info@leimena.org    +62 811 1088 854
MK Online 27 Maret 2011

Ketua MK: Pancasila Jadi Batu Uji Penegakan Hukum

Jakarta, MKOnline – Pancasila senantiasa menjadi batu uji dalam setiap peraturan perundang-undangan, bahkan juga dalam penegakan hukum. Selain kita mengenal Pancasila, di dunia ini banyak sekali sistem hukum maupun ideologi. Lantas di mana posisi Pancasila di antara ideologi yang ada di dunia? Guna menjelaskan hal itu, digunakanlah teori prismatika sebagai karya ilmu pada 1961.

“Teori itu mengatakan sistem kemasyarakatan seperti di Indonesia adalah sistem yang menggabungkan nilai-nilai yang sebenarnya saling  bertentangan tetapi diambil unsur-unsurnya yang terbaik dan tergabung dalam satu ideologi,” jelas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada Temu Wicara “Peningkatan Pemahaman Berkonstitusi dan Hukum Acara MK Bagi Kalangan Pendidikan Tinggi Kristen” – kerja sama MK dengan Institut Leimena – pada Jumat (25/3) sore di Hotel Gran Melia, Jakarta.

Mahfud menerangkan keterkaitan teori prismatika dengan Pancasila. “Apakah Pancasila mengajarkan sikap individualistik seperti Amerika atau komunalistik seperti di Rusia? Ternyata bangsa kita tidak menganut paham keduanya tersebut. Namun bangsa kita mengambil nilai-nilai positif dari sikap individualistik dan komunalistik. Itulah yang dinamakan Pancasila,” urai pria kelahiran 13 Mei 1957 satu ini.

Dikatakan Mahfud, Pancasila mengandung filosofi bahwa setiap individu memiliki hak asasi. Namun demikian, kata Mahfud, jangan lupa bahwa individu baru ada dan berguna kalau dia menyadari sebagai bagian dari masyarakat. Hal itu merupakan kesadaran ideologis bangsa kita.

“Sama juga dalam bidang hukum. Sistem hukum di Indonesia menganut teori prismatika, hukum di Indonesia menghendaki kepastian bahwa aturan harus jelas, pasti ada dalam undang-undang,” jelas Mahfud dalam acara yang juga dihadiri antara lain Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, maupun para dosen dan mahasiswa sekolah tinggi theologi dari seluruh Indonesia.

Pancasila itu, lanjut Mahfud, menghendaki adanya kepastian hukum seperti hukum sipil di Eropa Kontinental. Selain itu, memberi tempat kepada hakim manakala hukum yang terlanjur ada tidak baik, meskipun masih berlaku jangan diikuti.

“Itulah sebabnya MK  menganut hukum prismatika itu dengan paradigma progresif. Hal ini pun menjadi cara menemukan Pancasila mengalir kepada undang-undang dan putusan hakim,” imbuh Mahfud.

Sementara itu Jakob Tobing selaku Presiden Institut Leimena, dalam kesempatan itu menjelaskan dua hal yang menurutnya perlu mendapat perhatian. Hal yang pertama, walaupun UUD 1945 sudah mengalami perubahan, namun jiwa dan semangat UUD 1945 tetap ada terutama Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai-nilai dasar Pancasila.

“Sedangkan hal kedua, prinsip-prinsip penting seperti prinsip ‘checks and balances’, prinsip ‘negara hukum’ maupun ‘penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia’ dan sebagainya hanya akan tinggal menjadi rangkaian kata-kata indah dalam konstitusi, apabila negara yaitu pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri tidak memahaminya dan tidak aktif menerapkannya,” tandas Jakob.

Temu Wicara ini diselenggarakan pada 25-27 Maret 2011, dan nantinya akan resmi ditutup oleh Sekjen MK Janedjri M. Gaffar. Kegiatan ini berisi rangkaian sesi ceramah dan tanya jawab dengan narasumber Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi Harjono, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan lainnya.

Responsible Citizenship

in Religious Society

Ikuti update Institut Leimena