info@leimena.org    +62 811 1088 854
Civis 004/2015

Sebagai negara Pancasila kita menempatkan agama-agama dan adat istiadat yang sangat beragam itu sebagai sumber etik, moral, dan spiritual hukum kita. Aturan hukum juga perlu memfasilitasi praktek menjalankan iman masing-masing penganut agama tanpa mencampuri iman agama-agama itu sendiri. Negara perlu memfasilitasi keperluan hari ibadah, seperti Natal, Idul Fitri, Waisak dan sebagainya, sebagai hari libur, agar warga yang menghormatinya dapat menghormatinya tanpa harus melanggar ketentuan hari kerja. Tetapi negara tidak boleh mengharuskan warganya untuk ke gereja, ke mesjid atau ke pura untuk merayakan hari besar itu. Negara bisa memfasilitasi adanya bank syariah, tetapi negara tidak boleh mewajibkan umat Islam untuk menggunakan bank syariah dan untuk menempatkan hukum bank syariah itu dibawah hukum agama.

Ada batas-batas antara forum internum (ruang iman dan pribadi) dengan forum externum (ruang publik bersama) yang mudah dicari, seperti contoh diatas. Tetapi banyak juga yang belum kita temukan dimana batas itu ditarik, misalnya dalam materi RUU Zakat atau RUU Halal. Disinilah diperlukan usaha pencarian yang terus menerus secara bersama-sama, inklusif, dengan jujur, saling menghargai dan terbuka.

Disamping itu, sesuai dengan bunyi Pasal 28J ayat (2) UUD 45, seharusnya aturan yang menyangkut pembatasan hak-hak asasi, seperti cara berpakaian, wanita dengan jam kerja malam hari, keharusan khatam kitab suci sebagai syarat masuk sekolah, dan sejenisnya, itu hanya boleh diatur dengan undang-undang. Dan itupun hanya dapat diatur untuk menegakkan hak asasi itu sendiri. Dalam hal ini kita berpendapat bahwa semua aturan hukum yang memuat materi yang menurut UUD 45 hanya boleh diatur dengan undang-undang dapat diuji konstitusionalitasnya dan diminta pembatalannya pada MK.

Masalah yang lain adalah pemahaman tentang makna kewenangan daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan. Otonomi itu penting dan amat berguna untuk merealisasikan potensi daerah dengan lebih tepat guna dan untuk mendorong kemajuan daerah. Namun ada pemahaman yang keliru seolah-olah daerah otonomi itu mempunyai kedaulatan tersendiri yang berasal dari rakyat di daerah itu. Ketentuan Pasal 18, 18A dan 18D UUD 45 sebenarnya mengatur bahwa daerah adalah bagian tak terpisahkan dari negara secara keseluruhan. Karena itu ada hubungan hierarkis antara pemerintahan nasional dengan pemerintahan daerah.

Kewenangan otonomi daerah adalah berasal dan merupakan bagian dari kewenangan nasional yang didelegasikan kepada pemerintahan daerah melalui undang-undang.

Karena keliru pemahaman dan mungkin juga didorong oleh kepentingan tertentu sering terdapat peraturan daerah yang menyimpang dari UUD, baik dibidang ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya.

Kita belum mempunyai mekanisme yang lengkap untuk mengatasi keadaan itu. Misalnya kedudukan Presiden terhadap pemberlakuan Perda bersifat pasif. Artinya bila dalam tenggang waktu tertentu Presiden tidak memberikan sikap atas sebuah Perda maka Perda itu dengan sendirinya berlaku. Mekanisme pasif ini dapat menjadi peluang bagi pihak tertentu untuk mencapai maksud tujuannya. Seharusnya Presiden diberikan kedudukan aktif, artinya tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Presiden sebuah Perda tidak dapat diberlakukan.

Aturan internal Mahkamah Agung, yang membatasi tenggang waktu untuk dapat menguji sebuah peraturan perundang-undangan juga menimbulkan masalah. Kita maklum bahwa memang perlu ada pengaturan tenggang waktu agar terjamin kepastian hukum dan bahwa beban pekerjaan rumah tunggakan perkara yang amat banyak tertumpuk di Mahkamah Agung. Tetapi mekanisme teknis internal itu terlalu berkuasa untuk meniadakan kesempatan bagi warga memperoleh keadilan atas hak-hak konstitusionalnya.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan masyarakat (civil society) untuk mengambil peran yang berarti untuk bersikap kritis konstruktif atas peraturan perundang-undangan yang ada atau sedang dibentuk masih terbatas.

 

Membangun masyarakat yang peduli dan aktif (civil society)

 

Diatas, kita diperhadapkan dengan berbagai contoh permasalahan yang sedang dan akan kita hadapi. Baik itu permasalahan dan tantangan bagaimana memberi isi dan kualitas kepada demokrasi konstitusional kita, maupun permasalahan bagaimana melanjutkan reformasi, khususnya pada tataran yang lebih operasional.

Jelas sekali bahwa demokrasi konstitusional memerlukan dukungan masyarakat dan dukungan itu hanya berarti bila rakyat  mengerti dan aktif terlibat dalam jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam negara demokrasi, warga tidak boleh mengambil posisi hanya sebagai peminta, penuntut dan penikmat keadilan. Menyerahkan masalah kepastian penerapan konstitusi dan penegakan hukum kepada aparat dan tinggal menikmati hasilnya, seperti pada masa lalu, dimana segala sesuatu diharapkan diatasi oleh aparat sementara warga tinggal menikmati hasilnya. Sering kita diperhadapkan dengan keinginan agar kita tidak usah terlibat dalam mengatasi tantangan dan masalah bangsa dan negara. Biarlah itu diurus negara, asal kita dijamin dan dilindungi melaksanakan ”panggilan” memberitakan kabar baik injil (dakwah bil lisan) saja.

Untuk itu diperlukan usaha sistematis untuk membangun masyarakat yang berkesadaran dan berkemampuan (civil society), yang meliputi a.l.:

  1. Membangun kemampuan untuk mendiskusikan dan memetakan dan mencari jawaban atas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa, pada tingkat nasional dan daerah.
  2. Memberi pembekalan kepada warga untuk memahami UUD 1945, sistem ketatanegaraan yang berlaku, hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berbagai isu yang relevan, dsb.
  3. Membangun dan memantapkan pemahaman kebangsaan yang majemuk dan bersifat demos.
  4. Membangun hubungan kebersamaan dengan masyarakat di sekitar, langsung maupun tidak langsung, agar warga terbiasa dalam kebersamaan yang saling menghormati dan sederajat dengan saudara sebangsa dengan latar belakang iman dan kepercayaan yang berbeda.
  5. Mendukung dan bahkan kalau perlu mendorong agar warga yang punya kemampuan dan atau berbakat, mau terlibat dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan dan sosial-politik.
  6. Mengingatkan warga untuk tidak terperangkap dengan gagasan “sektarian Kristen”. Dalam hubungan itu juga tidak terperangkap dalam gagasan menempatkan diri dalam majoritas versus minoritas.

(Disampaikan dalam Forum Strategis: Gereja dan Politik, Jakarta, 11 Februari 2015)

Penulis

Drs. Jakob Tobing, MPA. President Institut Leimena; Program Doctorate – Van Vollenhoven Institute, Rechtshogeschool, Universiteit Leiden; Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004 – 2008); Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 1945 (1999-2002); Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU, 1999-2002); Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI, 1999); Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu, 1992); Anggota Panwaslu (1987); Anggota DPR/MPR (1968 – 1997, 1999 – 2004).

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena