info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis Vol. 3, No. 1, Jul 2011

Problem Ormas di Masyarakat

Tidak mudah mendirikan organisasi yang punya kredibilitas dan mampu bertahan lama. Apalagi jika organisasi ini berbadan hukum, terdaftar dan tunduk pada sekumpulan aturan yang memberi banyak kewajiban. Jangankan organisasi berbasis massa, organisasi swadaya masyarakat (LSM) pun sulit sekali untuk mampu bertahan hidup jika tidak ada dukungan ekonomi yang tetap dari lembaga donor, kelompok donatur, stake holder yang solid dan masyarakat umum.

Pada umumnya organisasi-organisasi masyarakat tumbuh seperti kembang api: bercahaya sesaat lalu mati suri. Tidak banyak yang bertahan konsisten dengan kerja kongkrit lebih dari 3 tahun. Kebanyakan melempem sebelum satu tahun. Kecuali organisasi yang banyak bergerak dalam dunia maya, hobby atau menghasilkan keuntungan ekonomi nyata bagi para anggota.  Atau organisasi yang hanya hidup jika ada kepentingan yang menghendaki. Kebanyakan pun hanya pengurus inti yang masih bertahan.

Problem umum bagi para pendiri organisasi adalah keuangan dan pengelolaan organisasi. Sulit bagi orang-orang yang tidak punya uang cukup untuk membangun organisasi berbadan hukum. Masalah pertama pastilah mengumpulkan orang-orang yang sepaham, yang mau berkontribusi nyata dalam membangun organisasi. Kerap terjadi perebutan posisi pimpinan atau posisi strategis jika ada harapan keuntungan keuangan, popularitas atau hal lain. Akibatnya bisa muncul dua atau tiga organisasi yang punya ide atau tujuan yang sama, namun berseteru satu sama lain.

Kedua keuangan, operasional, manajemen dan pajak. Banyak orang mundur dari niat membangun organisasi berbadan hukum begitu sadar saat berhitung harus membayar biaya pembuatan akta notaris, perijinan ini itu, membayar biaya operasional organisasi dan pajak. Tidak bisa dipandang remeh, angkanya mencapai jutaan rupiah dan sanksi hukumnya perdata dan pidana.  Membangun organisasi masih jadi impian buat kebanyakan orang. Jangankan membangun organisasi, hidup layak pun masih harus diperjuangkan.

Situasi ekonomi membuat banyak orang amat sulit mengatur waktu dan tenaganya untuk berorganisasi, apalagi berkaitan dengan massa. Dalam prakteknya hampir tidak mungkin diadakan pertemuan yang intens para anggota ormas di saat jam kerja. Kalaupun ada pertemuan yang menghadiri kebanyakan mahasiswa atau orang yang tidak terikat jam kerja. Bukan sekali dua kali pertemuan semacam itu para anggota harus diberi ongkos atau pengganti uang seandainya mereka bekerja. Jadi amat mahal biaya sebuah rapat. Bisa kita bayangkan kualitas ormas dalam situasi ini. Bahkan untuk membuat rapat pun adalah bagian dari usaha keras tersendiri.

Mari kita potret dari sisi calon anggota atau anggota ormas. Biasanya sebagian besar anggota adalah orang awam yang secara perekonomian terbatas atau tidak berlebih. Yang bisa bekerja sepenuh waktu bagi ormas amat terbatas. Mereka biasanya mendapat sokongan ekonomi dari pihak lain. Tidak jarang mereka menjadi buruh dari para pimpinan ormas. Tentu sulit menjadi anggota ormas yang kritis dan merdeka dalam situasi demikian.

Anggota ormas yang hanya sesekali bisa mengikuti kegiatan ormas akan makin kehilangan peran selain sebagai massa anggota cair. Kecuali jika ia adalah seseorang yang dihormati entah karena basis ekonomi, sosial atau politik sebelumnya. Jadi organisasi massa yang besar dengan anggota puluhan ribu bukan berarti otomatis punya kekuatan yang masif. Membuat anggota menjadi masyarakat sipil yang cerdas untuk pengurus ormas adalah pekerjaan besar.

Selain itu sistem politik hukum Negara Indonesia pun memberi kesulitan lain. Contohnya masalah diskriminasi atau masalah etnisitas: Bagi etnis Tionghoa pada masa lalu tidak mudah membangun ormas. Kerap para pengurus organisasi harus menjelaskan dulu kepada aparat  banyak hal bukan dengan sukarela. Bukan hanya penjelasan namun juga ketundukan pada saran-saran aparat Negara yang memeriksa mereka. Kebanyakan dari para pendiri organisasi tidak bersedia bicara tentang proses yang mereka alami ini.

Dulu memang jelas diatur tentang organisasi etnis Tionghoa yang distigma eksklusif rasial. Sempat ada aturan tentang persentasi komposisi etnis dalam kepengurusan dan keanggotaan. Walau reformasi sudah terjadi, beberapa pendiri ormas etnis Tionghoa ternyata sempat mengalami proses pemeriksaan sama seperti dulu dari pihak militer. Jadi walau saat ini muncul ribuan organisasi yang berbasis massa etnis Tionghoa di seluruh Indonesia, tidak berarti ada kemajuan signifikan dalam pendidikan kebangsaan. Kesadaran bahwa keberadaan etnis Tionghoa senantiasa dalam pengawasan tetap ada.

Tentu tak hilang dari ingatan mereka pada masa lalu saat organisasi-organisasi etnis Tionghoa diobrak-abrik, dirampas propertinya dan banyak pengurus yang diinterogasi dengan aneka tuduhan. Belasan ribu bangunan, tanah dan properti lainnya berpindah kepemilikan menjadi milik Negara atau milik oknum. Sampai sekarang amat sedikit properti yang dulunya milik organisasi yang berbasis massa etnis Tionghoa yang dikembalikan oleh Negara. Hanya nol koma sekian persen saja. Sisanya menjadi lambang peringatan bahwa kesetaraan belum sepenuhnya ada. Ketakutan dan kebergantungan bercampur jadi satu sampai sekarang. Bahkan sekedar untuk  memperingati pernah terjadinya Tragedi Kemanusiaan Mei 98 di mana banyak orang etnis Tionghoa menjadi korban pun dianggap hal yang membahayakan organisasi mereka.

Selanjutnya kita beralih ke organisasi masyarakat adat, budaya atau kepercayaan. Mereka hidup dalam tatanan sistem nilai yang berlangsung dari generasi ke generasi. Sebagian besar tanpa badan hukum walau punya struktur yang kuat. Sebagian organisasi masyarakat adat mungkin tidak tahu atau memang tidak mau memikirkan urusan hukum negara sama sekali. Jika kelompok mereka tidak berbenturan dengan kelompok agama atau kepentingan lain mereka bisa hidup tenang. Namun jika dianggap berbeda atau membangkang mereka akan direpresi. Organisasi masyarakat adat yang memiliki tanah-tanah adat saat ini banyak mendapat masalah hukum. Organisasi mereka dianggap tidak ada secara hukum dan karenanya tidak bisa dianggap sah memiliki tanah hak ulayat.

Di sisi berbeda ormas yang memiliki basis massa besar yang masif kerap membawa masalah sosial dan hukum di masyarakat. Terutama ormas yang mengatasnamakan agama atau etnis dan bergerak masuk dalam wilayah keamanan negara. Keberadaan dan tindakan mereka yang melangkah keluar dari koridor hukum positif negara terlalu sering dibiarkan. Bahkan ada kesan dalam masyarakat bahwa ada kerjasama antara aparat negara dengan organisasi-organisasi ini. Ini jadi masalah hilangnya kepercayaan terhadap pemimpin negara dan aparat keamanan.

Kelompok ormas ini sepertinya bisa berdiri di atas hukum. Menggerebek tempat-tempat yang dianggap melanggar nilai agama atau susila, temasuk juga merusak tempat ibadah yang telah bertahun-tahun berdiri namun kesulitan mendapat ijin.

Jika kemudian salah satu anggota ormas melakukan kekerasan dan jatuh korban, maka para pimpinan ormas selalu berkilah bahwa tindakan kekerasan itu bukan atas perintah mereka. Atau penyangkalan dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan adalah bukan anggota mereka. Bisa jadi demikian, namun pola yang terus berulang ini sudah menimbulkan ketakutan bagi masyarakat luas di seluruh Indonesia. Walau perbuatan mereka jelas melanggar hukum hukum pidana Indonesia atau ada indikasi kuat pelanggaran HAM yang berat pada masyarakat sipil namun Negara seperti gagap bertindak.

Jika tidak ada pengaturan yang jelas dan sanksi hukum yang tegas bagi ormas, maka keadaan negara akan semakin semrawut. Munculnya tokoh-tokoh yang mengatasnamakan masyarakat atau ormas makin liar dan berani melakukan pemerasan atau penekanan di mana-mana. Masyarakat kebanyakan akan amat berhitung pada keberadaan mereka dan memilih tunduk. Sebagian lagi yang tidak tahan untuk terus berkompromi akan memilih membangun kekuatan dan mekanisme keamanan sendiri menghadapi masalah ini. Negara tidak bisa menunda lagi untuk menangani masalah ini. **

Penulis

Ester I. Jusuf, S.H. adalah pengacara hak asasi manusia dan ketua “Solidaritas Nusa Bangsa” (www.snb.or.id).