan (Ds. Wijoto Hardjotaroeno dan Ds. Poerbowijogo), Gereja Pasundan (Abednego), Gereja Tionghoa Jawa Tengah (Ds. Tan King Hien dan The Tjiauw Bian). Beberapa gereja: “Gereja Huria (HKI), HKBP, Punguan Kristen Batak (PKB), Gereja Masehi Indonesia (Indische Kerk), KGPM dll”, yang berkedudukan di Jakarta turut diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu, “semoeanja diundang tetapi tidak dapat hadir. Dalam konferensi itu “semoenja merasa betapa perloenja Geredja-Geredja Protestan satoe sama lain berhoeboengan jang erat dan teratoer, betapa perloenja bekerdja bersama-sama boekan sadja didalam zaman jang soekar ini, melainkan djoega oentoek seteroesnja”. Dan sesuai dengan kepentingan itu konferensi membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG, singkatan resminya Dewan Geredja). Yang diterima menjadi anggota adalah “Synode-synode dari pada Geredja Protestant di Indonesia”. Dalam Anggaran Dasar Sementara, tujuan DPG ini dirumuskan:

Dewan ini dibentoek dengan toedjoean oentoek mempersoalkan dan mempertimbangkan kepentingan Geredja-geredja bersama, baik dalam hal-hal jang langsoeng mengenai kegeredjaan dan keagamaan, baik dalam hal-hal jang mengenai lain-lain, jang ada hoeboengannja dengan kegeredjaan dan keagamaan dan mendjalankan oesaha-oesaha oentoek tertjapainja kepentingan terseboet.47

Badan pengurus hariannya hanya terdiri atas tiga orang: Ds. B. Probowinoto (Ketua), Mr. M. Tamboenan (Penulis) dan Ds.The Siong Liong (Bendahari). Selain itu terdapat seksi-seksi (Pekabaran, Penerbitan Al kitab, Perhubungan dengan Luar Negeri, Urusan Agama dan Pemerintahan, Usaha ke arah Persatuan Gereja-gereja Oecumenie [sic]) yang beranggotakan satu orang dari masing-masing keenam gereja anggota pada setiap seksi.48

Tampaknya DPG tidak dapt berbuat banyak karena berada di pusat pergolakan perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda. Tetapi gebrakannya untuk menampilkan gereja Indonesia sangat bermakna. Pada konferensi pembentukannya dilangsungkan suatu sidang khusus mengenai pekabaran Injil yang secara radikal menyatakan bahwa pekabaran Injil merupakan tanggungjawab gereja-gereja di Indonesia dan bahwa Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri menghalangi usaha keesaan dan mengurangi minat gereja-gereja di Indonesia menangani tugas pekabaran Injil itu. Sebab itu, sidang berkesimpulan bahwa badan-badan Zending dari luar negeri tidak perlu lagi datang ke Indonesia; pekabar-pekabar Injil mereka boleh diutus tetapi sebagai tenaga yang diperbantukan kepada dan diatur oleh gereja-gereja di Indonesia.

Pernyataan itu jelas menimbulkan ketegangan, khususnya dengan pihak GKN, yang kemudian dapat diselesaikan dalam Konferensi antar wakil-wakil DPG dengan GKN dan NHK di Jakarta, pada tanggal 19-24 Mei 1947.49 Konferensi Kwitang ini menghasilkan suatu naskah kesepakatan, yang dikenal sebagai Kwitang Accord. Bagian terpenting dari kesepakatan Kwitang itu adalah enam pasal mengenai “Dasar dan Cara Bekerja- Bersama” (Bab II). Lima pasal pertama berbunyi sebagai berikut:

  1. Geredja di Indonesia adalah Geredja2 jang dewasa.
  2. Pekabaran Injil di Indonesia itoe adalah teroetama kewadjiban dari Geredja2 di Indonesia.
  3. Geredja2 di Loear Negeri dapat mengkabarkan Indjil di Indonesia bersama dengan Geredja2 di Indonesia didalam mana Geredja2 di Indonesia bertanggoeng djawab atas pekerdjaan itoe.
  4. Seloeroeh doenia pada oemoemnja dan Indonesia pada choesoesnja adalah lapangan pekabaran Indjil dari Geredja2 di Indonesia.
  5. Karena tanggoengan Geredja2 di Indonesia dalam hal pekabaran Indjil besar sekali, maka Geredja2 di Indonesia masih perloe menggoenakan bantoean dari Geredja2 di Loar Negeri, agar dapat melaksanakan kewadjiban terseboet diatas.50

Pasal terakhir mengenai pelembagaan kerjasama jkedua pihak, yang dikenal sebagai Kwitang Structuur, adalah pembentukan suatu “Madjelis Wakil2 Geredja2” (College van Deputaten) Indonesia dan Luar Negeri,dengan paling kurang ¾ jumlah anggotanya adalah wakil-wakil gereja-gereja Indonesia.

Dengan mengacu pada telaah Kraemer mengenai kebangkitan gereja-gereja muda, laporan Zendingcosulaat mencatat tiga pokok makna KonferensiKwitang (dengan “accord” dan “structuur”nya): Konferensi Kwitang adalah bagian dari kesinambungan gerakan kemandirian gerja-gereja muda, khususnya sejak Konferensi Yerusalem (1928); ungkapanperalihan tanggungjawb pekabaran Injil sebgai tanda kedewasaan; dan merupakan model bagi kerjasama antara gereja-gereja dalam dan luar negeri.51 Walaupun pada kenyataannya pihak Indonesia dalam konferensi itu hanya gereja-gereja Jawa, maknanya sebagai gereja Indonesia diakui pihak Zending, mengingat posisi pulau Jawa adalah “titik api strategi situasi zending di Indonesia”.52

6.2.3. Gereja-gereja Cina

Selain DPG sebagai wadah oikumenis “gereja-gereja Jawa”, juga pengelompokan sejenis terdapat di kalangan gereja-gereja Cina dan dalam rumpun Gerej Protestan. Kebersamaan gereja-gereja Cina di Indonesiaa sudah berlangsung sejak tahun 1926,53 ketika umat Kristen Cina mengadakan konferensi di Cipaku, dekat Bogor, membicarakanpenyatuan dan pembinaan gereja mengikuti pola three self movement.54 Padatahun berikutnya, konferensi di Cirebon membentuk Bond van Chinese Christenen, yang menjadi Geredja Tionghoa Serikat pada tahun 1934. Pada tanggal 25-28 Mei 1948 wakil-wakil dari 49 jemaat Cina di Pulau Jawa, Makassar, Pontianak, Singkawang dan Bangka-Bilition mengadakan konferensi di Jakarta. Konferensi dengan perutusan dari 69 jemaat pada tahun berikutnya berhasil mendirikan Dewan Geredja-Geredja Kristen Tionhoa di-Indonesia (DGKTI). Dewan ini bertujuan:

  1. mempererat perhubunga Geredja Kristen Tionghoa, agar persatuan tertjapai.
  2. mentjari perhubungan degan geredja-geredja di Indonesia chusucnja.
  3. membantu memperluas pekabaran Indjil.55

Walaupun jelas merupakan pengelompokan etnis, gerakan keesaan gereja-gereja di kalangan orang Cina juga merupakan bagian dari usaha mendewasakan dan mempersatukan gereja di Indonesia.

6.2.4. Kalangan GPI: Keesaan Jeruk

Reorganisasi Gereja Protestan melahirkan empat gereja:GMIM (1934), GPM (1935), GMIT (1947) dan GPIB (1948).56 Sinode Am ke-3 GPI pada bulan Juni 1948 di Bogor membicarakan tata gereja (Kerkorde), terutama mengenai perhubungan antara GPI dengan gereja-gereja yang berdiri sendiri di dalmanya, dalam rangka mempertahankan ikatan kesatuan. Percakapan didasarkan pada hasil suatu komisi teologi. Pengantar yang disampaikan oleh Dr. Rasker, mengingatkan dua segi dalam soal hubungan itu, segi keesaan Gereja Protestan dan segi kemandirian gereja. Kemandirian gereja, tegasnya, “boekan berarti 100% berdiri sendiri”, karena “di dalam Kristoes tida ada satoe orag jang berdiri sendiri dengan 100%, sehingga kita bersangkoetan satoe sama lain”.57 Maka pentinglah untuk memegang keesaan sebagai mana telah dijalani sebelumnya:

Kita haroes teroes pegang keesaan jang soedah ada dan sekarang kita haroes adakan sedikit perebahan dalam organisasi. Oleh karena kebangoenan rohani dan keisjafan nationaal ada timboel banjak soal2 dalam lapangan Geredja ada diboetoehkan satoe decentralisasie lebih dari pada doeloe2. 

Toedjoean kita adalah soepaja ada 4 Geredja berdiri sendirijang tida teritoeng dalam geredja Maloekoe, Minahasa atau Timor, tetapi dalam bagian terbesar dari pada kepulauan ini.58 

Para peserta sidang menyambut hangat soal ini dan berbagai pandangan dikemukakan, yang intinya menyetujui dipertahankannya keesaan. Tekanan desentralisasi dengan mempertahankan bentuk kesatuan yang lama di bawah Kerkbestuur oleh Dr. Rasker ditanggapi secara mendalam oleh Ds.A.Z.R. Wenas.59 Menurut Ds. Wenas, bentuk kesatuan yang lama sudah harus ditinggalkan untuk megikuti suatu Tata Gereja yang mengarahkan pada satu Gereja di Indonesia. Ds. Wenas mendukung kemandirian dalam kesatuan, tetapi menolak suatu “kesatuan-kerk”, karena akan bersifat sentralis dan akan menjadikan gereja-gereja yang mandiri sebagai gereja-gerjea daerah.

Jika kita berbicara mengenai Gereja Protestan (bukan satu Gereja Protestan), maka inilah doa kita, bahwa juga gereja-gereja Indonesia lainnya akan berhimpun sekeliling Gereja Protestan di Indonesia. Jika kita mempertahankan Gereja-Gereja daaerah, maka gereja-gereja yang lain menutup diri. Itu berarti kemunduran. Jika Tata Gereja diterima, kesatuan tak pernah dicapai. Haruslah ada Tata Gereja yang diterima pihak-pihak yang lain.60

Setelah diskusi, sidang menyetujui usul Kerkbestuur untuk menunjuk suatu panitia untuk merumuskan jalan menuju keesaan kekristenan di Indonesia:

Ds. Keers menyatakn bahwa Kerkbestuur mengusulkan untuk menunjuk suatu panitia,yang teriri atas wakil-wakil Gereja-Gereja mandiri di Indonesia bagian Timur, dengan Dr. Emmen, Dr. Brouwer, Dr. Van Beyma dan wakil-wakil masing-masing Dewan, yang akan memberi satu suara kepada Gereja-Gereja muda. Panitia ini akan berusaha memberi bentuk kepada apa yang harus terjadi pada masa depan dan memutuskan jalan mana yang harus ditempuh Gereja Protestan menuju kesatuan Kekristenan di Indonesia.61

Karena keputusan itu dianggap sangat penting maka Ds. B. Keers, ketua sidang, meminta Ds. B.S. Supit memimpin peserta dalam doa khusus Hasil pekerjaa panitia ini adalah sebuah dokumen dwibahasa (Indonesia dan Belanda)berjudul “Berita” (Boodschap), yang merupakan penyampaian keada gereja-gereja lain mengenai keesaan GPI dengan ajakan untuk menggabung di dalamnya, membentuk satu Gereja di Indonesia. Inti “Berita” dalam empat butir uraian itu terdapat dalambutir yang terakhir sebagai berikut:

Adalah soeatoe keoentoengan bagi kami bilamana kami hendak mengkabarkan kepada saudara-saudara, bahwa Synode am Geredja Protestant di Indonesia di Bogor telah berhasil mengadakan soeatoe tertib baharoe mengenai hoeboengan-hoebongan keempat geredja2 jang berdir sendiri jang terhisab padanaja dan keesaan telah beroesaha dari pihaknja sendiri, memberi soembangannja pada pembaharoean soesoenan kehidupan kehidoepan dan perhoeboengan geredja. Dalam soesoenan terseboet, tiap-tiap geredja jang berdiri sendiri mempoenjai pertanggoengan djawab sepenoeh-penoehnja terhadap oesahanja sendiri dengan pimpinan Synodenja sendiri. Geredja2 itoe berhimpoen dalam soeatoe Sidang-Geredja Am dengan mengirim oetoesan2nja jang ditentoekan oleh synodenja.

Maka dalam Sidang-Gredja Am inilah, geredja2 iteo menjatakan keesannja dalam ikrar, dalam panggilan rasoeli, dalam penjelenggaraan bersama pendidikna dan peroepaan pendjawat2 Geredja, dan dalam tanggoeng-djawabnja menolong satoe demi jang lalin dalma perkara2 praktis. Teranglah, bahwa Sidang-Geredja  Am ini akan melajani geredja2 dengan memberi penerangan dan pimpinan jang amat perloe mengenai masalah-masalah jang amat berarti setjara prinsipil oentoek kehidoepan geredja2. Geredja2 jang meroepakan bersama-sama geredja jang esa ini, haroeslah memandang segala badan2 pelajan dari Sidang-Geredja Am itoe, selakoe badan-badannja sendiri. Pada waktoe2 jang tertentoe mereka akan berhimpoen dengan oknoem2 jang bertanggoengdjawab, akan memperkokohkan pimpinan dan akan menetapkan dengan lebih tegas toegas2nja jang istimewa. 

Sinode Am menyatakan pengharapanja, kiranja Rohoel-mengambil kepoetoesan jang penting ini. Baginja, adalah ini soeatoe sjoekoer, bahwa ia dapat memperhadapkan sekarang kepoetoesan ini kepada saudara2. kami berboeat hal ini dengan pengharapan, kiranaj saudara2 djoega sedia hati mempertimbangkan dengan soenggoeh soal2, jang diperhadapkan disini. Adalkah soeatoe kegirangan besar bagi kami bilamana diantara kita terdapatlah hal-hal jang menghentar kita pada pertjakapan geredjani jang mendalam, pada perikatan jang lebih erat dan oesaha bersama setjara praktis, didasarkan atas kejakinan kita bersama, bahwa kita esa adanja dalam iman dan ikrar. 

Synode Am menyatakan pengharapannja, kiranja Rohoel-koedoes akan memimpin kita sekalian saudara2 dengan kami, dalam kebenaran Indjil Toehan kita Jesoes Kristoes, menoedjoe keesan Geredja Toehan di tanah ini, serta djoega pada menantikan dengan kesoekaan hati kedatangan Keradjaan Allah.62

Dengan “berita” ini GPI menawarkan suatu model keesaan gereja, yang dikiaskan sebagai keesaan jeruk, di mana kemandirian masing-masing gereja diperdamaikan dengan keesaan seluruh gereja.63 Model keesaan, yang dengan hati-hati diusulkan GPI ini, mendapat kecaman-kecaman dengan tuduhan bahwa GPI bersifat imperialis (hendak menguasai gereja-gereja lain) atau berusaha mengabortus rencana pembentukan suatu dewan gereja-gereja, yang panitianya sudah dibentuk, atau bahwa ingin BAPEAMnya (Badan Pekerja Am, mengganti Kerkbestuur GPI) menjadi pusat Dewan Gereja-gereja di Indonesia.64 Sebab itu, dalam penjelasannya pada Konferensi Persiapan DGI, Ds. Rumambi menyatakan sikap GPI terhadap rencana pembentukan DGI:

Djikalau Geredja di-Indonesia hendak mentjapai kesatuan, lain dari Geredja Protestant, maka Badan Pekerdja Am dengan rela bubarkan diri, djikalau kesatuan itu lebih sempurna dan hendak menghisapkan dirinja dalam badan itu. Keterangan ini perlu, supaja semua kesulitan dan wsangka dihapuskan. Maka semua suara2 jang didengar terhadap Geredja Protestant di-Indonesia harus dihapuskan, djikalau hendak bentuk suatu Dewan Geredja2 di-Indonesia. Maka teranglah sekarang, bahwa Geredja Protestant di-Indonesia hendak menjokong dan membantu berdirinja Dewan Geredja2. Badan Pekerja Am menjokong Dewan Geredja2 di-Indonesia dan bekerdja terus membantu akan mempereratkan Geredja2 di-Indonesia.65

 6.2.5. Dewan Gereja-gereja di Indonesia

Pada tahun 1947 Ds.W.J. Rumambi, sebagai sekretaris Madjelis Keriten, menghubungi Ds.B. Probowinoto (wakil DPG), Ds.T. Sihombing (wakil Madjelis Geredja Sumatera66) dan Ds.H. Dingang (Ketua Geredja Dajak Evangelis) menyampaikan suatu usul, yang dilampiri “Rentjana Anggaran Dasar dan Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha Bersama Geredja-Geredja Keristen di Indoensia” hasil konferensi Malino,67 untuk pembentukan suatu badan oikumenebagi gereja-gereja di seluruh Indonesia.68 Kemudian, pada bulan Januari 1948, bersama sejumlah tokoh Kristen di Jakarta mereka membentuk Panitya Perantjang yang diketuai Ds. B.A. Supit, dr.J.E. Siregar sebagai Sekretaris, dan Mr. A.L. Fransz bersama para sekretaris dewan daerah dan Ketua GDE sebagai anggota-anggota; sedangkan Dr.T.S.G. Moelia sebagai penasehat. Tetapi suatu panitia baru, dengan Moelia sebagia Ketua dan Rumambi sebagai Sekretaris, berhasil mempersiapkansuatu rancangan Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan untuk bagian-bagian badan oikumenis yang direncanakan itu serta persiapan-persiapan untuk pelaksanaan konferensi.

Setelah pembentukan ewan Gereja Seduni di Amsterdam pada konferensi tanggal 22 Agustus – 4 September 1948, direncanakan akan berlangsnung suatu persidangan Joint Office WCC dan IMC untuk Asia Timur pada bulan Desember 1949 di Bangkok.69 Para pemuka gerakan oikumene di Indonesia berharap bahwa wadah oikumene nasional sudah akan terbentuk untuk dapat diterima sebagai anggota IMC dalam sidang di Bangkok itu.70 Tetapi persiapan panitia baru memungkinkan konferensi pembentukan wadah nasional itu dilangsungkan tanggal 7-13 Nopember 1949di Jakarta. Konferensi itu (yang dikenal sebagai Konferensi Persiapan DGI) dihadiri 19 orang utusan yang mewakili 29 gereja dan 28 orang peninjau dari berbagai badan kegerejaan, termasuk panitia.71 Sebelumnya, dalam rapat panitia pada bulan Pebruari 1949, telah dipersiapkan suatu konsep Anggaran Dasar yang berisi lima belas pasal. Penyempurnaan konsep itu menghasilkan Anggaran dasar Baru di mana nama “madjelis” diganti menjadi “dewan” dan badan oikumene yang akan dibentuk ditetapkan bernama Dewan Geredja-Geredja di Indonesia, dengan tujuan “pembentukan Geredja Kristen jang esa di Indonesia”.72 Selain itu konferensi juga menghasilkan suatu seruan mengenai rencana tersebut kepada “Geredja2, perkumpulan2 dan umat Kristen di Indonesia dan sekalian jang suka mendengarnja”.73 Konferensi memutuskan bahwa pembentukan Dewan akan dilakukan pada suatu konferensi sekitar Hari Pentakosta tahun berikutnya.

Sesuai rencana, konferensi pembentukan dilangsungkan tanggal 22-28 Mei 1950 bertempat di aula STT Jakata. Sedianya sidang akan segera memaklumkan pembentukan DGI, tetapi Ds. Probowinoto meminta pembicaraan Anggaran dasar terlebih dahulu, yang berkembang menjadi perdebatan sengit antara Ds. Probowinoto dengan Ds. Rumambi, yang masing-masing mendapat dukungan dari peserta sidang. Masalahnya adalah adanya sisipan Paniotia Persiapan pada Anggaran Dassar yang telah disepakati pada sidang bulan Nopember 1949, yaitu menambahkan bahwa badan-badan Zending diterima sebagai associated member.74 Akhirnya disepakati untuk membentuuk sebuah panitia khusus yang akan menyempurnakan Anggaran Dasar. Panitia khusus tersebut terdiri atas: Probowinoto, Soesilo, Sinaga, Sahulata, Tan Yoe Gie dan Rumambi. Panitia ini mengajukan hasil pekerjaannya pada tanggal 25 Mei, yang diterima setelah tanggapan dan penyempurnaan oleh sidang. Keanggotaan badan Zending dihapuskan dengan suatu lampiran penjelasan. Dengan demikian berdirinya Dewan Geredja-geredja di Indonesia disahkan, disusul pembacaan “Pengumuman” oleh Ds. Rumambi dan doa syukur yang dipimpin berturut-turut oleh Ds. Supit, Ds. Dingang, Ds. Khoe Lan Seng, Ds. Stelma dan Ds. Suhadi.75

Penolakan atas keanggotaan badan-badan Zending dalam DGI menunjukan bahwa pada akhirnya gerakan oikumene di Indoensia bersangkut paut dengan gereja, dan pekabaran Injil adalah bagian dari tanggung jawabnya. Pandangan Ds. Probowinoto, yang menolak keanggotan badan-badan Zending dalam DGI, jelas dipengaruhi Kwitang-structuur dan juga memperlihatkan penolakan terhadap model pelembagaan oikumenis Internasional, bahwa di samping WWC (gereja-gereja) ada IMC (badan-badan Zending). Penjelasan mengenai penolakan badan-badan Zending sebagai anggota DGI menyatakan:

Zending atau pekabaran Indjil adalah tugas dari tiap2 geredja, karena itu geredja2 di Indonesia djuga mempunjai badan2 jang mengurus pekabaran Indjil itu. 

Dengan terbentuknya D.G.I., maka D.G.I. supaja mengkoordinir badan2 pekabaran Indjil dari geredja2 Indonesia dalam suatu komsi tetap jang melulu mengerdjakan tentang soal2 pekabaran Indjil. Dalam komisi pekabaran Indjil itulaj Zending luar negeri dapat bertemu dengan geredja2 di Indonesia. Pekabaran Injil dari D.G.I. dan Pekabaran Indjil dari luar negeri merupakan suatu komisi yang sekarang tugasnya hanja: 

Memikirkandan menjelidiki soal2 pekabaran Indjil di Indoesia dn negeri2 lain, lalu mengandjurkan hasil2nja kepada sekalian geredja2 dan Badan2 Kristen di Indonesia.76

Penolakan itu menandai peralihan dari pimpinan pihajk Zending Barat ke gereja-gereja Indonesia. Hanya dalam komisi-komisi tertentu beberapa tenaga asing masih dipertahankan.77 

6.3. Rangkuman 

Proses gerakan oikumene di Indonesia, sejak tahun 1928 sampai tahun 1950, memperlihatkan beberapa garis yang jelas. Pertama-tama, pengaruh gerakan oikumene sedunia, khususnya dalam IMC, cukup menentukan. Dalam kaitan itu, yang mela-mela menyadari pentingnya kebersamaan dalam kerangka pekabaran Injil di Indonesia adalah kalangan Zending. Tetapi kemudian, karena pengaruh dari kemandirian gereja, terjadi perembesan gagasan oikumenis kepada kalangan orang Kristen Indonesia. Dan selanjutnya faktor Perang Dunia II dan pendudukna Jepang menjadi gerakan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia.78 Dalam proses perembesan dan peralihan itu berperan penting “generasi muda Kristen berwawasan baru”. Lulusan HTS dan mantan anggota CSV op Java terdapat di antara para penganjur gerakan keesaan gereja dan pimpinan pertama DGI. Dan dalam dinamika wawasan Zending dan wawasan nasionalisme mereka memberi isi pada gerakan oikumene sebagai gerakan kekristenan di Indonesia menjawab panggilannya di dalma kenyataan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

DPG di Yogya berusaha berada di garis depan tekanan ke Indonesia-an gerakan eesaan dan kemudian mendesakkan model yang tepat bagi kedudukan Zending Barat (Kwitang-structuur), tetapi adalah Madjelis Keristen di Makassar yang berhasil mewujudkan hidup-bekerja-bersaksi bersama sebagai gereja secara konkret dan dengan itu menjadi bentara bagi badan oikumensi konkret dan dengan itu menjadi badan oikumenis nasional, DGI. Pengelompokan oikumenis lainnya adalah rumpun GPI dengan model “keesaan jeruk”nya, sedangkan gereja-gereja di Sumatera dan Kalimantan belum tampil dengan suatu sumbangan khusus pada masa it. Selanjutnya, sebagaimana halnya dalam kemandirian gereja, dalamgerakan keesaan gereja pengaruh nasionalisme tidak secara langsung, dalam arti kebersamaan yang diupayakan bukanlah merupakan penyatuan kekuatan melawan dominasi asing di dalam gereja-gereja.79 Yang terjadi adalah suatu proses pencarian bentuk kebersamaan oikumenis dengan gereja-gereja dalam lingkup internasional (baca: Zending Barat), yang ditemukan dalam “Kwitang-structur” itu. Artinya, baik orang Kristen Indonesia, maupun para pekabar Injil Barat sama menyadari (dan mendukung) bahwa kedewasaan gereja-gereja di Indonesia justru terletak pula dalam kemampuan untuk memberi setiap pihak tempatnya yang tepat dalam kebersamaan menjalankan panggilan gereja di Indonesia.

Pembentukan wadah oikumenis dalam bentuk dewan gereja-gereja, bukan menggabung pada GPI atau membentuk sebuah gereja nasional (sesuai usul GMIM) merupakan jalan pendamaian antara proses kemandirian dengan proses keesaan gereja. Pada jalan ini, masalah perbedaan atau pengelompokan gereja-gereja di Indonesia, terutama sebagai greja suku, diarahkan ke dalam kebersamaan. Kenyataan perbedaan itu tidak dihapuskan, melainkan diberi tempat dalam kerangka perhatian pada kebhinekaan Indonesia sebagai satu wawasan dalam panggilan kekristenan di Indonesia.80 Dengan itu maka dalam tujuan gerakan oikumene di Indonesia, pembentukan Gereja Kristen yang esa di Indonesia, bergaung gema nasionalisme bahwa gereja-gereja di Indonesia dipanggil dari dan bagi bangsanya.

 

1 Mengenai perkembangan gerakan oikumene sedunia, lihat Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). Lihat juga Ruth Rouse dan Stephen Charles Neill (eds), A History of the Ecumenical Movement 1517-1948 (London: SPCK, 22967); Harold E. Fey (ed), The Ecumenical Advance: A History of the Ecumenical Movement, Vol. 2. 1948-1968 (London: SPCK, 1970).

2 Ds. A.J. Schuurmann adalah pendiri Seminari Depok,lembaga pendidikan tenaga pelayan sebelum STOVIL dan sekolah-sekolah teologi didirikan.

3 B.J. Boland, Opweg naar Oecumensche Samenwerking in Indonesië (Batavia: Voorbereiding Raad van deKerken, 1949) hlm. 10.

4 Ibid., hlm. 10.

5 Ibid.

6 Untuk studi mendalam mengenai Zendingconsulaat, lihat M.C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands-Indië (Arnhem: van Loghum Slaterus, 1966). Selain dalam rangka ZC, peran NBG sendiri perlu disebut, yakni dalam membantu pekerjaan Zending melalui penerjemahan Alkitab dan juga tenaga-tenaga ahlinya seperti Adriani dan Kraemer.

7 Van den End, Ragi Carita 2, hlm. 30 dst Mengenai SZC selengkapnya, lihat van Randwijck, Oegstgeest. Sebagaimana ZC, juga SZC lahir dari prakarsa Dr. J.W. Gunning.

8 Verslag ZC 1937-1939, hlm. 166.

9 LZR Makassar dibentuk atas desakan pihak Zending di Sumba. Anggotanya adalah CGK Mamasa, GZB Rantepao, NZG Poso, NZV Sulawesi Tenggara, Gereformeerde Kerken (Sumba dan Makassar) dan Indische Kerk di Timor. Verslag ZC 1937-1939, hlm. 162.

10 Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 14.

11 Ibid, hlm. 14. Perkembangan ini dianggap Boland sebagai pertanda adanya suatu rengkahan dalam sejarah.

12 Ibid., hlm. 20.

13 Dari Indonesia, hadir pada Konferensi Yerusalem Dr. B.M. Schuurman, Dr. H.A. van Andel dan T.S.G Moelia. Delegasi ke Tambaram disusun oleh Zendingconsulaat yang berusaha agar semua kelompok Kristen diwakili. Liha tdaftar peserta dalam Adresses and Other Records, The Madras Series Vol. VII, (London, New York: IMC, 1940), hlm. 181 dst; Verslag Zc 1937-1939, hlm. 158.

14 Edisi yang direvisi diterbitkan tahun 1947 oleh Edinburgh House Press, London.

15 Dari ketujuhjilid laporan Tambaram (The Madras Series), laporan mengenai ekonomi gereja yang paling tebal (596 hlm.). Pokok ini dibicarakan berdasarkan penelitian Merle Davis. Lihat The Economic Basis of the Church, The Madras SeriesVol. V, (London-New York: IMC, 1939).

16 Kini Gereja Immanuel GPIB, Pejambon, Jakarta Pusat.

17 Lihat “Terdjemahan kutipan Rentjana Anggaran Dasar Madjelis Geredja2 dan Zending di Hindia Belanda.” Pasal 3, Arsip Madjelis Kristen.

18 Lihat Holtrop, Selaku Perintis Jalan Keesaan Gerejani di Indonesia, hlm, 13 dyb. Pada masa pendudukan Jepang di beberapa tempat pemerintah militer Jepang memaksakan pembentukan badan persatuan seluruh golongan Kristen. Untuk seluruh Sulawesi dibentuk “Selebes Kiristokyo dan Rengokai” pada tahun 1942.

19 Pandangan yang khas dikemukakan Dr. F. Ukur sebagai berikut: “Pengalaman yang menimpa gereja di masa pendudukan Jepang ini telah menempa gereja menjadi dewasa. Ia menjadi dewasa melalui penderitaan. Tekanan, hambatan serta segala macam pembatasan yang dikenakan pada gereja, tidak berhasil melumpuhkan gereja itu. Eskipun ditindas tetapi tidak terjepit, habis akal namun tidak putus asa, dianiaya tetapi tidak ditinggalkan oleh Tuhannya. Sebaliknya gereja menjadi lebih sadar akan hakikat keberadaannya didalam dunia ini, lebih mengerti tugas panggilannya, lebih berani mengabarkan Injil Tuhannya dan lebih mampu menanggung seluruh tanggungjawab selaku gereja yang benar-benar berdiri di atas kaki sendiri.” F.Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang: Laporan Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: LPS-DGI, 1979), hlm. 512.

20 Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 31.

21 Hoekendijk mencatat tiga rancangan yang dihasilkan dari dalam kamp tahanan: “Rapport Bergema” mengenai pendidikna teologi, “Rapport Verkuyl” mengenai koordinasi pers Kristen dan “Nota De Niet” mengenai kerjasama oikumenis dan keesaan di Indonesia. Lihat J.C. Hoekendijk, Zending in Indonesië; Verslag en Rapporten van de Zendingsconferentie te Batavia Gehouden van 10 tot 20 Augustus 1946 (Den Haag: Boekencentrum, 1946), hlm. 10; lihat juga Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33.

22 Hoekendijk, Zending in Indonesië, hlm. 10 dyb. Mengenai Contact-Comité dan Bureau voor Relief en Reconstructie, lihat M. de Niet dan U.H. van Beijma, Tot Beter Begrip (Batavia: Zendingsconsulaat, 1948), hlm. 29-40.

23 Boland, Op Weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 33.

24 Naskah lengkap gagasan De Niet termuat dalam Hoekendijk (ed), Zending in Indonesië, hlm. 12-36.

25 Hoekendijk, Zending in Indonesië, hlm. 19.

26 Bahasa Belandanya “Chrisenraad in Indonesië” dan dalam bahasa Inggris “Christian Council in Indonesia”. Ibid., hlm. 20.

27 Para peserta terutama adalah wakil badan-badan Zending dan gereja-gereja yang melakukan pekabarn Injil, khususnya Gereja Protestan di Minahasa dan Maluku. Dari 39 peserta, hanya empat orang Indonesia: Ds. H.F. de Fretes (Mol.PK), Mr.G.P. Khouw (NBG), Ds.W.J. Rumambi (Min.PK), J.L.L. Wenas (PK). Hoekendijk (ed), Zending in Indonesië, hlm. 137.

28 Ibid., hlm 38.

29 Ibid., hlm 96.

30 Ibid., hlm 75. Dalam pengantarnya, Hoeendijk mengungkapkan pandangan sejarawan Zending ternama, Latourette, bahwa “sejarah pekabaran Injil mengajarkan bahwa hanya gereja-gereja yang menyelenggarakan suatu barisan andal tenaga-tenaga ‘pribumi’ yang terdidik baik yang dapat memperlihatkan kemandirian yang nyata dan kehidupan rohani yang mantap”, (hlm. 67).

31 Bagian dari “Rapport Bergema” yang disusun Dr. Bergema dalam penjara di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Naskah dilampirkan dalam Ibid., hlm. 63-67.

32 Ibid., hlm. 66 dyb.

33 Tampaknya konferensi inilah yang pertama kali secara resmi mencanangkan pembentukan satu gereja di Indonesia sebagai tujuan gerakan oikumene di Indonesia. Gagasan itu sebelumnya telah dikemukakan antara lain dalam “Nota De Niet” dan “Raport Bergema”.

34 Lihat Ibid., hlm. 62; terjemahan kedelapan butir laporan inidimuat sebagai la,piran dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 107-109.

35 Ds. Rumambi (1916-1985?) lahir di Tompaso, Minahasa, menempuh pendidikan teologi (angkatan pertama HTS 1939-1940), ditahbiskan sebagai pendeta GMIM pada tahun 1940 dan bekerja di bidang pendidiakn serta kantor agama pada zaman jepang, sekretaris Madjelis Keristen (1947-1948), 1948-1950 sekretaris umum GPI, 1950-1954 sekretaris umum DGI, 1954-1956 Kepala urusan persekolahan GMIM, 1956-1959 anggota Konstituante, 1959-1966 Menteri (a.l. Menteri Penerangan RI), menjadi Sekretaris Umum LAI (1974-). Lihat Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 18. Mengenai biografi Rumambi, lihat artikel W.B. Sidjabat, “Sekuntum Sumbangan Ds. W.J. Rumambi dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia” (naskah ketikan 20 halaman, tahun 1985).

36 Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 18.

37 Lihat H. Bergema, “Over den nauwen samenhang tusschen zending en oecumenisme”, De Opwekker, 79/1934: 197-206, 268-278, 360-398.

38 Dr. Holtrop mencatat bahwa dalam kerjasama keduanya mempersiapkan konferensi tersebut “menjadi konkrit apa yang dimaksudkan oleh Konferensi Whitby dengan semboyan : Partners[ship] in obediance”. Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 21. H. Bergema (1902-1969): 1929 pendeta zending GKN di Kebumen, 1934 dosen sekolah Guru Jemaat di Karuni (Sumba), 1938 meraih DTh, 1947-1956 Rektor dasn dosen pada Sekolah Teologi di SoE/Makassar, 1956-1968 mahaduru teologi pada ThU Kampen.

39 Demikian dikutip dalam Ibid., hlm. 19 dari ceramah W.J. Rummambi pada Madjelis Persatoean Keristen di Selebes (Makassar), tanggal 24 September 1946, berjudul “Gerakan Keesaan Keristen di Indonesia”. Ceramah tersebut disampaikan pula pada Sidang Sinode GMIM tanggal 18-19 Desember 1946.

40 Ibid., hlm. 19.

41 Hadir utusan-utusan dari Sangihe-Talaud , Minahasa, Bolaang-Mongondow, Luwuk-Banggai, Mamasa, Rantepao, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (Soppeng), Kalasis Makassar Gereja Protestan, Kumpulan Gereeformeerd Makassar, Kemah Injil (CMA), Sumba, Timor, Halmahera, Maluku, Nieuw Guinea, Kerkbestuut GPI, Zendingsconsuaat, NHK, NZR, GKN, Gereformeerde Kerk berbahasa Belanda di Indonesia, NBG, Komisi Medische Zending dan Komisi Pembacaan Darurat di Jakarta. W.J.Rumambi, “(Notulen) keonperesi Geredja-Geredja dan Zending, Makassar 15-25 Maret 1947”, Lampiran 4 dalam Ibid., hlm. 110 dyb.

42 Lihat William Alexander Siwu, “Masing-masign Didapati Setiawan: Sejarah Dewan Gereja-gereja Diwilayah Sulawesi Utara Tengah” (Skripsi STH STT INTIM, 1983); lihat juga MPH-PGIW Sulutteng, 33 Tahun PGIW Sulutteng (Manado: PGIW Sulutteng, 1988).

43 Lihat “Rentjana anggaran Dasar Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen di Indonesia” dan “Rentjana Peratoeran Roemah Tangga Madjelis Oesaha bersama Geredja-Geredja Keristen di Indonesia”, Lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 142-148.

44 Kepengurusan selanjutnya tetap mempertahankan hal itu: Pdt.B. Supit , Pdt. R.M. Luntungan, Sj. Denso, I.H. Doko. Ibid., hlm. 36-43.

45 Tujuan “Madjelis Keristen”, sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Anggaran Dasarnya, meliputi pengembangan wawasan keesaan, penyelidikan pekabaran Injil, mempersatukan kegitatan gereja dan lembaga-lembaga Kristen, menyuarakan pandangan Kristen mengenai masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dst, mengusahalan hubungan-hubungan oikumenis internasionla, menjadi pusat informasi bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen dan mempersiapkan pertemuan atau konferensi.

46 Ibid,. hlm. 43. Dalam hal “hidup bersama sebagai gereja” Madjelis Keristen menemukan prinsip-prinsip dalam menghadapi perbedaan–perbedaan ajaran dan batas-batas nasionalismedna etnis., “Bekerja bersama sebagai gereja” diwujudkan dalam penyelenggaraa Sekolah Theologia, Lembaga Bacaan Kristen, Urusan Pemuda dan dukungan bagi pekabaran Injil di Sulawesi Selatan. Pokok yang ketiga, “beraksi bersama sebagai gereja”, menyangkut sikap gereja terhadap soal-soal agama ddalam Negara Indonesia Timur sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu.

47 Anggaran Dasar (Sementara) Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia”, dalam Siaran Kilat, 1, (Djokjakarta: DPG, nd), hlm. 11. Dengan keanggotan hanya gereja-gereja, tidak termasuk badan-badan Zending dan lembaga Kristen lainnya, Dewn Gereja merupakan suatu langkah maju dalam apa yang disebut Boland peralihan dari aspek Belanda ke aspek Indonesia dalam perkembangan gerakan oikumene di Indonesia. Lihat Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 28 dst. Walaupun menekankan “Indonesia”, DPG hanya beranggotakan gereja-gereja di Jawa, khususnya Jawa Tengah.

48 Siaran kilat, hlm. 17-20. Boland menyebut sekretarisnya R. Siwandargo. Lihat juga Boland, Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 40.

49 Pertemuan bertempat di gedung gereja Kwitang, sehingga disebut “konperensi Kwitang”. Mengenai Konperensi ini, lihat a.l. Boland , Op weg naar Oecumenische Samenwerking, hlm. 46-48; K. J. Brouwer, Zending in een Gistende Wereld (Amsterda: G.J.A. Ruys, 1951), hlm. 56-63; Verslaag van het Zendingsconsulaat over de jaren 1945-1950, Hoofdstukken VII en VIII, hlm. 54-73; J. Verkuyl, Gedenken en Verwachten. Memoires (Kampen: J.H. Kok, 1983), hlm. 156-158.

50 “Kesimpoelan dalma Peroendingan antara delegasi geredja2 di Indonesia (Di dalam lingkoengan Dewan permoesjawaratan Geredja2) dan delegasi Geredja2 di Negeri Belanda (Gereja Hervormd dan Geredja Gereformeerd) mengenai bentoek bekerdja bersama dilapangan Pekabaran Indjil di Indonesia. “naskah ketiakn 5 haalaman (Arsip Madjelis Keristen, IGIT STT-INTIM Ujung pandang). Naskah ditandatangani oleh Ds. B. Probowinoto sebagai wakil DPG dan Ds.Th.B.W.G.Gramberg dari pihak Zending.

51 Verslag van het Zendingsconsulaat over de jaren 1945-1950, hlm. 54.

52 Ibid., hlm. 54.

53 Lihat Chris Hartono, “gerakan keesaan Gereja-gereja Berlatar Belakang Tionghoa”, dalam Peninjau, ½. 1974: 119-161; dan Chris Hartono, Ketionghoaan dan Kekristenan: Latarbelakang dan Panggilan Geredja2 yang berasal Tionghoa di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974).

54 Istilah yang berasal dari tahun 1854 ini adalah pandangan Henry Venn, seorang tokoh LMS, mengenai tujuan pekabaran Injil “as being the calling into excistance of self-governing, self-supporting, and self-propagating Churches; and of the euthanasia of a mission”. Lihat Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin, 1973), hlm. 259 dyb. Lihat juga evaluasi kritis Dr. Verkuyl terhadap model tri kemandirian ini dalam J. Verkuyl, Inleiding in de Nieuwere Zendingswetenschap (Kampen: J.H. Kok, 1975), hlm. 257 dyb.

55 Hartono, Ketionghoan dan Kekristenan, hlm. 159.

56 Khusus GPIB, lihat S.W. Lontoh dan H. Jonathans, Bahtera Guna Dharma GerejaProtestan di Indonesia bagian Barat (Jakarta:GPIB, 1981).

57 Toetoeran Synode Am ke-III, hlm. 28.

58 Ibid., hlm. 29. Tidak berkembang lebih lanjut dalam percakapan apa yang dimaksud oleh Dr. Rasker dengan “4 Geredja berdiri sendiri … “ itu.

59 Untuk biografinya, lihat kumpulan karangan Ds. A.Z.R. Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa (Redaksi Bulletin Dewan Geredja2 Suluteng, nd); lihat juga D.M. Lintong, “Ds. A.Z.R. Wenas Ketua Sinode GMIM (1942-1967). Satu Bab dari Sejarah Gereja Masehi Injil Minahasa” (Tesis STh FTh-UKIT, 1978).

60 Toetoeran Synode Am ke-III, hlm. 35.

61 Ibid., hlm. 36.

62 “Berita” [dari Sinode Am III Gereja Protestan Indonesia di Bogor tahun 1948], (selebaran dwibahasa ) hlm. 5-6.

63 “Suatu persatuan Geredja seperti GPI dahulu dibandngkan dengan buah mangga, sebuah bidji jang diliputi oleh dagingnja. Suatu geredja jang hampir berserakan, jang terdiri dari geredja2 jang terlepas satu sama lain, akan menjerupai buah Anggur. Akan tetapi jang dikehendaki ialah suatu Geredja jang seperti djeruk bentuknja, artijna bagian2 jang berdiri sendiri dirangkum mendjadi suatu keseluruhan.” Th. Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 21966), hlm. 81. Rangkuman “werkorde” GPI terdapat dalam Locher, De kerkorde der Protestantse Kerk, hlm. 248-255.

64 Lihat penjelasan J.L.L. Wenas dan Ds. Rumambi pada Konferensi Persiapan DGI dalam Notulen Konperensi Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 14-16. Telaah mengenai sumbangan GPI bagi gerakan oikumene di Indonesia ini dilakukan oleh U.H. van Beyma, De Boodschappen en de Werkorde van de Protestantsche Kerk in Indonesië (Batavia: Zendingsconsulaat, 1949).

65 Notulen Konperensi [Persiapan] Dewan Geredja2 di-Indonesia, hlm. 16.

66 Disebut juga Madjelis Kristen Medan. Hal-ihwal wadah oikumenis gereja-gerejadi Sumatera Utara ini tidak jelas. Zendingsconsulaat menyebut pula adanya “Regionale raad te Palembang”, yang pada bulan Agustus 1948 dibentuk bersama, atas prakarsaDs. E. Everts, oleh jemaat-jemaat HKBP, Methodis berbahasaTionghoa dan Indonesia, Gereja Protestan berbahasa Belanda dan Indonesia dan Gereja Gereformeerd dalam “Konperensi kaum Keristen protestan di Sumatera Selatan”. Lihat Verslag van het Zendingsconsulaat 1945-1950, hlm. 76.

67 Naskah lengkap sebagai lampiran 5 dalam Holtrop, Selaku Perintis Jalan, hlm. 142-148.

68Jangkauan nasional Madjelis Keristen yang ditunjukan Ds. Rumambi di sini sangat bermakna mengingat masa itu Indonesia terkotak-kotak dalam sejumlah negara bagian.

69 Peserta dari Indonesia pada sidang pembentukan DGD di Amsterdam a.l. Dr.J.E. Siregar, Ds.K. Sitompul, Ds.A. Rotti, Ds.Ch. Mataheru, Ds. Mardjo Sir dan Ds.S.P. Poerbowijogo.

70 IMC hanya menerima dewan gereja-gereja nasional sebagai anggota, bukan gereja-gereja.

71 Lihat Lampiran I dan Lampiran II dalam Ichtisar “Konperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”. Jumlah utusan lebih kecil dari jumlah gereja sebab Madjelis Keristen mengutus empat orang untuk mewakili 14 gereja dan bakal gereja anggotanya. Dalam daftar peserta sidang nama Dr.T.S.G. moelia tidak tercantum.

72 Lihat “Peraturan Anggaran Dasar dewan Geredja2 di Indonesia”, Lalmpiran III dalam Ichtisar “Konperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9 dyb.

73 Lihat “Berita Konperensi Persiapan Geredja2 di Indonesia”, LampiranIII dalam Ichtisar “Koperensi Persiapan Geredja-Geredja di Indonesia”, hlm. 9.

74 Selain itu ada pula keberatan GMIM yang bukannya menghendaki pembentukan dewan gereja-gereja, melainkan langsung satu gereja di Indonesia. Lihat [Notulen] konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 10-14.

75 Pemilihan Badan pekerja pada tanggal 27 Mei menetapkan: Prof. Dr. T.S.G. Moelia (Ketua), Ds. Rumambi (Sekretaris dibantu olelh Mr. A.L. Fransz, Ds. Tjan TongHoo dan Dr. S.C. Nainggolan. [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 31-33.

76 “Pendjelasan mengenai penghapusan Pasal 5, sub B ajat 1 dan 2”, lampiran II dalam [Notulen] Konperensi Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, hlm. 45. Tentang masalah keanggotaan badan Zending dalam DGI ini, lihat B.J. Bolalnd, “De Raad van Kerken in Indonesië en de Zending”, (Arsip Madjelis Keristen, naskah ketikan 15 halaman, 19 Juni 1950)

77 Selain komisi Pekabaran Injil, dalam struktur DGI dimasukkan lembaga-lembaga yang sudah berdiri sebelumnya: Madjelis Pusat Pendidikan Kristen (meneruskan Dewan Sekolah), Komisi Radio Kristen (baru), Komisi Pemeliharaan Kerohanian dalam Tentara, Komisi Kesehatan dan Sosial, Komisi Bahasa dan Komisi Geredja dan Negara. Beberapa badan otonom juga dibicarakan dalam ikatan atau kerjasama dengan DGI, seperti Badan penerbit Kristen ( dari badan Penerbit Geredja dan Zending), Zendingsconsulaat,Kerapatan Alkitab, Sekolah Theologia Tinggi dan MPKO. Dengan semua itu dapat dikatakan DGI merupakan pengalihan dan reorganisasi badan-badan Kristen asuhan Zending. Lihat Ichtisar Konperensi untuk Pembentukan Dewan Geredja2 di Indonesia, hlm. 4-6.

78 Faktor-faktor itu merupakan percepatan dalam proses peralihan tekanan dari pemahaman missiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk) atau dari aspek Belanda ke aspek Indonesia (Boland).

79 Dengan perkecualian kelompok DPG di Yogyakarta, yang agak bersifat antti Zending (meginat bahwa mereka berada di jantung perjuangnRepublik pada masa itu.

80 Perjalanan DGI selama tahun 1950-1960-an menunjukan kuatnya gagasan “pembentukan satu gereja di Indonesia”. Puncak dari pendekatan itu digagalkan dalam penolakan konsep Tata SINOGI (Sinode Gereja-gereja di Indonesia) pada Sidang Raya VI DGI tahun 1967 di Makassar. Kesadaran mengenai “keesaan dalam kepelbagaian”, yang dimunculkan pada awal tahun 1960-an, diperkembangkan lebih lanjut sejak Sidang Raya VII DGI tahun 1971 di Pematang Siantar. Paningkatan wadah oikumene nasional dari “dewan” menjadi “persekutuan” gereja-gereja pada Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon tampaknya tetap membuka kemungkinan baik bagi gagasan lama, walaupun pendukung kepelbagaian cukup kuat. Untuk pengantar ke dalam sejarah gagasan keesaan dalam DGI, lihat Zakaria J. Ngelow, “Jalan Keesaan DGI” (Tesis SEA-GST, 1982).

Pokok-Pokok Kesimpulan

1. Terasing dari Dunianya

Ketika agama Kristen masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-16, Indonesia sedang mengalami rekonfigurasi sosial politik. Kerajaan-kerajaan Hindu sedang runtuh dan digantikan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam. Sementara itu kelompok-kelompok suku pedalaman mengalami kehidupannya dalam lingkaran sejarah yang seakan tak beranjak. Berbeda dengan kehadiran agama-agama “impor” sebelumnya, agama Kristen tidak disebarkan dengan mendirikan pusat-pusat kekuasaan pribumi. Para pembawa agama Kristen menempatkan kekuasaan dagang (dengan benteng-bnteng pemukiman asing sebagai pusatnya) sebagai kepentingan utamanya, bukan kekuasaan pemerintahan. Sebab itu tidak terbentuk negara-negara teokratis Kristen di Nusantara. Maka agama Kristen di Indonesia tetap tampak sebagai agama bangsa dan pemerintah asing. Selain itu, dalam agama Kristen urusan perniagaan tidak bersanding serasi dengan urusan keagamaan. Upaya mencari laba tidak seiring jalan dengan panggilan mencari jiwa-jiwa. Maka siar Injil – walaupun merupakan salah satu bagian pokok dari kegiatan para saudagar dari dunia Kristen itu – tidak dilaksanakan atau didukung dengan sepenuh hati. Sebaliknya, agama Kristen diperalat: persaingan dan permusuhan antar bangsa-bangsa yang memperebutkan monopoli perdagangan dan kekuasaan di Nusatara adalah pula pengelompokan yang mempermusuhkan penganut agama yang berbeda. Agama menjadi alat pembeda dan pengikat kelompok dalam kekuasaan atas perdagangan.

Adalah para agamawan dari beberapa golongan biarawan Katolik, khususnya dari Ordo-ordo Fransiscan, Dominikan dan Yesuit yang ikut menyusuri jalur pelayaran sutera ke Asia  untuk “menyegerakan pertobatan orang-orang khalik”.1 Pada beberapa tempat mereka berhasil memperoleh sejumlah penyambut, yang umumnya dibaptiskan secara masal tanpa persiapan yang memadai, dan misalnya di Indonesia, orang-orang Kristen pribumi itu diasingkan dari masyarakatnya dalam pemukiman di sekiter benteng. Pengkristenan menjadi alienation dalam pola “kekristenan benteng” tersebut: orang Kristen pribumi tercabut dari lingkungan masyarakat aslinya dan hidup dalam peniruan gaya hidup asing di sekeliling pusat kehidupan Eropa itu.

Pembinaan jemaat di lingkungan masyarakat sendiri, seperti di pulau-pulau Lease, Maluku Tengah, tidak diselenggarakan semestinya, antara lain oleh karena kurangnya tenaga pelayan. Akibatnya, terjadi pertemuan kekristenan dengan kepercayaan pra-Kristen yang tidak diarahkan, sehingga unsur-unsur kepercayaan lama terbawa ke dalam kekristenan. Kekristenan dari mereka yang tinggal di sekitar pemukiman masyarakat Barat, maupun dalam masyarakat yang sebagian dikristenkan, sesuai perkembangan kekristenan masa itu, sampai belum mengembangkan persekutuan gereja yang kritis menghadapi kenyataan-kenyataan sosial politik dan tradisi adalah politisasi kekristenan yang dikemukakan di atas. Penduduk dikristenkan secara masal, antara lain untuk mengikat mereka secara politik kepada kepentingan monopoli perdagangan bangsa Eropa.

Pengalihan sebagian besar jemaat-jemaat Katolik di Nusantara ke Protestantisme di tangan VOC pada abad ke-17 tidak membawa perubahan yang bermakna dalam mengakarkan dan menghidupkan Injil. Walaupun VOC lebih cepat berkembang menjadi kekuasaan yang melampaui benteng-benteng saja, juga tetap menjadi suatu pemerintah asing. Pada masa itu pula menjadi nyata bahwa kepentingan politik dan perdagangan memojokkan kewajiban VOC memelihara kehidupan gereja.

Setelah keruntuhan VOC, penanganan kekristenan di Indonesia oleh pihak pemerintah pemerintah Belanda hanya berubah dalam bentuk pelembagaan gereja Protestan, sebagai gereja negeri. Perkembangan yang bermakna adalah masuknya badan-badan pekabaran Injil pada abad ke-19, yang berusaha mengkristenkan suku-suku terpencil, dan juga mengambil alih sebagian tanggungjawab pelayanan Gereja Protestan di wilayah Indonesia bagian Timur.

Berbagai faktor, antara lain penunjukan pemerintah untuk bekerja di daerah-daerah yang relatif terpencil dan masih menganut agama sukunya, memberi peluang kepada badan-badan itu untuk juga menjadi agents of modernization. Melalui pelayanan di bidang-bidang pendidikan, kesehatan dan sosial, dalam rangka pemberitaan Injil, wawasan dunia yang baru diretaskan ke dalam kehidupan suku-suku terpencil yang lama tertutup dalam dunianya sendiri. Dengan itu kekristenan memberikan suatu wawasan baru mengenai sejarah, dunia, kehidupan dan masa depan.

Tetapi kekristenan di Indonesia pada abad ke-19 juga belum mengembangkan suatu sikap kritis terhadap kenyataan sosial dan politik kolonialisme. Kehadiran pemerintah kolonial seolah-olah suatu bagian normal dari kehidupan yang lebih maju dan modern itu. Sering pula timbul pandangan bahwa kenyataan kolonialisme itu berada di luar wilayah agama. Masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan sebagainya dihisabkan pada “urusan duniawi “, yang tidak kena mengena dengan ibadah, moralitas pribadi atau keselamatan jiwa. Sebab itu agama Kristen tidak menjadi wahana pengungkapan kegelisahan sosial masyarakat.

Sikap kritis kepada pemerintah kolonial dari pihak gereja, khususnya Zending, juga dilemahkan oleh faktor dari luar. Pembatasan-pembatasan pemerintah, demi rust en orde, dan ketergantungan “nasib” pekerjaan penginjilan di tangan pemerintah, sesuai yang tertuang dalam Art. 123 RR tahun 1854 (kemudian dalam Art. 177 IS 1925), melemahkan daya kritis Zending terhadap pemerintah. Di lain pihak, peran pemerintah dalam mengawasi dan menerbitkan keamanan serta menyiapkan prasarana perhubungan di daerah-daerah terpencil (Tanah Batak, Toraja, Poso) diperlukan sebagai dukungan tak langsung bagi pekerjaan Zending.

Pada masa politik Etis, ada dukungan politik terhadap pekabaran Injil, khususnya di bawah Idenburg. Kenyataan itu tidak dapat dan tidak perlu diingkari. Tetapi dapat dijelaskan bahwa apa yang disebut sebagai Kersteningspolitiek masa itu ternyata bukan dukungan terhadap Zending, melainkan sebaliknya, sama seperti pada masa awalnya di Indonesia, agama Kristen diperalat bagi kepentingan politik, yakni untuk melawan pengaruh agama Islam. Dalam hal ini justu kekristenan Indonesia dirugikan, yaitu dipermusuhkan dengan pihak Islam, dan dampak negatifnya sampai kini belum teratasi sepenuhnya. Dapat pula dinyatakan bahwa ketampilan Islam di panggung pergerakan nasional “ditunjang” pula oleh Kersteningspolitiek tersebut. Kemunculan Muhammadiyah, misalnya, sebagian merupakan reaksi terhadap politik tersebut. Dalam prakteknya, pekabaran Injil tidak dimajukan oleh dukungan langsung pemerintah. Pertambahan jumlah orang Kristen pada beberapa dasa warsa terakhir pemerintahan kolonial, misalnya di Tanah Batak dan Sulawesi Tengah, merupakan buah-buah ketekunan dan kerja keras para pekabar Injil selama belasan bahkan puluhan tahun sebelumnya. 

 

2. Perwalian untuk Masa Depan Bersama?

Politik etis kolonial menjadi faktor penting bagi bangkitnya nasionalisme Indonesia. Perluasan pendidikan dan kemudian pembentukan Volksraad, turut mendorong kalangan Kristen untuk menentukan sikap terhadap gagasan-gagasan masa depan Indonesia. Kebangkitan nasional merupakan suatu proses dengan percepatan yang berbeda pada tiap golongan. Pada tahap awal, dalam bentuk gerakan sosial, kebudayaan dan ekonomi, kalangan Kristen Indonesia melalui berbagai organisasi “masyarakat Kristen” turut memperjuangkan kemajuan bagi kelompoknya. Dalam hal ini juga segi agama (Kristen) belum memainkan peran yang penting. Faktor kesukuan (atau kedaerahan) mendominasi pengelompokan di kalangan orang-orang Maluku dan Minahasa di Jawa, yang pada masa itu menganut agama Kristen. Faktor kesukuan ini pula yang menentukan sikap politik kebanyakan orang Kristen dalam pergerakan nasional, ketika pergerakan itu telah beranjak ke tingkat politik – ideologis.

Dalam kerangka politik kolonial yang memberi kesempatan kepada penduduk Indonesia untuk turut menangani urusan pemerintahan melalui pembentukan Volksraad (1918), perlahan-lahan muncul suatu kesadaran politik Kristen. Pembentukan Christelijk Etische Partij (CEP, kemudian menjadi CSP) pada tahun 1917 dapat dilihat sebagai penyadaran pihak Kristen untuk turut berpolitik: lambat-laun orientasi kesukuan atau kedaerahan dialihkan (atau digabungkan) dengan orientasi kekristenan dalam pergerakan nasional. Tetapi kendala utama dalam proses ini adalah sifat konservatif CEP/CSP, yang membebek pada gagasan perwalian pemerintah kolonial. Kekecewaan bertambah kemudian, ketika CEP, patron politik Kristen pribumi yang didominasi orang Kristen Eropa itu, mengkhianati sekutu pribuminya dengan menolak gagasan Inlandsche meerderheid dan kemudian juga menolak Petisi Soetardjo dalam Volksraad. Partai Kaoem Masehi Indonesia (PKMI), yang dibentuk ,pada tahun 1930 sebagai partai Kristen nasional, gagal karena tidak menampung aspirasi yang progresif para aktivis nasionalis Kristen dan karena dihempang oleh kuatnya ikatan-ikatan kesukuan atau kedaerahan.

Gagasan politik yang diketengahkan oleh para “politikus Kristen” dalam partai-partai Kristen masa pergerakan memperlihatkan beberapa kenyataan. Pertama-tama, sesuai hakikat suatu partai politik agama, tekanan teokrasi sangat menonjol, yang disini diartikan sebagai usaha memperjuangkan supaya prinsip-prinsip Kristen diberlakukan pada semua bidang kehidupan negara dan masyarakat (tetapi bukan pembentukan negara atau pemerintahan Kristen).

Sumbangan penting yang diungkapkan dalam prinsip teokrasi ini adalah pembumian iman Kristen sehingga menyentuh soal-soal sosial dan politik yang pada periode sebelumnya dianggap berada di luar urusan agama. Tetapi prinsip itu belum dikembangkan secara penuh, belum merupakan partisipasi kritis Kristen dalam masalah-masalah sosial politik.

Sikap kolot tersebut berkaitan dengan tekanan lain dalam pemikiran politik partai-partai Kristen masa itu, yakni kesetiaan kepada pemerintah berdasarkan pemahaman atas teks Alkitab bahwa pemerintah adalah hamba Allah, atau bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari Allah (Rm. 13: 1-7, Yo 19:11). Dalam pandangan yang didasarkan pada penafsiran yang sempit pada Kitab Suci ini justru  diabaikan pokok penting, yakni sikap politik kritis terhadap hubungan kolonial. Baik CEP maupun PKC dan PKMI, jelas-jelas mendukung pemerintah kolonial dan menaruh harapan pada fungsi perwaliannya membimbing bangsa Indonesia ke masa depan. Slogan nasionalis Indië los van Nederland dianggap gegabah atau tidak realistis.

Bagaimana menjelaskan loyalitas para politisi Kristen terhadap pemerintah kolonial ini? Selain pemahaman sempit atas nasihat Rasul Paulus dalam Roma pasal 13 dan atas sabda Yesus terhadap Pilatus dalam Yohanes 19 itu, bahwa pemerintah adalah pemegang mandat kekuasaan dari Tuhan Allah, mereka juga memandang pergerakan nasional sebagai gerakan radikal pihak Islam dan pihak Komunis, yang merupakan “musuh-musuh” pihak Kristen.2 Maka pemihakan pada pemerintahan kolonial berkaitan pula dengan kenyataan minoritas pihak Kristen, yakni berlindung dari tekanan golongan-golongan yang besar. Hal ini menjelaskan pandangan politik Kristen selanjutnya, yakni yang sangat menekankan kebebasan beragama.3 Sikap yang sama tampak dalam penolakan beberapa organisasi masyarakat Kristen menggabung dalam PPPKI pada akhir rahun 1920-an, yang berkaitan dengan keanggotan partai yang tidak netral agama dalam federasi itu4 Penjelasan lain terdapat dalam kenyataan bahwa sikap politik Kristen di Indonesia dikembangkan mula-mula dalam lingkungan dan didominasi oleh pihak Belanda (CEP), yang konservatif.

Para aktivis politik Kristen yang siuman terhadap pergerakan nasional memilih meninggalkan politik Kristen lalu menggabung dengan para aktivis “nasional sekuler”. Demikianlah Dr. Ratu Langie secara sadar memilih bergiat dalam kelompok Kebangsaan, bukanlah dalam lingkungan pengaruh partai Kristen. Tidak seperti yang banyak dilakukan politisi Kristen kemudian, Ratu Langie tidak memilih suatu kelompok non-Kristen untuk menjalankan panggilan Kristennya, melainkan “meninggalkan politik Kristen” dalam arti sikap politiknya tidak bertolak dari wawasan kekristenan. Model keterlibatan politik para politisi Kristen di luar organisasi politik Kristen merupakan pendekatan lain, yang disarankan antara lain oleh Amir Sjarifuddin.

 

 

3. Wawasan Baru Generasi Baru

Amir Sjarifuddin dan angkatannya tergolong generasi kedua dalam pergerakan nasional (Angkatan 28, yang disebut Abu Hanifah “The Angry Young Men of 1928”), yang juga merupakan generasi baru dalam perpolitikan Kristen. Generasi ini juga tergolong baru dari segi visi mengenai kaitan kekristenan dengan pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan generasi Moelia atau Ratu Langie, mereka memperhubungkan iman Kristen dengan sikap nasionalisme melalui pendekatan oikumenis.5 Dalam hubungan itu, peranan para pengasuh mereka, seperti Dr. C.L. van Doorn, Mr. J.M.J Schepper patut dicatat. Demikian pula organisasi-organisasi seperti Vio-NCSV, CSV op Java, atau Komisi Pemuda NIZB dan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa serta wanita lainnya.

Tokoh-tokoh pengasuh para pemuda dan mahasiswa Kristen pada tahun 1920-an  dan 30-an tersebut sama berlatar belakang gerakan mahasiswa Kristen sedunia, yang walaupun secara teologis tergolong eksklusif, dapat menanggapi pergerakan nasional secara relatif progresif.6 Walaupun bukan yang pertama, Kraemer dapat dianggap juru bicara utama dalam penyadaran gereja dan Zending terhadap pergerakan nasional Indonesia. Dan khusus terhadap pembinaan para pemuda, ”dwisila Bandung”nya7 terbukti berhasil dalam pembinaan dan mahasiswa Kristen bervisi baru tersebut. Van Doorn, Schuurman dan Schepper dan para pembina lainnya mempersiapkan generasi muda Kristen Indonesia dengan pandangan-pandangan yang progresif terhadap nasionalisme.

Dalam kebangkitan generasi muda Kristen berwawasan baru itu pentinglah mencatat beberapa faktor penentu. Pertama, adanya para pembina yang berwawasan progresif, yang mengenal secara baik prinsip-prinsip iman Kristen dan memahami secara mendalam berbagai masalah sosial-politik yang berkembang dalam masyarakat, dan yang commited terhadap panggilan pembinaan. Terutama pasangan suami isteri van Doorn-Snijders merupakan tokoh-tokoh panutan. Kedua, adanya jaringan pelayanan yang luas dan terkoordinasi dalam satu wawasan dan kerjasama dengan rekan-rekan sejabat. Ketiga, adanya pusat-pusat pertemuan dengan program berkala terencana dengan baik. Peran Student Centre seperti Clubhuis Kebon Sirih 44 sangat penting dengan sarana pendukungnya (ruang pertemuan, perpustakaan dst). Akhirnya, sifat yang oikumenis dan kebebasan dari ikatan dengan lembaga gereja tertentu. Sifat ekstra-gereja dan interdenominasi organisasi-organisasi pelayanan pemuda dan mahasiswa asuhan van Doorn dan kawan-kawan mendukung perluasan wawasan melalui pergaulan dengan sesama anggota dari latar belakang yang berbeda.

Sikap nasionalis generasi muda tersebut merupakan bagian dari visi oikumenis yang berkembang dalam lingkungan mahasiswa Kristen sedunia. Dalam bentuknya di kalangan pergerakan mahasiswa, visi oikumenis mempertemukan beberapa gagasan sekaligus: kesungguhan menjalani iman Kristen, perhatian pada masalah-masalah sosial-politik nasional dan internasional, serta pengembangan kerjasama antara orang Kristen yang berbeda aliran. Jadi, visi oikumenis bukan sekadar membawa kepada pembebasan dari batas-batas denominasi gerejanya. Lebih luas dan dalam lagi adalah menjadi pembebasan dari kekristenan yang membatasi diri dalam dunia rohani, pembebasan dari batas-batas nasionalisme yang sempit dan radikal, tetapi juga pembebasan dari sikap masa bodoh terhadap kenyataan sosial-politik yang dihadapi bangsanya. Titik tolaknya adalah menjadikan kekristenan sebagai kewargaan Kerajaan Allah. Dalam kewargaan ini kesetiaan kepada kehendak Allah menentukan dan melampaui kesetiaan terhdap bangsa. Dan bakti kepada masyarakat, bangsa dan negara dilakukan dalam rangka menegakkan kehendak Allah di dalam kehidupan nasional. Di bidang politik, prinsip ini mengarahkan para politisi Kristen pada gagasan teokrasi.

Konferensi WSCF pada tahun 1993 di Citeureup mengungkapkan prinsip-prinsip dasar sikap oikumenis yang diperkembangkan dalam gerakan mahasiswa Kristen sedunia ini. Dalam konferensi itu menjadi nyata kedalaman visi oikumenis mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa kegiatan-kegiatan dalam gerakan mahasiswa Kristen masa itu, misalnya di Clubhuis. Organisasi 44, lebih dari sekadar “ceramah-ceramah rohani” atau penelaahan Alkitab yang dangkal. Bijbelkring merupakan pendalaman ajaran Alkitab dalam kaitan dengan kenyataan-kenyataan aktual masyarakat dengan sikap keterlibatan. Komitmen mereka dalam kehidupan gereja dan masyarakat, misalnya, dengan mengambil bagian dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional mewujudkan ideal yang dalam kalangan mahasiswa Kristen Indonesia menjadi slogan “tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian”.

Salah satu ciri penting dalam kalangan pergerakan mahasiswa Kristen masa itu adalah pandangan teologi yang eksklusif. Pandangan ini memperlebar jarak dengan pihak Islam, yang akar-akarnya berasal dari permusuhan dalam sejarah Eropa dan kemudian dari politik kolonial. Dengan kata lain, dalam visi oikumenis dan eksklusivisme agama. Disamping faktor kesejahteraan lainnya, mentalitas eksklusif itu menggiring pihak Kristen ke suatu blok politik tersendiri. Pada satu pihak sikap ini memperkuat solidaritas dan identits orang Kristen di Indonesia, tetapi pada segi lain, turut menghambat kerukunan antar umat beragama dalam Indonesia merdeka.

Sumbangan penting bagi kelahiran generasi berwawasan oikumenis juga datang dari pendidikan teologi. Sekali lagi Kraemer dan Schuurman bersama tokoh-tokoh lain, seperti Müller-Krüger dan kemudian Rasker tampil sebagai penganjur-penganjur di bidang ini. CSV op Java dan pembinaan pemuda mempersiapkan intelegensia Kristen sebagai kader-kader Kristen di bidang politik, sedangkan pendidikan teologi khususnya HTS, melahirkan kader-kader pemimpin gereja. Dengan demikian maka menjelang Indonesia merdeka pihak Kristen sempat memperoleh kader-kader yang – walaupun bilangannya tak seberapa – sangat bermakna bagi panggilan kekristenan dalam Indonesia merdeka. 

 

4. Partisipasi Teokratis 

Dalam kenyataan sejarahnya, generasi muda yang dibicarakan di atas pada umumnya tertuju ke dalam dunia politik dalam suatu situasi baru, yakni ketika kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan. Dalam kenyataan itu mereka berhadapan dengan masalah-masalah konsolidasi intern Indonesia merdeka dan konfrontasi dengan pihak Belanda yang mengklaim Indonesia sebagi jajahannya. Jika dibandingkan dengan generasi Kristen itu tidak banyak berbeda. Tekanan pada kecenderungan teokrasi, loyalitas pada pemerintah yang berkuasa atau alert terhadap golongan-golongan non-Kristen sama mewarnai pandangan politik mereka. Dengan kata lain, terdapat kesinambungan dalam prinsip-prinsip politik Kristen sebelum dan sesudah perang.

Tetapi perbedaan sikap terhadap kemerdekaan Indonesia juga menandai adanya suatu discontinuity. Jika diperhubungkan dengan visi oikumenis generasi baru, maka dukungan terhadap kemerdekaan bangsanya lahir dari pandangan yang sama sekali baru mengenai sejarah dan kemanusiaan. Intinya adalah hak setiap bangsa untuk memperkembangkan kehidupan kebangsaannya masing-masing dalam kemerdekaan demi kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Hanya satu bangsa yang merdeka yang dapat “melayani” kemanusiaan, dan dengan demikian memuliakan Allah. Dalam titik tolak ini terdapat motif yang lebih dalam, yang berhubungan dengan teokrasi: bangsa dan negara sebagai wahana dalam pelaksanaan kehendak Allah di dalam dunia. Sebab itu pula secara prinsipil kekristenan kritis terhadap nasionalisme dan menekankan ketaatan kepada kehendak Allah. Agama di atas kebangsaan.

Kecenderungan teokratis ini, dalam arti pemberlakuan kehendak Allah dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, merupakan dasar dari partisipasi Kristen di bidang politik di Indonesia sejak zaman pergerakan. Pandangan-pandangan pribadi ataupun pernyataan organisasi politik Kristen pada zaman pergerakan dan PARKINDO secara resmi pada beberapa tahun pertama kemerdekaan diwarnai oleh kecenderungan ini. Demikian juga pemikiran politk yang berkembang di dalam lingkup gereja, baik di Indonesia bagian Timur (Konferensi Malino, 1947), maupun Gereja Protestan (Sinode Am ke-3 GPI, Bogor, 1948).

Tetapi kecenderungan teokratis ini tidak diperjuangkan dalam bentuk suatu “negara Kristen”. Malahan pihak Kristen sangat menekankan kebebasan agama8 dan menentang gagasan-gagasan negara Islam atau pendasaaran negara pada keyakinan sesuatu agama (Piagam Jakarta, UUD NIT).9 Kekristenan sudah lama mengalami pencerahan: negara Kristen adalah kenyataan Abad-abad Pertengahan Eropa, yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan bina negara (statecraft) modern.

Dalam kaitan dengan kebebasan agama itu, pihak Kristen juga menekankan demokrasi dan nasionalisme. Program politik dalam negeri PARKINDO pada Kongres ke-1, tahun 1945, menyatakan tekad “meresapkan arti kedaulatan rakjat jang sebenar-benarnja dan seloeas-loeasnja” di samping “mempertebalkan rasa kebangsaan dan memperkokoh rasa persatoean, memberantas rasa kedaerahan”. Demikianlah dalam politik Kristen Indonesia, prinsip teokrasi dipadukan dengan asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi. Pihak Kristen mendukung pemerintah yang mempertahankan asas-asas itu mempertahankan asas-asas itu, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.10 Berbeda dengan dukungan terhadap pemerintah kolonial sebelumnya, yang berdasarkan penerimaan gagasan perwalian, dukungan kepada pemerintah Indonesia merdeka berkaitan dengan asas-asas tersebut. Sikap ini “kebetulan” cocok dengan pemahaman Kristen yang umum masa itu terhadap pemerintah (Rm. 13:1-7). Kekuatiran terhadap adanya usaha golongan politik yang menghendaki negara Islam atau yang menentang kebebasan (ber)-agama memperkuat “ketaatan” pihak Kristen kepada pemerintah.

Sebagai catatan akhir mengenai pokok ini, satu dua hal dapat dikemukakan mengenai gereja dan politik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, pihak gereja mulai sadar terhadap panggilan politik Kristen di Indonesia. Tetapi gereja juga sadar mengenai batas-batas dalam panggilan itu supaya gereja tidak menjadi kelompok politik. Peran gereja adalah menyatakan kasih, penghakiman dan kehendak Tuhan dalam kehidupan nasional. Dalam bingkai itu gereja memberi tuntunan kepada warganya yang menjalankan peran politik, supaya dapat melaksanakannya dalam kesetiaan kepada Tuhan. Maka dalam arti yang dalam dan luas, partai politik Kristen dianggap sebagai salah satu wujud khusus dari pelayanan gereja terhadap dunia. Dalam pengertian ini terungkap salah satu dimensi dari temuan gerakan oikumene, yaitu pelayanan sosial politik gereja.11

 

 

5. Model-model Keterlibatan Kristen

Sejarah kekristenan dan nasionalisme Indoensia dalam kurun masa pergerakan nasional menampilkan tokoh-tokoh Kristen, baik orang asing maupun orang Indonesia,yang telah menyumbangkan karya hidupnya bagi kekristenan di Indonesia. Yang hendak dicatat secara singkat dalam evaluasi ini adalah beberapa orang dari mereka yang berperan penting dalam perjumpaan pergerakan nasonalisme dengan kekristenan di Indonesia, untuk melihat model-model keterlibatan orang Kristen dalam bidang  politik.

Sebagaimana digambarkan dalam studi ini, Dr.T.S.G. Moelia merupakan prototipe dari politikus Kristen Indonesia angkatan pertama. Moelia berakar kuat dalam lingkungan Zending dan sukunya, konservatif dalam sikap politik terhadap kolonialisme. Baru kemudian dia mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pelayanan di bidang pendidikan dan kegerejaan. Rekan seangkatannya dan yang juga pernah menjadi anggota Volksraad, Dr.G.S.S.J. Ratu Langie, lebih kritis terhadap nasionalisme, tetapi berorientasi kedaerahan. Tetapi Ratu Langie tidak dapat digolongkan sebagai politikus Kristen, dalam arti pembawa aspirasi politik berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara formal. Baginya, agama tidak perlu dikedepankan dalam percaturan politik, demi kebersamaan dengan pihak lain. Dua tokoh nasionalis lainnya, Mr. A.A. Maramis dan AJ. Patty (yang dikabarkan masuk Islam kemudian) juga memperlihatkan posisi itu. Tokoh lain dari generasi ini, Mr. J. Latuharhary, sama “sekuler” dan kedaerahan seperti Ratu Langie dan Patty, tetapi kemudian (mennurut Yamin) menyuarakan aspirasi pihak Kristen dalam PPKI dengan menolak Piagam Jakarta, pembentukan Kementerian Agama, dan bagian-bagian UUD (1945) yang bernuansa Islam.

Jadi pada tokoh-tokoh ini ditemukan model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik: yang berpolitik melalui wadah politik Kristen (Moelia), dan yang tidak bertolak dari pemahaman atau lembaga politik Kristen dan menjalankan politik secara “sekuler” (Ratu Langie, Patty, Maramis, Latuharhary).

Generasi berikutnya diwakili oleh tokoh-tokoh muda yang lebih progresif. Mr. Amir Sjarifuddin menjalankan panggilan politiknya di luar partai Kristen, dan kemudian terjebak dalam kemelut revolusi. Amir dapat dipandang sebagai prototipe dari model yang lain lagi dari keterlibatan orang Kristen dalam bidang politik: politisi Kristen yang bergerak dalam partai politik yang tidak berasas agama Kristen.

Berbeda dengan Amir, Dr.J. Leimena tidak menonjol dalam politik masa pergerakan, tetapi sama terbina dalam lingkungan pemuda dan mahasiswa Kristen yang berwawasan nasionalis. Leimena juga berbeda dengan Amir dalam hal pilihan golongan politik. Seperti Moelia, Leimena menemukan tempatnya dalam kelompok politik Kristrn dan kemudian menjadi salah seorang tokoh utamanya. Dalam rentang masa yang dibicarakan dalam studi ini, pemikiran politik Leimena belum menonjol dibandingkan dengan masa kemudian.

Peran pemikir politik itu dijalankan oleh tokoh politik Kristen lainnya, Ds. B. Probowinoto (dan kemudian Notohamidjojo), yang berlatar belakang pendidikan teologi. Dia tampil sebagai pemimpin dan pemikir politik yang memberi dasar-dasar utama dalam pembentukan Partai Kristen Indonesia.

Model-model keterlibatan orang Kristen dalam politik di atas dapat dibedakan atas mereka yang bertolak dari keyakinan atau prinsip-prinsip politik Kristen dan menjalankannya politiknya di dalam atau di luar partai Kristen, dan mereka yang “meninggalkan” kekristenan dalam berpolitik. Dengan kata lain, tidak setiap tokoh atau aktivis politik yang beragama Kristen otomatis menjadi “wakil” pihak Kristen. 

6. Nasionalisme Gerejawi 

Perhadapan kekristenan dengan nasionalisme Indonesia pada umumnya, dan pergerakan nasional Indonesia pada khususnya, tidak hanya membangkitkan kesadaran dan sikap politik orang Kristen Indonesia. Pengaruh nasionalisme yang lebih luas dan dalam lagi, dan menjadi bingkai dari kesadaran dan sikap politik ini, tampak sebagai faktor penentu dalam penemuan bentuk dan arah gerakan oikumene di Indonesia.

Nasionalisme dan gerakan oikumene di Indonesia mewujud dalam gerakan pelembagaan jemaat-jemaat Zending menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiri dan dalam gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Kesadaran dan semangat nasionalisme orang Kristen Indonesia mendorong kalangan Zending untuk mendirikan gereja-gereja yang berdiri sendiri. Semangat dan kesadaran yang sama, dalam kerangka gerakan oikumene, mendorong para pemimpin gereja, termasuk tokoh-tokoh Indonesia, untuk mengupayakan wadah keesaan gereja.

Dalam gerakan kemandirian gereja, baik berupa pendewasaan jemaat-jemaat Zending maupun reorganisasi Gereja Protestan, peranan pihak Zending atau pemuka-pemuka Kristen Belanda (dalam Gereja Protestan) cukup menonjol, sehingga terdapat kesan bahwa proses ini bergerak dari atas ke bawah. Pemahaman yang lebih cermat menunjukkan bahwa pada satu pihak terdapat kesadaran kalangan Zending untuk mendewasakan jemaat-jemaat, sedangkan pada lain pihak, warga jemaat Indonesia menuntut hak mereka untuk mengatur sendiri kehidupan gerejanya. Gerakan-gerakan di kalangan orang Kristen Batak dan di Minahasa memperlihatkan adanya keinginan itu. Tetapi perlu dicatat bahwa perkembangan pekabaran Injil di Indonesia tidak sama pada setiap daerah atau setiap lembaga. Ketika di tempat lain sudah siap untuk mandiri, di tempat-tempat lainnya pekabaran Injil baru mulai dirintis. Yang menonjol adalah kesamaan waktu antara proses kemandirian dengan pergerakan nasional, dan adanya indikasi bahwa pengaruh gagasan-gagasan nasionalisme bergema dalam proses kemandirian gereja-gereja di Indonesia. Dalam proses itu pula gerakan kemandirian gereja sejajar dengan emansipasi politik dalam pergerakan nasional (mencapai Indonesia merdeka), sedangkan gerakan keesaan gereja sejajar pula dengan perjuangan mencapai kesatuan dan persatuan nasional.

Tetapi kesejajaran itu tidak benar-benar sama, seolah-olah perjuangan kemerdekaan nasional dalam pergerakan politik diterjemahkan ke dalam gereja menjadi perjuangan kemandirian dan keesaan. Walaupun gagasan-gagasannya tampak sejajar, misalnya kemerdekaan dan kemandirian atau perwalian dengan guru kandiwasan serta kesatuan dengan keesaan, tetap ada perbedaan yang mendasar antara pergerakan nasional sebagai pergerakan politik (karena itu dijalankan dengan berbagai sarana dan cara politik) dengan gerakan kemandirian gereja sebagai gerakan gerejawi dengan cara, sarana dan kaidah-kaidahnya sendiri. Misalnya, tetap ada ikatan antara gereja-gereja di Indonesia dengan gereja-gereja “induk” (kemudian menjadi mitra), sesuai hakikat katolisitas Gereja. Dalam hubungan itu, Kwitang-structuur dan Kwitang-accord merupakan model hubungan gerejawi.

Salah satu faktor penting dalam gerakan kemandirian gereja adalah pengadaan dan pembinaan tenaga-tenaga pelayan Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan itu, diselenggarakan pendidikan teologi di berbagai tempat dan kemudian HTS (1934) sebagai puncaknya. Walaupun kehadiran lembaga pendidikan teologi tinggi ini seolah-olah terlambat dan dengan jumlah lulusannya sampai pendudukan Jepang hanya beberapa puluh orang. HTS berfungsi menentukan dalam pengalihan kepemimpinan gereja dan dalam pemenuhan kebutuhan staf pengajar di sekolah itu kemudian. Segi penting pendidikan teologi masa itu, di HTS Batavia dan di Bale Wijata Malang, adalah kesinambungan antara segi pengetahuan ilmiah dengan kesiapan praktis untuk menjadi pelayan gereja. Dengan kata lain, dalam pendidikan masa itu mutu para calon pelayanan itu diutamakan.12

Kemandirian gereja-gereja di Indonesia kebanyakan menampilkan pengelompokan suku di samping pengelompokan denominasi. Pengelompokan suku itu terjadi karena badan-badan pekabaran Injil, antara lain karena pegaturan pemerintah, bekerja di daerah-daerah suku tertentu dan kemudian pengorganisasiannya (juga dalam reorganisasi Gereja Protestan) mengikuti kenyataan alamiah tersebut. Kenyataan ini merupakan peluang dan tantangan tersendiri bagi kekristenan Indonesia, terutama di dalam gerakan keesaan gereja.

Bersama dengan gerakan kemandirian, gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia berlangsung semasa dengan pergerakan nasional Indonesia, khususnya pada tahap ketika pergerakan nasional memasuki pergerakan kesadaran kesebangsaan suku-suku bangsa Indonesia. Di dalam gerakan keesaan gereja, ketegangan antara kesukuan (kemandirian gereja suku) dengan kebangsaan (pembentukan gereja yang esa) diperdamaikan dengan pembentukan sebuah dewan gereja-gereja, DGI sebagai suatu sarana mencapai tujuan gerakan. Bagaimana proses selanjutnya, akan ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sejarah masanya. Tetapi dengan DGI sudah jelas wawasan nasionalisme dalam kekristenan di Indonesia, bahwa bukan suku masing-masing melainkan bangsa Indonesia seluruhnya yang menjadi konteks kehadiran Gereja Tuhan di Indonesia. Keseluruhan pelaksanaan panggilan gereja, khususnya di bidang pekabaran Injil. Karena itu pula maka peran pihak Zending pada tahap awalnya sangat menonjol. Tetapi karena didesak kenyataan sosial-politik maka terjadi pergeseran13 “segi Belanda” ke “segi Indonesia” (Boland) atau dari pemahaman yang missiocentrisch ke ecclesiocentrisch (Hoekendijk), dan bukan lagi kepentingan Zending yang menentukan, melainkan panggilan gereja keseluruhannya terhadap kenyataan Indonesia sebagai satu bangsa yang merdeka. Pergeseran itu terungkap dalam tujuan gerakan keesaan gereja-gereja di Indonesia, yakni membentuk Gereja Kristen yang esa di Indonesia.14 Pergeseran ini pula menandai makin kuatnya kesadaran nasionalisme dalam gerakan keesaan tersebut, bahwa gereja-gereja di Indonesia dipanggil menjadi satu gereja Kristus dari dan untuk bangsa Indonesia.

Unsur-unsur nasionalisme dalam gerakan oikumene di Indonesia cukup menentukan sehingga dapat dinyatakan bahwa jawaban kekristenan terhadap nasionalisme Indonesia terungkap dalam gerakan oikumene itu, disamping dalam bentuk sikap nasionalisme politik Kristen. Jawaban itu terungkap dalam pergeseran kepemimpinan gereja dari pihak Zending kepada pihak Indonesia, dan dalam cita-cita pembentukan gereja yang esa di Indonesia. Pada dasar pengungkapan-pengungkapan ini dapat ditemukan kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia menunaikan penggilannya dengan menjadi Gereja Indonesia dalam serba kepelbagaiannya. Dengan kata lain, transformasi nasionalisme di dalam gereja di Indonesia mengarahkan kekristenan pada konteksnya. Akan sangat bermanfaat jika dilakukan suatu kajian tersendiri mengenai perkembangan lanjut proses kotekstualisasi itu dalam alam Indonesia merdeka sampai kini.

 

1 Neil, mengutip tujuan Ordo Yesuit: “to hasten the conversation of the heathen”. Stephen Neill, A History of Christian Missions (Penguin Books, 1973), hlm. 180.

2 Kebangkitan Sarekat Islam sebagai gerakan massa, khususnya di pulau Jawa, sempat menggoncangkan masyarakat Eropa, dan pemogokan-pemogokan kaum buruh radikal pada awal tahun 1920-an serta pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927 memberi citra buruk pergerakan nasional di mata para pendamba keamanan dan ketertiban.

3 Melihat perkembangan pemikiran politik Kristen dalam Indonesia merdeka, cukup beralasan untuk menyatakan bahwa para politisi Kristen mengidap “minority complex”.

4 Mungkin pula dapat dikemukakan bahwa sikap pro pemerintah para aktivis politik Kristen berkaitan dengan kedudukan sebagai pekerja (pegawi, tentara) pemerintah. Para pemuka nasionalis umumnya bekerja di luar ketergantungan kepada pemerintah: pengacara, wartawan, pengusaha dst.

5 Perbedaan visi dan ideologi seperti ini di kalangan umat Islam di Indonesia menimbulkan konflik antara “kaum tua” dan “kaum muda”. Konflik seperti itu tidak berlangsung dalam kalangan Kristen. Memasuki Indonesia merdeka, kedua golongan bersatu dalam PARKINDO.

6 Eksklusif di bidang pemikiran teologi di sini dimaksudkan pandangan yang memperhadapkan iman Kristen sebagai kebenaran tunggal, sebagaimana terungkap dalam pandangan the uniqueness and finality of Jesus Christ dari Kraemer dan Visser’t Hooft. Sikap ini menutup pintu bagi dialog dan perjumpaan yang dinamis dengan para penganut agama lain.

7 Yang dimaksud “dwisila Bandung” Kraemer adalah pola pembinaan pemuda Kristen dengan dua pendekatan, sebagaimana yang dicetuskannya pada konferensi pemuda Kristen di Bandung pada tahun 1926: “Memperhubungkan semua golongan pemuda Kristen tanpa pengecualian, dan membentuk suatu perhimpunan pemuda Kristen supaya sebagai orang Kristen dapat melayani negeri dan bangsanya sendiri melalui suatu organisasi tersendiri”.

8 Dalam kerangka iman Kristen, kebebasan beragama merupakan prasyarat bagi kedewasaan manusia memilih dan memperkembangkan nilai-nilai dasar kehidupan yang diyakininya. Pembatasan terhadap kebebasan itu, apapun dasarnya, mengurangi hak dan martabat manusia. Kebebasan agama memungkinkan suatu pertobatan sejati, di mana orang secara pribadi dan dalam kebebasan menjawab sabda Tuhan.

9 Dalam Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, rumusan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah pernyataan bahwa negara Indonesia berdasar agama. Pemahaman rumusan ini perlu memperhatikan sejarah penemuan, penyusunan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Rumusan ini merupakan penolakan sekaligus pada suatu negara sekuler dan pada suatu negara agama (Islam). Penolakan Moelia terhadap “dasar keagamaan” dalam UUD agaknya berhubungan dengan kemungkinan dasar itu menjadi peluang bagi pembentukan negara agama.

10 Asas-asas kebebasan beragama, nasionalisme dan demokrasi dalam UUD 1945 terkandung dalam Pembukaan (alinea ke-4, yakni Pancasila) dan dalam batang tubuh (kebebasan beragama: pasal 29; nasionalisme: pasal 1; dan demokrasi: pasal 1:2, pasal 26-28).

11 Dapat dicatat bahwa dalam kalangan Kristen di Belanda sesudah Perang Dunia II timbul penolakan terhadap partai konfesional (gerakan “Doorbraak”). Tetapi di Indonesia, pada masa dmeokrasi liberal (tahun 1950-an) hubungan antara gereja-gereja dengan PARKINDO cukup erat. Lihat “PARKINDO dan Gereja-gereja di Indonesia (DGI)” dalam J.C.T. Simorangkir, Manuscript Sejarah Parkindo (Jakarta: Yayasan Komunikasi, 1989), hlm. 310 dyb; lihat juga Th. Sumartana, “Beberapa persoalan dan Gagasan tentang “Gereja dan Masyarakat” sekitar Tahun-tahun 1950-an”, dalam S.Wismoady Wahono dkk (eds), Tabah Melangkah (Jakarta: STT Jakarta, 1984), hlm. 135-159.

12 Berbeda dengan sistem pendidikan teologi yang banyak dijalankan sekarang, pada masa itu HTS (dan Bale Wyata) menghasilkan pelayan yang “sudah jadi”, bahkan diurapi sebelum diserahkan kepada gereja pengutusnya. Segi-segi yang kini dalam lingkungan PERSETIA dikenal sebagai academic Formation, practical formation, and spiritul formation telah dijalankan dengan relatif sukses pada thaun 1930-an itu.

13 Dengan sengaja dipakai kata “pergeseran”, bukan “peralihan”, untuk menghindarkan kesan mekaistik dalam proses perubahan tersebut.

14 Diskusi mengenai “gereja yang esa” dalam sejarah DGI merupakan suatu gagasan yang masih terus diperkembangkan. Tetapi cukup jelas bahwa dalam proses pembetnukannya terdapat pandangan-pandangan yang menghendaki “federasi” gereja-gereja (keesaan jeruk atau anggur) atau satu gereja secara nasional (keesaan mangga).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena