info@leimena.org    +62 811 1088 854
Kompas 19 Juni 2012

Konstitusi dan Peluang Negara Kesejahteraan

oleh Ir. Daniel Adipranata

Konstitusi seharusnya menjadi seperti wajah Janus yang melihat ke belakang untuk mempertahankan mimpi-mimpi dan gagasan-gagasan, tetapi juga melihat ke depan untuk mengubah masa depan.

UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi karena pada dasarnya konstitusi dirumuskan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, berdasarkan konstitusi, negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Pemerintah diberi wewenang oleh konstitusi untuk melakukan tindakan demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.

Dalam negara kesejahteraan, negara tidak membiarkan perekonomian berjalan tanpa kendali. Negara diberi mandat untuk melakukan intervensi proaktif (Pasal 33).

Negara tidak perlu menunggu dan hanya reaktif jika ada tanda perkembangan ekonomi didikte pasar yang mengabaikan kepentingan umum. Negara harus bertindak jika ada kecenderungan pemusatan kesempatan dan kekayaan pada segelintir pihak.

Intervensi negara terkait kesejahteraan bangsa lebih dipertegas dalam Pasal 34. Tugas negara tidak sebatas memberikan bantuan tunai kepada yang miskin, tetapi juga memberikan perlindungan kepada semua rakyat agar terhindar dari jerat kemiskinan.

Negara mendapatkan mandat untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.

Negara menjamin hak asasi manusia untuk sejahtera (Pasal 28). Rakyat berhak mendapatkan pendidikan agar mampu mengembangkan potensi diri. Setiap warga berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sejalan dengan itu, negara menghormati dan melindungi hak dan harta benda pribadi serta memfasilitasi warga untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Antara cita-cita dan realitas

Negara kesejahteraan bukan proyek sekali bangun. Antara cita-cita konstitusi dan realitas masa kini dibutuhkan jembatan yang dibangun dari hasil sederetan tuntutan, desakan, dan tekanan gradual serta kemudian menanamnya dalam instrumen kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh, dalam 20 tahun terakhir, pendapatan per kapita rakyat Indonesia tumbuh lebih dari empat kali lipat. Namun, apakah ini berarti kesejahteraan umum telah tercapai? Jika dilihat dari data kemiskinan, terlihat adanya stagnasi. Persentase penduduk miskin sekarang nyaris tak berubah, relatif terhadap kondisi awal dekade 1990-an. Jeritan kemiskinan terdengar di mana-mana.

Menagih terbentuknya negara kesejahteraan hanya dengan bersenjatakan konstitusi tidak akan menggerakkan pemerintah. Bukan karena tuntutan dan konstitusi salah atau tidak baik, melainkan karena dua alasan berikut.

Pertama, dalam realpolitik, tak ada sesuatu yang terjadi hanya karena kemauan politik. Kemauan politik adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan desakan atau tekanan.

Watak legislator dan penguasa yang haus pencitraan akan selalu menghasilkan produk kebijakan publik yang sifatnya jangka pendek, populis, dan substandar dari konstitusi.

Kedua, tata negara modern tidak hanya didikte oleh konstitusi. Liberalisme juga menyuntikkan kriteria baru ke jantung tata negara, yaitu kebenaran menurut mekanisme ekonomi pasar. Dengan kata lain, dalam tata negara dewasa ini, sahnya tuntutan atas nama konstitusi masih menghadapi pengadilan fiskal.

Dalam konteks dinamika demokrasi di Indonesia, permasalahan bertambah dengan rendahnya kualitas wakil kita di parlemen dan watak korup para penguasa. Tuntutan dan desakan untuk mengatasi persoalan sosial yang berujung pada peningkatan kesejahteraan umum sering membentur tembok tebal ketidaktahuan atau ketidakpedulian.

Kesejahteraan umum sering belum menjadi tolok ukur performa pemerintahan. Globalisasi menyebabkan pemerintah lebih senang mengukur keberhasilannya dan meletakkan kepuasannya dengan peningkatan peringkat global. Ini berbahaya karena seolah-olah pemerintah bertanggung jawab pada peringkat global, bukan kepada rakyat.

Menakar peluang

Negara kesejahteraan merupakan tahapan penting dalam penciptaan masyarakat yang egaliter dan kohesif karena kesenjangan vertikal dan horizontal berkurang.

Belajar dari praktik bernegara di kawasan Skandinavia, pembentukan negara kesejahteraan butuh proses pendidikan budaya yang panjang.

Sejak tingkat pendidikan dasar, anak-anak di sana telah diajar masalah kesetaraan dan cita-cita negara kesejahteraan. Hal ini menyadarkan kita bahwa pembentukan negara kesejahteraan bukan hanya soal undang-undang, DPR, atau pemerintah, melainkan juga penanaman visi bernegara dan pembentukan budaya pendukung melalui jalur pendidikan.

Pendidikan kewarganegaraan bukan menghafal, melainkan memaknai peristiwa demi menemukan dan menghidupi kembali budaya luhur Indonesia.

Masyarakat harus bertumbuh semakin cerdas serta sadar akan hak dan kewajibannya. Semua ini akan menjadi minyak pelumas bagi terwujudnya masyarakat sejahtera.

Negara kesejahteraan merupakan hasil evolusi dari relasi politik demokrasi antara pemerintah dan rakyat.

Keberadaan konstitusi yang berjiwa kesejahteraan rakyat tidak otomatis menciptakan negara kesejahteraan. Jalan panjang menuju negara kesejahteraan memerlukan stamina dan arah yang jelas.

Gerakan rakyat perlu diarahkan pertama-tama pada usaha berkelanjutan untuk menyuarakan tuntutan dan mencari solusi berbagai penderitaan sosial yang konkret, seperti luasnya masalah kemiskinan, agraria, pengangguran, ketenagakerjaan, dan perumahan.

Kemudian, semua masalah itu didefinisikan dalam bingkai proses demokrasi dan solusinya ditanam dalam kinerja tata negara.

Kalau itu terjadi, cita-cita akan menggelinding menjadi realitas. Kesejahteraan bersama (bonum publicum) dan bukan malapetaka bersama (malum publicum). Wujud yang dicita-citakan Proklamasi.

Ir. Daniel Adipranata adalah Direktur Program Pelatihan Institut Leimena.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena