info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 1, Jul 2011

Peran Ormas dan Pentingnya Revisi UU No. 8 Tahun 1945 tentang Ormas

 

Peran masyarakat sipil dalam konteks pembangunan bangsa sangatlah vital. Peran masyarakat sipil di Indonesia dalam proses pembangunan, baik secara fisik maupun pembangunan sumber daya manusia, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa. Bahkan, dapat dikatakan bahwa tanpa organisasi masyarakat (Ormas) maka kemerdekaan Indonesia akan sulit diwujudkan ketika itu. Sejarah bangsa mencatat peran yang sangat penting dimainkan organisasi masyarakat, seperti; Boedi Oetomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), organisasi-organisasi pemuda kedaerahan (Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dll./1918), organisasi kependidikan, dll, dalam perjuangan pencerdasan anak bangsa menuju Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.

Namun demikian, sejarah bangsa kita juga mencatat pasang-surutnya peran Ormas seiring dengan dinamika sosial-politik yang muncul dalam sejarah perjalanan bangsa. Masa keemasaan Ormas dalam pemberdayaan dan pencerdasan rakyat sebelum kemerdekaan, terutama di bidang pendidikan, agak surut seiring dengan meningkatnya perjuangan bersenjata ketika masa perang untuk merebut kemerdekaan. Pada awal kemerdekaan, peran Ormas kembali bangkit dengan maraknya pembentukan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang mencapai puncaknya hingga tahun 1970-an. Peran Ormas kembali mengalami kemunduran dengan menguatnya pemerintahan Orde Baru yang cenderung bersikap represif terhadap perbedaan ide dan gagasan serta sikap kritis terhadap kebijakan pembangunan. Kontrol dan pembungkaman suara kritis Ormas serta penghilangan aktivis Ormas yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru ketika itu lalu diperkuat dengan munculnya UU No. 8/1985 tentang Ormas. Ketika itu, UU No. 8/1985 memang dimaksudkan untuk meredam suara-suara kritis Ormas terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang sudah semakin jauh dari kepentingan rakyat banyak. Ormas yang tak mau mengikuti kehendak Pemerintah dapat dengan segera dibubarkan secara sepihak oleh Pemerintah.

Setelah Orde Baru tumbang yang menandai bergulirnya Era Reformasi pada tahun 1998, Ormas kembali bergairah. Pertumbuhan Ormas menjadi sangat pesat dari segi jumlah, ragam kegiatan dan fokus bidang perhatian berdasakan visi, misi dan tujuan masing-masing. Perannya pun terasa menjadi semakin signifikan dalam konteks pembangunan bangsa, khususnya dalam hal pemberdayaan dan pencerdasan rakyat, karena meliputi bidang yang sangat luas dan beragam, seperti bidang sosial, keagamaan, profesi, pemberdayaan ekonomi, lingkungan, anti korupsi, penguatan demokrasi, perlindungan TKI, pemberdayaan perempuan, dll. Kebebasan dan keterbukaan yang diberikan membuat Ormas mampu secara bebas melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintahan dan parlemen.

Maraknya Ormas di Era Refromasi setidaknya disebabkan oleh 3 hal, yaitu:  1) Tersedianya ruang yang lebih terbuka bagi aktualisasi peran Ormas dalam pemberdayaan masyarakat maupun sebagai mitra kritis (kontrol) terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. 2) Terjadinya perubahan paradigma dalam memandang Ormas, khususnya di kalangan pemerintah. Kalau dulu Ormas dilihat sebagai “ancaman” atau “lawan”, maka sejak Reformasi Ormas dilihat sebagai mitra yang penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. 3) Semangat filantropi masyarakat Indonesia yang relatif tinggi untuk memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa.

Alasan Pentingnya Revisi

Namun demikian, seiring dengan banyaknya perubahan yang terjadi di era reformasi, semakin disadari bahwa UU No. 8/1985 tak lagi relevan dengan konteks sosial-politik Indonesia saat ini. Aktivitas Ormas saat ini tak lagi mampu diwadahi oleh UU ini dan karena itu kiprah Ormas saat ini tak lagi memiliki landasan hukum yang legal. Dinamika perkembangan Ormas dan lingkungan yang mempengaruhinya menimbulkan kebutuhan hukum yang tak bisa lagi diatasi oleh UU No. 8/1985 berserta peraturan-peraturan turunannya. Dalam konteks seperti ini, dapat dikatakan, telah terjadi kekosongan hukum terhadap peran Ormas.

Era reformasi secara langsung menunjukkan kelemahan UU No. 8/1985 dan karena itu penting untuk segera direvisi. Ada beberapa kelemahan UU tersebut yang menjadi alasan kenapa penting untuk dilakukan revisi, yaitu sebagai berikut:

Pertama, adanya perubahan paradigma dalam mengelola negara, dari orientasi elit political base berubah tekanan ke community base. Akibatnya, UU No. 8/1985 yang disusun dengan paradigma sentralistik tak lagi cocok dengan model pemerintahan yang cenderung desentralistis. Begitu juga, nuansa kontrol dan pengendalian Ormas yang sangat kental dalam UU No. 8/1985 tentu juga tak lagi relevan dengan spirit pemberdayaan dan kemitraan kritis antara Pemerintah dan Ormas yang menjadi tuntutan reformasi. Dan, gaya pemerintahan yang otoritarianis dan represif model Orde Baru tak lagi memiliki tempat dalam iklim demokrasi yang menjadi syarat utama pengelolaan pemerintahan di zaman Orde Reformasi ini.

Kedua, reformasi menuntut pengelolaan negara berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipatif dan transparansi. Nilai-nilai ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pengaturan Ormas yang tertuang dalam isi UU No. 8/1985.

Ketiga, peran Ormas sebagai social capital dalam pengembangan civil society tidak lagi sekadar sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah seperti yang terjadi dulu. Tidak lagi hanya sebatas “tukang stempel” kebijakan pemerintah.

Keempat, perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU lain, khususnya UU yang lahir di era reformasi, agar langgam gerak Ormas seirama dengan pembangunan demokrasi secara menyeluruh. Dan, sejalan dengan hal ini, dinamika Ormas saat ini memang memerlukan bentuk hukum baru sebagai landasan untuk menjalankan perannya bagi pembangunan masyarakat.

Relasi Ormas Dengan Pemerintah

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi Ormas untuk berkembang dan turut serta dalam proses kebijakan dan pengambilan keputusan bagi pembangunan. Itulah spirit yang  harusnya mendasari revisi UU ini. Dan karena itu, kita berharap revisi UU ini harus semakin memperkuat jaminan hak berserikat dan berkumpul setiap warga negara sebagaimana dikatakan pasal 28 UUD 1945. Di samping itu, UU ini juga mesti memberikan penguatan terhadap kelembagaan Ormas itu sendiri agar benar-benar mampu menjadi mitra pemerintah dalam proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan.

Persoalan paling penting yang harus dipertegas dalam UU tentang Ormas ini adalah bagaimana relasi antara Pemerintah dengan Ormas. Hal ini penting mengingat relasi Pemerintah dengan Ormas di masa lalu mengandung nuansa yang kooptatif. Ormas yang selama ini rajin menjalin kerjasama dengan Pemerintah tak lagi memiliki daya kritis untuk mengawasi kinerja Pemerintah sehingga dipandang sebagai pro-pemerintah dan dicap sebagai Ormas “plat merah”. Dan memang faktanya Pemerintah juga seringkali mempergunakan kerjasama dengan Ormas itu sebagai alat untuk meredam kekritisan Ormas tersebut. Akibatnya, banyak Ormas yang baik tidak mau atau mengihindari bekerjasama dengan Pemerintah.

Karena itu, ke depan, relasi Ormas dengan Pemerintah tak boleh lagi bersifat kontrol dan kooptatif oleh Pemerintah seperti yang dulu terjadi, tapi sebagai mitra. Relasi Pemerintah dan Ormas di masa lalu dan sampai saat ini telah menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Akibatnya relasi menjadi timpang dan terkesan saling menjatuhkan. Kita tentu tak mau hal seperti itu terus terjadi. Karena itu, persoalan kita sekarang adalah bagaimana menghilangkan kecurigaan dan ketidakpercayaan itu untuk menggagas masa depan bangsa yang lebih baik?

Untuk itu, ada beberapa catatan yang penting untuk dikemukakan dan perlu diatur dalam UU Ormas nanti, juga dalam rangka untuk mengupayakan relasi ang baik antara Pemerintah dan Ormas yang tak lagi dipenuhi kecurigaan dan ketidakpercayaan. Juga, supaya juga ada sinergisitas yang baik di masa depan antara Pemerintah dan Ormas untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Catatan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, Pemerintah seharusnya bertindak sebagai fasilitator. Pemerintah harus menyiapkan fasilitas bagi pertumbuhan dan perkembangan serta keterlibatan Ormas dalam kegiatan-kegiatan keseharian masyarakat. Pemerintah juga harus berlaku adil terhadap semua Ormas, tak memaksakan kehendak dan agenda-agendanya kepada Ormas untuk dilaksanakan. Pendeknya, sebagai fasilitator, Pemerintah harus menyiapkan sarana yang memadai bagi Ormas untuk berkreasi. Tugas fasilitasi ini harus dilihat sebagai kewajiban Pemerintah untuk mendukung pemberdayaan peran Ormas dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, Ormas harus menjadi lembaga yang mandiri dan independen. Ia tak boleh menjadi agen yang semata-mata dikendalikan oleh Pemerintah atas dasar bantuan yang diberikan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tak boleh dikontrol dan diarahkan oleh Pemerintah. Ormas harus tetap  bisa melakukan kritik dan kontrol terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah, meski dia mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Kerjasama dengan Pemerintah tak mesti membuat Ormas kehilangan daya kritis terhadap program pembangunan yang tak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Namun demikian, dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional, tetap harus ada sinergisitas tentang apa yang dilakukan oleh Ormas dengan kegiatan-kegiatan Pemerintah, khususnya dalam konteks pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Di sini diperlukan dialog yang terus-menerus antara Ormas dan Pemerintah. Peran Ormas sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan nasional merupakan kebutuhan yang tak bisa  ditawar-tawar. Dan sebagai lembaga independen, Ormas harus menjadi mitra kritis Pemerintah.

Begitu juga, relasi Pemerintah dan Ormas juga tidak boleh dimasuki kepentingan politik dari Pemerintah yang berkuasa. Artinya, dalam UU Ormas harus ditegaskan bahwa kerjasama Ormas dengan Pemerintah tidak berarti kerjasama dengan Presiden atau Partai Politik penguasa. Program-program yang dijalankan dengan Pemerintah tidak merupakan upaya pencitraan politik penguasa, melainkan sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat.

Ketiga, kerjasama Ormas dengan pemerintah harus dipandang sebagai kewajiban pemerintah, di satu sisi, dan merupakan hak Ormas, di sisi lain. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari kesalahpahaman dalam relasi antara Pemerintah dan Ormas, seperti yang selama ini terjadi. Dalam konteks seperti ini, posisi Pemerintah dan Ormas sejajar, dengan fungsi yang berbeda, sehingga yang satu tak menegasikan yang lain. Karena itu, perlu juga untuk diatur berkaitan dengan jaminan Ormas untuk mendapatkan hak dan perlakukan yang adil dari Pemerintah dalam hal kerjasama. Pada satu pihak, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi kerja-kerja Ormas, khususnya dalam bentuk dana dan kemudahan akses informasi pembangunan, dan, di pihak lain, Ormas berhak untuk mendapatkan fasilitas dari Negara (Pemerintah) dan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mendukung program pembangunan nasional serta berkewajiban memberikan pertanggungjawaban kepada Pemerintah dan publik tentang dana yang diberikan dan apa yang dilakukannya. Dalam relasi dan kerjasama ini prinsip transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama yang harus menjadi pegangan kedua lembaga.**

 

Penulis

Jeirry Sumampow, S.Th. adalah Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).